Jumat, 23 Desember 2011

Pahlawan “Semesta Mendukung” Untuk “Senyum Indonesia”


Nama               :  Yohanes Surya
Lahir                :  Jakarta, 6 November 1963
Profesi             :  Pelopor dan Inovator, Penulis, peneliti, pendidik, dan motivator.
Pasangan         :  Christina 
Anak               :  Chrisanthy Rebecca Surya   
                           Marie Felicia Surya     
                           Marcia Ann Surya  
Situs web        :  Yohanessurya.com
                           Suryainstitute.org
                           Mestakung.com

“Keterbatasan bukan untuk dikeluhkan, tapi dengan kesungguhan maka semesta akan mendukung kesuksesan anda.”
            Seuntai kata motivasi yang menginspirasi. Mengajak kita menyelami makna akan self organizing, dan pentingnya rasa hormat kepada diri sendiri yang merupakan sumber keikhlasan untuk selalu berupaya mem”baik”kan kehidupan. Tak perlu takut ketika kita berada pada kondisi kritis, karena semestapun akan turut bereaksi mengatur diri tuk membantu kita melewati kondisi tersebut. Sebuah prinsip hidup yang dibangun atas dasar konsep ilmu fisika, oleh ahli fisika kebanggaan Indonesia Prof. Yohanes Surya Ph.D. Dan MESTAKUNG (Semesta Mendukung), begitulah prinsip itu dinamai.
Profesor Kelahiran Jakarta 6 November 1963 ini, mulai memperdalam ilmu fisika pada jurusan Fisika FMIPA Universitas Indonesia hingga tahun 1986, yang dilanjutkan dengan menempuh program master dan doktornya di College of William and Mary, Virginia, Amerika Serikat. Setelah mendapatkan gelar M.Sc. dan Ph.D., Yohanes Surya menjadi Consultant of Theoretical Physics di TJNAF/CEBAF (Continous Electron Beam Accelerator Facility) Virginia – Amerika Serikat di tahun 1994. Sebelum akhirnya, pekerjaan mapan tersebut beliau lepas demi kembali ke tanah air bersama visi besarnya, yaitu mewujudkan cita-citanya tuk mengharumkan nama bangsa dengan Semboyannya kala itu adalah “Go Get Gold” untuk Indonesia.
Tak mudah memang, butuh keyakinan dan kesungguhan yang kuat dalam menapaki arena perjuangan. Dan keyakinan harus ada ketika kita berada pada kondisi kritis, keyakinan merupakan pijakan awal tuk melangkah menapaki perjalanan mimpi. Lalu, Melangkahlah! walau itu hanya langkah kecil. Bergeraklah menuju sasaran, hingga akhirnya langkah itu berhasil membawa kita keluar dari kondisi kritis tersebut. Dan professor yohanes surya bersama siswa-siswa binaanya di TOFI (Tim Olimpiade Fisika Indonesia) telah membuktikan keampuhan Mestakung. Walau dalam kondisi pendidikan yang masih sangat terbatas, dengan keyakinan dan kerja keras, dari tahun 1994 hingga 2007 indonesia berhasil menyabet 54 medali emas, 33 medali perak dan 42 medali perunggu dalam berbagai kompetisi Sains/Fisika Internasional. Bahkan di tahun 2006, seorang siswa berhasil meraih predikat Absolute Winner (Juara Dunia) dalam International Physics Olympiad (IphO) XXXVII di Singapura.
Selain menjadi pimpinan dan Pembina TOFI, yohanes surya juga menjadi pengajar dan peneliti pada program pasca sarjana UI untuk bidang fisika nuklir. Beliau juga merupakan penulis produktif untuk bidang Fisika dan Matematika. Terhitung telah Ada 68 buku untuk siswa SD hingga SMA. Selain itu, juga telah lahir ratusan artikel Fisika di jurnal ilmiah baik nasional maupun internasional, di harian KOMPAS, TEMPO, Media Indonesia serta media lainnya. Selain aktif di dunia kampus dan kepenulisan, beliau juga seringkali mengadakan pelatihan bagi guru-guru Fisika di seluruh pelosok Nusantara yang diwadahi oleh “Surya Institute”. Dan di tahun 2009 beliau mulai mengembangkan pembelajaran Gasing (Gampang, Asyik, Menyenangkan),  serta mengkampanyekan “Cinta Fisika” di seluruh pelosok Indonesia.  Sedangkan di Tahun 2010 Profesor yang biasa dipanggil “Pak Yo” ini mendirikan STKIP (Sekolah Tinggi Keguruan Ilmu Pendidikan) SURYA, guna mencetak guru-guru yang berkualitas dari berbagai daerah tertinggal di Indonesia. Dan beliau juga sedang mempersiapkan pendirian Surya University, sebuah universitas yang fokus pada pendidikan, energi dan ilmu hayati/life sciences.
            Berkat pengabdiannya yang tinggi terhadap dunia pendidikan, di tahun 2008 beliau mendapat award sebagai Pahlawan Masa Kini pilihan Modernisator dan majalah TEMPO. Dan di tahun 2009 beliau juga dinobatkan sebagai “tokoh perubahan” versi harian republika. Sedangkan di tahun 2011 beliau mendapat penghargaan dari Seputar Indonesia Awards, untuk kategori Social Transformer 2011. Serta masih banyak lagi penghargaan-penghargaan yang beliau peroleh di bidang pengembangan ilmu khususnya fisika dan matematika. Diantara berbagai penghargaan yang beliau dapat, ada sebuah penghargaan terhadap karya fenomenal yang sangat inspiratif, yang mampu mengembalikan semangat tuk membangun masa depan, yaitu lahirnya buku "Mestakung: Rahasia Sukses Juara Dunia" dimana beliau mendapatkan penghargaan sebagai penulis Best Seller tercepat di Indonesia.
            Dengan Prinsip “Mestakung”, semua orang bisa menjadi the most, the best and the first. Asalkan orang tersebut mampu membayar harga dari sebuah mimpi dengan pengorbanan. Dan, “mestakung” akan menunjukkan cara kerjanya. Dengan melalui tiga tahapan, yaitu hukum kritis, hukum langkah, dan hukum tekun (Krilangkun).
            Dalam hukum kritis, percayalah di setiap kondisi kritis pasti ada jalan keluar. Tak perlu khawatir karenanya, justru kita harus bersyukur karena dengan kita berada dalam kondisi kritis kita bisa melihat jalan keluar, dan akan berusaha melangkah tuk menggapainya. Bahkan, akan jauh lebih baik jika kita menempatkan diri pada kondisi kritis, dengan keluar dari zona kenyamanan. Menempatkan diri pada kondisi kritis dapat dilakukan dengan bermimpi sesuatu yang besar. Menciptakan kondisi kalau kita sedang berada dalam titik point  of no return. Dimana jika kita tidak mendapatkan hal yang kita impikan, semua usaha kita selama ini akan sia-sia dan kita akan malu besar. Disini, kita harus benar-benar merasa kritis maka seluruh sel-sel tubuh akan bekerja bersama-sama menghasilkan suatu motivasi dari dalam, dan yang ada hanya kerja keras, keikhlasan, dan keteguhan hati. Disaat seperti inilah, semesta mulai bereaksi. Kondisi kritis seolah menarik segala sesuatu disekeliling kita untuk mendukung kita keluar dari kondisi kritis ini. Dalam hal ini semesta dapat berupa sel-sel tubuh, lingkungan dan segala sesuatu disekitar kita.
            Tahap kedua dari mestakung adalah “langkah”. Kita harus melangkah walaupun langkah itu kecil sekalipun, karena kalau kita tidak melangkah kita akan binasa dalam kondisi kritis itu sendiri. Melangkah bisa dilakukan dengan membuat strategi, mensharingkan ide, dan yang terpenting kita harus bergerak menuju sasaran. Segala sesuatu tidak akan pernah terjadi jika tidak ada langkah pertama. Kita melangkah, maka jalan keluar perlahan akan terbuka, dan semesta akan bersiap  mengatur diri untuk membantu kita keluar dari kondisi kritis.
Seperti yang pernah dialami oleh beliau ketika berniat untuk mengembangkan pendidikan fisika yang asyik, mudah, dan menyenangkan di Indonesia. Namun, Kala itu beliau merasa ilmu yang diperoleh dari S1 masih sangat kurang. Dan beliau berkeinginan untuk melanjutkan studi ke luar negeri. Walau beliau tahu Orang tua tidak akan mampu membiayainya, mengingat kuliah S1 di UI saja beliau dibiayai oleh beasiswa supersemar. Namun, Tekad ke luar negeri itu begitu kuat. “saya pasti bisa dan saya harus melangkah”, kalimat itulah yang terus dipegang teguh oleh pak yo. Kemudian beliau memberi les privat dan uang les privat itu beliau kumpulkan sedikit demi sedikit untuk membuat passport. Sangat aneh kedengarannya, Ke luar negeri saja belum ada kepastian, kok tiba-tiba dengan penuh percaya diri sudah membuat pasport. Tapi, menurut beliau, bukankah kita harus berani melangkah. Dan ternyata di tahun berikutnya, semesta benar-benar menunjukkan dukungannya. Fisikawan Amerika Serikat datang ke Indonesia untuk meng-interview mahasiswa-mahasiswa Indonesia dan salah satu mahasiswa Indonesia yang lulus interview adalah prof. Yohanes surya, dan beliaupun mendapat beasiswa di Department of Physics The College of William and Mary Virginia.
            Setelah kita berhasil menentukan langkah awal, di tengah perjalanan pastilah kita akan berhadapan dengan ombak dan terpaan angin. Janganlah takut. Kita harus terus melangkah dengan tekun. Ketika kita tekun melangkah itulah Mestakung akan bekerja habis-habisan untuk kita. Ketekunan dan konsistensi dalam melangkah, Tekun dan maju terus sampai garis finish, dan jangan berhenti atau menyerah di tengah jalan. Kita harus  melupakan apa pun yang tengah menghambat kita, kita hanya perlu memfokuskan pikiran dan langkah kita pada apa yang ada di depan kita. Maju dan maju terus ! Hingga, tujuan itu pun dapat kita genggam.
            Kesuksesan memang tidak begitu saja jatuh dari langit. Sebelum menuai panen besar, bukankah harus ada benih yang ditabur dan harus pula disertai ketekunan dan pengorbanan. Dan percayalah, tidak ada jerih payah yang akan sia-sia. Hargai apapun mimpi-mimpi kita, tak ada mimpi yang tak berharga. Maka Jagalah mimpi itu agar tetap hidup. Semai selalu dengan keyakinan, visi, kerja keras, kekuatan dan dedikasi. Seperti yang telah dicontohkan oleh profesor yohanes surya. Ada banyak cara untuk menunjukkan kecintaan terhadap bangsa, sudah selayaknya kita “Bangga sebagai Bangsa Indonesia“. Melangkahlah tuk menuju impianmu, dan buatlah “Indonesia Tersenyum bersama senyummu“.

