Rabu, 30 Oktober 2013

Dialog: Mimpi tak boleh kalah oleh ketakutan


Sebuah imajinasi mencuat dan membentang luas... Tapi apa yang menjadi jalan untuk dapat menapaki dan mewujudkannya? Seolah sebuah ruang dengan tebing kokoh menjadi penyekat para pemimpi memasuki dunia yang diharapkannya

Yah, memang seperti itulah mimpi. Tinggi.... seolah tak bisa dijangkau. Kalaupun bisa pastilah sangat sulit untuk mendaki puncaknya.

Tidak bisakah khayalan berubah menjadi nyata? Akankah ini hanya akan menjadi seberkas lamunan?

Kau bertanya padaku? Aku pun tak tahu dengan apa aku menjawab pertanyaanmu. Karena, aku pun manusia yang tak tahu akan ada apa di hari esok. Aku pun sama, gamang, takut. Ah, bukankah semua yang tidak terlihat selalu bisa membuat kita takut. Mungkin, itu juga berlaku untuk masa depan?

Benar, berbagai pertanyaan ini mewakili impian sekaligus ketakutanku. Tiada yang tahu hari esok, lusa bahkan 10 tahun mendatang. Jika impian tak tergapai, sedangkan jiwa telah terpanggil, tidakkah itu menjadi salah satu deret kepedihan?

Sejak kapan kau menjadi tuhan?? ada hal-hal yang memang di luar kendali kita. Sayangnya, terlalu memikirkannya pun tak dapat mengubah apa-apa. Jalanilah yang bisa kita jalani saat ini. sama halnya seperti aku, aku ingin kamu percaya, bahwa saat ini allah tengah mempersiapkan sesuatu yang indah itu untuk kita.

Kamis, 07 Maret 2013

Potret buram pendidikan indonesia


Buku yang dikemas dengan gaya fiksi-musikal ini kayaknya bagus dech... dengan untaian kata Fahd Djibran yang sederhana tapi mengena, diperkuat dengan lirik lirik lagu Bondan & Fade2Black yang membakar semangat, nampaknya buku ini mampu menggambarkan wajah pendidikan indonesia dengan cara yang berbeda.... ^^


Tak Sempurna lebih mewakili penulisnya sebagai individu. Ia memuat gagasan dan perasaan penulis yang lebih utuh dan jujur tentang banyak hal. Juga harapan dan kegelisahan-kegelisahan. Untuk mengungkapkan semua itu, penulis memilih dunia sekolah sebagai “medan bercerita”. Ya, boleh jadi penulis meminjam sekolah sebagai sudut pandang untuk melihat dunia yang lebih luas. Bagi penulis, sekolah adalah dunia yang sangat kompleks—miniatur kehidupan manusia. Kita bisa melihat banyak aspek penting kehidupan dari sana: Hubungan antar-manusia, anak-anak, keluarga, orangtua, birokrasi, politik, agama, masyarakat, harapan, kekecewaan, masa lalu, masa kini, masa depan, semuanya. Jadi, meskipun penulis bercerita tentang “sekolah” atau “anak sekolah”, sesungguhnya penulis sedang menceritakan sesuatu yang lebih luas lagi.

dalam Novel ini penulis bercerita tentang dunia pendidikan di suatu kota-yang-tak-disebutkan-namanya di Indonesia. Penulis lebih senang menyebutnya Gotham-nya Indonesia. Suatu kota di mana anak-anak dibesarkan di tengah keluarga yang tak memberikan kasih sayang, kehidupan bermasyarakat yang tak memberi harapan, dan kehidupan bernegara yang tak menjanjikan apa-apa kecuali perang-perang politik kepentingan memuakkan. Di kota semacam itu, sulit sekali menemukan contoh dan teladan yang baik, sekalipun dari kalangan tokoh-tokoh agama. Di kota itulah sekolah menjadi sekadar tempat “penitipan anak” bagi orangtua yang sibuk atau “tempat pembuangan anak” bagi orangtua yang tak peduli pada mereka. Juga ajang adu gengsi. Sementara itu, di tengah semua kekacauan sistem pendidikan, rekrutmen tenaga pengajar yang penuh kecurangan, dan kurikulum pendidikan yang berantakan, anak-anak ini masih ditekan dengan beban pelajaran yang kelebihan muatan, tugas-tugas, les panjang persiapan ujian, try out, ujian nasional, dan seterusnya.

Something has gone very wrong with our school! Itu kalimat kuncinya. Sudah bisa diduga, tentu saja, anak-anak seperti apa yang dihasilkan kehidupan kota semacam itu—sistem pendidikan semacam itu? Penulis terkejut mendapatkan sejumlah fakta mengerikan dalam riset sederhana yang penulis lakukan: Ratusan pelajar tewas setiap tahunnya akibat tawuran dan overdosisi obat-obatan terlarang. Para pelajar melakukan seks bebas sesering pesta minuman keras, aborsi di mana-mana, pembunuhan dan pemerkosaan sulit dihitung jumlah pastinya. Ya, semua itu dilakukan pelajar, remaja Indonesia di bawah usia 18 tahun! Anak-anak masa depan yang gelisah dan putus asa, tapi tak pernah diperhatikan! Anak-anak yang dibuang, ditekan, dibebani, untuk kelak dicaci-maki dan disalahkan!

