Selasa, 28 Januari 2020

Bismillah, Hijrah!


Berat, iya berat. Tapi ingat, bahwa setiap diri sudah pernah berucap perjanjian primordial masing-masing kita dengan-Nya. Lalu, sudah sampai mana pembuktiannya?


Di musim penerimaan CPNS seperti sekarang, orang-orang umumnya akan sibuk bertanya ke mana diri akan mendaftar. Tapi, kali ini bukan itu fokus yang hendak saya tuliskan. Ada hal lain yang kemudian berhasil membawa saya kembali pada perenungan. Ini dimulai ketika salah satu teman saya bercerita bahwa dia hendak ikut di tempat lain (dibanding tempat di mana sekarang dia bekerja), dengan salah satu alasannya yakni ingin hijrah. Dan barangkali, di tempat yang baru bisa bertemu jodoh, begitu katanya. 

Berbicara soal hijrah, yang secara sederhananya dapat diartikan berpindah, saya dipaksa untuk kembali ke masa lalu; bahwa saya dulu pernah mengalami hal yang hampir serupa, meski dalam konteks berbeda. 

Secara latar belakang keluarga, saya memang lahir dan tumbuh dalam keluarga yang bisa dibilang agamis. Tetapi, dari kecil ayah dan ibu saya tidak pernah memaksa atau menuntut anaknya harus seperti apa. Kecuali untuk selalu mengingatkan agar tidak melenceng dari ajaran dan aturan agama, serta menjadikannya sebagai modal utama hidup. Sedangkan tentang proses untuk berislam secara kaffah, kedua orang saya tidak pernah memaksakan untuk itu.

Ya layaknya sebuah perjalanan, itu membutuhkan sebuah proses. Dan proses masing-masing orang bisa jadi tidak sama. Yang terpenting, dalam setiap prosesnya kita selalu menyertakan hati, bukan? Jelas, agar tidak dijalani secara terpaksa. 

Itulah mengapa, dalam hal pendidikan, orang tua saya tidak pernah memaksa harus masuk di pondok A atau jurusan B. Anak-anak bebas menyuarakan haknya, meski orang tua yang tetap akan mempertimbangkan baik buruknya. Dan nyatanya, dalam keluarga saya, hanya saya saja yang gak pernah mondok. Hanya saya yang gak bisa bahasa Arab. Dan hanya saya juga yang nggak kuliah di universitas berbasis Islam. Ya memang sih, saya juga pernah ikut pesantren ramadhan di pondok salah satu famili ibu di Sidoarjo. Tapi kan, tetap aja, tinggalnya di kompleks kediaman kyai, jadi gak ngerasain juga gimana rasanya menjadi anak pondok. Dibanding kedua adik saya yang alumni TMI Al-Amien Prenduan dan Tambak Beras Jombang, saya mah apa atuh. Pemahaman agama dan amalan juga masih apalah-apalah ini. Duh...

Berbicara tentang hijrah, semasa S1 niatan itu hadir.. dan salah satu faktor pendukungnya adalah karena seseorang. Iya, seorang kakak kelas tiga tingkat di atas saya, yang akhirnya juga menjadi cinta dalam diam saya waktu itu, wkwkw. Beliau yang selalu menundukkan pandangan, santun, cerdas, kalem, dan mawapres (mahasiswa berprestasi) lagi. Meski beda jurusan, saya kenal dengan mas X ini di Social Study Club. Beliau yang pertama kali mengajarkan serta membimbing saya untuk ikut PKM dan berbagai lomba karya tulis. 

Tentu dong, saya kagum. Hingga akhirnya saya tergerak untuk berubah, berbenah, dan mendalami agama secara lebih mendalam. Oke, saya akui ini memang niat awalnya sudah salah, bukan karena lillah.