Kamis, 08 September 2011

Lomba Menulis Essay

(Info Lomba) Lomba Menulis Essay
Lomba ini bertujuan untuk menumbuhkan (membangkitkan kembali) karakter ke-Indonesiaan yang positif, yang kini sudah banyak hilang dari jiwa masyarakatnya, meningkatkan kebanggaan & kecintaan terhadap tanah air Indonesia, membuktikan rasa bangga & cinta tanah air dengan berkontribusi nyata bagi perubahan dan kemajuan Republik Indonesia. 
Tulisan bisa berupa kisah pribadi atau orang lain yang menceritakan karakter-karakter positif, pengabdian, dan kontribusi bagi negeri. Tulisan tidak harus berupa kisah-kisah heroik atau perjuangan besar dan massif.  Kisah-kisah sederhana yang menceritakan nilai-nilai kejujuran, integritas, semangat berkorban, serta ketulusan yang inspiratif, bermanfaat dan berkontribusi positif bagi negeri, sangat layak Anda tuliskan! ^_^
1. Waktu Pelaksanaan Lomba:
 a. Penjaringan naskah dibuka pada tanggal 29 Juni – 16 September 2011.
 b. Pengumuman pemenang dilakukan pada tanggal 25 September 2011.
 2. Tata Cara Perlombaan   Syarat dan Ketentuan Peserta:
 a. Peserta merupakan Warga Negara Indonesia (WNI).
 b. Peserta tidak dibatasi usia, jenis kelamin, dan tempat tinggal.
 c. Tiap peserta hanya diperbolehkan mengirimkan satu naskah.
 d. Tiap peserta wajib mem-posting informasi ini melalui note akun facebook-nya (bila memiliki FB) dan men-tag 20 orang temannya, atau mem-posting di blog-nya (bila memiliki blog).
 
Syarat dan Ketentuan Naskah:
  a. Naskah yang diperlombakan merupakan naskah original, bukan saduran maupun plagiat, dan tidak pernah dikirim atau dipublikasikan di media mana pun.
 b. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik (bukan bahasa alay).
 c. Naskah tidak mengandung unsur pornografi, pornoaksi, bahasa vulgar, dan pertentangan SARA.
 d. Naskah diketik pada kertas A4, font Times New Roman, 12 pt, spasi 1.5, justify, minimal 5000 karakter.
  e. Melampirkan naskah dengan biodata yang berisi: nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, nomor identitas (KTP/SIM/ Paspor/ Kartu Pelajar/Mahasiswa), alamat lengkap, nomor telp/HP, nomor rekening yang masih berlaku, alamat FB (bila memiliki FB), alamat blog (bila memiliki blog). Boleh juga ditambahkan narasi singkat kegiatan saat ini atau prestasi yang dimiliki (optional).
 f. Naskah dikirim ke alamat email: mujahidah_87@yahoo.com & nuryazidi@gmail.com, dengan format: ESSAI_NAMA PENGIRIM_JUDUL.
 g. Naskah diterima oleh penyelenggara selambatnya tanggal 16 September 2011, pukul 23.00 WIB
 h. Pengumuman pemenang akan disampaikan di akun facebook Asti Latifa Sofi & Mohammad Nuryazidi, page Gerakan “Aku Anak Indonesia”, serta akan dikirimkan ke alamat email masing-masing peserta pada tanggal 25 September 2011.
 i. Keputusan dewan juri tidak dapat diganggu gugat.
 
