Minggu, 10 Mei 2020

Menguatkan dan dikuatkan - Tentang sebuah kata, tentang sebuah rasa

'Semua peristiwa dalam hidup sepertinya memang serba kebetulan tapi beberapa kejadian kadang meyakinkan kita kalau takdir memang tidak pernah datang secara acak. Selalu ada benang merah untuk setiap kejadian di masa yang akan datang'.

Setelah dulu pernah gagal masuk di jurusan dan PTN yang saya inginkan, saya selalu percaya bahwa setiap peristiwa pasti punya alasan mengapa itu terjadi. Pasti ada benang merah yang bisa dicari ujungnya, meski itu memang membutuhkan waktu. Waktu yang akan menjawab bahwa selalu ada alasan terbaik mengapa kemudian Allah menakdirkannya demikian.

Semester ini bisa dibilang sangat berbeda dari semester-semester sebelumnya. Ini pertama kalinya sistem pembelajaran tatap muka dialihkan sepenuhnya ke dunia digital berbasis daring. Sebuah pembelajaran yang lekat dengan kemajuan namun juga akhirnya menyadarkan betapa pentingnya pendidikan konvensional. Yah, meski memang selayaknya perubahan pada umumnya, ini pun membutuhkan adaptasi bahkan bagi kami-kami yang katanya generasi milenial ini. Entah itu adaptasi dari segi waktu, metode ajar, dan bahkan manajemen emosi. Iya, karena nyatanya pembelajaran daring lebih rieuweh.

Bagi saya pribadi, sejak awal, semester ini memang sudah terasa berbeda. Karena ibaratnya, selama hampir tiga tahun menjadi dosen, ini pertama kalinya saya keluar jalur dari bidang keilmuan saya. Yah, meski memang gak semelenceng dulu ketika dari anak eksak masuk ke Sosiologi, sih. Ini masih mending lah, karena setidaknya masih serumpun. Toh, sejak awal kuliah S1 dulu, saya memang sudah tertarik dengan ilmu psikologi, meski waktu itu fokusnya lebih pada diri sendiri. Ya, katakanlah belajar psikologi dan pengembangan diri untuk diterapkan pada diri sendiri, begitu. ;)

Kemudian, selama kerja jadi penulis pun, entah waktu jadi jurnalis di Tabloid Modis Nurani, penulis konten Penerbit Erlangga, ataupun di Kontenesia, seringnya juga berkutat dengan psikologi. Entah itu harus wawancara dengan Psikolog, Psikiatri, ataupun baca buku-buku psikologi, khususnya tentang psikologi perkembangan anak.

Tapi.. tetap saja mata kuliah Psikologi Kepribadian ini sebuah tantangan tersendiri bagi saya. Selain jika dilihat dari isinya ini lebih ke psikologi klinis dan teori-teori yang pastinya njelimet, sehingga otomatis saya harus bisa menyampaikannya dengan sederhana, tantangan lain mahasiswa yang saja ajar adalah anak semester 6; yang notabenenya sudah memasuki fase-fase galau akan masa depan. Fase yang juga rentan mengalami Quarter Life Crisis.

Bagaimanapun, mengajar psikologi bukan hanya tentang menyampaikan ilmu, tetapi juga harus siap mendengarkan, kan? Harus siap menjadi pendengar yang baik. Ini sebenarnya yang paling saya suka dari awal, karena memang ini salah satu karakter saya sejak dulu. Tipe pendengar yang baik, suka jadi tempat curhatnya orang.

Seiring berjalannya waktu, saya mulai menarik benang merah kenapa kemudian saya diamanahi mata kuliah ini. Salah satunya, Allah ingin saya belajar sekaligus menguatkan diri sendiri. Iya, percaya atau tidak, ketika saya membahas tentang manajemen emosi, sebenarnya saya juga tengah dalam kondisi harus bisa mengendalikan emosi (emosi yang dimaksud di sini bukan hanya emosi marah ya, karena secara psikologis emosi itu ada emosi positif dan negatif). Ketika saya bicara untuk menguatkan mereka, sebenarnya saya juga tengah menjadi sosok yang perlu untuk dikuatkan. Yah, ini semacam cara Allah untuk menguatkan. Semacam alarm sekaligus pengingat, bahwa 'kamu bisa ngomong gitu, ya kamu harus bisa kayak gitu juga, dong!'.

Mungkin, ini cara-Nya menguatkan, dengan cara mendengar cerita seseorang. Yang ketika sedang menguatkannya seperti sedang berbicara pada diri sendiri. Sungguh, cara Allah menunjukkan kasih sayang-Nya itu begitu indah, ya.

Selain itu, mengampu mata kuliah ini benar-benar semakin mengasah kepekaan dan empati saya. Tercatat, ada beberapa mahasiswa yang jika dilihat dari luar baik-baik saja, tapi sebenarnya menyimpan berbagai masalah psikologis. Mulai dari berbagai kasus traumatik, self harm atau menyakiti diri sendiri, Denial (pengingkaran) hingga berpotensi self injury, ketakutan akan masa depan, gangguan kecemasan, dan masih banyak lagi. Yah, ini semakin membuat saya sadar bahwa pendidik sebenarnya tak boleh abai dengan hal-hal yang seringkali itu di luar konteks pembelajaran; kondisi psikologis mereka.

Saya ucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya bagi kalian yang sudah mau terbuka dan membagi keluh kesahnya ke saya. Percayalah, kalian anak-anak yang kuat dan bisa melewatinya dengan baik. Semangat terus untuk menjadi lebih baik, ya.

Sebagai perempuan yang nantinya bakal jadi ibu, belajar teori psikologi kepribadian dan kemudian dihadapkan pada berbagai kasus seperti yang saya sebutkan sebelumnya, tentu itu sebuah pembelajaran tersendiri. Bagaimana sejatinya keluarga bisa menjadi tempat paling nyaman untuk anak, bahkan sejak awal masa tumbuh-kembangnya. Pun demikian terkait kemampuan dan kecerdasan, pembentukan karakter, hingga masalah dan ego orang tua yang tanpa disadari sebenarnya bisa berdampak bagi perkembangan kepribadian anak. Yah, sekali lagi saya banyak belajar.

Terlepas dari itu, semoga apa-apa yang kita pelajari di kelas bisa bermanfaat untuk kalian. Setidaknya untuk lebih memahami seperti apa kepribadian kalian, karena nantinya ini akan sangat bermanfaat untuk masa depan. Semakin kalian bisa mengenal diri sendiri, maka kalian akan lebih mudah meraih sukses. Lebih mudah untuk menata masa depan. Dan jika nantinya kalian jadi guru, semoga ini juga bisa menjadi bekal untuk kalian memahami kondisi psikologis anak didik.

Terima kasih atas antusiame kalian selama satu semester ini. Saya terharu loh, sebagian besar dari kalian bilang bahwa mata kuliah ini jadi yang paling ditunggu. Saya juga terharu sekali ketika ada yang bilang, bahwa satu kelas itu (mulai dari yang paling pendiem hingga paling rame) semuanya suka sama mata kuliah ini. Semuanya bisa aktif tanpa canggung ketika di kelas. Masya Allah... Coba ya, seandainya kita terus kuliah tatap muka, pasti lebih asyik dan berkesan.

