Rabu, 27 Oktober 2010

Senyum Duka di Langit Kota



Masih seperti hari yang lalu. Bulan selalu saja berbagi tugas dan waktu dinas dengan mentari. Jika Bulan datang pada pekat malam gulita, maka matahari datang pertanda fajar kan menyapa. Ayam jantan mulai meneriaki penghuni bumi tuk segera terjaga dari mimpi alam bawah sadar. Cicit cericit burung nan merdu perlahan hadir mengalunkan syair indah di pagi sunyi.
Hari yang cerah kembali membangunkan semangat yang sempat istirahat dalam lelah hari yang lalu. Hmmm... semoga cerahnya mentari juga menyinari hati insan di bumi. Harapku....
Hari ini, hari yang jauh berbeda dalam memoar hari hidupku. Ya.... hari ini aku menjadi anak jalanan. Tak pernah terbesit dalam benak, episode kehidupan ditengah kerasnya jalanan. Tapi, apa mau dikata. Pergantian waktu tak dapat dielak, perubahan adalah sebuah realitas yang harus dihadapi sebagai konsekuensi logis atas akhir dari sebuah langkah.
Bagaimanapun juga, aku hanyalah manusia yang tak kuasa atas jalan hidupku...
Dengan gontai, langkah kaki mulai menapak panasnya aspal jalanan. Rambut tanpa sisir, dan baju kumal menambah kelabu tubuhku dalam kemuraman. Kuberanikan diri bergabung dengan komunitas baruku. Walau canggung, dan takut bersembunyi di balik gagahnya langkah. langkah yang sebenarnya penuh dengan ketakutan akan ganasnya jalanan lepas.
Asing... begitulah yang kurasa. Harus kuhabiskan hari ini disini, bergumul dengan para pejuang jalanan yang berjarak agak jauh dari keberadaanku. Aku hanya bisa diam dalam fokus pandangan. Pandangan akan realita hidup jalanan sebuah kota besar. Kota dengan segala kemegahan, keindahan dan kompleksitasnya. Dari kerling gemerlapan hingga sudut-sudut gelap gulita penuh kemuraman. Huh... barangkali inilah uniknya kota. Semuanya serba ada disini. mulai dari golongan berduit yang bisa menikmati indahnya suguhan sang kota, hingga golongan proletar yang hidup di sudut-sudut pemukiman yang kumuh, layaknya sampah. Termasuk aku saat ini.

XXXXX

Terjaga tanpa gerak. Sesosok gadis dengan rambut ikal dan kulit sawo matangnya, menghampiriku yang hanyut dalam lamunan riuh medan raya.
“ hey... ngapaen kamu bengong disini?”
“Hmmmm....”
“ ditanya kok malah diem... anak baru ya?”
“i..iya....”
“gak usah takut gitu, aku santi.”
“a...aku vista.”
“ow... vista. Kamu kenapa takut? Emangnya aku nyeremin ya?trus napa tuch kamu kok murung segala?”
“aku gak tau aku harus gimana?”
“ udah gak usah sedih gitu, yuk ikut aku aja....
Aku kasik tau ya... terkadang hidup memang memaksa kita tuk menangis, tapi... kita harus tunjukkan bahwa kita memiliki sejuta cara tuk tersenyum bersamanya. Ok... gak ada yang namanya anak jalanan cengengdan penakut !!!” ucapnya.

XXXXXX

Matahari tegak dalam birunya langit. Menyaksikan aku menaruh takdir hidupku di jalanan keras. Santi mengajakku bergabung dalam sekawanan mereka. Lihatlah pemandangan ketika lampu lalu lintas mengisyaratkan warna merah, pemandangan di perempatan jalan layaknya semut yang berhamburan menghampiri gula, seperti itulah pemandangan di beberapa sudut kota besar di indonesia. Anak-anak jalanan menghampiri orang-orang yang terpaksa berhenti karena aturan, mereka menjulurkan tangan dengan wajah memelas, mengelus-elus perut kecil mereka. sebuah interaksi yang mengisyaratkan bahwa mereka sedang kelaparan dan berharap belas kasihan demi sesuap nasi.

