Selasa, 31 Maret 2015

Apa Cinta itu Harus Menunggu?



Judul                : Aku Menunggumu
Penulis             : Devi Eka
Penerbit           : De Teens (Diva Press Group)
Cetakan           : I, Februari 2015
Tebal               : 216 Halaman
ISBN                : 978-602-255-803-3

“Sampai saat ini pun aku masih bertahan. Sampai kapan? Sampai aku benar-benar menyadari kalau ia bukan untukku. Pasti ada waktu tertentu untuk sampai pada titik jenuh itu. Kapan? Entahlah. Aku belum jenuh, dan mungkin takkan pernah jenuh untuk menunggunya.”

Dalam hal cinta, beberapa orang, bahkan mungkin sebagian besar lebih meyakini bahwa cinta harus dikejar, bukan ditunggu. Menunggu dan mengejar adalah dua pekerjaan yang saling bertolak belakang. Jika menunggu dianggap pekerjaan pasif dan melelahkan, maka mengejar adalah tindakan aktif dan nyata untuk mendapatkan. Dengan mengejar, seseorang merasa telah beberapa langkah lebih dekat dengan apa yang dia inginkan. Bisa memotong waktu, dan memangkas jarak. Tapi, bukankah cinta takkan pernah sama dengan matematika? Yang hasil akhirnya bisa diprediksi dengan presisi?

Novel ini mengajak pembaca untuk mengerti bahwa mencintai selalu sepaket dengan keikhlasan melepaskan selama yang dicintainya mendapatkan kebahagiaan. Tapi, layaknya manusia yang mencinta, tak berdosa rasanya jika harapan tuk mendapatkan cinta dengan porsi yang sama masih tetap tumbuh di tengah kenyataan yang memang terasa menyesakkan. Karena itulah, dalam cinta selalu ada pilihan untuk “menunggu”. “Bila cinta lebih indah dengan menunggu, apa salahnya aku berharap kau ada di sisiku kembali, bukan?” Ya, bagi Kalea, pun juga bagi Ruka, menunggu adalah perkara melebarkan kesabaran. Namun, juga tak ada alasan untuk percaya bahwa penantian itu akan sia-sia.
“Aku adalah salah satunya, menjadi orang yang mencintainya, bukan yang dicintai.” (Hal 140)
Setiap manusia akan merasakan yang namanya mencintai dan dicintai. Namun, manusia tidak mempunyai daya control atas apa yang akan terjadi dalam hubungan percintaannya. Seringnya, seseorang berharap pada dia yang justru mengharapkan orang lain, dan memberikan bahagia kepada ia yang membuatnya berurai air mata. Begitulah, cinta segi empat yang menyelimuti perjalanan hidup Kalea, Ruka, Konane, dan Malia. Sebuah segi empat tak beraturan, dengan Ruka di salah satu titik yang saling berjauhan dengan Kalea, dan Konane dan Malia di titik yang saling berdekatan.

Bagi Ruka, keceriaan gadis pendiam bernama Kalea itulah yang menularkan semangat dalam dirinya. Meski ia berbeda, namun kehadirannya mampu meramaikan kesunyian yang terkadang melanda sudut hati seorang Ruka. Mahasiswa pertukaran dari Indonesia yang mahir memainkan alat music Ukulele. Sementara bagi Kalea, Ruka adalah sosok yang telah membangkitkan kesadarannya kembali, bahwa seorang Kalea yang selama ini dikenal sebagai gadis pemurung juga bisa berarti, ketika ia telah berani memutuskan apa yang dia suka dan dia inginkan dalam hidupnya. Baginya, Ruka tidak hanya mengajarkannya persahabatan, pun tidak sekedar keahlian, tapi juga sebuah ketulusan.

Hari-hari Kalea juga semakin berwarna dan bersemangat dengan hadirnya Konane. Lelaki tampan dengan segala pesonanya, yang memang sejak awal ia kagumi. Kekaguman yang awalnya hadir entah karena ketampanan, atau kemampuannya memainkan ukulele dan piano yang begitu menawan. Tak peduli ia datang untuk pergi, atau pergi untuk kembali, bagi Kalea dia adalah sosok yang telah mengisi relung hatinya, dengan sesuatu yang ia sebut dengan cinta. 