Tapi ada juga beberapa kritikan, seperti saya yang harus merespon semua mahasiswa, jangan setengah-setengah. Yah, maafkan... Karena kuliah daring memang terkendala waktu. Gimanapun, saya juga ada tugas lainnya kan, termasuk tugas kerumahtanggaan, hahahaha. Maafkan ya... Tapi selalu saya usahakan setiap chat yang masuk saya bales kok. Cuma kalau pas saya bukanya sedang sibuk, ya di-read doang. Trs nanti kalo chatnya udah numpuk, lupa yang mau dibales. Maaf untuk yang mengalami ini.

Sekali lagi terima kasih untuk kalian. Dari kebersamaan selama satu semester ini sebenarnya saya juga banyak belajar. Pun ini juga yang awalnya menginisiasi saya dan teman-teman untuk mendirikan komunitas Sahabat Shalihah. Sebuah amanah baru yang semoga bisa menjadi tempat belajar bagi saya dan muslimah lainnya.

Akhir kata, terus semangat... Masa depan kalian masih panjang dan bisa jadi ke depannya kalian akan dihadapkan berbagai masalah yang membuat galau. Semoga ilmu seperti manajemen emosi, dikotomi kendali, dan ilmu-ilmu yang telah kita pelajari di kelas ini bisa membantu kalian. Ingat, selalu ada saya atau orang lain (keluarga atau teman) yang bisa kalian jadikan tempat bercerita atau sharing. Jangan memendam apa-apa sendiri. Memendam dan bersikap seolah-olah kita kuat --padahal tidak-- adalah bentuk keangkuhan pada diri sendiri.

Terima kasih atas pesan, kesan, kritik, serta saran membangun yang telah kalian berikan. Terima kasih juga doa-doanya, ya. Doa-doa terbaik juga untuk kalian semua. Insha Allah kalian pasti akan sukses di jalannya masing-masing. Tetap jadi diri sendiri. ;)

Minggu, 03 Mei 2020

Love Yourself - Sebuah Cara Mengobati Luka Batin

"Being Happy is your Right!"

Hampir semua orang, termasuk kita, pasti pernah mengalami lelah emosional dalam berbagai bentuk. Entah itu sedih karna gagal pada suatu hal, sesuatu yang tidak diinginkan datang, marah pada diri sendiri karena suatu hal, dan masih banyak lagi hal yang dapat membuat luka pada diri kita.

Saya yakin pasti ada banyak orang yang diam-diam merasakan hal tersebut pada satu titik dalam hidupnya. Merasa gagal, merasa nggak mampu, merasa jelek, dan bahkan ada yang sampai merasa sial dan merasa nggak layak jadi manusia.

Pernah mengalami hal seperti ini juga? Jika ya, lalu apa yang akan kamu lakukan?

Yah, perasaan-perasaan semacam menyalahkan diri sendiri atau bahkan menyalahkan takdir seperti ini jika dibiarkan tentu akan menumpuk menjadi stres dan depresi. Termasuk juga bisa jadi kita akan terjebak pada kufur nikmat; tolak ukur hidup jadi ke atas melulu, sehingga apapun yang ada di hidup kita menjadi semacam musibah atau 'kok hidup gue gini banget ya, gak kayak hidup si A yang enak-enak aja' atau kalimat-kalimat pembanding lainnya yang seolah rumput tetangga memang lebih menarik. Padahal, kita hanya gak tau saja bagaimana kerasnya orang itu mengobati luka hingga bisa kembali tegak berdiri dan bahagia.

Berbicara tentang mengobati luka batin ini sebenarnya lekat dengan self healing. Yakni, upaya menyembuhkan luka secara alami dari diri kita sendiri.

Tujuan self-healing sendiri adalah lebih ke memahami diri sendiri. Ketika kita berhasil menjalankan self-healing, kita akan menjadi pribadi yang penuh dengan penerimaan terhadap segala kegagalan, kesulitan, dan akan lebih tegas dalam menjalani masalah hidup. Menghadapi masalah hidup justru memberikan banyak pelajaran yang tidak diajari oleh siapapun, bukan?

Oke kita bahas seperti apa sih cara mengobati luka batin atau emosional dengan self-healing ini.

Secara garis besar, ini berkenaan dengan tiga poin utama, yakni; Self Acceptance, Self Forgiveness, dan Self Love.
Kita bahas satu persatu.

1. * Self Acceptance*
Sederhananya, Self Acceptance dapat diartikan sebagai kemampuan individu untuk bisa melakukan penerimaan terhadap diri sendiri. Baik itu kelebihan maupun kekurangan. Tentu untuk hal ini, kita harus mengenal diri sendiri dulu; seperti apa kita, beserta kekurangan dan kelebihannya.

Penerimaan diri sendiri ini merupakan sikap memandang diri sendiri apa adanya dengan merasa bangga atas apa yang diberikan Allah pada kita, serta senantiasa untuk meningkatkan kualitasnya. Intinya seperti itu.

Bayangkan kalau kamu si empunya tubuh saja nggak suka sama dirimu, bagaimana orang lain bisa menerima dan mencintaimu dengan baik? Rasa minder, rasa nggak mampu dan rasa kurang yang terus ada dalam diri akan mempengaruhi kehidupanmu. Bukannya membaik, ini justru bisa membuat kamu makin terpuruk. Kamu akan selalu meragukan diri sendiri.

Jadi, yang pertama terimalah diri sendiri dengan baik. Untuk kelebihan kita, kembangkan. Lakukan hal-hal yang disukai, atau cari kegiatan sesuai bakat dan minat. Untuk hal yang kita anggap sebagai kekurangan, lawan ke-negatif-an dengan cara menyebutkan kata-kata positif kepada diri sendiri. Belajar untuk menghadapi semuanya dengan baik-baik saja, karena kamu tidak harus memiliki semua hal secara bersamaan. Termasuk, lakukan introspeksi atau muhasabah diri. Tuliskan hal-hal buruk atau negatif yang ada pada dirimu dengan jujur, kemudian pikirkan cara untuk mengubah sikap, sifat, atau kebiasaan buruk tersebut.

Ketika poin-poin diatas sudah kamu lakukan dan berhasil… Selamat! kamu sudah mampu untuk memperbaiki diri dan berdamai dengan semua kekurangan yang ada pada diri kamu sendiri.

2. *Self Forgiveness*
Cara selanjutnya adalah dengan menerapkan self forgiveness. Apa itu self forgiveness?

Sederhananya, adalah bisa memaafkan diri sendiri. Memaafkan diri sendiri merupakan cara selanjutnya untuk bisa mencintai diri sendiri. Bagaimanapun setiap manusia pasti punya  kesalahan, bukan? Dilihat dari teori psikologinya memaafkan diri sendiri memanglah cukup sulit karena kita harus berperang melawan diri sendiri.

Memaafkan diri sendiri ini dapat terwujud ketika kita berhenti menyalahkan diri secara berlebihan atas terjadinya sesuatu, berhenti dari perasaan merasa tidak berharga, bersalah, atau perasaan bahwa diri kita tidak pernah cukup untuk seseorang (misalnya). Lebih-lebih hingga menghukum diri atau melakukan tindakan destruktif pada diri sendiri.

Self-forgiveness pun terdiri dua jenis, yaitu memaafkan diri sendiri dan orang lain. Ikhlaskan semua yang terjadi, karena tak ada satu pun yang terjadi tanpa seizin Allah dan yakinlah itu pasti terbaik. Kita mungkin menganggap bahwa orang itu adalah yang terbaik bagi kita, namun kita juga tak boleh lupa kalau kita hanyalah manusia yang hanya memiliki keinginan sedangkan Allah yang punya pengetahuan. Allah lebih tahu mana yang terbaik untuk kita. Kita hanya perlu ikhlas dengan semua rencana indah-Nya.