“Pak... kasihanilah kami, kami belum makan” atau
“Mbak... ayo mbak buat beli makan mbak.”

Dan aku, bersama santi tentunya. dengan bermodalkan sebatang kayu yang dihiasi beberapa tutup botol, hingga bisa mengeluarkan bunyi tiap kali dipukul. Ecrek-ecrek begitu orang memanggilnya. Dan Dengan begitu percaya diri kita menyenandungkan lagu-lagu hits layaknya musisi di depan para fansnya, berusaha menarik perhatian para pengguna jalan agar mau menbayar suara cempreng ini meski dengan uang receh.
Hadir sebuah kepuasan tersendiri setelah beraksi di jalanan. Terlebih lagi selalu tercipta senda gurau dengan teman-teman.
Tapi.... oh, tidak. Kami tersentak oleh segerombolan pria dewasa. Berpakaian hitam, celana bolong-bolong, rambut gondong, plus wajah sangar yang menambah kebringasan. Firasatku, akan terjadi sebuah peristiwa. Kekhawatiran menyelimuti, pikiran berkecamuk tiada henti. Keteguhan hati memintaku tuk diam. Bagaimanapun juga aku sedang bertugas tuk meneliti ini semua. Jangan sampai semua ini terungkap. Bukan saatnya.
Segerombolan itu makin mendekat, menghampiri dan mengelilingi kami. Mereka mulai menggerayangi kantong-kantong atau tempat persembunyian lain. Diam, kami hanya bisa diam melihat senyum sungging bahagia mereka. Sejumlah uang yang kami dapat dengan susah payah, harus leyap dalam sekejap oleh preman-preman itu.
Raut sedih anak jalanan menghantar kepergian preman-preman jalanan itu. Mereka terdiam. Lampu merah kembali menyala. Alat musik dibawa turun ke jalan. Aku tersenyum. Penderitaan telah habis terjadi. Semangat mereka masih menetes dalam cucuran keringat panas sang kota. Namun, tak lama setelah itu. Suara mobil patroli polisi membahana. Kami berhamburan menyelamatkan diri dari terjangan aparat tersebut.

“ Makin sering saja gerombolan itu mengganggu, kalo gak dijalanan darimana kami dapat makan.” Ucap salah satu anak dalam sekawanan baruku itu.

Beginilah hidup dalam kerasnya jalanan. Walau aku tau kesengsaraan menyelimuti. tawa, canda ceria dan senyum manis tak pernah hilang dalam raut wajah polos. Kesana kemari mengarungi jalanan tanpa beban, ringan dan lincah. Keceriaan mereka tak ubahnya seperti keceriaan anak-anak yang bisa menikmati indahnya bermain di lapangan bersama gerimis kecil yang menanti pelangi. Bersama derap langkah yang saling mencipta pelangi dalam sebaris tawa bahagia.
Oh... andai saja mereka bisa menikmati itu, tentu bahagia lebih kan menyelimuti mereka. Lalu, Adilkah ini bagi mereka? Apa salah mereka? Yang jelas, mereka tak pernah meminta dilahirkan dalam keadaan seperti ini.
Ya tuhan... sungguh besar kuasamu. Kau semaikan ketegaran dalam diri anak-anak yang hidup dalam ketidaksempurnaan ini. Hingga mereka menjelma bak batu karang yang kokoh walau terhempas ombak kehidupan. Walau sedih tengah remuk dalam benak, hanya senyumanlah yang jatuh dalam hari.
Sangat jauh berbeda denganku dan mayoritas putra-putri kota yang lain. Yang hanya bisa menikmati kehidupan dalam suka, dunia hedonis, dan kemegahan sang kota itu sendiri.