Dan Malia, gadis cantik nan popular yang tidak pernah menyukai, bahkan sebelumnya tidak pernah menganggap kehadiran Kalea. Kalea sendiri,  tidak pernah merasa harus bersaing dengan Malia. Dalam hal kepopuleran, tentu ia tidak menginginkannya. Tapi, siapa yang menyangka jika ternyata kedua gadis itu juga harus bersaing dalam hal cinta.

 Sesuatu yang wajar ketika anak manusia menginginkan kebersamaan dengan orang yang dicintainya. Namun sayangnya, Cinta tak pernah datang dengan kepastian. Setiap hubungan pun pasti punya dua kemungkinan, antara berhasil atau justru nihil. Ya, itulah hidup. Akan ada saatnya mereka yang mencinta merasakan romansa yang berbunga-bunga. Tapi, juga ada saatnya awan gelap itu melanda. Ketika kata perpisahan telah dilontarkan, yang tersisa hanyalah hubungan yang telah kosong. Hampa.
“Apakah aku terlalu bodoh untuk menunggunya?”
“Tidak. Manusia yang memiliki berjuta-juta keinginan akan sanggup menunggu untuk sebuah harapan yang terkadang tidak selalu terjadi. Harapan akan cinta inilah yang membuat manusia tegar, dalam diam maupun dalam helaan nafas.” (Hal 178)
Ketika cinta yang begitu besar tak dibalas dengan sepadan, masih haruskah kita mempertahankan rasa yang tak bermasa depan? Tak salah rasanya jika kita turut berpegang pada apa yang Ruka yakini. Bahwa seseorang tak bisa meminta orang lain untuk memilih mencintai atau tidak mencintai diri kita. Jangan salahkan apa pun saat kita jatuh cinta. Seperti simpul terikat mati, takdir sudah mengikat, bahkan air mata pun tak mampu menggoyahkan keputusan itu. Ya, jatuh cinta adalah bagian dari sepotong rencana takdir. Percaya saja selalu ada akhir yang manis. 

Mungkin saja cinta memakan waktu untuk sampai di hatinya. Mungkin saja, bukan? Semoga saja tidak terlambat.

Minggu, 29 Maret 2015

Ijinkan, Kami Tetap Nyaman Dengan Diri Sendiri



Persahabatan memang sepatutnya menanggalkan gengsi. Semuanya, selayaknya dijalani dengan jujur tanpa ada yang ditutup-tutupi. Namun, ketika dia tak sama dengan dirimu yang terbuka, bukan berarti harus berselang sengketa, bukan?

Karakter orang memang berbeda, dan karena itu pula perlakuan yang harus diberikan juga berbeda. Katakanlah, saling memahami karakter masing-masing. Ada beberapa diantara mereka yang ekstrovert, ada yang introvert, bahkan ada yang ambivert. Diantara ketiganya, orang-orang introvert-lah yang paling rentan disalahpahami. Bisa jadi karena mereka membutuhkan waktu lebih lama untuk nyaman dengan orang baru, sehingga kerapkali mereka dicap pemalu, penyendiri, atau bahkan sombong. Meski nyatanya, tentu tidak demikian.

Saya pribadi, seringkali merasa bahwa saya berada dalam golongan ini. Ya, saya merasa lebih bersemangat ketika sendiri, dan justru kurang semangat ketika berada di tengah banyak orang. Bagi saya, sendiri bukan berarti sepi. Karena memang, kesendirian adalah ruang terbaik untuk melakukan aktifitas yang paling saya senangi. Saya bisa melakukan apa saja, merenungi apa pun yang perlu tuk direnungkan, dan yang terpenting, di saat seperti itulah saya bisa lebih memahami tentang diri saya. Sehingga sangat wajar ketika orang lain merasa depresi dengan yang namanya kesendirian, orang introvert seperti saya justru bisa lebih berekspresi dan melakukan aktifitasnya dengan penuh semangat.

