Sabtu, 14 November 2015

Nasehat Seorang Sahabat untuk kita…^_^




Sahabatku...
Janganlah kau cemberut saat merasa sedih, karena kau tidak tahu kapan seseorang suka pada senyummu. Mungkin bagi dunia, kau hanyalah seseorang. Tapi bagi seseorang, mungkin kau adalah dunia. Maka nikmatilah rasa sedihmu, dengan berfikir positif dan memanfaatkan apa yang kau miliki dengan lebih baik lagi agar besok menjadi sesuatu yang berguna dan lebih berarti.

Sahabatku...
Jika sampai saat ini kau masih sendiri, menjadi manusia paling sepi, janganlah kau merasa terpuruk dan rendah diri. Lihatlah, bukankah jari-jemarimu dipisahkan oleh sela-sela kosong? Ya, karena Tuhan tahu, bahwa suatu saat pasti akan ada yang mengisi kekosongan itu, menggenggam erat jemarimu dan berkata : "Aku akan selalu menjagamu dan akan selalu ada untukmu..."

Sahabatku...
Tuhan terlalu bijak, sehingga Ia menciptakan seorang sahabat tanpa harga sepeser pun. Karena jika Tuhan mematok harga, sungguh, aku takkan pernah sanggup membeli sahabat berharga seperti dirimu. Di dunia ini tak ada sesuatu yang sempurna, termasuk juga sahabatmu. Maka seburuk dan sebenci apa pun kau pada seseorang, berusahalah untuk meredamnya, lalu menasehatinya, karena bisa jadi saat sudah kau lepaskan, penyesalanmu menjadi sesuatu yang sia-sia. Ternyata begitu banyak kebaikan yang tidak kau lihat sebelumnya. Ternyata begitu banyak keindahan yang terlewat dan tak sempat kau nikmati bersamanya.

Sahabatku...
Setiap awal membuka mata, bersyukur adalah hal pertama yang harus kau lakukan, atas kehidupan yang telah memberikan kesempatan, atas keberadaan senyum dan semangat dari orang-orang yang menyayangi dan kau sayangi, serta atas keyakinan bahwa rentetan hari akan menjadi hari yang menakjubkan. Percayalah, hidup itu indah jika kita tahu bagaimana cara menjalaninya.

Sahabatku...
Tak ada yang lebih merindukan kita setulus kematian. Kita tidak bisa menjamin, 1 kali 24 jam setelah membaca goresan tak berarti ini, kita masih bisa bernafas. Maka Rasul pun bersabda : "Ada dua kenikmatan yang kebanyakan manusia tertipu oleh keduanya: kesehatan dan kesempatan". Selagi masih ada kesempatan dan kesehatan, berbuatlah, karena sekecil apapun yang kau yakini kebenaranya, ia akan tetap memiliki makna.

Sahabatku...
Konon, hidup ini cuma sesaat, maka jadikan ia lebih bermanfaat. Jika air mata adalah beban, jadikan senyum sebagai penawarnya. Jangan katakan apa yang kau ketahui, tapi ketahuilah apa yang kau katakan. Orang seringkali menilai dari apa yang mereka lihat, bukan dari apa yang mereka ketahui. Jadikan dirimu senyuman bagi sesama dan buatlah mereka selalu bahagia bila bersamamu....

Rabu, 11 November 2015

Hagia Sophia, Senja, dan Cinta yang Setia



 
 
“Perbedaan antara keteguhan hati dengan keras kepala hanyalah terletak pada kemauan dan ketidakmauan.”

Cerita pendek dalam kumpulan cerpen (kumcer) “Hujan Pertama Untuk Aysila” ini, sebagai salah satu genre sastra, hakikatnya dikelompokkan dalam kategori sastra interpretif  (Interpretive Literature). Yakni genre sastra yang sering dikonotasikan dengan sastra serius, sastra yang untuk ditafsirkan dan direnungkan.

