Kamis, 04 Agustus 2011

Mitos dan Logika dalam Era Ke-kini-an


  Kultur kehidupan masyarakat Indonesia hingga saat ini masih sangat ditentukan dan dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya yang berasal dari tradisi yang dipelihara secara turun temurun. Tradisi tersebut merupakan sinkretis dari nilai-nilai yang bersumber dari berbagai pengaruh seperti animisme, hinduisme, dan islam. Salah satu tradisi yang masih sangat kental dalam diri masyarakat Indonesia khususnya masyarakat pedesaan adalah kepercayaan terhadap mitos.
Seringkali kita dengar nasehat-nasehat orang tua terkait hal-hal yang dianggap tabu untuk dilakukan anak gadisnya. Seperti, tidak boleh makan di depan pintu, dan tidak boleh makan pantat ayam, yang jika dilakukan sang gadis akan kesulitan dapat jodoh. Tidak boleh menyapu malam, tidak boleh potong kuku dan mandi di waktu senja telah tenggelam karena jika dilakukan akan menjadikan orang tua berumur pendek. Tidak boleh baca tulisan yang tertera di batu nisan, dan jika dilakukan akan membuat bodoh. Dan untuk calon pengantin perempuan dilarang keras untuk keramas ketika dekat dengan hari H pernikahan dikarenakan jika dilakukan maka pada saat hari H akan terjadi hujan deras.
 Selain hal-hal tabu tersebut, sebagian masyarakat juga masih percaya dengan hal-hal yang harus dilakukan terkait dunia nyata dan mistik. Seperti, harus mengadakan syukuran sebelum mengisi rumah baru yang bermakna meminta izin kepada mahluk halus penunggu rumah, bagi wanita yang sedang hamil untuk selalu menggantungkan pisau lipat kecil pada baju yang dikenakan yang bermakna agar yang mengandung dan calon bayinya akan terhindar dari gangguan mahluk halus. Dan ketika tengah berada dalam kubang kesialan, harus diadakan acara Ruwatan.
Fenomena tersebut  telah membentuk kepercayaan masyarakat dan sudah sedemikian dominan pengaruhnya. Walaupun perilaku tersebut sulit diterima akal, masyarakat seolah tidak ada yang berani mempertanyakannya. Mereka tidak ada yang berani mengkritik berbagai hal yang telah dianggap tabu, karena hal itu sudah menjadi sesuatu yang sacral dan diyakini sebagai sesuatu yang tidak boleh dilanggar. Mitos dalam kehidupan masyarakat Indonesia adalah sesuatu yang dianggap benar, yang didalamnya dikontruksi oleh kekuatan adimanusiawi, sehingga didalam pengungkapannya terdapat aura mistis yang terwujud dalam realitas social budaya. Dan dalam keyakinan masyarakat, menentang sebuah mitos itu adalah sebuah “pamali” (dosa) yang bisa mendatangkan kualat (musibah). 
Masyarakat tersebut beranggapan bahwa dalam kehidupan di dunia ini tidak hanya dibutuhkan akal sehat (nalar), melainkan sebagian besar kehidupan untuk sesuatu yang bersifat supernatural yang memerlukan kepercayaan, walaupun hal itu berada di luar akal sehat dan jauh dari rasa skeptisisme.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia[1] mitos diartikan sebagai sebuah cerita suatu bangsa tentang dewa dan pahlawan zaman dahulu yang mengandung penafsiran, misalnya tentang asal usul semesta alam, manusia, dan bangsa itu sendiri. Yang mengandung arti yang mendalam dan diungkapkan dengan cara gaib/mistik. mitos merupakan milik masyarakat yang bersifat komunal, anonim, dan berkembang di masyarakat secara lisan dari mulut ke mulut. seperti yang diungkapkan oleh Durkheim bahwa masyarakatlah yang melahirkan agama[2]. Masyarakatlah yang melahirkan apa itu yang sacral dan yang profane, begitu juga halnya dengan mitos.
Mitos juga bersifat simbolik, karena mitos adalah simbol yang diletakkan dalam bentuk cerita[3]. Ia adalah serangkaian gambaran yang dikemukakan dalam bentuk cerita. Sama halnya dengan simbol, mitos memberi daya tarik pada imajinasi,. Mitos mempengaruhi emosi, kehendak, dan bahkan aspek kepribadian yang bersifat bawah sadar, hingga hal-hal yang bersifat illogis pun dapat terjadi.
Eliade menganggap bahwa mitos adalah bagian dari kebudayaan masyarakat primitif. Yang bagi mereka, dunia berisi segala sesuatu yang diciptakan oleh para dewa yang didalamnya segala sesuatu yang bersifat sacral akan lebih dominan.  Menurut eliade berdasarkan pendekatan fenomenologi agamanya, simbol dan mitos adalah bahasa dari sesuatu yang sacral[4] dan berfungsi sebagai alat untuk mengungkapkan, mengangkat dan merumuskan kepercayaan masyarakat primitive. Serta membawa kehidupan ilahi yang supernatural lebih dekat dengan dunia manusia yang natural. Dan pada akhirnya mitos juga berperan dalam menjamin efisiensi dari ritus, serta memberi peraturan-peraturan praktis sebagai penuntun manusia pada generasi selanjutnya.
Jika mitos lahir dalam masyarakat primitive, hal ini sesuai dengan teori perkembangan masyarakat auguste comte, ataupun dengan teori perkembangan ilmu pengetahuan weber, dimana tahap awal dari manusia bersifat teologis dan magis. Senada dengan dua tokoh tersebut, kuntowijaya juga mengungkapkan bahwa perkembangan masyarakat akan melewati beberapa tahapan yang dimulai dengan tahapan mitos, yang dilanjutkan dengan tahapan ideology dan ilmu[5].
Dalam tahap ini, masyarakat menggunakan cara berpikir mistis yang mengandaikan bahwa dunia ini dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan keramat dan gaib. Sehingga tidak heran jika irrasionalitas yang menggerakkan sikap atau tingkah laku masyarakat tersebut.
Namun hingga saat ini, di zaman kontemporer mitos tetap mendampingi kehidupan masyarakat. Dan memaksa logika akal manusia untuk tunduk pada simbol dan mitos yang terkristal dalam budaya masyarakat sebagai hasil atau produk masyarakat yang lebih mengedepankan aspek mistik-supernatural dan cenderung mengabaikan aspek rasionalitas.
Memang, jika kita berfikir menggunakan logika atau akal sehat. kejadian dalam mitos jauh dari nalar dan bahkan tidak bisa untuk dinalar. Yang jelas, antara mitos dan logika adalah dua hal yang sangat berbeda dan tidak akan pernah bisa disatukan. Secara alamiah logika tak dapat menembus mitos dan mitos bukan bagian dari logika, karena logika lebih menekankan pada analisis pikiran yang masuk akal. tapi anehnya keduanya berjalan beriringan hingga saat ini. Fakta yang tak terbantahkan bahwa hingga saat ini, kehidupan masyarakat Indonesia masih digerakkan oleh mitos-mitos. Mitos seolah telah menjadi budaya, yang di setiap daerah memiliki ciri dan keunikan tersendiri dan tidak akan bisa dengan mudahnya disisihkan. Bagaimanapun perjalanan untuk menuju perubahan harus melewati banyak hal yang tentunya tidak mudah, terlebih berkenaan dengan kepercayaan yang telah membudaya.


