Jumat, 05 Februari 2016

Pohon Keluarga


Keluarga memang memiliki peran yang sangat penting dalam alur kehidupan manusia. Bahkan kita tahu, sejak lahir, kita senantiasa memiliki ketergantungan dengan keluarga. Meski pada awalnya, manusia, kita, memang tidak pernah memiliki kuasa untuk menentukan kita akan lahir dan hidup dalam keluarga yang seperti apa. Saya pribadi sangat bersyukur bisa lahir, tumbuh, dan berkembang dalam sebuah keluarga yang hangat. Sebuah keluarga, dimana cinta kasih orang tua ibarat air terjun yang selalu tercurah ke bawah.

Sebenarnya, jika dilihat dari luar, tak ada yang benar-benar special dari keluarga ini. Hanya sebuah keluarga biasa, seperti halnya keluarga kebanyakan di Indonesia. Ayah hanya berprofesi sebagai tenaga pendidik, sedangkan ibu memilih focus untuk mengurus rumah dan keluarga, menjadi ibu rumah tangga. Sungguh, sangat biasa bukan?

Tapi, bagi saya, yang menjadikannya tidak biasa adalah kesadaran dua insan yang dipersatukan oleh Allah dalam ikatan cinta suci itu, untuk menjadikan keluarga tersebut ibarat pohon. Ya, pohon yang kuat, tinggi menjulang, dan berakar kukuh.

Keluarga, pohon, apa hubungannya?

Baiklah. Kalian tahu? Bagi seseorang yang memahami pohon atau tanaman dengan baik, tentu ia tidak akan menyiram tanaman itu dengan sembarangan, bukan? Oleh karena itu, dibutuhkan pupuk, nutrisi, bahkan zat-zat lain agar tanaman atau pohon itu tumbuh dengan subur. Untuk itu, sama halnya dengan sebuah keluarga, nutrisi atau pupuk terbaik yang harus diberikan kepada keluarga adalah iman, cinta kasih, semangat belajar, kerja keras, keceriaan, serta sikap optimis.

Dan kini, ketika saya telah berada di persimpangan jalan, untuk pada akhirnya memilih membangun sebuah keluarga. Tentu, saya berharap juga bisa membangun keluarga seperti dimana saya tumbuh besar. Saya berharap bisa menjadi seperti ibu saya, dengan segala ketulusan, kesabaran, kesederhanaan, dan ketegasannya dalam mendidik. Saya juga berharap bisa bersanding, membangun keluarga dengan laki-laki, yang tidak jauh beda seperti ayah saya.

Terlalu naïf jika saya mengatakan ayah dan ibu saya adalah sosok yang ideal atau sempurna, karena nyatanya saya pun tahu mereka juga penuh dengan kekurangan. Ah, bukannya manusia memang tempatnya salah dan dosa, pun kesempurnaan hanya ada pada-Nya? Yang terpenting, tugas kita sebagai manusia adalah senantiasa bersedia untuk belajar dan memperbaiki diri. Bukan begitu?

Ya, dibalik harapan tuk membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah, saya pun paham betul bahwa tidak selamanya perjalanan tersebut akan indah. Kau benar, dalam hidup kita senantiasa harus berjalan dan berjumpa dengan berbagai dimensi dan sisi, seperti halnya baik dan buruk, atau kelebihan dan kekurangan. Jika kita hanya melihat satu komponen dari dua entitas tadi, dengan sendirinya kita akan kecewa dan justru mengingkari realitas.

Karenanya, saya pun sadar, manusia yang penuh kekurangan seperti kita tidak pantas rasanya untuk mendamba sesuatu yang sempurna dari pasangan hidupnya. Justru kehadiran kita yang sama-sama memiliki kekurangan inilah, yang akan berpadu menjadi kesempurnaan yang memesona, yang satu melengkapi yang lain.

Saya rasa, perbedaan karakter kita dengan orang lain, termasuk dengan pasangan kita, hanyalah sebagai bukti akan keragaman ciptaan-Nya. Untuk itu, yang dibutuhkan dari kita adalah sikap dan cara pandang. Kita semua tahu, bahwa pernikahan adalah penyatuan dua insan yang berbeda. Karenanya, kita harus melihat dan menerima mereka secara utuh. Yaitu sisi lebih dan sisi kurang. Kedua sisi yang harus diakui sebagai satu hal yang sama. Itu pasangan kita.

Pada pohon yang tumbuh, selalu saja ada daun yang rontok, selalu saja ada batang yang kian kerontang. Namun, kita justru terpanggil untuk tulus menyirami dan membelai lembut pohon itu. Itulah rahmat. Ketekunan untuk merawat rahmat dalam keluarga adalah sakinah.

Ah, terlalu banyak analogi dengan pohon, padahal saya tidak terlalu mengerti seluk beluk merawat pohon atau tanaman. Yang paham betul akan hal itu adalah ayah saya, karena nyatanya, Ayahlah yang merawat tanaman di pekarangan rumah. Tanyalah beliau, maka akan dijelaskannya panjang lebar.

Perbedaan, Why Not?




Keragaman agama, ideology, dan etnis menjadi kekayaan budaya manusia, maka bersikaplah lapang dan arif agar ketiganya bersinergi menjadi mozaik yang indah.