   -Hadiah-
 Juara 1: Uang senilai Rp300.000,00
Juara 2: Uang senilai Rp200.000,00
 Juara 3: Uang senilai Rp100.000,00
 Juara Harapan 1 (sebanyak 3 orang): masing-masing akan mendapatkan bingkisan buku
 Juara Harapan 2 (sebanyak 19 orang): masing-masing akan mendapatkan piagam penghargaan
 
* 25 naskah terpilih akan dikompilasikan menjadi satu buku yang insya Allah akan diterbitkan.   SELAMAT BERLOMBA! ^_^

Jumat, 02 September 2011

Rinduku Untukmu...


Disaat ini, saat kulihat jiwaku sangat rindu… biarkanlah aku bicara kerinduan hanya pada sebatang pena dan selembar kertas. Setidaknya mereka mampu menjadi cawan rindu tatkala rasa ini amat mendera..
Adakah hal lain yang bisa kulakukan selain itu…? Haruskah aku bersenandung laksana burung yang merindu? Namun, bilakah lantaran kau kan mampu mendengar alunan cicit cericit kerinduan ini, mungkin aku kan rela menjelma laksana burung kecil yang berdendang bersama nyanyian angin. Hingga… yang dirindupun terbang menerjang awan demi sang penyemai rindu.

Tapi… ah, rasanya… kala jarak tak lagi dekat, alunan bahkan raungan desah rasa sulit tuk tertangkap. Jadi, biarlah… biarkanlah kukirim bait-bait rindu dalam sepucuk coretan sederhana, untukmu…
Walau aku,,, aku memang bukan pujangga yang pandai menyulam larik-larik rindu romantic nan dramatis.
Tapi aku,,, aku hanyalah insane yang sedang merindu. Mencoba menggores berbagai cerita, menuai selaksa makna dalam nyata coretan pena. Bukankah  jika manusia tengah dimabuk rindu, ia akan setia menggulirkan potongan-potongan perasaannya, ya… aku pun begitu..

Kau tahu? Ada satu alasan mengapa kalian akan selalu kurekam dalam memoar hidupku. Karena…. Sungguh, kalian amat berharga, kawan! Sejarah telah mencatat bagaimana kita bersama melukis mimpi sileut cakrawala dalam sebaris tawa canda bahagia, tuk menghapus bulir-bulir hati nan duka. Masih ingatkah kalian?, bagaimana kita memulai pijakan awal menuju masa depan dibawah naungan persahabatan ini, bersama dalam suka dan duka, dan kita masih bisa saling berpacu dalam prestasi. Dengan semangat kita senantiasa belajar beriringan dalam sore yang merindu senja, dan diantara gelap yang sedikit menggoda.   tapi, ah… ternyata kini itu hanyalah apa yang disebut kenangan. Terasa sangat berat untuk diingat jika enggan tuk mengatakan terharu.. karena, memang… Waktu telah membawanya pergi dan takkan pernah kembali.

Jujur, akupun pernah berharap agar waktu itu tak berlalu. Tapi, apalah dayaku? Waktu tetap saja berlalu, dan tak ada guna ku menyalahkan waktu. Dalam hati, aku yakin takkan pernah habis waktu untuk sebuah jalinan persahabatan, walau waktu menjadikannnya dalam sebuah keterpisahan. Bukankah tidak semua keterpisahan menunjukkan keterpisahan hati??

Adakalanya sebuah keterpisahan menjadikan kita lebih dewasa dan lebih mengerti makna persahabatan itu sendiri. bukankah begitu kawand?

 adalah aku saat ini, yg merindu akan hadirmu, aku rindu kau disisiku… aku rindu, saat ku  terjatuh,kau kan membantu ku tuk bangun. Saat hati ku terluka, kau kan hadir obati luka dan menghapus air mata. saat ku hilang arah, kau kan datang membawakan lilin, menuntunku sembari menerangi langkah hingga aku tak lagi takut berjalan sendirian. saat ku dalam sedih yg terasa sangat sulit dilepas, kau kan tunjukkan ku bahagia, dan ajarkan ku tersenyum. Dan… kau ajarkanku tuk berani menatap langit, tuk berani membentangkan mimpi seluas samudra, walau seringkali hati ini surut oleh misteri masa depan,. Terima kasih sahabatku….terima kasih telah membawaku dalam warna-warni kehidupan yang berarti..:)