Dalam perspektif sosiologi sastra, cerpen tidak dipandang dari estetikanya, melainkan lebih pada sastra sebagai produk budaya. Karena itu, kumcer ini dapat diposisikan dalam dua dimensi tulisan atau karya budaya (cultural writings) entah itu produk budaya atau pembentuk budaya. Karya ini sebagai produk budaya yang telah dihasilkan oleh penulisnya, namun juga merupakan entitas pembentuk (pengonstruksi) budaya bagi pembacanya, mengingat proses pembacaan adalah juga proses kreatif untuk merespon dan mereproduksi budaya yang baru –entah dalam tingkat idea, aksi, maupun produk budaya berikutnya.

Setelah membaca 12 cerpen yang ada dalam kumcer berjudul “Hujan pertama untuk Aysila” ini, dapat ditarik benang merah bahwa tema besar karya ini adalah tentang keteguhan hati. Ada beberapa kluster “keteguhan hati” disini, yakni tentang keteguhan akan pilihan hati dalam cinta, keyakinan, pola pikir, dan keputusan serta dalam pengabdian yang tentu diyakini sebagai suatu kebenaran. Meski nyatanya, kebenaran pun memiliki banyak sisi, sebanyak orang yang memaknainya.

Ada sembilan buah cerpen yang menggelitik pembaca dengan isu cinta, kesetiaan, dan masalah hati yang pantas untuk dijadikan cermin.  Dalam cerpen “Hujan Pertama Untuk Aysila”, “Kue Tart Yang Setia Dijaganya”, dan “Cerita Kesetiaan Gadis Berponi Curly”, terlihat bahwa cerpen-cerpen ini berusaha mengajak pembaca untuk mengerti bahwa mencintai selalu sepaket dengan keikhlasan melepaskan selama yang dicintainya mendapatkan kebahagiaan. Tapi, layaknya manusia yang mencinta, tak berdosa rasanya jika harapan tuk mendapatkan cinta dengan porsi yang sama masih tetap tumbuh di tengah kenyataan yang memang terasa menyesakkan. Karena itulah, dalam cinta selalu ada pilihan untuk “menunggu”. Menunggu atau menanti dalam kesetiaan adalah juga perkara melebarkan kesabaran. Namun, juga tak ada alasan untuk percaya bah'wa penantian itu akan sia-sia.

Seperti Aysila, “Ia hidup hanya untuk setia”. Ya, kesetiaan. Gadis-gadis yang selalu bersedia menunggu dengan setia, para lelaki mereka. Meski terkadang, ada risau akan kesetiaan yang sama dari para lelaki, gadis-gadis itu tetap menjadi bagian dari betapa berharganya arti kesetiaan. “Adakah yang lebih berharga dalam hidup seorang gadis kecuali kesetiaan?”.

“Hagia Sophia, senja, dan cinta yang setia” seolah ingin menunjukkan bahwa kesetiaan masih menjadi bagian dari hidup Aysila, bahkan di usianya yang telah senja. Cerpen yang berjudul “Ku Tunggu Kamu Di Hagia Sophia”, mengajak pembaca untuk mengerti bahwa Cinta tak pernah datang dengan kepastian. Setiap hubungan pun pasti punya dua kemungkinan, antara berhasil atau justru nihil. Menunggu pun demikian. Selalu berada diantara dia yang datang untuk pergi, dan dia yang pergi untuk kembali.

Perpisahan, apapun bentuknya memang selalu menyisakan duka. Dan seringnya, menjadikan seseorang limbung, seperti tercerabut dari akarnya. Selalu butuh waktu untuk kembali tegak berdiri. “Menangkap Nawang Wulan” dan “Lelaki Yang Penuh Kenangan” kurang lebih ingin berbicara tentang hal itu. Urusan cinta juga bukan tentang menang dan kalah. Tak pernah ada giliran untuk saling menyakiti. Karena sejatinya, Cinta adalah perjuangan mempertahankan kenyamanan. Sedangkan kenyamanan, sama halnya seperti siklus kehidupan yang perlahan bisa tergantikan. Sesuatu yang dulu kita anggap sebagai rumah, tempat untuk melunasi rindu dan menyemai bahagia, kini semuanya tidak lagi seperti dulu. Sesuatu yang dulu kita akrabi, sekarang tidak lagi kita kenali. Semuanya telah berubah, semuanya telah berbeda.