Ketika kita sudah berhasil menerapkan self forgiveness ini, berarti kita bisa menikmati setiap momen dalam kehidupan, entah itu senang maupun sedih, berhasil maupun gagal. Kamu selalu punya cara untuk bersyukur, berusaha berpikiran positif dan selalu produktif di setiap keadaan. Di sini, perbanyak bersyukur, maka hikmah-hikmah akan terbuka, dan kita akan sadar kalau yah ini yang terbaik dari Allah.

3. *Self Love*
Terakhir, setelah kita bisa menerapkan keduanya, barulah kita bisa self love; mencintai diri sendiri.

Sebelum kita memahami bagaimana mencintai diri sendiri, kita harus belajar untuk menghormati dan menghargai diri sendiri. Kedengarannya sepele sekali, tapi apakah kita benar-benar sudah menghormati dan menghargai diri kita sendiri?

Coba muhasabah, mungkin selama ini kita terlalu sibuk menghargai orang lain, memberi hadiah pada orang lain, memuji orang lain, berjuang untuk orang lain, itu sebabnya kita lebih mencintai orang lain daripada diri kita sendiri. Itu sebabnya kamu rela disakiti asalkan tetap punya status pacaran dengan orang yang tidak bisa menghargai dirimu, atau bertahan di lingkungan pertemanan yang toxic, padahal di sana kamu justru 'teraniaya' dan tidak bisa menjadi diri sendiri; hanya demi status pertemanan.

Mengutip dari Medical News Today, Kristin Neff — profesor di bidang Human Development di University of Texas di Austin menyatakan “Love, connection, and acceptance are your birthright.” yang artinya “Cinta, koneksi dan penerimaan adalah hakmu sejak lahir.”

You deserve to be loved, dear!

Dicintai orang lain saja bisa membuat bahagia. Apalagi kalau bisa mencintai diri kamu sendiri? Dijamin, akan jauh lebih bahagia!

Yah, bahagia itu penting, dan kamu pemegang utama kunci kebahagiaan dalam kehidupanmu. Cintai diri sendiri dengan lakukan apa yang membuat kamu bahagia. Meskipun mungkin hal yang membuat kamu bahagia akan membuatmu terlihat konyol, semakin gemuk dan sebagainya misalnya.

Intinya, kamu yang bisa mencintai diri sendiri bukan mencari atau mendapatkan kebahagiaan dari luar, tapi justru bisa menumbuhkannya dari dalam.

Kebahagiaan sudah ada dalam dirimu dan terus bertumbuh setiap saat. Sederhananya kamu tidak mencari bahagia dari hubungan, pekerjaan, tempat atau kondisi tertentu. Kamu bisa menciptakannya sendiri terlepas bagaimana kondisi di luar diri kamu. Ya, caranya dengan harus bisa self Acceptance dan forgiveness dulu, ya.

Mencintai diri sendiri berarti tahu mana yang baik dan buruk untuk dilakukan dan tidak mudah terpengaruh orang lain. Kamu memegang kendali penuh atas kebahagiaanmu. Kamu cukup tahu bagaimana cara menghindari situasi yang merugikan dan akan memilih kegiatan yang lebih menguntungkan. Kamu yang mencintai diri sendiri juga terbiasa tegas dan berani memutuskan hubungan yang tidak sehat. Secara tidak langsung, kamu ikut andil pada setiap situasi yang terjadi dalam hidupmu.
Kamu bukan tipe orang yang mencari perhatian dan selalu menginginkan respon positif. Kamu bangga dengan dirimu apa adanya dan kepercayaan diri yang kamu punya. Kamu juga pandai dalam mengabaikan komentar negatif orang.

Dan orang yang sudah menyayangi dirinya juga anti buat ikut campur urusan orang. Karena ketika kita sudah bisa mencintai diri sendiri dengan baik, itu akan membuat kita menjadi pribadi yang lebih rendah hati dalam menilai orang lain. Jika setiap orang mampu menghargai kekurangan dan kelebihan dirinya sendiri dengan baik, ia akan mudah untuk menghargai  kekurangan dan kelebihan orang lain, bukan?

Hal yang akan membuat Self Love berbeda dengan seorang narsistik adalah mencintai dan menghargai diri sendiri untuk kebahagiaan kita, bukan untuk memuaskan pandangan orang lain terhadap kita. Ini perlu digarisbawahi.

Mencintai diri sendiri juga berbeda dengan menganggumi diri sendiri (ujub).  Mengutip pernyataan Imam Musa al-Kazim, terdapat beberapa tingkatan ujub. Salah satunya ketika perbuatan buruk dianggap baik oleh dirinya sendiri; ia menilai perbuatan-perbuatan tersebut sebagai perbuatan baik dan mencintai dirinya sendiri, dengan membayangkan dirinya sendiri sedang melakukan perbuatan mulia.

Tingkatan ujub lainnya adalah ketika seseorang percaya bahwa dengan yakin kepada Tuhan berati ia telah berbuat baik kepada Tuhan; padahal sesungguhnya Tuhan Yang Maha Kuasa-lah yang menganugerahinya kebaikan (dengan memberkatinya). Larangan menganggumi diri sendiri sudah sangat jelas. Katakan (Muhammad): “Apakah akan Kami beritahu padamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya”.(QS [18]: 103-104) dan Imam Ali (as) berkata: “Ia yang hatinya ditumbuhi rasa ujub, akan dihancurkan. [Al-Saduq, al-‘Amali, hal. 447].

Sangat jelas sebenarnya perbedaan antara mencintai diri sendiri dengan mengagumi diri sendiri. Mencintai diri sendiri itu berasal dari lubuk hati, dari jiwa yang paling dalam dengan tulus tanpa pamrih. Mencintai diri sendiri dengan maksud terus mensupport agar keberadaan kita di muka bumi untuk terus beribadah kepada Allah dan dapat bermanfaat bagi semua mahluk hidup. Sebagaimana Allah berfirman; “Tidak Ku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaku.” [QS Adz Dzariat: 56]

Saat kamu mencintai diri sendiri, tak peduli apa kekuranganmu, kamu justru akan memberikan aura positif yang menyenangkan. Percayalah!

Selasa, 28 Januari 2020

Bismillah, Hijrah!


Berat, iya berat. Tapi ingat, bahwa setiap diri sudah pernah berucap perjanjian primordial masing-masing kita dengan-Nya. Lalu, sudah sampai mana pembuktiannya?


Di musim penerimaan CPNS seperti sekarang, orang-orang umumnya akan sibuk bertanya ke mana diri akan mendaftar. Tapi, kali ini bukan itu fokus yang hendak saya tuliskan. Ada hal lain yang kemudian berhasil membawa saya kembali pada perenungan. Ini dimulai ketika salah satu teman saya bercerita bahwa dia hendak ikut di tempat lain (dibanding tempat di mana sekarang dia bekerja), dengan salah satu alasannya yakni ingin hijrah. Dan barangkali, di tempat yang baru bisa bertemu jodoh, begitu katanya. 

Berbicara soal hijrah, yang secara sederhananya dapat diartikan berpindah, saya dipaksa untuk kembali ke masa lalu; bahwa saya dulu pernah mengalami hal yang hampir serupa, meski dalam konteks berbeda. 