Dalam pergaulan, seringkali kita mempunyai banyak teman yang beragam. Baik itu dalam hal karakter, latar belakang, minat, hingga SARA. Karena penuh dengan ragam itu pulalah, seringkali sebuah jalinan pertemanan dibumbui dengan keangkuhan dan rasa egoisme. Jika itu sudah menyergap dalam pergaulan, apa yang akan terjadi?

Tentu, masing-masing akan merasa lebih dan ingin menang sendiri. Ketika satu diantara yang lain telah merasa lebih baik, lebih tinggi, atau lebih lebih lainnya, maka tidak bisa tidak, perselisihan akan segera menyeruak. Seperti yang saat ini tengah lindap. Terjebak dalam hawa perselisihan yang membeku.

Terhitung baru 1.5 tahun kita disatukan dalam sebuah ikatan, satu angkatan kelas Magister Sosiologi di salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Jawa Timur. Bagi saya pribadi, kelas ini memang menjadi berbeda dari kelas-kelas sebelumnya yang pernah saya ikuti semasa menempuh strata 1, karena beberapa hal. Diantaranya, jumlah mahasiswa yang hanya berjumlah 20-an, memungkinkan untuk kita saling mengenal lebih dalam juga lebih besar, bukan? juga, karena kelas ini menawarkan perbedaan-perbedaan, seperti perbedaan agama, perbedaan etnis yang tidak lagi hanya berkutat jawa-madura, serta perbedaan usia, pengalaman, serta keahlian yang juga beragam. 

Bagi saya, teman memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan. Setidaknya, jalinan tersebut mencerminkan nilai-nilai saling menjaga dan memiliki. Saya tidak pernah berharap penuh akan dikelilingi oleh teman-teman yang setia. Karena bagi saya, sayalah yang harus terlebih dulu memulai dan menjadikan diri kita sendiri sebagai teman yang baik bagi orang lain.

Dalam kasus ini, saya juga tidak bisa memungkiri bahwa sejak lama telah terdapat keangkuhan di dalamnya. Dan yang membuatnya masih bisa bertahan dan masih berlangsung hingga beberapa waktu yang lalu, mungkin karena diantara kami, termasuk saya, masih mau mengalah, bersikap masa bodoh, dan tidak berani mengambil tindakan dengan resiko perpecahan. 

Jika diibaratkan, mungkin jalinan pertemanan ini telah mirip seperti gelombang radio. Ketika frekuensi tidak lagi tersambung dengan baik, maka tidak akan pernah muncul suara dengan jelas, hanya nggeremmeng, dan itulah yang akhirnya menjadi awal kesalahpahaman, pemicu perselisihan. Ah, kau benar. Ini juga seperti bom waktu, yang siap meledak kapan saja.

Ketika saya tengah berada di tengah situasi seperti ini, saya kemudian merenung, saya, dan dua pihak yang berkonflik sama-sama telah belajar beraneka teori konflik. Mulai dari pemicu, hingga proses rekonsiliasi. Tapi, ketika di dunia nyata, di dunia dimana kita terlibat di dalamnya, kenapa semua pemahaman seolah telah hilang tak berbekas? Kita sama-sama tahu, bahwa sekecil atau sekasat apapun konflik tetap harus segera diselesaikan. Karena jika tidak, hanya tertimbun dan tertimbun. Seolah baik-baik saja memang, tapi, tinggal menunggu waktu, sekaligus pematik, yang sekecil apapun itu tetap akan terjadi ledakan konflik yang lebih besar. 

Mungkin, seperti saat ini.

Satu hal lain yang tidak kalah membuat hati saya miris, untuk tidak mengatakan ini sebuah ironi, adalah karena perselisihan ini telah menyeret-nyeret perbedaan yang seharusnya menjadi harmoni. Ya, perbedaan etnis, agama, hingga status social, turut disertakan sebagai bumbu pertengkaran. Oh dear, ayolah. Kita bukan lagi anak kecil yang masih mengeja arti perbedaan, pun bukan lagi remaja yang masih alay dan ababil di media social. Ingatlah, usia kita tak lagi muda, terlebih kita adalah mahasiswa sosiologi yang notabenenya adalah orang yang mengerti dan telah terbiasa dengan segala perbedaan.

Ah, iya. Diatas segalanya, kita hanyalah manusia. Dan mungkin sudah menjadi sifat dasar manusia untuk selalu bisa menjadi pengacara bagi dirinya, dan menjadi hakim bagi orang lain. Kalau tidak demikian, bukankah tidak akan pernah ada peribahasa, “Gajah di pelupuk mata tidak nampak, sedangkan kuman di seberang lautan selalu nampak”. Iya, kan?  

Ya Tuhan, mengapa hati kita menjadi begitu sempit untuk menerima kebenaran dari orang lain. Seringnya, kita memaksakan diri agar orang lain mengikuti apa yang kita yakini. Seakan kita yakin bahwa apa yang kita pahami adalah satu-satunya kebenaran. Padahal, bisa jadi kita sama-sama salah. Jika tidak begitu, bukankah tidak akan terjadi pertengkaran? 

pada akhirnya, kita tidak bisa lagi menutup mata akan kenyataan keragaman yang natural dari Tuhan. bukankah  berteman itu artinya kita menghargai identitas dan perbedaan orang lain.identitas bahwa kita berbeda, tetapi tentu saja bukan ke"aku"an yang diunggulkan. disinilah, kemudian dibutuhkan kesadaran dan kejujuran untuk sama-sama introspeksi diri.