Lebih jauh, pembaca juga diajak untuk menyelami aspirasi dan kritik social. Cerpen “Madame Tussaud” ingin berbicara bahwa aspirasi memang perlu dikumandangkan, kendati kemungkinan untuk membuahkan hasil sangat kecil. Cerpen ini juga berbicara tentang keteguhan hati akan pengabdian seorang bawahan terhadap majikannya. Pengabdian yang tetap dia persembahkan meski nyawa sekalipun yang akan menjadi taruhannya. Memang ada jarak social-psikologis antara bawahan yang tersubordinasi dan atasan yang mensubordinasi. Hal ini juga terlihat dalam cerpen “Orang-Orang yang mengganti Hatinya dengan Batu”, keduanya sama-sama berbicara tentang keteguhan hati untuk mengabdi pada atasan, meski konteks keduanya sangat jauh berbeda. Cerpen “Orang-Orang yang mengganti Hatinya dengan Batu” lebih terasa kritik social dan dunia liar yang seolah memang menyelimuti ranah tersebut.

Dalam beberapa cerpen, utamanya dalam cerpen “Cara Mudah Untuk Bahagia” yang sangat kental dengan pergulatan pemikiran dan keyakinan para tokohnya, penulis seringkali membahas ide-ide dan filosofi-filosofi Derrida, Barthes, Habermas, Baudrilard, Foucault, bahkan Sartre. Tidak saja dari segi substansi gagasan tapi juga dalam kecerdasan cara menyajikannya. Ia mendiskusikan nama-nama penting dalam jagad pemikiran tokoh social barat tersebut bukan dengan kualitas “ngalor ngidul” atau dienteng-entengkan, tapi justru sebaliknya, menukik tajam. Sehingga tidak heran, jika dalam beberapa cerpen seperti “Orang-Orang Yang Mengganti Hatinya Dengan Batu”, “Lelaki Yang Penuh Kenangan”, dan “Tukang Cerita Yang Tak Lagi Jatuh Cinta Pada Telepon Genggamnya”, penulis tidak hanya menyajikan tafsiran yang padat, kaya nuansa, tapi juga “Liar”.

Penulis memang tak memberi peluang pada pembacanya untuk ikut menimbang atau menguji ide orang-orang yang dikutipnya, dengan cara memaparkan gagasan itu secara cukup lengkap, sistematis, dan tertib. Sehingga bukan tidak mungkin, jika pembaca yang kurang akrab dengan pemikiran tokoh-tokoh tersebut, mereka akan sedikit mengalami kesulitan untuk mengikuti dinamika obrolannya. Sampai disini, sepertinya penulis memang memperlakukan mereka sepenuhnya sebagai rekan ngobrol. Bagai berbincang akrab dengan teman dekat yang setingkat dalam pengetahuan tentang data elementer di seputar pokok bahasan. Cara ini memang ampuh untuk menangkal tendensi yang amat dihindari oleh para penulis pada umumnya, yakni sikap menggurui.
 
Secara keseluruhan, cerpen-cerpen dalam buku ini memang dibentuk oleh pondasi berpikir, kompleksitas sudut pandang, dan analisis logis-argumentatif. Dan gaya surealis yang digunakan oleh penulis telah berhasil mengajak pembaca untuk berpikir reflektif, kontemplatif, dan analitis.

Hiduplah dengan penuh kesyukuran, Nak!