Kamis, 04 Agustus 2011

Mitos dan Logika dalam Era Ke-kini-an


  Kultur kehidupan masyarakat Indonesia hingga saat ini masih sangat ditentukan dan dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya yang berasal dari tradisi yang dipelihara secara turun temurun. Tradisi tersebut merupakan sinkretis dari nilai-nilai yang bersumber dari berbagai pengaruh seperti animisme, hinduisme, dan islam. Salah satu tradisi yang masih sangat kental dalam diri masyarakat Indonesia khususnya masyarakat pedesaan adalah kepercayaan terhadap mitos.
Seringkali kita dengar nasehat-nasehat orang tua terkait hal-hal yang dianggap tabu untuk dilakukan anak gadisnya. Seperti, tidak boleh makan di depan pintu, dan tidak boleh makan pantat ayam, yang jika dilakukan sang gadis akan kesulitan dapat jodoh. Tidak boleh menyapu malam, tidak boleh potong kuku dan mandi di waktu senja telah tenggelam karena jika dilakukan akan menjadikan orang tua berumur pendek. Tidak boleh baca tulisan yang tertera di batu nisan, dan jika dilakukan akan membuat bodoh. Dan untuk calon pengantin perempuan dilarang keras untuk keramas ketika dekat dengan hari H pernikahan dikarenakan jika dilakukan maka pada saat hari H akan terjadi hujan deras.
 Selain hal-hal tabu tersebut, sebagian masyarakat juga masih percaya dengan hal-hal yang harus dilakukan terkait dunia nyata dan mistik. Seperti, harus mengadakan syukuran sebelum mengisi rumah baru yang bermakna meminta izin kepada mahluk halus penunggu rumah, bagi wanita yang sedang hamil untuk selalu menggantungkan pisau lipat kecil pada baju yang dikenakan yang bermakna agar yang mengandung dan calon bayinya akan terhindar dari gangguan mahluk halus. Dan ketika tengah berada dalam kubang kesialan, harus diadakan acara Ruwatan.
Fenomena tersebut  telah membentuk kepercayaan masyarakat dan sudah sedemikian dominan pengaruhnya. Walaupun perilaku tersebut sulit diterima akal, masyarakat seolah tidak ada yang berani mempertanyakannya. Mereka tidak ada yang berani mengkritik berbagai hal yang telah dianggap tabu, karena hal itu sudah menjadi sesuatu yang sacral dan diyakini sebagai sesuatu yang tidak boleh dilanggar. Mitos dalam kehidupan masyarakat Indonesia adalah sesuatu yang dianggap benar, yang didalamnya dikontruksi oleh kekuatan adimanusiawi, sehingga didalam pengungkapannya terdapat aura mistis yang terwujud dalam realitas social budaya. Dan dalam keyakinan masyarakat, menentang sebuah mitos itu adalah sebuah “pamali” (dosa) yang bisa mendatangkan kualat (musibah). 
Masyarakat tersebut beranggapan bahwa dalam kehidupan di dunia ini tidak hanya dibutuhkan akal sehat (nalar), melainkan sebagian besar kehidupan untuk sesuatu yang bersifat supernatural yang memerlukan kepercayaan, walaupun hal itu berada di luar akal sehat dan jauh dari rasa skeptisisme.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia[1] mitos diartikan sebagai sebuah cerita suatu bangsa tentang dewa dan pahlawan zaman dahulu yang mengandung penafsiran, misalnya tentang asal usul semesta alam, manusia, dan bangsa itu sendiri. Yang mengandung arti yang mendalam dan diungkapkan dengan cara gaib/mistik. mitos merupakan milik masyarakat yang bersifat komunal, anonim, dan berkembang di masyarakat secara lisan dari mulut ke mulut. seperti yang diungkapkan oleh Durkheim bahwa masyarakatlah yang melahirkan agama[2]. Masyarakatlah yang melahirkan apa itu yang sacral dan yang profane, begitu juga halnya dengan mitos.
Mitos juga bersifat simbolik, karena mitos adalah simbol yang diletakkan dalam bentuk cerita[3]. Ia adalah serangkaian gambaran yang dikemukakan dalam bentuk cerita. Sama halnya dengan simbol, mitos memberi daya tarik pada imajinasi,. Mitos mempengaruhi emosi, kehendak, dan bahkan aspek kepribadian yang bersifat bawah sadar, hingga hal-hal yang bersifat illogis pun dapat terjadi.
Eliade menganggap bahwa mitos adalah bagian dari kebudayaan masyarakat primitif. Yang bagi mereka, dunia berisi segala sesuatu yang diciptakan oleh para dewa yang didalamnya segala sesuatu yang bersifat sacral akan lebih dominan.  Menurut eliade berdasarkan pendekatan fenomenologi agamanya, simbol dan mitos adalah bahasa dari sesuatu yang sacral[4] dan berfungsi sebagai alat untuk mengungkapkan, mengangkat dan merumuskan kepercayaan masyarakat primitive. Serta membawa kehidupan ilahi yang supernatural lebih dekat dengan dunia manusia yang natural. Dan pada akhirnya mitos juga berperan dalam menjamin efisiensi dari ritus, serta memberi peraturan-peraturan praktis sebagai penuntun manusia pada generasi selanjutnya.
Jika mitos lahir dalam masyarakat primitive, hal ini sesuai dengan teori perkembangan masyarakat auguste comte, ataupun dengan teori perkembangan ilmu pengetahuan weber, dimana tahap awal dari manusia bersifat teologis dan magis. Senada dengan dua tokoh tersebut, kuntowijaya juga mengungkapkan bahwa perkembangan masyarakat akan melewati beberapa tahapan yang dimulai dengan tahapan mitos, yang dilanjutkan dengan tahapan ideology dan ilmu[5].
Dalam tahap ini, masyarakat menggunakan cara berpikir mistis yang mengandaikan bahwa dunia ini dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan keramat dan gaib. Sehingga tidak heran jika irrasionalitas yang menggerakkan sikap atau tingkah laku masyarakat tersebut.
Namun hingga saat ini, di zaman kontemporer mitos tetap mendampingi kehidupan masyarakat. Dan memaksa logika akal manusia untuk tunduk pada simbol dan mitos yang terkristal dalam budaya masyarakat sebagai hasil atau produk masyarakat yang lebih mengedepankan aspek mistik-supernatural dan cenderung mengabaikan aspek rasionalitas.
Memang, jika kita berfikir menggunakan logika atau akal sehat. kejadian dalam mitos jauh dari nalar dan bahkan tidak bisa untuk dinalar. Yang jelas, antara mitos dan logika adalah dua hal yang sangat berbeda dan tidak akan pernah bisa disatukan. Secara alamiah logika tak dapat menembus mitos dan mitos bukan bagian dari logika, karena logika lebih menekankan pada analisis pikiran yang masuk akal. tapi anehnya keduanya berjalan beriringan hingga saat ini. Fakta yang tak terbantahkan bahwa hingga saat ini, kehidupan masyarakat Indonesia masih digerakkan oleh mitos-mitos. Mitos seolah telah menjadi budaya, yang di setiap daerah memiliki ciri dan keunikan tersendiri dan tidak akan bisa dengan mudahnya disisihkan. Bagaimanapun perjalanan untuk menuju perubahan harus melewati banyak hal yang tentunya tidak mudah, terlebih berkenaan dengan kepercayaan yang telah membudaya.


DAFTAR PUSTAKA

Daniel L. Pals. 2001. Seven theories of religion: dari animism E.B. tylor, materialism karl marx hingga antropologi budaya C. Geertz. Yogyakarta: penerbit Qalam
George ritzer dan Douglas j. goodman. 2010. Teori sosiologi dari teori sosioologi klasik sampai perkembangan mutakhir teori social postmodern. Yogyakarta: Kreasi wacana.
Peter connoly. 2002. Aneka pendekatan studi agama. Yogyakarta:  LKIS Yogyakarta.
Scharf, Betty R. 2004. sosiologi Agama. Jakarta: Kencana
Syafi'i Ma'arif, dkk. 2005. Muslim Tanpa Mitos: Dunia Kuntowijoyo. Yogyakarta: Ekspresi buku.
 http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php diakses pada tanggal 24 maret 2010




[1] http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php diakses pada tanggal 24 maret 2010
[2] George ritzer dan Douglas j. goodman. 2010. Teori sosiologi dari teori sosioologi klasik sampai perkembangan mutakhir teori social postmodern. Yogyakarta: Kreasi wacana. Halaman 104
Lihat juga di Daniel L. Pals. 2001. Seven theories of religion: dari animism E.B. tylor, materialism karl marx hingga antropologi budaya C. Geertz. Yogyakarta: penerbit Qalam. Halaman 166-169
[3] Daniel L. Pals. 2001. Seven theories of religion: dari animism E.B. tylor, materialism karl marx hingga antropologi budaya C. Geertz. Yogyakarta: penerbit Qalam. Halaman 285-287
[4] Ibid,. halaman 284.
[5] Syafi'i Ma'arif, dkk. 2005. Muslim Tanpa Mitos: Dunia Kuntowijoyo. Yogyakarta: Ekspresi buku.