Bersama sahabat saya, yang juga ngefans sama sahabat si mas-nya, jadilah kami selalu hadir di kajian fakultas yang notabenenya pasti dihadiri oleh mas-mas itu. Perlahan, cara busana yang awalnya fashionable unyu-unyu kami ubah, ya meski belum bergamis juga, sih. Jujur, kami pun pernah berharap bisa dapat suami yang paham agama macem mereka, ya kan Nit? Inget gak? Haha..  Bahkan, dengan hanya panggilan 'Dek Orin' saja udh meleleh, loh. Iya, segitu senangnya dulu saya dipanggil dengan embel-embel itu oleh masnya. Meleleh adek, bang! Lebay, ya. Tapi, ya begitulah adanya. Namanya juga orang lagi jatuh cinta. 

Namun, tak lama, karena beliau adalah mahasiswa angkatan 2006, sedang saya 2009, hanya sekitar 1 tahunan lah ya bisa ketemu di kampus, setelah itu masnya lulus. Bak ditinggal seseorang yang selama ini menjadi motivator, niatan itu pun perlahan mulai goyah. Jadi, saya paham banget, kalau hijrah itu sebenarnya mudah, tapi Istiqomahnya yang susah. Harus ada dukungan dari lingkungan. 

Alhasil, karena niat awalnya bukan karena lillah, ya kami kembali seperti mode awal. Ikut kajian sudah tidak serajin sebelumnya, pakaian juga sudah mulai bercelana 'jeans' lagi. Yang selalu menjadi pembenaran adalah alasan fleksibilitas mengingat seringnya kita kuliah lapangan. Atau, ke mana-mana sudah lupa untuk memakai kaos kaki, apalagi musim hujan kawasan kampus sering banjir, dll. 

Alah... Itu mah alibi kalian aja, Rin! Bilang aja, karena niat awalnya sudah salah, hanya karena ingin dilihat manusia!

Kembali lagi ke saat ini, ketika teman saya bertanya, 'Orin gak pengen hijrah juga?'

Saya jawab, saya ada di sini dan ngajar di IAIN itu sudah bagian dari hijrah. Kenapa saya bilang begitu, ya karena dulu saya pernah berdoa untuk selalu dipertemukan dengan orang dan lingkungan yang bisa mendekatkan saya dengan-Nya. 

Kepulangan saya kembali ke Pamekasan pun, jujur memang saya niatkan untuk itu. Untuk hijrah menjadi lebih baik. Bukan berarti selama ini nggak baik loh ya, tapi mengingat serangkaian proses iman yang naik turun, saya sadar bahwa saya butuh suasana yang selalu bisa menguatkan. Terlebih, saya juga sadar kalau orang tua semakin menua, kapan lagi saya bisa berbakti ke beliau. Iya kalau setelah menikah saya bisa tetap tinggal dekat dengan beliau, kalau tidak? Tahu kan, kalau cewek setelah menikah baktinya akan berpindah, berbeda dengan cowok. Makanya, saya pikir, sebelum waktu itu tiba, puas-puasin dulu. Udah cukup merantau dan jadi anak kosnya dari SMA sampai S2. 

Hingga akhirnya, setengah tahun setelah saya pulang, saya ngajar di kampus agama itu. Mungkin ini doa orang tua juga kali ya. Secara meskipun beliau gak pernah maksa, saya tahu ayah dan ibu juga sering ngode. Misal, bilang kalau saya lebih anggun pake rok atau gamis lah dibanding celana, atau sering ngajak diskusi tentang agama, dll. Dan benar, setelah kerja di kampus tersebut, celana dan baju-baju unyu itu resmi saya tanggalkan. Memang, pakaian itu hanya sebatas simbol, tetapi menurut saya itu juga bagian dari proses untuk menuju perubahan yang lebih baik. 

'Orin tambah shalihah ya' komentar Nila, sahabat saya semasa S2 beberapa waktu yang lalu. 

Tidak... Tidak... Saya masih jauh dari kata shalihah. Saya hanya perempuan akhir zaman yang masih sering lemah iman, dan karenanya selalu minta didoakan untuk bisa Istiqomah. Selalu berharap dipertemukan dengan orang-orang yang bisa saling mengingatkan dalam kebaikan, termasuk jodoh pun demikian. Eh gimana, hihihi... 

