Senin, 15 Desember 2014

“Pendidikan tanpa kelas, mungkinkah?

Pendidikan merupakan sektor yang sangat penting bagi perkembangan serta peradaban sebuah negara. Di indonesia, pentingnya pendidikan telah dituangkan dalam janji kemerdekaan yang termaktub dalam UUD 1945 yaitu Mencerdaskan kehidupan bangsa. “Mencerdaskan kehidupan bangsa” diletakkan sebagai salah satu janji kemerdekaan. Ia disejajarkan dengan ketiga janji lainnya, yaitu: “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”, “Memajukan kesejahteraan umum”, serta “Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Penempatan pendidikan sebagai salah satu janji kemerdekaan menekankan bahwa janji lain yang meliputi keamanan, ekonomi dan peran internasional, tidak mungkin dapat terwujud tanpa memberikan perhatian yang baik pada pendidikan. Pembangunan yang dilakukan harus berpusat pada manusia, dan pendidikan adalah kunci untuk menciptakan manusia yang berkualitas.
            Jika kita memperhatikan sistem pendidikan yang berlangsung di Indonesia sekarang ini, masih banyak aspek yang perlu dievaluasi untuk memperbaiki kondisi pendidikan di negeri ini.  Ada tiga masalah pokok yang harus segera diselesaikan demi terciptanya sistem pendidikan yang mampu mewujudkan cita-cita sekaligus janji kemerdekaan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Yaitu berkaitan dengan keadilan pendidikan, mutu pendidikan, dan pengelolaan pendidikan.
            Hal-hal yang berkaitan dengan keadilan pendidikan di indonesia sudah bukan lagi suatu hal yang baru, dan bahkan sudah sangat jelas terjadi. Perbedaan kualitas pendidikan antara Jawa dan pulau-pulau lainnya di Indonesia serta kesenjangan pendidikan antara pendidikan di kota besar dengan yang ada di pedesaan. Padahal, pendidikan yang baik dan berkualitas menjadi hak semua warga Indonesia, tidak terkecuali. Ketika keterbatasan atas pemenuhan hak-hak telah terjadi, maka konsekuensi logis yang akan tercipta adalah kesenjangan. Dan semakin kesenjangan itu tercipta atau semakin melebar, hal tersebut semakin akan membatasi atau menghalangi upaya pengentasan kemiskinan yang juga merupakan masalah akut yang tengah dihadapi bangsa ini.
            Pendidikan seringkali dianggap sebagai salah satu cara untuk memutus rantai kemiskinan. Tidak salah memang, karena pendidikan yang baik dan tepat dapat memberi pengetahuan dan keterampilan sehingga individu terdidik dapat meningkatkan taraf hidupnya melalui peningkatan produktivitas serta pemerolehan akses dan sumber daya. Namun nyatanya, akses untuk sekedar mendapatkan pendidikan yang baik saja sudah terbatas bagi beberapa golongan. Lalu, bagaimana mereka bisa terlepas dari belenggu kebodohan dan kemiskinan? Tidakkah ini semacam ironi atas peran pendidikan dalam upaya pengentasan kemiskinan? Pendidikan yang diharapkan mampu mengatasi masalah, justru memperbesar masalah dan kesenjangan yang selama ini telah ada.
            Tidak bisa dipungkiri jika dari hari ke hari pendidikan menjadi semakin mahal. Meskipun juga tidak bisa ditampik bahwa janji-janji pendidikan gratis seringkali bergema. Tapi, bukankah keduanya memang berbeda? Ketika biaya pendidikan berkualitas harus ditanggung oleh peserta didik, atau orang tua peserta didik, pendidikan justru akan menjadi alat seleksi untuk naik kelas. Golongan yang secara keadaan sosial ekonominya mampu, tentu akan berpendidikan yang baik, otomatis akses akan sumber daya juga menjadi lebih mudah dan mereka akan lebih mudah untuk sejahtera. Sementara golongan dengan tingkat sosial ekonomi rendah, keterbatasan akses akan pendidikan yang berkualitas tentu akan menjadi masalah dari sekian masalah mereka. Padahal, pendidikan bermutu adalah salah satu hak dasar anak yang harus dipenuhi dan negara wajib menjamin pemenuhan hak ini bagi semua anak tanpa terkecuali.