Secara latar belakang keluarga, saya memang lahir dan tumbuh dalam keluarga yang bisa dibilang agamis. Tetapi, dari kecil ayah dan ibu saya tidak pernah memaksa atau menuntut anaknya harus seperti apa. Kecuali untuk selalu mengingatkan agar tidak melenceng dari ajaran dan aturan agama, serta menjadikannya sebagai modal utama hidup. Sedangkan tentang proses untuk berislam secara kaffah, kedua orang saya tidak pernah memaksakan untuk itu.

Ya layaknya sebuah perjalanan, itu membutuhkan sebuah proses. Dan proses masing-masing orang bisa jadi tidak sama. Yang terpenting, dalam setiap prosesnya kita selalu menyertakan hati, bukan? Jelas, agar tidak dijalani secara terpaksa. 

Itulah mengapa, dalam hal pendidikan, orang tua saya tidak pernah memaksa harus masuk di pondok A atau jurusan B. Anak-anak bebas menyuarakan haknya, meski orang tua yang tetap akan mempertimbangkan baik buruknya. Dan nyatanya, dalam keluarga saya, hanya saya saja yang gak pernah mondok. Hanya saya yang gak bisa bahasa Arab. Dan hanya saya juga yang nggak kuliah di universitas berbasis Islam. Ya memang sih, saya juga pernah ikut pesantren ramadhan di pondok salah satu famili ibu di Sidoarjo. Tapi kan, tetap aja, tinggalnya di kompleks kediaman kyai, jadi gak ngerasain juga gimana rasanya menjadi anak pondok. Dibanding kedua adik saya yang alumni TMI Al-Amien Prenduan dan Tambak Beras Jombang, saya mah apa atuh. Pemahaman agama dan amalan juga masih apalah-apalah ini. Duh...

Berbicara tentang hijrah, semasa S1 niatan itu hadir.. dan salah satu faktor pendukungnya adalah karena seseorang. Iya, seorang kakak kelas tiga tingkat di atas saya, yang akhirnya juga menjadi cinta dalam diam saya waktu itu, wkwkw. Beliau yang selalu menundukkan pandangan, santun, cerdas, kalem, dan mawapres (mahasiswa berprestasi) lagi. Meski beda jurusan, saya kenal dengan mas X ini di Social Study Club. Beliau yang pertama kali mengajarkan serta membimbing saya untuk ikut PKM dan berbagai lomba karya tulis. 

Tentu dong, saya kagum. Hingga akhirnya saya tergerak untuk berubah, berbenah, dan mendalami agama secara lebih mendalam. Oke, saya akui ini memang niat awalnya sudah salah, bukan karena lillah.

Bersama sahabat saya, yang juga ngefans sama sahabat si mas-nya, jadilah kami selalu hadir di kajian fakultas yang notabenenya pasti dihadiri oleh mas-mas itu. Perlahan, cara busana yang awalnya fashionable unyu-unyu kami ubah, ya meski belum bergamis juga, sih. Jujur, kami pun pernah berharap bisa dapat suami yang paham agama macem mereka, ya kan Nit? Inget gak? Haha..  Bahkan, dengan hanya panggilan 'Dek Orin' saja udh meleleh, loh. Iya, segitu senangnya dulu saya dipanggil dengan embel-embel itu oleh masnya. Meleleh adek, bang! Lebay, ya. Tapi, ya begitulah adanya. Namanya juga orang lagi jatuh cinta. 

Namun, tak lama, karena beliau adalah mahasiswa angkatan 2006, sedang saya 2009, hanya sekitar 1 tahunan lah ya bisa ketemu di kampus, setelah itu masnya lulus. Bak ditinggal seseorang yang selama ini menjadi motivator, niatan itu pun perlahan mulai goyah. Jadi, saya paham banget, kalau hijrah itu sebenarnya mudah, tapi Istiqomahnya yang susah. Harus ada dukungan dari lingkungan. 

Alhasil, karena niat awalnya bukan karena lillah, ya kami kembali seperti mode awal. Ikut kajian sudah tidak serajin sebelumnya, pakaian juga sudah mulai bercelana 'jeans' lagi. Yang selalu menjadi pembenaran adalah alasan fleksibilitas mengingat seringnya kita kuliah lapangan. Atau, ke mana-mana sudah lupa untuk memakai kaos kaki, apalagi musim hujan kawasan kampus sering banjir, dll. 

Alah... Itu mah alibi kalian aja, Rin! Bilang aja, karena niat awalnya sudah salah, hanya karena ingin dilihat manusia!

Kembali lagi ke saat ini, ketika teman saya bertanya, 'Orin gak pengen hijrah juga?'

Saya jawab, saya ada di sini dan ngajar di IAIN itu sudah bagian dari hijrah. Kenapa saya bilang begitu, ya karena dulu saya pernah berdoa untuk selalu dipertemukan dengan orang dan lingkungan yang bisa mendekatkan saya dengan-Nya. 

Kepulangan saya kembali ke Pamekasan pun, jujur memang saya niatkan untuk itu. Untuk hijrah menjadi lebih baik. Bukan berarti selama ini nggak baik loh ya, tapi mengingat serangkaian proses iman yang naik turun, saya sadar bahwa saya butuh suasana yang selalu bisa menguatkan. Terlebih, saya juga sadar kalau orang tua semakin menua, kapan lagi saya bisa berbakti ke beliau. Iya kalau setelah menikah saya bisa tetap tinggal dekat dengan beliau, kalau tidak? Tahu kan, kalau cewek setelah menikah baktinya akan berpindah, berbeda dengan cowok. Makanya, saya pikir, sebelum waktu itu tiba, puas-puasin dulu. Udah cukup merantau dan jadi anak kosnya dari SMA sampai S2. 

Hingga akhirnya, setengah tahun setelah saya pulang, saya ngajar di kampus agama itu. Mungkin ini doa orang tua juga kali ya. Secara meskipun beliau gak pernah maksa, saya tahu ayah dan ibu juga sering ngode. Misal, bilang kalau saya lebih anggun pake rok atau gamis lah dibanding celana, atau sering ngajak diskusi tentang agama, dll. Dan benar, setelah kerja di kampus tersebut, celana dan baju-baju unyu itu resmi saya tanggalkan. Memang, pakaian itu hanya sebatas simbol, tetapi menurut saya itu juga bagian dari proses untuk menuju perubahan yang lebih baik. 

'Orin tambah shalihah ya' komentar Nila, sahabat saya semasa S2 beberapa waktu yang lalu. 

Tidak... Tidak... Saya masih jauh dari kata shalihah. Saya hanya perempuan akhir zaman yang masih sering lemah iman, dan karenanya selalu minta didoakan untuk bisa Istiqomah. Selalu berharap dipertemukan dengan orang-orang yang bisa saling mengingatkan dalam kebaikan, termasuk jodoh pun demikian. Eh gimana, hihihi... 

