Rabu, 29 Maret 2017

Berguru pada Anak Kecil



Saat kita masih kecil, kita belajar merangkak, berdiri, hingga berjalan. Selama itu, kita sering terjatuh, terluka, dan berdarah. Namun, kita tidak pernah malu, putus asa, apalagi menyerah. Sungguh beruntung orang yang senantiasa menjaga semangat untuk meraih prestasi dengan belajar dari perilaku dirinya ketika belajar berjalan di waktu kecil. 

Jika kita melihat anak kecil, mereka seperti tidak ada beban dalam hidupnya. Semua dijalani dengan penuh percaya diri. Mulai dari merangkak, hingga berjalan. Sungguh, anak kecil tidak memiliki perasaan buruh sangka pada semua hal. Semua ia raih, semua ia gapai. Tidak peduli apakah itu api atau benda yang membahayakan. Kalaupun ia terjatuh, ia akan segera bangkit. Lalu, ia akan terus melakukan hal yang sama. Terus dan terus hingga akhirnya ia bisa berlari dan melompat. Sungguh, suatu pelajaran yang dahsyat.

Sering kita tidak menyadari akan pelajaran yang senantiasa Tuhan berikan pada kita. Tuhan senantiasa memberi pelajaran dengan cara-cara yang terkadang tidak kita sadari. Bukankah semua adalah ayat-ayat-Nya?  Bila semua adalah ayat-ayat-Nya, tentu saja semua itu mengandung pesan. Dan pesan itu datang langsung dari Tuhan. Pesan-pesan itu ditujukan kepada umat manusia agar manusa semakin mengerti diri, alam dan Tuhan sebagai satu hal yang tidak dapat dipisahkan.

Akhirnya, semua gerak gerik hidup dan kehidupan adalah pelajaran. Kurikulum tuhan telah disusun sedemikian rupa dengan telaten, indah, dan menawan. Oleh karena itu, kita bisa belajar pada bayi, pada bocah, hingga pada daun dan pasir yang berembus.

 “Tuhanku, tambahkanlah kami ilmu, dan limpahkan pada kami karunia mengerti”.


Rabu, 15 Maret 2017

Jangan Takut jadi Ibu Rumah Tangga

*Tulisan yang sangat apik sekaligus mengena dari mbk Nafila Rahmawati. Tentang perempuan dengan pendidikannya, karir, kewajibannya mjd seorang istri dan ibu yang baik, dan pandangan orang lain yang seolah tak bisa lepas darinya.

Tidak.
Kita tidak sedang berbicara tentang Dian Sastro, yang meskipun sudah S2 tetap mengurus anak di rumah, yang karena takdir rezekinya dilebihkan Tuhan maka dia bisa part time bekerja dan tetap membawa anak, yang karena begitu ajaibnya auranya maka dia tidak dicerca meskipun menjadi ibu rumah tangga.

Kita bicara realita, tentang banyaknya kaum wanita yang punya segudang aset dan potensi untuk bersinar di luar rumah namun memilih kembali pada peran konvensional mereka, menjadi ibu rumah tangga yang di rumah saja.

Kita bicara fakta, tentang banyaknya wanita yang berjibaku dengan post power syndrom mereka selepas meninggalkan kerja, entah itu demi anak dan keluarga atau demi menggenapkan dalil-dalil agama, di mana niat mereka sesungguhnya mulia namun masih saja dipandang sebelah mata dan dicerca hina.

Kita bicara tentang sengketa, bahwa menjadi ibu bukan dikotomi antara ibu pekerja atau ibu rumah tangga, namun kita lihat sendiri betapa banyak dari wanita yang mudah diadu domba hanya untuk pengakuan semata.

====
"Mantumu piye, Jeng? Kerja di mana sekarang yang lulusan terbaik itu?" tanya seorang ibu pada teman kerjanya
"Walah, habis melahirkan kok ya resign Jeng. Eman-eman padahal sekolahnya mahal, kerja gajinya ya lumayan, kok ya dilepas kerjanya. Lha sekolah anak kan ya mahal sekarang, mosok mau nggantung sama suami tok kan yo nggk cukup", jawab si empunya menantu

Atau

" Yaelah yakin lo resign jadi ibu rumah tangga? Engga ada enaknya kali seharian di rumah mulu. Engga pegang duit sendiri, engga setara sama suami", timpal seorang teman saat rekannya bercerita visi hidupnya ke depan.

====
Perbincangan di atas pasti ada, meskipun tidak ditujukan langsung ke muka kita tentang betapa 'tidak berharganya' menjadi ibu rumah tangga yang tidak bekerja.