            Barangkali, pendidikan di Indonesia saat ini memang telah berbasis kelas. Disparitas mutu antarsekolah seolah tidak bisa dihindari lagi. Ada segelintir sekolah yang dimungkinkan untuk mencapai keunggulan dengan sebagian anak yang akan menikmati pendidikan kelas dunia. Sementara yang lain, harus berpuas diri dengan pendidikan seadanya atau bahkan mungkin tidak sama sekali. Nyatanya, untuk mendapatkan pendidikan mereka telah terbatasi oleh kelas sosial, dalam proses pendidikan pun mereka akan terkelas-kelas. Kastanisasi sekolah SBI, RSBI, SSN, dan Sekolah reguler memang telah dihapus. Embel-embel sekolah internasional, sekolah unggulan, juga telah disarankan untuk tidak digunakan. Tapi, selama tidak diimbangi dengan adanya perbaikan dan pemerataan kualitas, tidakkah hal itu hanya kebohongan belaka?
            Proses pembelajaran pun juga telah terbagi dalam kelas-kelas. Adanya beragam tes, standarisasi dan sistem perangkingan menjadi salah satu caranya. Serangkaian tes atau aneka ujian telah mengaburkan hakikat dan tujuan pendidikan yang seharusnya mengedepankan proses. Sekolah cenderung mengajarkan siswa untuk semata-mata bisa lulus dari ujian yang harus mereka jalani. Terlepas dari hakikat belajar yang sesungguhnya. Penetapan standarisasi pendidikan pun semakin tidak jelas dasarnya. Jika harus ada standarisasi, berdasarkan standarisasi atau patokan dari yang mana? Bukankah semuanya memang berbeda dan tidak bisa begitu saja disamaratakan? Dan sistem perangkingan menjadi titik akhir sekaligus titik tembak pembagian kelas dalam proses pembelajaran. Siswa akan terkotak-kotak menjadi rangking atas-rangking bawah, lulus-tidak lulus, dan yang paling sederhana bisa-tidak bisa. Ketika kelas-kelas telah tercipta, akses akan sumber daya yang dalam hal ini adalah pengetahuan dan kemampuan (Skill) juga akan berbeda. Anak yang berada di golongan atas akan jauh lebih mudah untuk mendapatkannya karena seringkali guru di indonesia lebih memusatkan perhatiannya pada mereka yang bisa, dan cenderung mengabaikan atau setengah hati dalam mendampingi mereka yang terkategori “tidak bisa”.
            Jika ditelisik lebih jauh lagi, latar belakang keluarga terutama status sosial ekonomi juga memiliki peran besar dalam membentuk kemampuan anak. Anak dari golongan mampu, dengan segala fasilitas yang tersedia, serta kemampuan untuk memperdalam kemampuan melalui bimbingan belajar, tentu bukan hal yang sulit bagi mereka untuk bisa lulus ujian dan berada di rangking atas. Berbeda halnya dengan anak yang berlatar belakang menengah-bawah, selain keterbatasan fasilitas, seringkali mereka juga dihadapkan pada kondisi dimana psikologis mereka telah terbagi antara peran mereka sebagai peserta didik, dan peran mereka dalam keluarga. Proses belajar mereka seringkali terpengaruh oleh hal-hal di luar batas kapasitas mereka sebagai anak. Sehingga tidak heran jika seringkali kemampuan mereka kalah jauh. Dalam kasus ini, tidakkah pendidikan menjadi proses pelanggengan kesenjangan?
            Pendidikan akan mampu memutus mata rantai kemiskinan tatkala keadilan dan kesetaraan pendidikan telah tercipta di bumi Indonesia. Barangkali, reformasi pendidikan memang sudah saatnya dilakukan. Pendidikan untuk semua sudah seharusnya digalakkan dan diterapkan. Adanya diskriminasi dalam dunia pendidikan memang lebih baik diminimalisir, agar semua siswa bisa memperoleh perlakuan yang sama. Kemampuan antar siswa memang bisa jadi beragam, tapi ketika guru bisa mendampingi, membimbing, dan mengarahkannya sesuai kemampuan masing-masing siswa, tentu proses dan hasil pendidikan jauh akan lebih baik. Sedangkan untuk evaluasi, alangkah lebih baik jika penilaian lebih mengedepankan progres atau kemajuan belajar dari masing-masing siswa. Jadi, siswa tidak lagi diuji kemampuan dengan siswa lain, atau hanya untuk sekedar memenuhi standar nilai yang telah ditetapkan. Penilaian untuk mengukur kemampuan memang diperlukan, tapi jika dilakukan terlalu sering juga akan menimbulkan tekanan, dan mengaburkan proses belajar minus pemahaman, penerapan, dan pengembangan kreativitas siswa. Ketika generasi muda telah tumbuh tanpa tekanan, maka tidak akan lagi kita temui anak Indonesia yang besar dan tumbuh tanpa pernah menggunakan otaknya untuk kreativitas. Dan ketika pendidikan untuk semua telah mampu dilaksanakan, kesenjangan (kastanisasi) dalam pendidikan telah dihapuskan, maka secara perlahan kemiskinan dan kesenjangan ekonomi juga akan teratasi. 