Berbicara Istiqomah dalam hijrah, itu tidak pernah mudah. Akan selalu ada ujian untuk melihat sejauh mana niat dan kesungguhan kita untuk berbenah. Saya misalnya, yang awalnya niat hijrah untuk lebih 'birrul walidain', akhirnya harus dihadapkan pada ujian yang berhubungan dengan itu sejak akhir tahun 2017 hingga sepanjang 2018 (bahkan hingga pertengahan tahun 2019, karena masih pemulihan). Ibu yang sakit dan harus menjalani operasi pengangkatan rahim dan glukoma hingga 4 kali, jelas langsung membuat saya mau tidak mau harus mengambil alih semua urusan rumah tangga. Tak hanya merawat ibu yang sakit, ada ayah dan adek yang harus juga saya perhatikan. Apalagi, adek bungsu saya masih SD yang notabenenya masih belum bisa mandiri, dan belajar pun masih harus didampingi. Pun demikian dengan pekerjaan (dosen dan penulis Kontenesia) yang tentunya tidak boleh seenaknya ditinggalkan. 

Hmm... Pokoknya udah kayak bu-ibu rumah tangga gitu deh. Sampai-sampai, sering dikira mamanya Alfan karena seringnya antar jemput dan hadir di pertemuan wali murid SDI Al-munawarah hahahaha. 

Ingat masa-masa itu, kadang nggak nyangka juga kalau Orin yang dulu semasa kuliah lekat dengan julukan 'Upin Ipin' atau anak kecil, ternyata bisa sekuat itu ya Allah. Terima kasih sudah menguatkan dan membersamai di masa-masa sulit kemarin. Ya begitulah, pertolongan Allah selalu datang, termasuk salah satunya dengan cara menguatkan hati. 

Beda lagi jika ujiannya berupa ujian hati! Bikin pusing karena setiap harinya jalan-jalan terus di kepala dan hati. Iya, dia. Seseorang yang beberapa waktu terakhir kusebut namanya dalam doa. Hmmm... Lemah lagi, kan!

Hai, hati yang sedang menunggu. Semoga kamu diluaskan dalam ketenangan, dibesarkan dalam keikhlasan, diteguhkan dalam keimanan, dan dilancarkan dalam kemudahan. Percaya saja ya, cara-Nya akan begitu indah. 

Yah, untuk urusan hati ini, saya memang masih berjuang untuk benar-benar berkomitmen pada Allah. Untuk menitipkan cinta ini kepada-Nya dan biarkan Dia yang melabuhkan cinta kita dengan yang dikehendaki. 

Dari berbagai proses hidup, saya belajar bahwa tentang keinginan kadang tidak perlu pusing memikirkan bagaimana nanti. Sama halnya seperti hati, waktu juga dalam genggaman Allah, kan? Serahkan semuanya pada-Nya. Dia yang paling tahu kapan waktu terbaik untuk mewujudkan semua ingin kita, dan mana yang terbaik untuk didatangkan dalam hidup kita. Satu hal yang tak boleh kita lupa, kita ini ciptaan-Nya, hidup dalam pengaturan-Nya. 

Tentang hijrah, jangan pernah berhenti memperbaiki diri. Tetaplah Istiqomah dalam taat kepada-Nya. Semoga dengan itu Allah mempertemukan kita dengan mereka yang memiliki tujuan sama, yakni menuju surga. 

Untuk saya, teman, atau siapapun yang hendak melangkahkan kaki menata diri lebih baik, ketahuilah ini adalah langkah besar. Sebuah langkah yang akan menentukan perjalanan panjang dalam memulai sebuah kehidupan. Dan sebelum kau berhenti pada titik setelah ini, ingat akan ada banyak rintangan yang harus dihadapi. Kuatkan hati dan jangan biarkan buyar lagi. 

Mencoba yang terbaik adalah sebuah usaha, dari kehidupan kemarin yang mungkin tak sesuai kuasa.

Rabu, 22 Januari 2020

Tentang Hari Ini dan Laku-laku di Masa Lalu



Beberapa hari terakhir ini entah kenapa saya lagi kangen! Kangen dengan buku-buku yang dulu selalu menemani. Kangen melihat jejeran buku di perpustakaan yang selalu mampu membuat betah. Termasuk, kangen nge-mall dan nongkrong di Gramedia, refreshing mata yang meski akhirnya ada sesak karena hanya mampu membeli satu-dua buku saja. 

Hmm... Meski bukan bermaksud merutuki nasib tinggal di kota kecil, nyatanya di saat seperti ini saya sedih karena di sini nggak ada toko buku besar. Nongkrong di perpustakaan pun seolah tak lagi sama. Tak sebebas dulu ketika masih muda alias masih menjadi mahasiswa. Yah, namanya juga proses hidup, Rin!

Akhirnya, ngebuka deh beberapa aplikasi buku digital dan nemu sebuah kutipan menarik dari Kuntowijoyo. Yang isinya kurang lebih begini;

'Sebagai hadiah, malaikat menanyakan apakah aku ingin berjalan di atas Mega. Dan aku menolak, karena kaki ku masih di bumi. Sampai kejahatan terakhir dimusnahkan, sampai Dhuafa & Mustadh'afin diangkat Tuhan dari penderitaan'.

Pemikiran Kuntowijoyo ini secara tidak langsung memaksa saya untuk mengaitkannya dengan 'paradigma profetik' yang kemarin-kemarin sedang digaungkan di kampus. Sebuah spirit keilmuan dengan meneladani semangat Rasulullah. Sebuah semangat untuk terlibat dalam sejarah kehidupan kemanusiaan, dan bukan untuk menjadi mistikus atau ilmuwan mendewa yang hanya puas dengan pencapaiannya sendiri.

Sebenarnya, dalam ranah ilmu sosial yang selama ini saya geluti, ini barangkali tak jauh berbeda dengan paradigma kritis. Aih kan... Lagi-lagi ini akan kembali mengembalikan memori. Betapa akhirnya saya pun harus mengakui kalau sebenarnya tidak hanya kangen dengan buku-buku itu, tetapi juga dengan laku-laku di masa lalu.

Saat diri ini masih sangat bebas untuk melangkah dan berpetualang. Ikut berbagai penelitian dosen yang kaya akan pengalaman dan manfaat. Karena ini juga loh, sebenarnya saya bisa S2. Fyi, dulunya, saya juga gak pernah ada niatan untuk kuliah S2 dan menjadi dosen, hahahaha. Cita-cita saya dari SMA adalah ingin menjadi penulis, dan karena aktivitas inilah saya berkesempatan untuk diajak bergabung dalam proyek-proyek penelitian. Hingga akhirnya, saya cenderung menikmati dan sempat terbesit untuk menjadi peneliti. Bahkan, setelah lulus S1, saya masih dengan gigihnya mencoba peruntungan untuk menjadi peneliti di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Meski gagal di tes terakhir.

Qadarullah... Rencana Allah selalu jauh lebih indah. Berkat dukungan keluarga dan dosen-dosen S1, dan tentunya ada kesempatan dari Allah, saya bisa S2. Dipikir-pikir lagi, sebagai seorang --yang katanya-- modernis tetapi terkadang pemikiran masih konservatif, saya akhirnya sadar kalau profesi peneliti barangkali kurang cocok untuk perempuan. Meski jiwa muda waktu itu sedang bergejolak, saya tentu masih sangat sadar tentang kodrat seorang wanita. Yang meski pada akhirnya nanti memilih berkarir, karirnya yang sekiranya tidak mengorbankan keluarga. Gak bayangin kan, gimana suami dan anak saya kalau harus ditinggal penelitian ke mana-mana, haha. Jadi, yah... Pilihan menjadi dosen adalah yang terbaik. Tempat di mana saya akan tetap bisa mengembangkan semangat belajar dan menulis.

