Minggu, 10 Mei 2020

Menguatkan dan dikuatkan - Tentang sebuah kata, tentang sebuah rasa

'Semua peristiwa dalam hidup sepertinya memang serba kebetulan tapi beberapa kejadian kadang meyakinkan kita kalau takdir memang tidak pernah datang secara acak. Selalu ada benang merah untuk setiap kejadian di masa yang akan datang'.

Setelah dulu pernah gagal masuk di jurusan dan PTN yang saya inginkan, saya selalu percaya bahwa setiap peristiwa pasti punya alasan mengapa itu terjadi. Pasti ada benang merah yang bisa dicari ujungnya, meski itu memang membutuhkan waktu. Waktu yang akan menjawab bahwa selalu ada alasan terbaik mengapa kemudian Allah menakdirkannya demikian.

Semester ini bisa dibilang sangat berbeda dari semester-semester sebelumnya. Ini pertama kalinya sistem pembelajaran tatap muka dialihkan sepenuhnya ke dunia digital berbasis daring. Sebuah pembelajaran yang lekat dengan kemajuan namun juga akhirnya menyadarkan betapa pentingnya pendidikan konvensional. Yah, meski memang selayaknya perubahan pada umumnya, ini pun membutuhkan adaptasi bahkan bagi kami-kami yang katanya generasi milenial ini. Entah itu adaptasi dari segi waktu, metode ajar, dan bahkan manajemen emosi. Iya, karena nyatanya pembelajaran daring lebih rieuweh.

Bagi saya pribadi, sejak awal, semester ini memang sudah terasa berbeda. Karena ibaratnya, selama hampir tiga tahun menjadi dosen, ini pertama kalinya saya keluar jalur dari bidang keilmuan saya. Yah, meski memang gak semelenceng dulu ketika dari anak eksak masuk ke Sosiologi, sih. Ini masih mending lah, karena setidaknya masih serumpun. Toh, sejak awal kuliah S1 dulu, saya memang sudah tertarik dengan ilmu psikologi, meski waktu itu fokusnya lebih pada diri sendiri. Ya, katakanlah belajar psikologi dan pengembangan diri untuk diterapkan pada diri sendiri, begitu. ;)

Kemudian, selama kerja jadi penulis pun, entah waktu jadi jurnalis di Tabloid Modis Nurani, penulis konten Penerbit Erlangga, ataupun di Kontenesia, seringnya juga berkutat dengan psikologi. Entah itu harus wawancara dengan Psikolog, Psikiatri, ataupun baca buku-buku psikologi, khususnya tentang psikologi perkembangan anak.

Tapi.. tetap saja mata kuliah Psikologi Kepribadian ini sebuah tantangan tersendiri bagi saya. Selain jika dilihat dari isinya ini lebih ke psikologi klinis dan teori-teori yang pastinya njelimet, sehingga otomatis saya harus bisa menyampaikannya dengan sederhana, tantangan lain mahasiswa yang saja ajar adalah anak semester 6; yang notabenenya sudah memasuki fase-fase galau akan masa depan. Fase yang juga rentan mengalami Quarter Life Crisis.

Bagaimanapun, mengajar psikologi bukan hanya tentang menyampaikan ilmu, tetapi juga harus siap mendengarkan, kan? Harus siap menjadi pendengar yang baik. Ini sebenarnya yang paling saya suka dari awal, karena memang ini salah satu karakter saya sejak dulu. Tipe pendengar yang baik, suka jadi tempat curhatnya orang.

Seiring berjalannya waktu, saya mulai menarik benang merah kenapa kemudian saya diamanahi mata kuliah ini. Salah satunya, Allah ingin saya belajar sekaligus menguatkan diri sendiri. Iya, percaya atau tidak, ketika saya membahas tentang manajemen emosi, sebenarnya saya juga tengah dalam kondisi harus bisa mengendalikan emosi (emosi yang dimaksud di sini bukan hanya emosi marah ya, karena secara psikologis emosi itu ada emosi positif dan negatif). Ketika saya bicara untuk menguatkan mereka, sebenarnya saya juga tengah menjadi sosok yang perlu untuk dikuatkan. Yah, ini semacam cara Allah untuk menguatkan. Semacam alarm sekaligus pengingat, bahwa 'kamu bisa ngomong gitu, ya kamu harus bisa kayak gitu juga, dong!'.

Mungkin, ini cara-Nya menguatkan, dengan cara mendengar cerita seseorang. Yang ketika sedang menguatkannya seperti sedang berbicara pada diri sendiri. Sungguh, cara Allah menunjukkan kasih sayang-Nya itu begitu indah, ya.