DAFTAR PUSTAKA

Daniel L. Pals. 2001. Seven theories of religion: dari animism E.B. tylor, materialism karl marx hingga antropologi budaya C. Geertz. Yogyakarta: penerbit Qalam
George ritzer dan Douglas j. goodman. 2010. Teori sosiologi dari teori sosioologi klasik sampai perkembangan mutakhir teori social postmodern. Yogyakarta: Kreasi wacana.
Peter connoly. 2002. Aneka pendekatan studi agama. Yogyakarta:  LKIS Yogyakarta.
Scharf, Betty R. 2004. sosiologi Agama. Jakarta: Kencana
Syafi'i Ma'arif, dkk. 2005. Muslim Tanpa Mitos: Dunia Kuntowijoyo. Yogyakarta: Ekspresi buku.
 http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php diakses pada tanggal 24 maret 2010




[1] http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php diakses pada tanggal 24 maret 2010
[2] George ritzer dan Douglas j. goodman. 2010. Teori sosiologi dari teori sosioologi klasik sampai perkembangan mutakhir teori social postmodern. Yogyakarta: Kreasi wacana. Halaman 104
Lihat juga di Daniel L. Pals. 2001. Seven theories of religion: dari animism E.B. tylor, materialism karl marx hingga antropologi budaya C. Geertz. Yogyakarta: penerbit Qalam. Halaman 166-169
[3] Daniel L. Pals. 2001. Seven theories of religion: dari animism E.B. tylor, materialism karl marx hingga antropologi budaya C. Geertz. Yogyakarta: penerbit Qalam. Halaman 285-287
[4] Ibid,. halaman 284.
[5] Syafi'i Ma'arif, dkk. 2005. Muslim Tanpa Mitos: Dunia Kuntowijoyo. Yogyakarta: Ekspresi buku.