Laku-laku lain yang juga tak kalah menuai rindu adalah masa-masa berinteraksi dengan anak-anak, ketika masih aktif melakukan pemberdayaan. Aktivitas 'Sekolah Sampah', taman 'Doli', sekolah sore di kampung kumuh Surabaya Utara, dan beberapa anak yang kami temui di lokasi penelitian yang menarik hati. Iya, sampai kami rela kembali mengunjungi daerah itu untuk hanya sekadar bertemu dengan Ulit dan kawan-kawan. Apa daya ingin menjadi orang tua asuh atau kakak asuh, tapi waktu itu kami belum bisa.

Kangen kalian gengs! Benar memang, mencari teman yang seirama itu susah. Dan mempertahankannnya jauh lebih susah, apalagi kalau sudah tidak sekota lagi seperti sekarang. Jujur, di tengah memori ini, saya merasa hidup saya kok semakin kosong, ya. Semacam gak ada gitu kegiatan produktif nan bermanfaat yang saya lakukan.

Tidak, saya tidak bermaksud menyesali keputusan untuk kembali ke kampung halaman. Saya juga tidak bermaksud menyederhanakan bagaimana saya berproses selama dua tahun terakhir. Karena nyatanya, itupun penuh dengan pembelajaran dan pendewasaan. Saya hanya merasa hampa, mungkin karena kangen kalian dan laku-laku di masa lalu yang patut diapresiasi karena turut andil membentuk diri.

Manusia memang seperti ini, kan? Merindukan yang lalu dan mempertanyakan yang di depan!

Namanya juga manusia, Rin! Hidup ya untuk berproses, dari satu step ke step selanjutnya. Tentunya, dengan harapan penuh ke Sang Pencipta, semoga proses-proses kehidupan menghantarkan kita untuk lebih taat kepada-Nya.  

Mungkin memang ranahnya saat ini sudah berbeda. Ranahnya bukan lagi untuk menjadi volunteer dan aktif di lapangan (sosial kemasyarakatan). Pasti ada arena lain yang disiapkan Tuhan untuk bisa kita maksimalkan. Fokus saja pada peranmu saat ini, untuk menjadi dosen yang bisa memotivasi dan menjembatani mahasiswa. Bukankah katamu, kesempatan itu harus ditularkan. Tak ada salahnya jika segala kesempatan yang dulu pernah diterima, kini kamu tularkan pada generasi berikutnya, kan? Tentunya, sembari terus berproses untuk menjalani peran selanjutnya, menjadi seorang istri dan ibu.

Jangan lupa, niatnya dilurusin lillah, ya, Rin! Lalu, jalankan prosesnya dengan benar, insha Allah akan ada hasil terbaik menurut Allah, bukan menurut manusia.

Pegang juga kata-kata ini, 'kalau kita nggak menghargai proses hari ini, lantas bagaimana cara kita mengapresiasi diri kita di masa depan?


Apa kabar Ulit dan anak-anak di sana ya? Terakhir kalau nggak salah kita ke sana tahun 2014, setelah itu saya sibuk dengan kuliah S2 dan kalian dengan pekerjaan. Hingga akhirnya, ternyata kita bertiga ditakdirkan untuk sama-sama meninggalkan Surabaya; kota yang penuh kenangan. 


Sabtu, 04 Januari 2020

Don't judge a book by its cover, Saatnya Melihat Mereka dari Sisi yang Lain



"Don't judge a book by its cover". Sebuah pepatah yang menggambarkan bahwa dalam hidup sehari-hari, banyak dari kita yang secara apriori menilai orang lain hanya sebatas dari penampilan luar. Entah itu pakaian, cara bicara, harta/kekayaan, atau hal-hal berwujud lainnya.

Nyatanya, menjadikan penampilan luar sebagai tolak ukur menilai seseorang memang adalah yang termudah. Bagaimana tidak, ketika bertemu seseorang untuk pertama kali, penampilan memiliki porsi skor terbesar. Kita akan cenderung melihat seperti apa pakaiannya, medok tidaknya dia berbicara, sikapnya, dan hal lainnya, yang pada akhirnya itu bisa membawa pada spekulasi, 'o.. dia orangnya begini dan begitu'. Atau malah yang lebih parah, dengan hanya berbekal omongan orang tentang si A, kita sudah sok-sokan menganggap tahu seperti apa si A itu. Padahal, belum tentu juga yang dikatakan itu benar. Selain dzu'udzon (negative thinking), kalau nggak Tabayyun, jatuhnya bisa jadi fitnah juga loh... Lol :D

Meski kita sudah tahu maksud dari ungkapan tersebut, nyatanya dalam praktiknya tetap aja susah. Bahkan, bagi kita yang katanya sudah berpikiran terbuka ini, pasti tanpa sadar kerap menilai seseorang hanya dari sekilas pandang. Iya nggak? Hayoo ngaku! Kalau saya sih, pernah.

Dulu, zaman S1 awal, saya masih ingat betul bahwa pernah memiliki kesan negatif ke orang dari penampilan luarnya. Waktu itu, kebetulan kami sedang kuliah kelas besar yang di dalamnya terdapat anak kelas  A dan B. Seperti biasa, duduknya tetap mengelompok dong! Hahaha..

Nah, sampai di pertengahan sesi, karena sepertinya yang duduk di bagian belakang gak terlalu mendengar atau gak paham materinya, ada seorang mahasiswi yang berani maju dan marah ke sang dosen. Dia bilang, sebagai anak kelas B yang notabenenya membayar lebih mahal (karena bukan kelas reguler), dia jauh lebih berhak untuk diistimewakan. Gak berhenti di situ, dia juga dengan beraninya ninggalin kelas!

Ajegile.... Apa yang ada dalam pikiranmu ketika melihat seseorang berperilaku demikian?

Pasti menganggap kalau si anak itu tidak sopan, dll, kan? Saya pun sama, beranggapan demikian juga. Apalagi, posisinya waktu itu saya sebagai anak kelas A yang jelas belum kenal siapa dia. Tapi lucunya, di semester dua dan selanjutnya, semesta seolah berkomplot mendekatkan saya dengan dia. Entah itu di kelompok penelitian, kegiatan kampus, hingga akhirnya, yah... Saya berteman dekat dengannya.

Dan yang ada di pikiran saya tentang dia sudah berubah bahkan hingga 180 derajat. Justru, sejak dekat dengan dia, saya mendapat banyak pelajaran. Sebenarnya, dia orang yang kritis, humble, ekspresif, dan tentunya seorang ekstrovert. Selalu ada pengalaman baru yang saya dapat ketika bersamanya.  Yah, meski memang awalnya dia cenderung bebas khas anak suroboyoan, sih, yang sering menghabiskan malam dengan keluyuran atau nongkrong, wkwk. Untungnya, perlahan kita sama-sama belajar untuk menjadi pribadi yang lebih baik, ya Bee.

Cerita lain datang dari teman semasa S2 saya. Di kelas yang hanya berjumlah 20 orang itu, ada seorang wanita yang berpenampilan serba hitam dengan sepatu boots serta tindik di hidung dan lidahnya. Ya, dulunya dia adalah anak punk, sebelum memutuskan untuk berhijab.

Saya yang notabenenya besar di lingkungan keluarga yang jauh dari nilai-nilai kebebasan seperti itu, ya kaget dong pasti! Tapi berkaca pada pengalaman zaman S1, selain dari teman seangkatan yang kemudian dekat, juga dari pengalaman waktu kuliah lapangan. Waktu kami harus berinteraksi dengan berbagai lingkungan sosial, mulai dari orang-orang yang hidup di kolong jembatan, anak jalanan, anak di kampung sampah, hingga para PSK, saya belajar kalau ada banyak hal yang tidak hanya bisa dilihat dengan indera penglihatan.