Karena lebih bisa menikmati kesendirian inilah, menjadikan mereka sosok yang seringkali dianggap anti social, penyendiri, dan pilih-pilih teman. Padahal nyatanya, keduanya berada dalam konteks yang berbeda. Mereka yang introvert juga sama seperti manusia lain, yang ingin dekat dengan dunia sekitarnya. Hanya saja, cara mereka untuk menunjukkannya memang berbeda. Ada karakter-karakter unik yang jarang orang lain bisa dan mau memahaminya.

Ok lah saya masuk dalam golongan introvert. Tapi, nyatanya kualitas hubungan saya dengan lingkungan di luar diri saya, selalu baik-baik saja. Saya memiliki beberapa lingkaran persahabatan yang masih terjalin erat hingga saat ini. Dan jangan kau anggap lingkaran persahabatan orang introvert hanya berkutat di golongan sejenis. Tentu tidak. Beberapa sahabat saya justru dari golongan ekstrovert. Lalu, ditengah perbedaan karakter keduanya yang begitu mencolok, apa yang bisa membuat kami bertahan? Saling memahami.
Memahami orang ekstrovert memang lebih mudah karena mereka lebih terbuka, beda halnya ketika kita harus memahami mereka yang introvert yang cenderung sedikit bicara, dan terkesan lebih tertutup. Disinilah saya harus berterimakasih pada mereka, sahabat dan orang-orang terdekat yang telah memahami saya.

Dan bagi kamu, yang selama ini merasa jengah dan menganggap orang-orang introvert anti social, cobalah sedikit mengerti dan mau berkompromi. Karena di setiap sisi dunia selalu ada berbagai macam manusia yang akan mewarnai hidupmu.

Baiklah, akan saya tunjukkan padamu, bahwa menjalin hubungan dengan mereka yang introvert adalah salah satu hal yang harus dicoba dan dipertahankan. Dan bagi kamu yang introvert, berbahagilah. Dengan pembawaanmu yang tenang, tak banyak bicara, tak neko-neko, dan segala hal unik yang ada padamu, itu sebenernya menunjukkan bahwa kamu pantas dicintai dengan cara yang sederhana.

Satu hal yang paling menonjol dari seorang introvert adalah mereka yang tidak banyak bicara, tapi, bukan berarti tak ingin bicara sama sekali. Karakter mereka yang terbiasa berpikir secara mendalam menjadikan mereka seringkali menunggu momen yang pas untuk mengutarakan pendapatnya. Dan alhasil, mereka memang lebih nyaman dengan percakapan yang kaya makna. Mereka tak pandai tuk berbasa-basi. Karena mereka memang lebih suka berbicara dengan poin yang jelas.

Terbiasa berpikir secara mendalam, dan minim bicara, seringkali membuat mereka lebih suka memendam sendiri masalahnya. Mereka tidak terbiasa mengutarakan apa yang ada dalam pikirannya setiap waktu. Tapi, juga bukan berarti mereka tak ingin dibantu, diperhatikan, atau dipedulikan. Ada waktu tersendiri untuk itu. Bagi seorang introvert, mereka akan terlebih dahulu berpikir panjang sebelum bicara. Dan, pasti akan ada waktu dimana mereka akan bercerita panjang lebar akan masalahnya. Percayalah, kau hanya perlu bersabar.
Kebiasaan mereka yang suka menghabiskan waktunya untuk berpikir, berbicara dengan diri sendiri, atau bahkan berbicara dengan hati, menjadikan mereka sosok orang yang senang berpikir, menganalisis, introspeksi, dan mempertimbangkan segala hal. Memaksanya untuk segera memutuskan sesuatu, justru akan sangat menyiksa bagi mereka. Akan lebih baik, memberikan waktu baginya untuk berpikir. Dan ketika mereka telah bicara atau telah membuat keputusan, itu adalah hal yang penuh makna.