Di novel tersebut, penulis meminjam sudut pandang seorang remaja biasa untuk bercerita berbagai hal tentang dirinya. Namanya Rama. Dia menceritakan banyak hal tentang sekolah dan segala hal yang bersinggungan dengannya. Dari hal-hal yang bisa kita bayangkan hingga hal-hal yang mungkin tak pernah kita bayangkan. Dari yang menyenangkan hingga yang menyedihkan. Dari harapan hingga kekecewaan. Semua tentang sekolah. Semua tentang kehidupan mereka—anak-anak bangsa: Miniatur bagi kehidupan kita sesungguhnya!

 Jika ingin tahu detilnya, tentu Anda semua harus membaca ceritanya. Penulis sudah tidak peduli lagi cerita itu akan melahirkan “pro” atau “kontra” di tengah masyarakat. Penulis hanya menceritakan kenyataan yang penulis tangkap apa adanya. Lagi pula, sebuah karya, ketika sudah dilemparkan ke hadapan sidang pembaca, sepenuhnya menjadi milik pembacanya. Tugas penulis sudah selesai, itu dia: Penulis sudah menuliskannya menjadi sebuah cerita sederhana—yang barangkali memang tak sempurna. Namun dari cerita itu, penulis berharap sesuatu: Semoga pikiran dan perasaan kita terbuka, ada jutaan anak-anak Indonesia yang harus kita perhatikan dan selamatkan masa depannya!

Bagaimana kisah ini dituliskan? Penulis tetap menyebutnya fiksi-musikal. Penulis tak peduli pada genre, sebenarnya. Tapi mungkin novel ini memang dituliskan dengan cara yang tidak biasa. Bacalah sambil mendegarkan lagu-lagunya (Bondan & Fade2Black). Cerita dan lirik-lirik lagu yang terdapat di dalamnya merupakan satu kesatuan utuh yang tak terpisahkan. Inilah yang disebut kolaborasi, sebuah karya yang dirancang dan dilahirkan dengan spirit saling melengkapi!

Mari akhiri semua kebodohan untuk menjadi generasi Tak Terkalahkan

Jumat, 08 Februari 2013

Jalan panjang itu...


Ketika ku duduk termenung menatap jalan panjang yang ada di hadapanku. Disoroti sinar mentari yang cukup menyengat.
Aku berpikir, aku yakin bahwa inilah jalan yang terbaik bagiku. Tapi aku takut untuk melaluinya. Aku tak tau adakah batu yang besar yang menghalangi jalanku, ataukah adakah jurang yang memutuskan jalan ini. Sehingga aku hanya duduk termenung menatap jalanku.

ketika aku sudah benar - benar yakin pada jalan ini. Aku yakin jalan ini adalah jalan yang akan membawaku ke tempat yang ku inginkan. Aku pun sudah tak peduli lagi akan apa yang mungkin ada di hadapanku nantinya. Yang terpenting aku jalani dan aku telusuri jalan lurus yang ada di hadapanku ini.

Aku pun mulai berjalan melangkahkan kakiku perlahan demi perlahan. Tapi aku merasa langkah kakiku ini begitu berat. Tapi aku terus berusaha untuk terus menelusuri jalan ini.

Suatu ketika aku merasa ada dorongan untuk keluar dari jalan ini, ada suatu yang membuatku memaksa diriku untuk berbelok arah. Aku tak tau apa ini.

Tapi setelah aku pandangi semua yang ada pada diriku aku baru menyadari. Aku baru menyadari kalau aku hanyalah boneka tali. Boneka tali yang selalu dikendalikan. Dikendalikan pikiran negatifku, dikendalikan rasa ketakutan semuku, dikendalikan oleh keragu - raguanku, dan dikendalikan oleh situasi yang ada disekitarku.

Aku tak tau apa yang harus aku lakukan untuk terus konsisten menelusuri jalan ini. Sementara tali - temali ini semakin mengendalikanku.

Hingga suatu ketika ku pun baru menyadari caranya. Ya, caranya. Caranya aku harus memutus teli - temali yang mengendalikanku. Aku harus buang rasa takut yang semu, aku harus buang semua keraguanku, dan aku harus kukuh pada pendirianku.
Hingga suatu saat aku pun menyadari kalau aku bisa berubah. Kalau aku bukan lagi boneka tali. Aku bisa menelusuri jalan hidupku dan biarkanlah langkah kakiku yang akan menuntunnya. Dan biarkanlah Yang Maha Kuasa yang mengatur takdirku....^^

Sukses itu harus diupayakan, bukan untuk ditunggu.
Fighting....!!