Jangan sampai, dengan hanya menggantungkan kemampuan indera, kita bisa dengan gampangnya memberi penilaian. Mata tetaplah mata yang hanya bisa melihat di permukaan, sedangkan kepribadian dan karakter seseorang bisa kita mengerti ketika melibatkan hati.

Lambat laun, sisi lain dari teman saya itu pun mulai terungkap. Meski mantan anak punk, dia seorang feminis sejati, yang waktu itu sangat terkenal dengan jargonnya 'Hancurkan Patriarki!'. Punya semangat belajar yang gigih, bahkan hingga ke jenjang doktoral. Tak hanya itu, yang paling mencolok adalah meski penampilannya cenderung 'sangar nan nyetrik', ternyata dia sangat memiliki kapasitas untuk jadi 'wanita idaman'. Orangnya sangat kreatif, entah itu dalam urusan jahit-menjahit atau bahkan masak-memasak. Hasil karyanya juga unik dan khas banget. Saya bahkan berani jamin kalau hasil kue buatannya itu gak kalah dengan kue artis kekinian; baik dari segi tampilan ataupun soal rasa.

Berpendidikan, pintar masak, pintar jahit, pintar ngurus rumah, sayang orang tua, adalah sisi lain yang mungkin gak akan terlihat ketika kita hanya mengandalkan melihat 'penampilan' saja. Oh ya, dia juga memiliki rasa sosial yang tinggi. Sampai sekarang dia masih menjalankan program sebar nasi bungkus tiap minggunya. Semacam donasi amal dalam bentuk olahan nasi, yang dimasak dengan tangan sendiri. Salut banget pokoknya ke mbak Hayu ini.

Dari sana, saya belajar bahwa setiap orang pasti punya sisi lain yang barangkali tidak terlihat karena tertutup oleh spekulasi sebagai efek dari penilaian penampilan luar. Dan benar kata orang bijak, ketika kita melihat seseorang dari penampilan, sebenarnya kita akan kehilangan banyak kesempatan bertemu orang-orang hebat.

Berkaca pada pengalaman tersebut pula, saya menyadari, bahwa selalu ada masa di mana kita menumpukan pendapat dari sesuatu yang terlihat. Itu memang tidak sepenuhnya salah. Karena sedikit banyak, penampilan luar memang akan mencirikan sesuatu yang ada pada diri seseorang. Kalau kata pepatah Jawa, “Ajining Diri Soko Lathi, Ajining Rogo Soko Busono”, yang artinya kualitas diri bisa dilihat dari omongan, sedangkan kualitas raga bisa dilihat dari pakaian.

Hanya saja, ada baiknya sebelum menilai kita bersedia meluangkan waktu untuk mengenali orang dari bagian lainnya juga. Mulailah melatih diri untuk menyelami sisi terdalam orang lain. Karena sebenarnya, ketika kita tidak hanya terpaku pada penampilan luarnya saja, akan selalu ada kejutan yang kita dapat. Seseorang yang awalnya kita kira biasa-biasa saja, atau bahkan kita remehkan, bisa jadi memiliki sisi lain yang istimewa nan luar biasa.

Mungkin sekarang kita harus lebih banyak menggunakan hati, karena hal-hal terbaik di dunia justru tak bisa dilihat dengan hanya mengandalkan mata. Ingat, selalu ada sisi baik dari setiap insan, meski penampilan luarnya cenderung tidak menyenangkan. Tuhan menciptakan manusia dengan luar biasa, dan tak ada yang diciptakan dengan sederhana. Saya, Anda, mereka, memiliki porsi yang sama untuk dinilai dengan lebih baik lagi.

Jadi, yuk, mulai sekarang ubah cara pandang. Dari yang awalnya hanya menilai dari kemasan luar menjadi lebih detail dengan sisi yang lain. Ketika kita mulai dilanda pikiran atau prasangka negatif dengan hanya mengandalkan penampilan luar, ucapkan pada diri sendiri, 'benarkah kesimpulan yang baru aku buat ini? Atau ini hanya prasangka yang berpotensi merugikan orang lain yang secara tidak langsung juga menghilangkan kesempatan kita untuk memetik banyak pelajaran darinya.

Bukankah tokoh sekelas Ki Hajar Dewantara pun pernah menyarankan, “Jadikan setiap orang sebagai guru dan jadikan rumah sebagai sekolah”? Tentu, maksud dari pernyataan tersebut lebih menekankan pada aspek memperkaya wawasan serta mengasah kepekaan akal dan hati, yang bisa didapat dari siapa saja dan di mana saja. Bahwa setiap orang sejatinya pasti memiliki “sesuatu” yang bisa diambil sisi baiknya.









Selasa, 31 Desember 2019

Jalan Keluar Itu, Kuncinya Satu; Berserah Diri Kepada Allah


Mengenai masa lalu kita belajar ikhlas
Mengenai masa depan kita belajar berserah
Tentang hari ini kita belajar sabar atas kepayahan
Tentang hari ini kita belajar bersyukur atas anugerah sesederhana apapun
Pada semua hal, intinya, kita bergantung pada-Nya agar senantiasa damai dan tenteram (Muslimah Mengaji)


Page 365 of 365

Biasanya, di detik-detik menjelang pergantian tahun seperti ini, orang akan sibuk melihat kembali resolusi awal tahun. Ya, meskipun seringnya banyak yang nggak tercapai, sih :D. Tapi, gak papa, setidaknya setelah itu akan ada momen refleksi, 'setahun ini sudah ngapain aja?'

Bagi saya pribadi, sebenarnya momen refleksi dan resolusi biasa dilakukan di bulan Mei; bulan kelahiran. Tetapi, karena di awal tahun kemarin saya sempat ikut kelas Muslimah Institute yang mengharuskan untuk membuat 'Target Plan 2019', jadi semacam keharusan untuk merefleksi apa yang sudah saya lakukan di tahun ini. Atau, setidaknya apa pelajaran yang saya dapat untuk kemudian menjadi bekal pendewasaan.

Sebagai orang yang sangat menghargai proses, yang yakin bahwa selama niatnya baik, prosesnya baik, maka hasilnya juga insha Allah baik, ada satu kesimpulan 'ketika kita berserah diri hanya kepada Allah, maka Dia akan datangkan nikmat yang bertubi-tubi'.

Sedikit bercerita, tahun 2018 lalu ibarat hospital trip bagi saya dan keluarga. Bagaimana tidak, di sepanjang tahun itu, ibu harus bolak balik ke rumah sakit bahkan hingga masuk ruang operasi 4 kali. Belum lagi, di pertengahan tahun, adek saya yang niat awalnya pulang dari Jakarta karena ibu yang sakit, ternyata juga harus melakukan operasi ginjal ESWL ke RSAL Surabaya, dan yah.. meski akhirnya juga harus menjalani operasi bedah dan itu berbarengan dengan operasi ibu yang ketiga kalinya.

Bingung, pasti. Tidak saja karena masalah dana, tetapi juga lebih pada bagaimana caranya untuk tetap survive dan tersenyum. Untuk tetap yakin bahwa apa yang terjadi pada saya dan keluarga adalah yang terbaik, menurut Allah. Untuk tidak berburuk sangka. Untuk selalu memegang teguh ayat-ayat suci, yang salah satu isinya menyatakan bahwa segala sesuatu yang terjadi sama kita selalu 'Liman Aroda', kaitkan semua sama Allah.