Mereka juga lebih banyak menghabiskan waktu mereka untuk mendengarkan daripada berbicara. Bahkan, detail-detail kecil ketika orang lain bercerita juga tak luput dari perhatian mereka. Alhasil, Kebiasaan inilah yang menjadikan mereka lebih bisa mengerti keadaan orang lain. Mereka mampu merasakan emosi orang lain melalui tutur kata, melalui pandangan mata, atau melalui gesture tubuh mereka. Menjadi lebih peka atas kondisi orang lain adalah sebuah kelebihan bagi seorang introvert. Karena mereka bisa dengan mudah mengetahui perasaan orang lain dan dapat segera menemukan sikap yang benar untuk memperbaikinya. Begitu juga sebaliknya, orang-orang introvert juga ingin dihargai ketika dia berbicara. Ketika seorang introvert mulai bicara, itulah kalimat yang menurutnya paling berharga dan pas. Jadi hargailah, dan berhentilah memotong kalimatnya agar dia tetap merasa nyaman.

Suatu hal yang unik bukan, sosok yang seringkali lebih bisa menikmati waktu sendiri, justru adalah orang yang juga sangat peka, peduli, dan tidak egois terhadap orang lain. Bisa jadi, kelebihan inilah yang menjadikan seorang introvert justru lebih bisa menjalin hubungan yang berkualitas dan kaya makna. Meski dalam lingkaran pertemanan yang memang relative lebih sempit jika dibandingkan dengan mereka yang ekstrovert. Bagi mereka, kualitas lebih penting daripada kuantitas. Ketika mereka telah terlibat dalam sebuah lingkaran hubungan, persahabatan misalnya, maka mereka akan benar-benar menjaga dengan sangat baik hubungan tersebut. Karena bagi seorang introvert seperti saya, berapa banyak jumlah teman tidak lagi kami pedulikan. Kami lebih peduli tentang bagaimana menjalin persahabatan kecil yang erat dan saling membangun satu sama lain.

Masihkah kalian menganggap seorang introvert sebagai sosok yang anti social? 

Ah, Seandainya kalian bersedia memahami sedikit saja tentang kami. Tentu kalian akan mengerti bahwa kami juga sangat paham atas waktu. Waktu untuk orang lain, sahabat-sahabat terdekat, dan waktu untuk diri sendiri. Dan ijinkanlah, kami tetap nyaman dengan diri sendiri. 


(Resensi Koala Kumal) Cinta Tahu Kemana Harus Pulang



Judul               : Koala Kumal
Penulis             : Raditya Dika
Penerbit           : Gagas Media
Cetakan           : 1, Desember 2014
Tebal               : 250 Halaman
ISBN               : 979-780-769-X

 “Dalam rekam jejak hidupku kau tak akan pernah hilang. Namun, bukan padamulah kini dapat kutemukan kata pulang.”
Siapa yang tidak pernah merasakan indahnya jatuh cinta dan pahitnya patah hati? Hampir semua orang pasti pernah mengalami keduanya. Raditya Dika, melalui novel terbarunya, Koala Kumal mengajak pembacanya berbicara tentang hubungan yang “patah”. Mulai dari patah hati terhadap persahabatan, sikap yang tanpa sadar telah membuat orang lain patah hati, patah hati pada orang yang bahkan belum kita kenal, perasaan yang berubah terhadap orang yang sama, hubungan orang tua dan anak, hingga patah hati terhebat yang mengubah cara pandang terhadap cinta.

Masih mengusung genre yang sama, dalam Koala Kumal penulis tetap menyajikan sesuatu yang berpijak pada pengalaman-pengalaman pribadi, yang kemudian ia tuangkan dalam sesuatu yang ia sebut dengan “komedi pakai hati”. Di setiap lembarnya, pembaca tidak saja dibuat tersenyum dan bahkan tertawa lebar, namun juga diajak tuk merenung dan berfikir. Karena di bagian akhir setiap babnya, penulis selalu memberikan penutup yang mencerahkan.

Membaca buku ini pembaca diajak untuk belajar dari hal-hal pahit yang sering dialami. Bahwa terkadang, memang akan ada saat dimana kita memberikan hati pada orang yang salah. Namun, orang-orang yang menghargai hiduplah yang akan cepat move on  dan kembali melanjutkan kehidupannya.  “Kalau gak patah hati, gak belajar kali Ma,” begitulah kata Raditya Dika.