Ada aroma mendiskreditkan, ada nada menyalahkan pilihan, ada hidup yang dibandingkan.

Menjadi ibu rumah tangga yang di rumah saja adalah perjuangan, tidak selalu lebih mulia dari ibu yang bekerja karena tantangan akan selalu menggoda berkelanjutan.
Anak-anak tidak akan selalu mudah, dan sabar harus selau diasah. Bisa jadi yang bertemu dengan anak sepanjang hari hanya mengobral amuk tiada henti ketimbang yang hanya punya jatah bertemu di penghujung hari.

Menjadi ibu rumah tangga yang di rumah saja adalah peperangan, satu titik tawar yang penuh pertimbangan. Soal apakah bekerja akan menambah value bagi umat atau pribadi, atau di rumah justru berperan sebagai pengukuh pondasi.

Kembalikan saja pada diri sendiri dan ridho suami, sejauh apa kita perlu berkontribusi, selebar apa jangkauan aktualisasi diri. Jangan memaksakan berloncatan demi mereguk pengakuan, sementara ajaran adab dan pelukan harian jatah anak kita abaikan.
Menjadi ibu rumah tangga yang di rumah saja adalah pilihan yang butuh kekuatan, karena seorang ibu tidak bisa berdiri sendiri dalam sebuah pernikahan. Kadang aroma nyinyir justru datang dari keluarga besar yang berbeda pandangan.

===
Berbahagialah mereka yang menjadi ibu rumah tangga karena suami sudah cukup memfasilitasi dan menafkahi, tanpa perlu memusingkan bagaimana tambahan materi, tinggal mengejar pintu surga mana yang ingin lebih dulu dimasuki.

Berbahagialah mereka yang menjadi ibu rumah tangga karena kesadaran pribadi, bahwa dunia yang sudah menua dan bahaya tidak cukup untuk dipercaya lagi, bahwa anak harus diurus dengan tangan pertama sendiri.

Berbahagialah mereka yang menjadi ibu rumah tangga karena meresapkan dan menggenapkan janji Tuhan dalam hati, bahwa setiap makhluk sudah dijaminkan atas rezeki, tinggal mencari bagaimana rezeki tersebut turun terberi tanpa harus mematok dalam bentuk materi. 

Dan berbahagialah para ibu yang masih bekerja, yang menemukan passion pada dunianya, yang diberikan restu dan doa oleh para suaminya, yang tetap terurus dan sakinah rumah tangganya, yang tetap sehat terdidik akhlak keluarganya, yang tetap terjaga dalam iman dan kebersahajaan, yang tetap menebarkan manfaat untuk kemanusiaan.

===
Menjad ibu, adalah satu dunia yang sungguh lucu.
Drama, ketika kita berusaha mendahulukan keluarga lalu dicap pemalas tidak mau bekerja, menyia-nyiakan umur dan ijazah sekolah.
Drama lagi, ketika kita bekerja lalu diaggap mengabaikan keluarga dan tidak menimbang untung ruginya meninggalkan anak pagi petang.

Di saat para ibu sepatutnya saling menguatkan, mereka justru terpancing saling menjatuhkan. Tidak hanya antar kawan, tapi juga dalam keluarga yang mestinya jadi tempat curhat yang nyaman. 

Jika anak-anak atau menantu kita adalah ibu rumah tangga, cukupkan saja menguatkan jiwa mereka. Berterima kasihlah karena mereka sudi mengurus anak lelaki dan cucu kita dengan tangan sendiri, tanpa perlu ada tugas yang terdelegasi pada pihak yang belum tentu kompeten terverifikasi.
Simpan rapi pertanyaan, gugatan atau tuntutan, cukup mari kita doakan agar Tuhan mengguyurkan berkah yang dilebihkan.

Jika kawan kita adalah ibu rumah tangga, cukupkan saja mendengar celoteh remeh keseharian mereka. Tentang dapur atau tentang kasur, tentang anak atau penuhnya benak. Mereka bukan makhluk yang butuh tepuk tangan atau pengakuan, hanya sedikit sapaan agar tidak merasa sendirian.
Simpan rapi renungan kita mengapa ia lebih gemukan atau tidak bisa berdandan, mungkin bukan fisik yang sedang ia prioritaskan.

Jika ibu kita adalah ibu rumah tangga, cukupkan kita melempar beban dan pekerjaan. Pasang target untuk diri sendiri tentang kapan kita akan membahagiakan, tidak selalu tentang materi yang kembali namun tentang bakti budi.

Jika istri kita adalah ibu rumah tangga, well... Apaun predikat para istri dan ibu, para suami perlu meluangkan momen bermutu untuk mensyukuri dan mengapresiasi betapa mereka telah berjuang di jalan pilihan mereka.