Senin, 08 Desember 2014

Cinta di ujung senja

“Karena itulah, aku ingin kau meneruskan pencarian impianmu. Kalau aku memang bagian dari mimpimu, suatu hari nanti kau pasti kembali.” Gadis itu menyeka titik bening yang membahasi pipinya. Ia menundukkan kepala, memejamkan mata, mencoba mencari kekuatan. Barangkali, hatinya  juga melakukan hal yang serupa. Tapi hati sedikit beruntung, karena tidak semua orang bisa mengetahui bagaimana kerasnya ia berjuang melawan kemunafikan yang terjadi padanya. Ia kembali menengadah, mencoba kuat untuk menatap sepasang mata elang yang ada di hadapannya.

“Pergilah... cinta tak pernah menghalangi seseorang untuk mengejar mimpinya. Jika memang ini adalah cinta sejati, cinta ini pulalah yang akan menuntunmu. Pergilah...!” suaranya remuk redam oleh isak tangis yang mulai tak kuasa ia tahan. Sekali lagi ia mengusap pipinya yang basah. Ah, hati. Kadangkala, kau dan tubuh memang tak dapat dipisahkan, yang berarti tubuh menjadi sahih sebagai pencerminanmu. Seperti yang aku lihat pada gadis ini. Seberapapun ia berusaha, ia telah gagal untuk melawan bahwa hati memang tak bisa berbohong.

Gadis itu diam. Aku diam. Semuanya hening. Hanya suara cicit cericit burung-burung yang terbang hinggap diantara pepohonan di sekitar kami yang menjadi nada cinta dalam kebisuan. Ya, terkadang aku memang mencintainya dalam diam. Diamku adalah salah satu caraku mencintaimu, wahai gadisku.

Tapi percayalah, diam bukan berarti pasrah, diam bukan berarti tidak bertindak. Ibarat air yang tenang, seolah aku memang tidak melakukan apapun, hanya diam, sabar, tapi sebenarnya sedang terus berusaha habis-habisan. Berusaha untuk menjalani hari sesuai hukum alamnya, untuk bertemu rintangan, bertemu celah-celah kecil, bahkan bertemu batu-batu. Kau perlu tahu, bagi orang yang mencintai dalam diam sepertiku, apa yang ditunjukkannya hanyalah bagai gunung es di dalam samudera, hanya memperlihatkan pucuk kecil dari betapa besar perasaan itu di dalamnya. Besar sekali yang tersembunyi.

“Sama halnya seperti diriku, Kumohon padamu.. bersabarlah. Bersabarlah atas waktu terbaikNya. Bersabarlah atas skenario terbaikNya. Bahkan ketika orang-orang tidak tahu betapa besar dan menakjubkannya rasa sabar tersebut. Jika memang kita ditakdirkan bersama, biarlah Tuhan yang mengatur semua jalannya. Aku tak ingin mengikatmu dalam penantian, jika ada yang datang padamu dan ternyata dia lebih baik dari aku. Terimalah... aku hanya ingin kau mendapatkan yang terbaik. Meski disini aku juga sedang berjuang untuk menjadi lebih baik bagimu.” Ya, meski berat, akhirnya aku mengatakannya.

Kulihat gadis di sebelahku, dia masih menunduk. Dan kuyakin dalam hatinya menyimpan segumpal rasa sesak. Seperti halnya hatiku. Ah, rasa macam apa ini. Terkatakan tidak, tapi terasa ada. Meski aku juga yakin, dia gadis yang kuat. Mencoba untuk kuat, barangkali. Sebagaimana aku juga yakin akan cintanya yang begitu tulus. Termasuk tulus untuk melepas kepergianku. Meski aku tahu benar, perasaan itu akan benar-benar menyakitkan baginya.

Tentang cinta, betapa ia mengalir diam-diam tanpa harus mencari di mana awal mulanya. Kau hanya tahu, tiba-tiba merasa aneh karena ada seseorang yang mulai mengganggu otak dan perasaanmu. Seperti yang aku dan gadis itu alami. Kita, sepasang cinta yang dipertemukan tanpa proses pendekatan. Kau dan aku, sepasang manusia yang lekat tanpa pernah harus berpelukan.

Entah aku harus berterima kasih atau tidak pada keadaan, pada mereka yang berusaha mempertemukan sekaligus menyatukan aku denganmu. Merekalah yang mengantarkanku pada semua ambiguitas ini. Ah, yang jelas aku harus minta maaf padamu. Ya, padamu.