XXXXXX

Setelah puas bergelut dengan debu dan panasnya kota. Mega pun mulai mengantar sang senja ke peraduannya, tanda tirai malam kan tersibak. Menutup hari para insan yang kaya akan makna. Begitupun dengan mereka, lelah telah menutup hari. Menanggalkan segala rasa yang tercipta di arena medan raya. Dan terganti oleh waktu tuk merebah lelah.
Teman-teman seperjuanganku mulai peduli akan kehidupan cacing-cacing dalam perutnya. Begitupula aku dan santi. Bersama kami menikmati indahnya dinner dibawah cahaya bulan tengah kota.
Malam semakin larut, dinginpun makin menusuk. Biasanya, begitu berat kelopak mata ini tuk bertahan. Tapi tidak untuk malam ini, untukku dan santi. Kita semakin larut dalam cahaya bulan yang berkisah. Setelah tiga hari aku bersamanya mengarungi jalanan hidup ini, aku semakin mengenal sosok sahabat baruku ini.
Santi, gadis berusia 16 tahun. Wah.... aku baru merasa lebih berumur bersamanya. Dia 3 tahun lebih mudah dariku. Tapi untunglah aku dianugrahi sebuah wajah babyface plus postur tubuh yg tidak terlalu tinggi. Jadi... selalu kelihatan seperti anak smp, hehe....
kembali ke santi. Dia mulai bercerita tentang kisah kelabu hidupnya yang dimulai sejak dia dan keluarganya menginjakkan kaki di kota ini.

“Aku ke kota ini bersama bapak, ibu, dan kakak perempuanku. Kami merantau ke kota ini dengan harapan bisa mendapat kehidupan yang lebih baik daripada di desa yang hanya bisa jadi petani. Atas dasar itulah keluargaku nekat menerjang gagahnya kota ini. Tapi sayang, nasib baik tak pernah berpihak pada kita. Bapak tak kunjung memperoleh pekerjaan, begitupun dengan ibu. Sementara uang simpanan yang kami bawa dari desa semakin menipis oleh kebutuhan dan biaya sekolah aku dan kakakku. Hingga akhirnya, bapak dan ibuku terpaksa menekuni pekerjaan sebagai pemulung. Penderitaan tak berhenti hanya disitu, ibuku terjangkit demam berdarah akut, maklum kami hanya tinggal di kolong jembatan yang kumuh bersama riak-riak air tempat nyamuk bersarang. Waktu itu....hiks...hiks...”

santi menangis... seakan duka sangat menusuk hatinya. Tapi, dia mencoba tuk menampik itu semua.

“ waktu itu, kami membawa ibu kerumah sakit. Tapi apa? Dengan sejuta alasan mereka menolak kami. Kami tidak dilayani. Mungkin mereka takut merugi menolong orang bawah seperti kami, yang tak berduit... hiks...hiks.... hingga, ibuku menghembuskan nafas terakhirnya. Aku tak habis pikir, bukankah mereka ada untuk menolong orang sakit? Tapi mengapa tidak untuk ibuku? Hiks...hiks...
tangisnya makin menjadi. Jujur, aku juga tak mampu menahan bulir-bulir air mataku.
“ Sabar ya san.... tuhan tidak akan menguji hambanya diluar batas kemampuannya”
“Dan kau tau? Tuhan tak juga menghentikan ujiannya kepadaku. Setelah kepergian ibu,aku dan kakakku putus sekolah. Tak ada lagi kesempatan bagi orang miskin seperti kami untuk ikut mengenyam pendidikan. Dan kakak perempuanku mulai tak tahan dengan kehidupan ini, dan dia.... melacur...!
dan bapakku, dia tak bisa menerima semua takdir ini. Kehilangan dua orang terkasih dalam waktu singkat. Bapakku mulai hidup sendiri dalam dunia mayanya, dia gila. Hiks....
aku sering bertanya, tapi tak pernah ada yang memberiku jawaban. Mengapa aku ditakdirkan seperti ini? Apa salahku? Mengapa semuanya tak adil? Hiks...hiks...”