====
Jangan takut menjadi ibu rumah tangga, karena ilmu dan rezeki bisa diperoleh dari mana saja asal kita selalu mau bergerak maju ke depan, asal kita mau menerima masukan.
Jangan takut menjadi ibu rumah tangga, setaranya gender belum pasti terjadi dengan karir yang harus didongkrak dengan presisi, feminisme bukan solusi.
Rumah tangga hanya akan setara dalam diskusi yang memanusiawikan, karena suami menghargai istri dan istri menghargai suami bukan karena sesuatu yang sifatnya duniawi.

Jangan takut menjadi ibu rumah tangga, celaan manusia sifatnya hanya sementara, pun kita tidak berdiri hidup dari donasi mereka, pun mereka akan selalu berkomentar atas setiap perubahan dalam hidup kita. Jangan takut menjadi ibu rumah tangga, kalau niat dan pertimbangan kita landaskan kuat pada Tuhan, maka kita sudah punya sekuat-kuatnya penjagaan.

Bu, percayalah dunia masih menganut standar ganda. Kalau Dian Sastro dan Nia Ramadhani yang menjadi ibu rumah tangga, maka sama sekali tidak akan terlihat hina. Apalah daya kita yang daster lima puluh ribuan yang disebut penadah suami gajian.
Sudah Bu, lambaikan tangan dan maju ke depan. Meski kadang celometan tetangga atau keluarga sadis tanpa batasan, percayalah selalu ada Tuhan yang memastikan kita dalam pelukan.

Tulisan ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk menyudutkan pilihan ibu bekerja. Ditulis semata untuk menguatkan mereka yang sedang menyambung semangat dari rumah.

*Jujur, tulisan mbk Nafilah memang selalu mengena bagi saya. Mbk Nafilah ini adalah teman dunia maya saya. Ibu satu orang anak yang mencintai dunia literasi, dan kini bekerja di rumah sebagai Senior Book Advisor Penerbit Mizan.

Ya, Karena wanita perlu untuk saling menguatkan. 

Untuk menjadi istri yang menguatkan

Menjadi ibu yang menguatkan

Menjadi anak dan menantu yang menguatkan

Bahkan nantinya, menjadi mertua yang menguatkan. 

Jumat, 03 Maret 2017

Berlayarlah, lakukan sesuatu yang berguna bagi hidup dan kehidupan



Terkadang, hidup memang acapkali mengajak kita bercanda, pasti akan ada suatu masa di mana kita dihadapkan pada segala kesulitan dengan segala risiko ketidakmungkinan yang tengah disiapkan semesta. Di saat itu pulalah semangat tengah berada di dasar rasa. Ya, jika digambarkan diri ini seolah tengah berada dalam kondisi dimana tubuh tengah terpisah dari jiwanya. Tak ada lagi gairah untuk menjalani hidup. Hari-hari terasa kosong. 

Merasa tidak memiliki apapun tuk dibanggakan, tidak mempunyai pencapaian, juga tidak ada gairah besar dalam diri yang benar-benar bisa membuat diri merasa hidup. Alhasil, diri ini menjadi sering gelisah, mencela setiap usaha yang dilakukan, dan menjadikannya sebagai kebiasaan. Kebiasaan yang buruk. 

Saat itu adalah saat dimana kita seolah bertentangan dengan seseorang yang lain yang ada dalam diri. Kita berniat untuk mengalahkannya, tapi tak ada usaha dan kekuatan untuk itu. Kita menginginkan perubahan dalam diri, tapi diri ini enggan beranjak dari kenyamanannya. Alhasil, seringkali kita terjatuh untuk mengalah pada kenyamanan yang semu. Kita tahu betul bahwa itu bukan suatu hal yang benar untuk dilakukan, tapi justru kita tetap menikmatinya.

Lalu, untuk apa kita hidup? Hanya sekedar untuk menjalani hari tanpa makna?

Kau tahu, pada dasarnya kita pasti memiliki ironi dalam diri masing-masing; mungkin juga paradoks, kemunafikan, atau ambiguitas. Sesuatu yang kita benci untuk kita sukai. Sesuatu yang sebenarnya baik untuk tidak kita pilih. Atau sesuatu yang berusaha kita sembunyikan dari siapapun, tetapi kita katakan sebaliknya di hadapan orang lain. Ya, entah bagaimana kita memiliki wilayah-wilayah yang memaksa kita untuk mendua. Perasaan dan pikiran yang sering membuat kita letih dan sedih. Tetapi sekaligus penting untuk kita miliki agar kita bisa seutuhnya menjadi manusia, yang terbatas dan tidak sempurna.