Jumat, 01 Juli 2011

“Sekolah Bertaraf Internasional: modernisasi atau kastanisasi pendidikan?”


ABSTRAK
Dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945 menjelaskan bahwa salah satu tujuan nasional adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa” yang menyiratkan sebuah makna bahwa kemajuan suatu bangsa terletak pada kualitas sumber daya manusianya (SDM), dan SDM dapat dikembangkan melalui pendidikan. Dalam rangka peningkatan mutu dan kualitas pendidikan nasional, pemerintah berupaya untuk membawa pendidikan ke ranah “modernisasi pendidikan” yang dituntut untuk sejalan dengan arus globalisasi yang sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dan teknologi. Upaya pemerintah tersebut tertuang dalam UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 50 Ayat (2) dan (3) yang melahirkan adanya sekolah-sekolah dengan internasionalisasi di dalamnya. SBI, RSBI, SSN, dan sekolah reguler adalah strata sekolah yang lahir seiring dijalankannya amanat  UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Ironisnya, pengkotakan kelas-kelas tersebut berujung pada kemampuan financial pembayaran pendidikan. yang akhirnya, akan semakin memarginalkan kaum bawah dalam dunia pendidikan yang seharusnya juga menjadi hak mereka. Seperti yang menjadi amanat UUD 1945 pasal 31 bahwa setiap warga negara berhak untuk mendapat pendidikan. Pendidikan disini tentu dalam arti pendidikan yang layak dan tanpa diskriminasi. Namun, berdasarkan fakta yang ada sejalan dengan terbaginya sekolah menjadi SBI, RSBI, SSN, dan sekolah reguler semakin menegaskan bahwa pendidikan nasional telah terjadi sebuah “kastanisasi pendidikan”.
Kata kunci: pendidikan, kualitas, internasionalisasi, stratifikasi.

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
            Pendidikan adalah sebuah proses pembelajaran yang terencana agar tercipta peserta didik yang secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri dan kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan lain yang diharapkan memberikan manfaat bagi dirinya, dan orang lain[1]. Pendidikan adalah hak setiap manusia, begitupun halnya dengan warga negara Indonesia. Negara menjamin dalam UUD 1945 pasal 31 bahwa setiap warga negara berhak untuk mendapat pendidikan[2]. Karena Pendidikan merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan kualitas suatu bangsa. Dan tentunya, pendidikan yang diharapkan adalah pendidikan yang bermutu dan berkualitas.
 Salah satu upaya pemerintah untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas tersurat dalam UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 50 Ayat (2) dan (3), yaitu dengan mencetuskan sekolah berstandart nasional, dan bahkan bertaraf internasional. Di satu sisi, pengembangan sekolah menjadi sekolah bertaraf internasional memang membantu peningkatan kualitas SDM (sumber daya manusia) indonesia yang akan sangat berguna dalam menopang pembangunan negeri.  tapi di sisi lain juga lahir kenyataan pahit tatkala tidak semua masyarakat indonesia bisa menikmati indahnya dunia pendidikan yang berkualitas tersebut.
Mimpi mereka untuk bisa menikmati sarana prasarana belajar yang memadai dan tenaga pengajar yang berkualitas dengan segudang pengalaman dan kemampuan, harus dihadapkan pada kondisi nyata bahwa pendidikan bermutu harus ditukar dengan biaya yang tidak sedikit. Hasrat itu terpendam oleh serentetan biaya yang harus ditanggung. Karena sekolah dengan status Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) ataupun sekolah yang telah menyandang status Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) dilegalkan  untuk menarik  iuran dari siswa. Status sekolah yang dituntut untuk bisa mencapai standart internasional memaksa sekolah untuk menarik biaya pendidikan yang tidak bisa murah seperti sekolah-sekolah negeri pada umumnya yang hanya berstatus “sekolah reguler”. Dengan kata lain,  sekolah SBI hanya ada untuk mereka dengan kemampuan finansial yang cukup[3]. Sedangkan mereka yang tidak didukung oleh materi, hanya bisa pasrah berucap syukur dalam menitip impian pada lembaga pendidikan dengan kualitas apa adanya.
Pembagian status sekolah menjadi SBI, RSBI, SSN, dan sekolah reguler yang lahir dari UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memang membawa sistem pendidikan nasional selangkah mulai memasuki “modernisasi pendidikan, namun secara tersirat juga telah membawa pendidikan indonesia ke ranah “kastanisasi pendidikan”. Dalam dunia pendidikan telah lahir kasta-kasta berdasarkan sisi finansial dalam pembayaran pendidikan. Hal yang sangat tidak relevan dengan amanat UUD 1945 yang memberikan hak kepada semua warga negara untuk mendapatkan pelayanan pendidikan, termasuk pelayanan SBI, RSBI, dan SSN. Adanya stratifikasi sekolah mulai dari strata tertinggi SBI, hingga strata terendah sekolah reguler pada dasarnya memang tidak dibenarkan jika dilihat dari UU No.20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pasal 5 ayat (1) dan pasal 11 ayat (1) yang telah sangat jelas mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak untuk memperoleh pendidikan yang bermutu tanpa ada diskrimasi.
Para bapak bangsa indonesia menyatakan bahwa “pendidikan yang bagus  adalah kunci untuk memutus rantai kemiskinan”[4]. Secara tersirat, kalimat tersebut menyatakan bahwa semua warga khususnya orang miskin berhak mendapatkan pendidikan yang bagus. Modernisasi pendidikan seharusnya wajib masuk hingga pelosok negeri. Tidak hanya tersentral di kota dan hanya pada salah satu sekolah saja. Apabila pendidikan bagus hanya bisa dinikmati segelintir orang dan sebagian besar rakyat Indonesia lainnya harus menikmati pendidikan apa adanya, bisa dibayangkan jika indonesia akan tetap tenggelam dengan penduduk miskin yang kian hari makin miskin oleh pendidikan yang kian mahal.

B. Rumusan Masalah
            Berdasarkan latar belakang  masalah, maka dirumuskan rumusan masalah sebagai berikut:
a. bagaimana kesetaraan hak antara orang kaya dan orang miskin dalam hal memperoleh pendidikan yang berkualitas?
b. apakah kehadiran Sekolah Bertaraf Internasional merupakan suatu upaya modernisasi pendidikan atau kastanisasi pendidikan?