Tuhan.... santi, teman baruku yang kelihatannya penuh ketegaran dan keceriaan. Ternyata, episode hidupnya sarat akan tangis.
Aku hanya bisa membisu, tak mampu berucap jawaban itu. Aku tenggelam dalam tanyanya.
Kota....tahukah kau akan hal itu? Dibalik kegagahan yang kau tunjukkan, ternyata banyak luka yang menggerogotimu. Kau di desain untuk menjadi pusat dari segala kegiatan masyarakat, semuanya serba ada dan berkembang sangat cepat. Pertumbuhan ekonomi lebih bersifat dinamis, berbeda dengan di desa yang cenderung statis. Pembangunan nasional yang dilaksanakan juga lebih tersentral hanya padamu, desa hanya menjadi anak tiri dari pembangunan negeri ini. Desa hanya dipandang sebuah hamparan sawah yang terpelosok yang hanya layak ditanami padi.
Industrialisasipun semakin menjamur di tempat yang bernama kota, dan berhasil menghegemoni masyarakat desa untuk merantau, menantang hidup di wilayah orang dengan harapan penghidupan yang lebih baik dari kehidupan di desa yang notabenenya hanya akan bekerja sebagai petani. Sehingga tingkat Urbanisasi terus meninggi tiap tahunnya, menambah sesaknya kehidupan kota sedangkan tidak semua dari mereka akan tertampung dan mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak.
Dan ketika industrialisasi mulai tumbuh, dan teknologi sudah menjadi surat kabar yang setiap hari menawarkan sesuatu yang baru, membuat kita menjadi masyarakat yang tak bisa hidup tanpa teknologi. Menuntut individu untuk mengubah pola solidaritasnya menjadi pola solidaritas yang lebih rasional secara materi, semuanya dilihat dari kacamata untung ruginya. Seperti yang dialami santi dan keluarganya. Dan mungkin, masih banyak keluarga dalam nasib hidup yang sama.

“ Kau tidak salah san... kau hanya korban dari keegoisan keadaan. Tapi, tahukah kau? Kau menang... kau tidak kalah oleh keadaan, kau tidak tunduk padanya. Kau kuat...
Kau mampu tetap tersenyum walau sebenarnya hidup ini sangat berat bagimu. Ingat gak san, kau pernah bilang, terkadang hidup memang memaksa kita tuk menangis, tapi... kita harus tunjukkan bahwa kita memiliki sejuta cara tuk tersenyum bersamanya.”
“hiks... kau benar vis....
Aku hidup karena tuhan, dan untuk tuhan. Tak ada alasan bagiku tuk mengingkari takdirnya. Aku harus tetap terenyum menerimanya.”

Rembulan tersenyum melihat dua gadis larut dalam peluk hangat sang malam.
Tuhan... sekarang aku tahu rahasia dibalik jalan takdirku. Kau telah mengirimku tuk belajar banyak dari keadaan ini. Sesungguhnya semua yang kau gariskan tuk hambamu adalah jalan hidup yang terbaik, walaupun itu pahit. Didalamnya pasti terdapat sebuah hikmah akan kebesaran kuasamu. Puji syukurku untuk kehadirat_Mu selalu...
Oh dosenku, tugasku... kau yang ku kira akan menyiksa hariku, ternyata kau mengantarkanku untuk masuk dalam episode hidup ini... Terima kasih ^^
Santi.... terimakasih atas semuanya. kau orang terkuat yang pernah menghiasi episode hidupku. Darimu ku belajar ketegaran, arti sebuah hidup, dan perjuangan. Dan sekarang, izinkanlah aku memberi secercah mimpi indah dalam senyum hidupmu, wahai adik baruku....

XXXXX