Jadi, barangkali tak salah jika kukatakan padamu bahwa yang kita alami ini adalah suatu hal yang wajar dialami oleh anak muda seusia kita. Bukankah dilema anak muda adalah menentukan arah hidupnya?

Di saat seperti ini, alangkah baiknya jika kita sesekali menengok dan belajar sesuatu dari sebuah kapal. Ya, kapal. Apa hubungannya dengan sebuah kapal?

Kapal terbuat dari bahan-bahan terbaik, dilengkapi dengan alat-alat komunikasi yang lengkap, layar yang gagah dan dengan kompas penunjuk arah. Sempurna memang. Tapi, kapal diciptakan bukan hanya untuk tertambat di dermaga, bukan? Ya, bukan untuk itu ia diciptakan. Melainkan untuk berlayar mengarungi samudra dengan segala kemungkinan yang ada untuk menguji kekokohannya. Pun demikian halnya dengan hidup kita, manusia.

Kesejatian hidup memang ibarat berlayar mengarungi samudra, menembus badai, menghalau gelombang, hingga akhirnya bisa menemukan pantai harapan kebahagiaan dan keselamatan hidup abadi. Jika kapal diciptakan dengan bahan yang yang bermutu tinggi, dilengkapi layar yang bagus dan peralatan yang canggih, pun juga manusia yang diciptakan dengan sangat baik oleh Allah. Dilengkapi dengan bakat, talenta serta kemampuan yang luar biasa oleh Allah, diberi hati nurani dan akal budi serta kebebasan untuk menjalani perahu kehidupan kita secara baik dan benar.

Jika diibaratkan, dermaga adalah tempat kita memulai hidup, dan bisa juga diartikan sebagai masa lalu. Sedangkan tali penambat itu adalah kemalasan, ketakutan, penyesalan, dan luka-luka batin yang belum disembuhkan, yang seringnya menghambat kita untuk memulai melakukan sesuatu dan berjuang untuk keluar dari masa lalu.

Dan benar saja, ketika kita merasa hidup yang kita jalani terasa berat, bisa jadi itu karena saat ini kita hidup dalam dua — atau mungkin malah tiga — waktu. Seolah kita berada diantara bayang-bayang kesalahan masa lalu, hari ini, dan bayang misteri esok hari.

jika benar itu yang terjadi, mari berhentilah menyesali kesalahan masa lalu. Jangan biarkan pula  ketakutanmu akan masa depan mengecilkan nyalimu. Hidupilah hari ini! Hidup yang sebenarnya adalah hidup yang saat ini sedang kita jalani — detik ini, menit ini, hari ini. Dan tentang masa depan, masa depan memang misteri yang tak bisa diketahui sebelum dijalani, dan inilah yang seringkali menjadikan kita takut tuk melangkah. Tapi, bukankah hidup selalu bisa diatur dan direncanakan. Kita punya kuasa untuk mengatur ke mana jalan hidup akan membawa. Kita memiliki kemampuan untuk menentukan peta hidup yang akan jadi panduan dalam berjalan. Ya, kita tak pernah kehilangan kendali atas hidup, selama kita mau berusaha.

Karenanya, mari kita jangan buang waktu dan energi untuk menyia-nyiakan segala kemampuan, dan kesempatan yang telah dianugerahkan oleh Tuhan. Lepaskan tali kemalasan, lepaskan ikatan kekhawatiran dan ketakutan yang membelenggu, lepaskan segala pikiran-pikiran yang menghambat kita untuk maju. Jangan biarkan diri ini tertambat dalam kecemasan, kekhawatiran dan penyesalan masa lalu. 

Satu hal yang harus kita ingat betul, bahwa yang memisahkan perahu dan pantai impian adalah angin badai, gelombang dan batu karang. Begitupun yang memisahkan kita dengan kebahagiaan dan keselamatan adalah tantangan, cobaan/godaan yang kita hadapi, masalah-masalah yang selalu menggerogoti, dan tawaran-tawaran duniawi yang bisa memisahkan kita dari Sang Tujuan hidup. Sebenarnya, di sinilah kemampuan, martabat/harga diri dan kesejatian hidup kita diuji oleh Tuhan. Hakekat sebuah kapal adalah terus berlayar, menembus rintangan mencapai pulau yang dituju. Dan hakekat hidup kita adalah berkarya, dan melakukan kebaikan agar kita bisa menemukan kebahagiaan.

Berlayarlah, lakukan sesuatu yang berguna bagi hidup dan kehidupan.

Pamekasan, 03 Maret 2017
*hanya sebuah tulisan sederhana, yang semoga bermanfaat bagi sesama...:)