Sudah menjadi sifat dasar manusia terlahir dengan nafsu, yang menjadikannya tidak pernah puas dengan segala yang dimilikinya. Setelah memiliki sesuatu, tentu akan menginginkan yang lain. Setelah mencapai suatu target tertentu, tercipta target-target baru yang harus dicapai selanjutnya. Apa itu salah? Menurutku, memang tak sepenuhnya salah. Karena itu juga pertanda bahwa hidup kita terus bergerak dan berkembang. Tapi tentu, kita juga harus paham bagaimana cara mengendalikannya. Karena jika tidak, nafsu itu bisa membabi buta, bergerak menyerusuk tanpa terkendali. Dan seringnya, justru akan memupuk kemudharatan. Membutakan hati. Lalu, apa yang tersisa jika hati telah buta selain ukuran kebahagian dunia yang sebenarnya fana?

“Selalu ada tangan Allah di balik hidupmu. Jika kau sedang berada di bawah, jangan pernah kau putus asa dan berburuk sangka. Dan jika kau sedang berada di atas, sungguh sangat tak patut rasanya untuk berpuas dan berbangga diri. Apapun itu, syukurilah. ”

 Jika hidupmu saat ini masih terasa begitu menyesakkan, itu artinya Allah masih ingin mengajarimu arti perjuangan. Bukankah takkan pernah ada rasa manis jika sebelumnya kita belum tahu rasanya pahit? Ya, tetap jalanilah hidupmu. Jalanilah dengan penuh kesyukuran. Karena itulah sumber kebahagiaan yang sejati. Nikmat Allah tidak hanya berupa materi yang harus melimpah bukan? Sungguh, jika kita mampu membuka mata, betapa besar nikmat Allah yang Ia karuniakan pada umatnya di setiap waktu. Nikmat sehat, nikmat waktu, nikmat kesempatan, dan nikmat-nikmat lainnya yang acapkali tak terlihat, dan seringkali terlupa untuk disyukuri.

“Hidup itu tidak hanya harus melihat ke atas Nak, sesekali melihatlah ke bawah, agar kau benar-benar bisa memahami apa arti hidup sebenarnya.”

Sejak kecil, kita sudah dididik untuk menggantungkan mimpi setinggi langit. Itu artinya, kita telah diajarkan untuk mengejar sesuatu. Tidak lain, agar kita senantiasa memiliki semangat untuk menjadi pribadi yang lebih baik dari yang sebelumnya. Bukan justru menjadikan “atas” sebagai ukuran atau patokan dari sebuah kebahagiaan hidup. Karena jika itu terjadi, betapa meruginya kita karena telah lalai untuk mensyukuri nikmat-Nya yang jarang kita sadari karena terlalu focus untuk melihat mereka yang berada di atas. Sesekali lihatlah mereka yang berada di bawah, agar kau tahu betapa  sebenarnya kau sangat beruntung. Mereka akan mengajarimu cara mensyukuri kehidupan.

Idealnya, segala sesuatu memang harus seimbang. Boleh saja kita mengejar kehidupan duniawi, asal kita tak lupa mendekat pada-Nya, Sang pemberi. Cara yang paling sederhana, adalah dengan bersyukur. Bersyukur adalah ungkapan rasa terima kasih seorang hamba pada Tuhannya. Dengan bersyukur, kita menyadari bahwa kita hanyalah manusia yang lemah, yang tak memiliki kuasa tanpa bantuan dan pertolongan-Nya. Syukur juga pertanda bahwa kita yakin, bahwa Allah tidak pernah meninggalkan hambanya. Barang sedetikpun, tidak.

“Bersyukurlah Nak, maka kau akan bahagia.”

Wujud syukur pun ada bermacam-macam. Wujud paling sederhana, dengan ucapan “Alhamdulillah”. Lebih atas lagi, bisa juga dengan mengamalkan apa yang kita punya, baik itu rizki ataupun ilmu. Sederhananya, kita sedang meneruskan kesempatan. Cara seperti ini adalah salah satu cara ampuh untuk menghindarkan hati dari bahaya kufur nikmat. Yang jika dibiarkan, akan merembes menjadi sifat serakah, sombong diri, dan takabbur. Sungguh, semoga kita dijauhkan.

