Rabu, 22 Januari 2020

Tentang Hari Ini dan Laku-laku di Masa Lalu



Beberapa hari terakhir ini entah kenapa saya lagi kangen! Kangen dengan buku-buku yang dulu selalu menemani. Kangen melihat jejeran buku di perpustakaan yang selalu mampu membuat betah. Termasuk, kangen nge-mall dan nongkrong di Gramedia, refreshing mata yang meski akhirnya ada sesak karena hanya mampu membeli satu-dua buku saja. 

Hmm... Meski bukan bermaksud merutuki nasib tinggal di kota kecil, nyatanya di saat seperti ini saya sedih karena di sini nggak ada toko buku besar. Nongkrong di perpustakaan pun seolah tak lagi sama. Tak sebebas dulu ketika masih muda alias masih menjadi mahasiswa. Yah, namanya juga proses hidup, Rin!

Akhirnya, ngebuka deh beberapa aplikasi buku digital dan nemu sebuah kutipan menarik dari Kuntowijoyo. Yang isinya kurang lebih begini;

'Sebagai hadiah, malaikat menanyakan apakah aku ingin berjalan di atas Mega. Dan aku menolak, karena kaki ku masih di bumi. Sampai kejahatan terakhir dimusnahkan, sampai Dhuafa & Mustadh'afin diangkat Tuhan dari penderitaan'.

Pemikiran Kuntowijoyo ini secara tidak langsung memaksa saya untuk mengaitkannya dengan 'paradigma profetik' yang kemarin-kemarin sedang digaungkan di kampus. Sebuah spirit keilmuan dengan meneladani semangat Rasulullah. Sebuah semangat untuk terlibat dalam sejarah kehidupan kemanusiaan, dan bukan untuk menjadi mistikus atau ilmuwan mendewa yang hanya puas dengan pencapaiannya sendiri.

Sebenarnya, dalam ranah ilmu sosial yang selama ini saya geluti, ini barangkali tak jauh berbeda dengan paradigma kritis. Aih kan... Lagi-lagi ini akan kembali mengembalikan memori. Betapa akhirnya saya pun harus mengakui kalau sebenarnya tidak hanya kangen dengan buku-buku itu, tetapi juga dengan laku-laku di masa lalu.

Saat diri ini masih sangat bebas untuk melangkah dan berpetualang. Ikut berbagai penelitian dosen yang kaya akan pengalaman dan manfaat. Karena ini juga loh, sebenarnya saya bisa S2. Fyi, dulunya, saya juga gak pernah ada niatan untuk kuliah S2 dan menjadi dosen, hahahaha. Cita-cita saya dari SMA adalah ingin menjadi penulis, dan karena aktivitas inilah saya berkesempatan untuk diajak bergabung dalam proyek-proyek penelitian. Hingga akhirnya, saya cenderung menikmati dan sempat terbesit untuk menjadi peneliti. Bahkan, setelah lulus S1, saya masih dengan gigihnya mencoba peruntungan untuk menjadi peneliti di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Meski gagal di tes terakhir.

Qadarullah... Rencana Allah selalu jauh lebih indah. Berkat dukungan keluarga dan dosen-dosen S1, dan tentunya ada kesempatan dari Allah, saya bisa S2. Dipikir-pikir lagi, sebagai seorang --yang katanya-- modernis tetapi terkadang pemikiran masih konservatif, saya akhirnya sadar kalau profesi peneliti barangkali kurang cocok untuk perempuan. Meski jiwa muda waktu itu sedang bergejolak, saya tentu masih sangat sadar tentang kodrat seorang wanita. Yang meski pada akhirnya nanti memilih berkarir, karirnya yang sekiranya tidak mengorbankan keluarga. Gak bayangin kan, gimana suami dan anak saya kalau harus ditinggal penelitian ke mana-mana, haha. Jadi, yah... Pilihan menjadi dosen adalah yang terbaik. Tempat di mana saya akan tetap bisa mengembangkan semangat belajar dan menulis.

Laku-laku lain yang juga tak kalah menuai rindu adalah masa-masa berinteraksi dengan anak-anak, ketika masih aktif melakukan pemberdayaan. Aktivitas 'Sekolah Sampah', taman 'Doli', sekolah sore di kampung kumuh Surabaya Utara, dan beberapa anak yang kami temui di lokasi penelitian yang menarik hati. Iya, sampai kami rela kembali mengunjungi daerah itu untuk hanya sekadar bertemu dengan Ulit dan kawan-kawan. Apa daya ingin menjadi orang tua asuh atau kakak asuh, tapi waktu itu kami belum bisa.

Kangen kalian gengs! Benar memang, mencari teman yang seirama itu susah. Dan mempertahankannnya jauh lebih susah, apalagi kalau sudah tidak sekota lagi seperti sekarang. Jujur, di tengah memori ini, saya merasa hidup saya kok semakin kosong, ya. Semacam gak ada gitu kegiatan produktif nan bermanfaat yang saya lakukan.

Tidak, saya tidak bermaksud menyesali keputusan untuk kembali ke kampung halaman. Saya juga tidak bermaksud menyederhanakan bagaimana saya berproses selama dua tahun terakhir. Karena nyatanya, itupun penuh dengan pembelajaran dan pendewasaan. Saya hanya merasa hampa, mungkin karena kangen kalian dan laku-laku di masa lalu yang patut diapresiasi karena turut andil membentuk diri.

Manusia memang seperti ini, kan? Merindukan yang lalu dan mempertanyakan yang di depan!

Namanya juga manusia, Rin! Hidup ya untuk berproses, dari satu step ke step selanjutnya. Tentunya, dengan harapan penuh ke Sang Pencipta, semoga proses-proses kehidupan menghantarkan kita untuk lebih taat kepada-Nya.  

Mungkin memang ranahnya saat ini sudah berbeda. Ranahnya bukan lagi untuk menjadi volunteer dan aktif di lapangan (sosial kemasyarakatan). Pasti ada arena lain yang disiapkan Tuhan untuk bisa kita maksimalkan. Fokus saja pada peranmu saat ini, untuk menjadi dosen yang bisa memotivasi dan menjembatani mahasiswa. Bukankah katamu, kesempatan itu harus ditularkan. Tak ada salahnya jika segala kesempatan yang dulu pernah diterima, kini kamu tularkan pada generasi berikutnya, kan? Tentunya, sembari terus berproses untuk menjalani peran selanjutnya, menjadi seorang istri dan ibu.

Jangan lupa, niatnya dilurusin lillah, ya, Rin! Lalu, jalankan prosesnya dengan benar, insha Allah akan ada hasil terbaik menurut Allah, bukan menurut manusia.

Pegang juga kata-kata ini, 'kalau kita nggak menghargai proses hari ini, lantas bagaimana cara kita mengapresiasi diri kita di masa depan?


Apa kabar Ulit dan anak-anak di sana ya? Terakhir kalau nggak salah kita ke sana tahun 2014, setelah itu saya sibuk dengan kuliah S2 dan kalian dengan pekerjaan. Hingga akhirnya, ternyata kita bertiga ditakdirkan untuk sama-sama meninggalkan Surabaya; kota yang penuh kenangan. 


0 komentar:

Posting Komentar