Berbicara Istiqomah dalam hijrah, itu tidak pernah mudah. Akan selalu ada ujian untuk melihat sejauh mana niat dan kesungguhan kita untuk berbenah. Saya misalnya, yang awalnya niat hijrah untuk lebih 'birrul walidain', akhirnya harus dihadapkan pada ujian yang berhubungan dengan itu sejak akhir tahun 2017 hingga sepanjang 2018 (bahkan hingga pertengahan tahun 2019, karena masih pemulihan). Ibu yang sakit dan harus menjalani operasi pengangkatan rahim dan glukoma hingga 4 kali, jelas langsung membuat saya mau tidak mau harus mengambil alih semua urusan rumah tangga. Tak hanya merawat ibu yang sakit, ada ayah dan adek yang harus juga saya perhatikan. Apalagi, adek bungsu saya masih SD yang notabenenya masih belum bisa mandiri, dan belajar pun masih harus didampingi. Pun demikian dengan pekerjaan (dosen dan penulis Kontenesia) yang tentunya tidak boleh seenaknya ditinggalkan. 

Hmm... Pokoknya udah kayak bu-ibu rumah tangga gitu deh. Sampai-sampai, sering dikira mamanya Alfan karena seringnya antar jemput dan hadir di pertemuan wali murid SDI Al-munawarah hahahaha. 

Ingat masa-masa itu, kadang nggak nyangka juga kalau Orin yang dulu semasa kuliah lekat dengan julukan 'Upin Ipin' atau anak kecil, ternyata bisa sekuat itu ya Allah. Terima kasih sudah menguatkan dan membersamai di masa-masa sulit kemarin. Ya begitulah, pertolongan Allah selalu datang, termasuk salah satunya dengan cara menguatkan hati. 

Beda lagi jika ujiannya berupa ujian hati! Bikin pusing karena setiap harinya jalan-jalan terus di kepala dan hati. Iya, dia. Seseorang yang beberapa waktu terakhir kusebut namanya dalam doa. Hmmm... Lemah lagi, kan!

Hai, hati yang sedang menunggu. Semoga kamu diluaskan dalam ketenangan, dibesarkan dalam keikhlasan, diteguhkan dalam keimanan, dan dilancarkan dalam kemudahan. Percaya saja ya, cara-Nya akan begitu indah. 

Yah, untuk urusan hati ini, saya memang masih berjuang untuk benar-benar berkomitmen pada Allah. Untuk menitipkan cinta ini kepada-Nya dan biarkan Dia yang melabuhkan cinta kita dengan yang dikehendaki. 

Dari berbagai proses hidup, saya belajar bahwa tentang keinginan kadang tidak perlu pusing memikirkan bagaimana nanti. Sama halnya seperti hati, waktu juga dalam genggaman Allah, kan? Serahkan semuanya pada-Nya. Dia yang paling tahu kapan waktu terbaik untuk mewujudkan semua ingin kita, dan mana yang terbaik untuk didatangkan dalam hidup kita. Satu hal yang tak boleh kita lupa, kita ini ciptaan-Nya, hidup dalam pengaturan-Nya. 

Tentang hijrah, jangan pernah berhenti memperbaiki diri. Tetaplah Istiqomah dalam taat kepada-Nya. Semoga dengan itu Allah mempertemukan kita dengan mereka yang memiliki tujuan sama, yakni menuju surga. 

Untuk saya, teman, atau siapapun yang hendak melangkahkan kaki menata diri lebih baik, ketahuilah ini adalah langkah besar. Sebuah langkah yang akan menentukan perjalanan panjang dalam memulai sebuah kehidupan. Dan sebelum kau berhenti pada titik setelah ini, ingat akan ada banyak rintangan yang harus dihadapi. Kuatkan hati dan jangan biarkan buyar lagi. 

Mencoba yang terbaik adalah sebuah usaha, dari kehidupan kemarin yang mungkin tak sesuai kuasa.

2 komentar:

  1. Nice ibu, apakah boleh saya share? Buat motivasi kepada teman

    BalasHapus
  2. Boleh Endri... Ambil sisi positif dari tulisan-tulisan gak jelas saya ya..:D

    BalasHapus