Salah satu CEO Penerbit di kota Jogjakarta, pernah mengungkapkan alasannya mengapa ia sangat getol menularkan semangat literasi pada calon-calon penulis muda, menyediakan ruang untuk mereka, dan membantu rumah-rumah baca dengan menyuplai buku-buku. Dan semuanya, gratis. Beliau mengatakan, bahwa itu adalah salah satu cara untuk senantiasa membersihkan hati. Utamanya, hati ketika kita sudah diberi kesuksesan. Karena, sudah menjadi sifat setan untuk selalu menggoda manusia. Dan hati adalah sasaran yang paling rawan akan godaan setan yang begitu halus menelusup. Karena hidup, hakikatnya adalah tentang ujian hati.

Maka, mari kita hidupi hati ini dengan penuh rasa kesyukuran. Tak peduli itu dalam keadaan sempit atau lapang, jika hati telah berhias syukur, kebahagiaan hidup pun akan teraih. Percayalah.

Selasa, 10 November 2015

Spirit Kepahlawanan untuk Masyarakat Madura







Derap dan deru pembangunan di Madura semakin keras dan memekakkan telinga. Setelah resmi memasuki Madura sebagai “zona Industri” pasca pembangunan Suramadu, kini Madura juga tengah dihadapkan pada wacana “provinsi baru” yang terus bergulir. Keduanya, sebagai gejala makro harus diakui bahwa keberadaannya mampu membawa pergeseran warna hidup secara sosial. Memang tidak ada yang salah dengan terjadinya sebuah pergeseran sosial, karena itu memang sebuah konsekuensi dari sebuah dinamika. Masalahnya sekarang adalah setiap dinamika pasti meminta ongkos, dan yang dkhawatirkan ongkos tersebut adalah terjadinya proses marginalisasi peranan masyarakat local. 

Kita tidak bisa memungkiri bahwa gejala marginalisasi itu akan lebih tampak pada suatu daerah yang sebelumnya masih terbelakang tapi tiba-tiba menjadi daerah yang digadang-gadang dengan harapan kesejahteraan melalui pembangunan dan privatisasi. Bagaimanapun, pembangunan adalah arus ekspansi capital yang memiliki logika tersendiri, yaitu mengikuti kemauan penguasa capital. Karenanya, jangan heran jika akan sulit sekali untuk berorientasi kepada rakyat.

Dalam konteks masyarakat Madura, tak salah rasanya jika kita bertanya, di tengah kondisi percepatan pembangunan yang demikian, apakah masyarakat Madura yang sebelumnya masih tradisional sudah sepenuhnya siap untuk menyongsong perubahan kearah masyarakat industrial? Atau benar-benar sudah siap untuk membentuk provinsi sendiri? Hanya satu yang dikhawatirkan, mereka akan menjadi korban dari pembangunan di tanah sendiri, menjadi pemuas syahwat kekuasaan sekelompok orang. Mengingat sampai detik ini, Madura masih diisi oleh mayoritas mereka yang hanya bermodalkan semangat untuk bekerja keras, minim keterampilan, pengalaman, dan finansial.

Prioritas, Untuk siapa?
Ada semacam hubungan yang nyata dan hampir berulang, antara ketidakberdayaan dengan kemiskinan. Ini adalah fakta yang jelas dan dikenal, namun menggelisahkan golongan yang lebih kuat, sehingga orang lebih baik memalingkan mukanya dan berbicara tentang masalah lain.

Untuk itu, marilah kita bersikap terbuka. Dari dulu hingga kini, Madura memang menjadi daerah yang identik dengan kemiskinan, dan jauh dari hingar bingar kemajuan dan kesejahteraan. Madura, sebagai bagian dari Jawa Timur dipisahkan oleh lautan mengesankan bahwa alam turut andil untuk mengisolasinya dari hingar bingar yang terjadi di Pulau Jawa. Setelah sekian puluh tahun termarjinalkan dalam pembangunan yang pada gilirannya berdampak domino pada timbulnya prasangka sosial, menjadikan masyarakat Madura tidak hanya menjadi masyarakat yang marginal, subordinat, miskin dan terbelakang, tapi juga stereotype dan penuh stigma negative.