Selain itu, mengampu mata kuliah ini benar-benar semakin mengasah kepekaan dan empati saya. Tercatat, ada beberapa mahasiswa yang jika dilihat dari luar baik-baik saja, tapi sebenarnya menyimpan berbagai masalah psikologis. Mulai dari berbagai kasus traumatik, self harm atau menyakiti diri sendiri, Denial (pengingkaran) hingga berpotensi self injury, ketakutan akan masa depan, gangguan kecemasan, dan masih banyak lagi. Yah, ini semakin membuat saya sadar bahwa pendidik sebenarnya tak boleh abai dengan hal-hal yang seringkali itu di luar konteks pembelajaran; kondisi psikologis mereka.

Saya ucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya bagi kalian yang sudah mau terbuka dan membagi keluh kesahnya ke saya. Percayalah, kalian anak-anak yang kuat dan bisa melewatinya dengan baik. Semangat terus untuk menjadi lebih baik, ya.

Sebagai perempuan yang nantinya bakal jadi ibu, belajar teori psikologi kepribadian dan kemudian dihadapkan pada berbagai kasus seperti yang saya sebutkan sebelumnya, tentu itu sebuah pembelajaran tersendiri. Bagaimana sejatinya keluarga bisa menjadi tempat paling nyaman untuk anak, bahkan sejak awal masa tumbuh-kembangnya. Pun demikian terkait kemampuan dan kecerdasan, pembentukan karakter, hingga masalah dan ego orang tua yang tanpa disadari sebenarnya bisa berdampak bagi perkembangan kepribadian anak. Yah, sekali lagi saya banyak belajar.

Terlepas dari itu, semoga apa-apa yang kita pelajari di kelas bisa bermanfaat untuk kalian. Setidaknya untuk lebih memahami seperti apa kepribadian kalian, karena nantinya ini akan sangat bermanfaat untuk masa depan. Semakin kalian bisa mengenal diri sendiri, maka kalian akan lebih mudah meraih sukses. Lebih mudah untuk menata masa depan. Dan jika nantinya kalian jadi guru, semoga ini juga bisa menjadi bekal untuk kalian memahami kondisi psikologis anak didik.

Terima kasih atas antusiame kalian selama satu semester ini. Saya terharu loh, sebagian besar dari kalian bilang bahwa mata kuliah ini jadi yang paling ditunggu. Saya juga terharu sekali ketika ada yang bilang, bahwa satu kelas itu (mulai dari yang paling pendiem hingga paling rame) semuanya suka sama mata kuliah ini. Semuanya bisa aktif tanpa canggung ketika di kelas. Masya Allah... Coba ya, seandainya kita terus kuliah tatap muka, pasti lebih asyik dan berkesan.

Tapi ada juga beberapa kritikan, seperti saya yang harus merespon semua mahasiswa, jangan setengah-setengah. Yah, maafkan... Karena kuliah daring memang terkendala waktu. Gimanapun, saya juga ada tugas lainnya kan, termasuk tugas kerumahtanggaan, hahahaha. Maafkan ya... Tapi selalu saya usahakan setiap chat yang masuk saya bales kok. Cuma kalau pas saya bukanya sedang sibuk, ya di-read doang. Trs nanti kalo chatnya udah numpuk, lupa yang mau dibales. Maaf untuk yang mengalami ini.

Sekali lagi terima kasih untuk kalian. Dari kebersamaan selama satu semester ini sebenarnya saya juga banyak belajar. Pun ini juga yang awalnya menginisiasi saya dan teman-teman untuk mendirikan komunitas Sahabat Shalihah. Sebuah amanah baru yang semoga bisa menjadi tempat belajar bagi saya dan muslimah lainnya.

Akhir kata, terus semangat... Masa depan kalian masih panjang dan bisa jadi ke depannya kalian akan dihadapkan berbagai masalah yang membuat galau. Semoga ilmu seperti manajemen emosi, dikotomi kendali, dan ilmu-ilmu yang telah kita pelajari di kelas ini bisa membantu kalian. Ingat, selalu ada saya atau orang lain (keluarga atau teman) yang bisa kalian jadikan tempat bercerita atau sharing. Jangan memendam apa-apa sendiri. Memendam dan bersikap seolah-olah kita kuat --padahal tidak-- adalah bentuk keangkuhan pada diri sendiri.

Terima kasih atas pesan, kesan, kritik, serta saran membangun yang telah kalian berikan. Terima kasih juga doa-doanya, ya. Doa-doa terbaik juga untuk kalian semua. Insha Allah kalian pasti akan sukses di jalannya masing-masing. Tetap jadi diri sendiri. ;)

0 komentar:

Posting Komentar