C. Tujuan
            Berdasarkan rumusan masalah yang telah ditentukan, maka tujuan penelitian adalah sebagai berikut:
a. untuk mengetahui kesetaraan hak antara orang kaya dan orang miskin dalam hal memperoleh pendidikan yang berkualitas?
b. untuk mengetahui kehadiran Sekolah Bertaraf Internasional merupakan suatu upaya modernisasi pendidikan atau kastanisasi pendidikan.

LANDASAN TEORITIS
            Fenomena merebaknya sekolah bertaraf internasional yang akhir-akhir ini mulai menghiasi dunia pendidikan nasional memang membawa angin segar dalam upaya peningkatan mutu dan kualitas pendidikan di Indonesia. Adanya sekolah bertaraf internasional (SBI) merupakan salah satu langkah untuk membawa pendidikan nasional kearah modernisasi. Modernisasi pendidikan menjadi wacana yang sering diperbincangan seiring lahirnya kebijakan dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional yang menjadi dasar lahirnya internasionalisasi dalam pendidikan. Internasionalisasi dalam pendidikan dianggap salah satu cara untuk membawa pendidikan nasional kearah modernisasi pendidikan. Modernisasi pendidikan itu sendiri dapat diartikan sebagai upaya pergeseran sikap dan mentalitas untuk dapat hidup di tengah tuntunan zaman yang saat ini tengah berada di era globalisasi, zaman dengan perkembangan pengetahuan dan teknologi yang kian hari kian maju[5].
 Dengan dicetuskannya sekolah bertaraf internasional (SBI) yang merupakan wujud dari upaya internasionalisasi dalam pendidikan, diharapkan generasi penerus bangsa akan mampu menjadi bagian dari “masyarakat dunia”. Dalam arti, putra-putri Indonesia dapat berperan aktif  dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dunia, yang tentu juga akan membawa Indonesia kearah yang lebih maju.
            Namun, dibalik wacana “modernisasi pendidikan” yang digaungkan pemerintah melalui lahirnya sekolah bertaraf internasional, juga diikuti lahirnya sekolah dengan status Rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI), sekolah berstandart nasional (SSN), dan sekolah reguler. Keempat jenis sekolah ini lahir dengan segala hal yang membedakannya. Baik itu dari fasilitas, tenaga pendidik, bahkan pembayaran pendidikannya. dari segi biaya, sekolah reguler menduduki posisi sekolah ternurah bahkan sekolah gratis, yang kemudian disusul SSN, RSBI, dan SBI. Sedangkan dari segi fasilitas, cara pembelajaran dan tenaga pendidik, sekolah reguler pula yang menduduki kualitas terakhir, yang kemudian disusul oleh SSN, RSBI, dan SBI. 
            Adanya pebedaan antara keempat jenis sekolah tersebut, menegaskan bahwa dunia pendidikan telah terbagi menjadi strata-strata dari bawah hingga keatas. Seolah Ada sebuah kelas-kelas tersendiri bagi setiap jenis sekolah ini, yang secara tidak langsung juga semakin mempertegas sekat-sekat antara orang kaya, menengah dan orang miskin. Orang kaya untuk sekolah RSBI, dan SBI. Orang dari golongan menengah untuk sekolah SSN, dan orang miskin untuk sekolah reguler. Dengan arti lain, pemilahan jenis sekolah itu ditentukan berdasarkan sisi financial belaka. Yang tentu akan sangat berpengaruh terhadap kualitas pendidikan yang akan mereka peroleh. Secara tersirat, pemerintah telah melakukan diskriminasi dalam hal pemenuhan hak akan pendidikan yang layak antara orang miskin dan orang kaya.
            Hal ini senada dengan yang diungkapkan karl marx bahwa pada masyarakat kapitalis, terbagi kedalam kelas-kelas tertentu yang didasarkan pada kepemilikan materi[6]. Dalam era kapitalisme, marx menyebut ada kelas borjuis dan kelas proletar. Kelas borjuis adalah kelas untuk mereka yang memiliki alat-alat produksi atau dengan kata lain orang kaya. Sedangkan proletar adalah kelas untuk orang yang tidak memiliki materi, atau orang miskin. Diantara keduanya terdapat jurang pemisah yang sudah tentu juga akan berpengaruh terhadap pemenuhan hak-hak mereka. Dan pendidikan Indonesia, tengah berada dalam pengkotak-kotakan kelas tersebut. Dalam Pendidikan Indonesia telah ada tingkatan-tingkatan layaknya kasta yang membedakan golongan-golongan tersebut. Sehingga, bisa dikatakan bahwa kehadiran SBI, RSBI. SSN, dan sekolah reguler telah membawa pendidikan nasional ke ranah “kastanisasi pendidikan”.