Tapi, walaupun berbagai hal itu terjadi dan merupakan kenyataan konkret, kita tetap harus meninjau apa yang dapat dan perlu dilakukan untuk mengatasinya. Jangan sampai kita menjadi orang luar yang terperangkap dalam persepsi dan pola pikir pusat-pinggiran. Dengan pandangan yang diarahkan ke tempat yang jauh terpencil dan ke bawah kepada mereka yang tidak berdaya, penglihatan kita menjadi kabur. Dan hanya dapat melihat dengan jelas apa yang ada di depan mata atau di dekat kita, hanya memandang kegiatan-kegiatan yang berawal dari tempat kita berada.

Bagi mereka yang hidup layak dan terjamin, tentu tidak akan menjadi hal yang sulit untuk tetap memiliki kedudukan yang kuat, meski di tengah persaingan ekonomi global. Tapi, bagi mereka yang ada di bawah, dihimpit kemiskinan, persoalannya lebih jelas. Kemiskinan yang mencekik –dari segi material dan social- menyempitkan dan membengkokkan pikiran, menumbuhkan rasa sakit hati dan akhirnya membunuh jiwa raga yang bersangkutan. Jadi, benar dan pantas kiranya apabila kita memusatkan perhatian pada mereka yang ada di urutan “terakhir”, yaitu berjuta-juta orang yang sering tidak tampak, yang bergelimang kemiskinan, lemah, tersisih, rentan dan tidak mempunyai kekuatan apapun.

Rakyat dan Elite
Pada tingkat local, orang yang mempunyai kekuatan dan berkuasa disebut elite. Mereka berada di ujung lain dari mantra kehidupan orang-orang miskin. Keadaan jasmani mereka lebih kuat, kehidupan mereka lebih terjamin. Kedudukan mereka yang kuat, semakin dikukuhkan oleh factor-faktor seperti solidaritasnya sebagai suatu kelas masyarakat, dan juga oleh ketidakberdayaan golongan miskin. Dalam kedudukannya itu, mereka mempunyai hambatan cultural dan structural. Hambatan itu langsung muncul dan tampak dalam bentuk bias dalam pemikiran dan tindakan. Barangkali secara mental-spiritual, golongan ini bisa melakukan transendensi nilai-nilai dan mengatasi kesadaran kelasnya untuk berorientasi kepada golongan kecil. Tapi secara structural, hambatan menuju ke realisasi orientasi itu memang tidak mudah untuk diatasi.

Hanya dengan otokritik-lah, jalan keluar untuk mengatasi hambatan itu menjadi terbuka. Dan langkah pertama untuk menembus hambatan tersebut adalah dengan mendalami arti penting kata-kata “dari rakyat”, “oleh rakyat”, dan “untuk rakyat”.

Akhirnya, di hari pahlawan ini semoga kita menjadi paham bahwa seseorang disebut sebagai pahlawan karena ia mampu meruntuhkan episode ketidakberdayaan, kemiskinan dan kemandulan peradaban dengan sebuah kebangkitan. Akar dari kebangkitan adalah kecemasan. Jadi, sudah seharusnya kita diliputi kecemasan luar biasa sehingga kita harus bergerak. Di sinilah sebuah paradoks terpampang dalam layar peradaban: sebagian merasakannya, dan sebagian yang lain tidak. Bagi yang merasakannya, akan didera kecemasan dan ketakutan, lalu bergerak dan menjadi pahlawan. Sementara bagi yang tidak, akan bersikap dingin terhadap kepahitan itu, lantas diam menjadi orang-orang awam, atau bahkan kolaborator penjajah, stagnan hingga arus menenggelamkan mereka.
 
Adalah kita yang harus memilih, untuk terlahir dari rahim kecemasan ataukah rahim kenyamanan?