Minimal kita bisa bersabar, ucap Ayah waktu itu. Syukur-syukur kalau bisa naik ke level 'Ridho' atas ketentuan Allah, atau bahkan hingga level tertinggi yakni bersyukur. Bersyukur atas segala yang terjadi, baik suka maupun duka. Dan Allahuakbar, maha benar Allah dengan segala firman-Nya. Ketika kita bersyukur dan bertaqwa atas apa yang terjadi dalam hidup, maka akan ada jalan keluar yang tidak disangka-sangka (At-Thalaq: 2).

Menjelang pergantian tahun 2019, dokter kembali merujuk ibu untuk operasi yang ke-5 di RS ternama di SBY. Tetapi, waktu itu ibu memilih berpasrah, menyerahkan semua pada Allah. Akhirnya, awal tahun 2019 benar-benar kami awali dengan kepasrahan dan khusnudzan kepada Allah. Sembari terus berbenah diri, termasuk untuk urusan kesehatan yang sebenarnya juga Islam telah mengajarkan semuanya. Mulai dari pengobatan ala Rasulullah dengan bekam, rutin mengonsumsi madu dan kurma, olahraga, dan lainnya.

Alhamdulillah, seiring berjalannya waktu, kesehatan beliau pun membaik. Hingga di suatu waktu, ada orang yang menjadi perantara untuk ibu mendapatkan kacamata khusus penderita Glaukoma dari WHO. Alhamdulillah, saat ini ibu bisa beraktivitas seperti semula, bahkan bisa mengaji hingga 3 jus per hari, sebuah hal yang dulu sempat dianggap  mustahil untuk dilakukan kembali. Sungguh, nikmat manakah yang kau dustakan?

Bisa dibilang, ini hanyalah secuil contoh kisah yang harus saya syukuri. Selain itu, tentu banyak hal mengagumkan yang tentunya wajib disyukuri, namun tak perlu dijelaskan. Ketika memikirkan proses kehidupan yang sudah atau sedang dijalani seperti ini, tidak bisa tidak, untuk kita mengaitkan niat awal dengan hasil akhir.

Bismillah.. Apapun resolusimu di tahun 2020, tetaplah selalu berbaik sangka pada ketetapan Allah. Bismillah.. untuk semua yang terbaik menurut Allah. Percayalah, ketika kita hanya berserah pada-Nya, hikmah dan jalan keluar akan benar-benar terbuka.

Dan sebagai manusia, tak perlu lah kita sok tau... Karena sejatinya, yang kita sukai belum tentu baik dan membawa kebaikan untuk hidup dalam jangka panjang. Begitupun sebaliknya. Bisa jadi, justru dengan cara jatuh-bangun ini, adalah cara Tuhan untuk memperbaiki hidupmu.

Oh ya, satu lagi, jangan sampai seringnya aktivitas scroll di medsos atau melihat kehidupan orang lain, memengaruhi cara berpikir dan merasa. Jangan sampai kita merasa hidup si A lebih enak, sedangkan hidup kita jauh kekurangan atau begini-begini saja. Ingat, kamu hanya tidak tahu perjuangannya yang berdarah-darah, karena yang ditampilkan hanyalah kebahagiaan atau pencapaian.

Bagaimana kalau dari sekarang, kita mulai bersyukur banyak-banyak atas pencapaian atau apapun yang ada dalam hidup kita. Tak perlu kecewa jika ada doa yang belum menjadi kenyataan, karena Allah lebih tahu waktu terbaik untuk mewujudkan. Yakini saja kalau akhir dari semua ini pasti bahagia. Aamiin..

Untuk diri, terima kasih telah mengambil banyak peran. Jatuh - bangun, patah - tumbuh; semua jadi pelajaran. Jangan lupa terima kasih pada Tuhan karena telah menguatkan. Semoga harapan dan doa yang dihaturkan, segera menjadi kenyataan. 

Selamat datang tahun yang baru, semoga Allah senantiasa melindungi kita dalam keteguhan iman dan Islam. 

Pamekasan, 31 Desember 2019

Senin, 24 Juni 2019

Bertumbuh bersama Masalah


Bukan dunia namanya jika tidak ada suka dan duka. Karena memang seperti itulah tujuan dunia ini dicipta. Keduanya akan tiba silih berganti sesuai masa. Pun percuma jika kau berusaha tuk mengingkari, karena segalanya telah tertakdirkan dengan pasti.
-----
Sewaktu SMA, entah kenapa berbeda dengan kebanyakan kelas lain yang umumnya akan meng-quote kata bernada semangat atau motivasi, kelas saya justru menampilkan tajuk 'Bersahabatlah dengan masalah'. Sebuah tulisan yang terpampang nyata di dinding kelas untuk selalu mengingatkan bahwa sejatinya hidup itu sendiri adalah masalah, dan tidak ada pilihan lain selain mencoba bersahabat dengannya.

Tentu, makna 'masalah' yang dulu kami pahami sangat jauh berbeda dengan pemaknaan yang telah berproses oleh waktu. Karena sejatinya, masalah memang demikian bukan? Diberikan sesuai kemampuan.

Yah, ini juga tentang bersyukur dan sudut pandang masing-masing.

Setiap orang pasti punya masalah, punya sedihnya masing-masing. Pun demikian dengan bahagia. Jadi, seberat apapun masalahmu, jangan mengira semesta jahat padamu. Kamu hanya sedang diuji!

Mengeluh, boleh saja. Karena itu menandakan kita sebagai manusia yang lemah dan penuh kekurangan. Tapi, jangan sampai karena saking seringnya mengeluh kita sampai lupa untuk berterima kasih. Padahal sebenarnya, jika kita jeli, nikmat Allah pun tetap ada di setiap masalah itu sendiri.

Saya pribadi, dari segala masalah dan ujian yang hadir --baik bagi diri sendiri, keluarga, ataupun teman terdekat-- hingga proses ketika melewati setiap perjalanannya, kian percaya akan kasih sayang Allah SWT yang senantiasa menemani.

Sama halnya seperti saya, pahami baik-baik kalimat di bawah ini, dear.

Kamu tidak harus berubah. Banyak yang memaksakan diri untuk berubah, ujung-ujungnya malah kembali kepada dirinya yang semula --diri yang penuh cela, diri yang ingin diganti.

Namun, kamu harus bertumbuh. Pilihlah untuk menjadikan masalah dan perjalanan sebagai pelajaran hidup yang membuat dirimu semakin 'kaya'. Biarkan rangkaian perjalanan itu membuat dirimu dipahamkan --mengubah dirimu.

Tumbuhlah besar; besar ilmu, besar amal, besar cita-cita, besar cinta, besar ikhlas, besar tawakkal, sabar, dan syukurmu. Dan, bukan besar kepalamu.


Tumbuhlah dewasa. Kamu tak pernah terlalu muda untuk itu.
Dan benar, selama hidup kita memang harus bersahabat dengan masalah dan dari sanalah kamu bisa bertumbuh. ;)

Nb. Foto adalah cover salah satu buku antologi saya. Kurang lebih isinya juga tentang bagaimana orang-orang akhirnya bisa memahami bahwa ada pelangi selepas hujan, bahwa pasti ada hikmah di balik ujian.