PEMBAHASAN
A. Sekolah Bertaraf Internasional VS Sekolah Reguler dan orang kaya VS orang miskin
Pada dasarnya, pendidikan diselenggarakan dalam rangka untuk mendidik dan mencerdaskan rakyat untuk menuju taraf hidup yang layak, makmur dan sejahtera, serta mampu menopang pembangunan bangsa untuk terus berkembang sesuai tuntutan zaman. Dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945 menjelaskan bahwa salah satu tujuan nasional adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa” yang menyiratkan sebuah makna bahwa kemajuan suatu bangsa terletak pada kualitas sumber daya manusianya (SDM), dan SDM dapat dikembangkan melalui pendidikan.
Pemerintah sebagai salah satu pihak yang berperan dalam penyelenggaraan pendidikan, di tahun 2003 telah melahirkan UU No.20 tentang sistem pendidikan nasional yang menjadi cikal bakal munculnya sekolah bertaraf internasional. Pasal 50 ayat (3) menyatakan bahwa di setiap daerah setidaknya harus dikembangkan satu sekolah yang sesuai dengan standart internasional, dan pengembangan tersebut harus merata pada semua jenjang pendidikan.
Adanya Sekolah bertaraf internasional (SBI) memang diharapkan mampu memperbaiki kualitas pendidikan, dan mampu melahirkan output atau lulusan yang mampu bersaing dalam modernisasi pembangunan yang sangat mengedepankan aspek IT dan penguasaan bahasa asing. Oleh karena itu, proses pendidikan di SBI didukung oleh sarana prasarana yang maju dan canggih, tenaga pendidik yang berkualitas, perangkat ICT (information communication and technology) yang lengkap, dan penggunaan bahasa asing dalam setiap proses pembelajaran.
 Sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan sekolah-sekolah negeri biasa yang hanya bergelar “sekolah reguler”. Sekolah dengan fasilitas seadanya, tenaga pendidik berkualitas yang terbatas,  bahkan dengan gedung yang sebenarnya sudah tidak layak pakai. Sekolah dengan atapnya yang bocor, ataupun sekolah yang atapnya ambruk seperti yang sering diberitakan, baik karena terjangan angin puting beliung ataupun karena rongrongan rayap kayu pada penopang atap. Belum lagi terkait masalah pendukung pembelajaran lainnya, seperti laboratorium dan pembekalan IT yang bisa dikatakan sangat minim. Sungguh, Dua wujud sekolah yang sangat berbeda.
Perbedaan diantara sekolah bertaraf  internasional (SBI) dengan sekolah reguler tentu tidak hanya dari fasilitas dan pembelajaran. Tetapi juga dari segi finansial pembayaran pendidikan. Di sekolah negeri reguler, para siswa bisa terlepas dari jeratan biaya karena adanya sokongan dari pemerintah berupa bantuan operasional sekolah (BOS). Lain sekolah reguler, lain lagi dengan sekolah bertaraf internasional. dari segi namanya saja, sudah terdapat makna bahasa yang jelas berbeda. Sekolah bertaraf internasional yang dilengkapi dengan sarana prasarana yang lengkap dan canggih, serta tenaga didik yang bermutu tentu lebih baik, bagus, dan berkualitas. Sekolah yang dituntut untuk sesuai dengan standart internasional inipun memaksa siswa untuk membayar ilmu dan layanan yang mereka peroleh dengan biaya yang tidak sedikit.
Sudah menjadi rahasia umum jika seseorang ingin bisa bersekolah di sekolah bertaraf internasional, mereka harus mau dan rela merogoh kantong dengan biaya yang bisa saja “tidak terkira” jika dibandingkan dengan sekolah negeri biasa pada umumnya. biaya pendidikan tertinggi dan terendah yang dibebankan kepada orangtua untuk sumbangan pembinaan pendidikan(SPP) per bulan tertinggi untuk SD Rp.150 ribu, SMP Rp.600 ribu, SMA Rp.450 ribu dan SMK Rp.250 ribu. Untuk sumbangan sukarela tertinggi untuk SD Rp.1 juta, SMP Rp.12,5 juta , SMA Rp.15 juta dan SMK Rp.2,7 juta[7]. mahalnya biaya yang harus dikeluarkan, seolah makin menegaskan bahwa sekolah ini hanya tercipta untuk dihuni oleh anak-anak dari golongan menengah keatas. Sedangkan mereka, anak-anak yang dilahirkan dalam status sosial yang rendah seolah hanya patut mengenyam pendidikan di “sekolah reguler”.
Ironis memang, jika melihat banyak anak yang pandai tapi tidak mampu menikmati fasilitas pendidikan yang bagus dan lengkap karena terkendala oleh status mereka yang miskin. Walaupun di dalam SBI juga disediakan kursi sebanyak 20% dari quota, untuk diduduki anak dari golongan tidak mampu. Tapi, tetap saja tidak semua anak negeri bisa menikmati fasilitas pendidikan yang bagus. Jumlah itu hanya untuk segelintir orang saja, sedangkan mayoritas penduduk indonesia saat ini tengah berada di bawah garis kemiskinan. Dan akhirnya, harus kembali pada kenyataan, bahwa orang miskin hanya layak mengenyam pendidikan sekelas “sekolah reguler”.
B. Kajian Fenomena Sekolah Bertaraf Internasional dengan biaya Mahal
 Sekolah bertaraf Internasional (SBI) adalah sekolah yang dituntut untuk bisa memiliki kualitas setara dengan kualitas internasional yang berstandart pada negara-negara maju dalam pendidikan seperti Amerika Serikat dan Australia. Sekolah yang bisa masuk kategori sekolah bertaraf internasional ini memiliki kriteria dan standart-standart tertentu, diantaranya:
·      Input
Input di dalam sebuah sekolah terdiri dari: siswa, dan tenaga pendidik.
§  Siswa
Siswa baru di sekolah bertaraf internasional diseleksi secara ketat melalui nilai rapor, Ujian akhir sekolah, ujian masuk SBI, tes kesehatan fisik dan wawancara.
§  Tenaga Didik
1. memiliki kemampuan profesional, kepribadian, dan sosial yang baik.
2. memiliki kemampuan berkomunikasi dalam bahasa asing khususnya bahasa inggris.
3. memiliki kemampuan untuk menggunakan alat pembelajaran yang berbasis ICT (information communication and technology).
·      Proses pembelajaran
Proses pembelajaran dalam sekolah bertaraf internasional menggunakan sistem billingual atau bahasa pengantar dalam dua bahasa yaitu Indonesia dan Inggris. Selain itu, juga menggunakan media pendidikan yang berbasis teknologi.
·      Sarana dan prasarana
Sarana dan prasarana dalam sekolah bertaraf internasional pada umumnya berbasis ICT. Ruangan kelas ber-AC, kelas dipenuhi dengan media pembelajaran multimedia, serta fasilitas olahraga dan seni.
Beragam standarisasi dengan fasilitas mewah tersebut membawa pada konsekuensi nyata bahwa kenyamanan itu harus dibayar dengan biaya pendidikan yang mahal.
Untuk memenuhi beragam kebutuhan penunjang pendidikan, sekolah memiliki wewenang dan dihalalkan oleh pemerintah untuk menarik biaya dari siswa. Jumlah biaya itupun tidak tanggung-tanggung, mencapai hingga jutaan bahkan puluhan juta rupiah.
C. Modernisasi pendidikan, Kastanisasi pendidikan dan peran pemerintah
Lahirnya sekolah bertaraf internasional di satu sisi merupakan bagian dari upaya “modernisasi pendidikan” yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional seiring tuntutan arus globalisasi yang membawa perkembangan ilmu dan teknologi yang kian maju.
 Namun, di sisi lain Pembagian status sekolah menjadi SBI, RSBI, SSN dan sekolah reguler juga telah menandakan bahwa pendidikan telah mengenal sistem kasta. Telah ada diskriminasi untuk anak-anak dari golongan atas, menengah, dan bawah. Anak dengan ekonomi yang memadai layak untuk masuk kesekolah bertaraf internasional. sedangkan yang dengan ekonomi pas-pasan harus puas dengan sekolah berstandart Nasional (SSN). Dan, golongan yang paling bawah harus pasrah pada takdir bahwa mereka hanya layak merajut mimpi di sekolah reguler.
Sistem kasta dalam dunia pendidikan saat ini, seolah mengembalikan indonesia seperti pada saat penjajahan kolonial belanda. Dimana penduduk pribumi dibatasi dalam memperoleh pendidikan. pemerintahan belanda mengkotak-kotakan sekolah menjadi sekolah untuk kaum pribumi, kaum kulit putih, dan china. Atau dengan kata lain, sekolah khusus untuk melayani orang kaya, sekolah khusus untuk orang pintar, dan sekolah khusus untuk orang melarat. Penyekatan sekolah-sekolah berdasarkan status sosial, makin menepis hakikat sekolah sebagai tempat akulturasi antara orang miskin dan orang kaya.   
Padahal dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 telah diamanatkan bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara, dan pemerintah memiliki kewajiban  untuk menyelenggarakan sarana dan prasarana pendidikan yang memadai dan terjangkau oleh semua rakyat indonesia, mulai dari tingkat dasar hingga tingkat perguruan tinggi. Dalam UU No.20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pasal 5 ayat (1) dan pasal 11 ayat (1) juga  mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak untuk memperoleh pendidikan yang bermutu “tanpa ada diskrimasi”. Pengertian “hak” menunjukkan bahwa akan ada jaminan pemenuhan, adanya pihak yang berperan dan terlibat sebagai aktor yang bertanggung jawab. Dan dalam masalah ini actor itu adalah pemerintah.
Seiring munculnya “kastanisasi pendidikan”, janji negara dalam hal pemenuhan hak pendidikan yang layak tanpa diskrimasi mulai dipertanyakan. Pendidikan yang baik dan berkualitas memang  membutuhkan biaya. namun, bukan berarti rakyat miskin yang harus kembali disengsarakan. Haruskah mereka kembali dibebankan dengan ketidakadilan dalam hal pemenuhan hak akan pendidikan yang layak tanpa diskriminasi.
Jika pemerintah memang berniat untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pendidikan nasional, seharusnya modernisasi pendidikan itu ada serentak untuk semua sekolah, baik yang diperkotaan ataupun di pelosok negeri di indonesia. Pemerintah tidak seharusnya hanya me”wah”kan sekolah-sekolah dikota, dan hanya beberapa sekolah saja. Sedangkan sekolah lain di pelosok negeri berada di bawah standart kelayakan. Karena pendidikan yang layak, bagus, dan berkualitas adalah hak semua warga Negara bukan hanya menjadi milik sebagian orang. Dengan pendidikan yang berkualitas, maka rantai kemiskinan yang lama diderita negeri ini akan mudah untuk dilepaskan.
Di tengah carut-marutnya perekonomian Indonesia, kendala biaya memang akan sangat berpengaruh terhadap upaya modernisasi pendidikan ke seluruh pelosok negeri. Namun, hal itu bukan menjadi sebuah hambatan tatkala pemerintah memang bersungguh-sungguh untuk mewujudkannya. Pemerintah harus benar-benar mengalirkan dana pendidikan sebesar 20% dari APBN dan APBD seperti yang diungkapkan dalam UUD 1945 pasal 31 ayat (4) murni untuk kegiatan pendidikan. Bukan untuk dinikmati oleh kalangan pejabat itu sendiri. Karena pendidikan adalah salah satu hal yang paling esensi dari berdirinya dan berkembangnya suatu Negara. Jika pendidikan di suatu Negara baik, maka Negara tersebut akan semakin mudah untuk berkembang, begitupun sebaliknya.
Upaya modernisasi pendidikan itupun dapat dilakukan secara bertahap. Dimulai dengan upaya modernisasi pendidikan berbasis local, artinya sekolah baik yang di desa ataupun dikota mendapatkan perlakuan yang sama dari segi sarana prasarana, tenaga pendidik, ataupun cara pembelajaran. Sehingga tidak akan ada lagi perbedaan kualitas dan tidak akan dikenal lagi istilah sekolah “maju/unggulan” dan “sekolah pinggiran”. Dan sekolah yang bagus, bermutu dan berkualitas akan ada tidak hanya untuk orang kaya, tapi untuk semua anak negeri ini.
Dan untuk mewujudkan hal tersebut dibutuhkan kerja sama dan kesungguhan dari pemerintah, baik pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah beserta masyarakat indonesia pada umumnya. Sehingga tujuan Negara untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa” akan segera terwujud.