“Setiap orang pasti akan mengalami patah hati
yang mengubah cara pandangnya dia terhadap cinta seumur hidupnya.
Cara dia ngelihat cinta akan berbeda semenjak patah hati itu.” (Hal. 207)

Mengenang kembali rasa yang pernah ada, dan tentang kenyamanan yang telah punah ditelan masa, memang tidak pernah mudah. Seperti melakoni napak tilas langkah yang hanya menyisakan luka yang dalam. Tapi, melalui buku ini penulis seolah ingin menunjukkan bahwa mencintai selalu sepaket dengan keikhlasan melepaskan selama yang dicintai mendapatkan kebahagiaan. Ya, hidup harus terus berjalan. Patah hati dan segala kekecewaan yang mengiringinya, seharusnya menjadikan seseorang menjadi lebih kuat dan lebih dewasa.
“Perlu berapa kali diselingkuhi agar kita kuat menghadapi patah hati?” (Hal. 68)

Perpisahan, apapun bentuknya memang selalu menyisakan duka. Dan seringnya, menjadikan seseorang limbung, seperti tercerabut dari akarnya. Selalu butuh waktu untuk kembali tegak berdiri. Merelakan hal yang telah hilang memang terdengar simple. Tapi hanya orang bodohlah yang akan mengabaikan hal yang dimilikinya untuk sesuatu yang telah hilang darinya. Sakit dan sembuh mempunyai waktunya sendiri, kita hanya perlu tahu cara merawat luka. Mengolah kegalauan dan mengambil pelajaran darinya.

“Dan aku yang sekarang, enggak mau dengan kamu yang sekarang.” (Hal 246)

Urusan cinta juga bukan tentang menang dan kalah. Tak pernah ada giliran untuk saling menyakiti. Karena sejatinya, Cinta adalah perjuangan mempertahankan kenyamanan. Sedangkan kenyamanan, sama halnya seperti siklus kehidupan yang perlahan bisa tergantikan. Sesuatu yang dulu kita anggap sebagai rumah, tempat untuk melunasi rindu dan menyemai bahagia, kini semuanya tidak lagi seperti dulu. Sesuatu yang dulu kita akrabi, sekarang tidak lagi kita kenali. Semuanya telah berubah, semuanya telah berbeda.

Secara keseluruhan, Koala Kumal memang masih berkutat pada cerita-cerita masa kecil Raditya Dika yang kikuk dan tak mempunyai banyak teman. Begitu juga dengan tingkah laku keluarganya yang absurd, serta beberapa kisah kehidupannya bersama wanita-wanita yang pernah singgah di hatinya. Buku ini pun juga masih dilengkapi dengan bab penuh tips-tips komikal, yang diselipkan di sela-sela cerita. Hanya saja, humor-humor yang penulis sajikan, kini ditulis dengan narasi yang lebih reflektif dan kontemplatif. Bab-bab seperti “Perempuan Tanpa Nama”, “Patah Hati Terhebat”, serta “Koala Kumal”, adalah contoh bab dalam Koala Kumal yang ditulis dengan gaya seperti ini.

Secara konten, yang membedakan novel ini dibandingkan novel-novel terdahulunya adalah peletakan bab yang ditata secara lebih cermat. Jika dalam Marmut Merah Jambu atau Manusia Setengah Salmon, pembaca mampu dengan mudah menangkap apa yang ingin disampaikan penulis, tanpa perlu membaca bukunya secara tuntas. Dalam Koala Kumal, di sepanjang dua belas bab buku ini, pembaca dibuat sedikit bingung untuk menarik kesimpulan. Baru di bab terakhirlah terlihat dengan jelas apa sebenarnya yang hendak disampaikan oleh penulis, dan mengapa Koala yang dipakai sebagai judul buku.

Selebihnya, novel ini memang mampu menguatkan Raditya Dika sebagai penulis personal literature yang mampu memadukan kisah-kisah hidupnya, mengikatnya dalam sebuah premis yang kuat, dan tanpa melupakan unsur komedi yang menjadi genre literasi pilihannya.