KESIMPULAN

 Sekolah bertaraf internasional (SBI) merupakan wujud upaya pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional dengan cara proses internasionalisasi pendidikan. Sekolah ini dituntut untuk menjadi sekolah yang sesuai dengan standart sekolah internasional di Negara-negara maju yang mengedepankan teknologi dan penguasaan bahasa asing. Keunggulan-keunggulan yang dimiliki SBI, menuntut adanya sebuah hubungan timbal balik dengan sisi financial pembayaran pendidikan yang tergolong sangat mahal. Sehingga, saat ini SBI masih dikatakan sekolah  milik anak-anak dari golongan atas. Sedangkan mereka dari golongan bawah, yang jika didasarkan pada amanat UUD 1945 pasal 31 juga berhak atas pendidikan yang layak, justru saat ini memiliki peluang yang sangat sedikit untuk bisa menikmati pendidikan yang layak dan bermutu sekelas SBI. Dan tentu, hambatan itu terkait dengan beban biaya yang harus ditanggung.
Upaya pemerintah untuk membawa pendidikan nasional ke ranah “modernisasi pendidikan” dengan cara melahirkan SBI, yang kemudian diikuti RSBI, SSN, dan sekolah reguler secara tidak langsung juga membawa pendidikan nasional ke arah “kastanisasi pendidikan”. Yaitu, pembagian kelas-kelas sekolah yang didasarkan pada kualitas dan mutu pendidikan yang juga berujung pada pengelompokan strata berdasarkan kemampuan financial dalam pembayaran pendidikan. Anak dengan kemampuan materi berlimpah untuk sekolah SBI dan RSBI, golongan menengah untuk SSN, dan golongan bawah untuk sekolah reguler. Pengkotakan-kotakan kelas-kelas sekolah ini menyiratkan sebuah makna bahwa sekolah yang bagus, bermutu, dan berkualitas hanya ada untuk anak-anak orang kaya. Dan bisa dikatakan bahwa pendidikan nasional saat ini telah melanggar amanat UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap warga Negara berhak untuk memperoleh pendidikan yang layak tanpa ada diskrimasi.


[1] Undang-Undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (online)http://downloads.ziddu.com/downloadfile/3395384/UUSikdiknas.PDF.html diakses pada tanggal 31 desember 2010

[2] Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945. 2004. Surabaya: penerbit Apollo

[3] Kompas. 2010. 7 mei. “kastanisasi pendidikan”. Halaman 11

[4] Ibid.,
[5]Thamita. 2006. Modernisasi pendidikan. (Online) (http://thamita.multiply.com/journal/item/45/Modernisasi_Pendidikan diakses pada tanggal 3 januari 2011.

[6] Ritzer, George dan Dogman, douglas. 2010. Teori sosiologi: dari teori klasik sampai perkembangan mutakhir teori social post modern. Bantul: kreasi wacana.

[7] Wardoyo, cipto. 2010. Orang miskin dilarang sekolah!.(online). http://soulofcipta.blogspot.com/item/32/orang-miskin-dilarang-sekolah.html diakses pada tanggal 2 januari 2011