Terdengar sedikit bising kesibukan yang diciptakan oleh segerombolan anak remaja yang baru saja memasuki area taman. Mereka terlihat sangat riang dalam canda dan tawa mereka. Sungguh, bertolak belakang dengan kita bukan? yang berselimut cinta dalam kesunyian.

Aku dengan resah memalingkan wajah ke arah pepohonan di depanku dan bergumam  “Maafkan aku.”
“maaf untuk apa?”
“karena aku, kau harus kecewa.”

Gadis itu mendesah dan tersenyum tipis, “tidak usah meminta maaf, kau tidak bersalah. Mungkin semuanya memang belum waktunya. Aku tahu, kita masih sama-sama membutuhkan waktu untuk selesai dengan diri sendiri.”

Lagi, Selama beberapa saat suasana tercipta tanpa saling bicara. Suara yang terdengar hanyalah suara gemeresik dedaunan yang ditiup angin, suara lalu lintas di kejauhan dan suara segerombolan anak remaja yang telah berada di ujung taman sana.  

Melihatnya tersenyum, aku turut tersenyum samar. “kau benar, aku belum selesai dengan diriku sendiri. Dan karena itulah, aku masih terlalu takut untuk membawamu turut serta bersamaku. Karena aku tahu, perjalanan itu pasti tidak mudah.”

“mmm.. aku tahu.” Gumamnya, lalu menarik nafas dalam-dalam. “percayalah, aku disini akan baik-baik saja. Jika nanti dalam perjalanan pencarian mimpimu kau akhirnya bertemu dengan seorang gadis yang bisa memahamimu lebih dari aku, semoga cinta kalian dimudahkan oleh Tuhan. Tentu, kau tak perlu memikirkan aku yang disini senantiasa mendoakanmu. Doakan saja aku  ikhlas dengan bahagiamu mas.. hanya itu pintaku. Ya, hanya itu.”

Aku menatapnya dengan heran. mencoba membuka mulutku untuk mengatakan sesuatu, tapi tak ada satu patah katapun yang keluar dari mulutku. Aku berpikir sejenak.
“aku bukannya ingin meninggalkanmu untuk selamanya, Aira.”

Gadis yang dipanggil Aira itu menatap laki-laki di depannya dengan tatapan setengah terkejut.
ah, perasaan macam apa ini. Aku tidak ingin meninggalkannya, tapi aku juga terlalu takut untuk membawanya untuk saat ini. Ya tuhan. Semuanya serba paradoks. Ambigu. Bahkan, beberapa detik yang lalu aku sendiri yang mengatakan padanya bahwa aku tidak mengikatnya dalam penantian ini. Dan detik ini, ketika dia rela melepaskanku. Aku yang tidak rela untuk melepaskan dan dilepaskan. Ya tuhan.

Aku membuka mulut hendak menjelaskan, namun lagi-lagi aku mengurungkan niatku. Tetapi saat ini aku sangat ingin mengatakan apa yang aku rasakan, apa yang ada dalam hatiku. Tidak lagi berbohong, tidak lagi bersikap sok tegar dan seolah semuanya akan baik-baik saja. Tidak.
Aku menoleh ke arahnya. “bisakah aku memintamu untuk menungguku?”

Dia tertegun. Sedangkan aku menatapnya dengan penuh harap. Ia diam. Tak bersuara. Mungkinkah ia sedang berpikir ia harus menjawab apa? Sayangnya aku juga tidak bisa menunggu untuk tidak mengatakannya. “aku pergi untuk sementara. Untuk selesai dengan diriku sendiri, dengan semua impian-impian pribadiku.  Hingga saat itu tiba, bisakah kau menungguku?”

Aku menghela napas dalam-dalam, mencoba meredakan kepanikan yang tiba-tiba menyerangku.
“Kejarlah impianmu,” ucap Aira datar, lalu ia mengulum senyumnya yang tipis. “Setelah itu, kalau memang masih ada kesempatan, kita bisa bertemu lagi.”
“berarti kau mau menungguku?” tanyaku tak sabar.
“entahlah...” sejenak ia terdiam.

Sementara aku masih tidak mengerti apa maksudnya.  Lagi-lagi senyum manisnya terkulum. Dia selalu tenang ketika tersenyum.  “jika saat ini kita memang belum bisa bersatu, mungkin perpisahan ini memang ada baiknya. Aku merasa kita berdua butuh waktu untuk berpikir. Supaya kita benar-benar yakin tentang apa yang kita inginkan.”
Aku terdiam. Kalau aku boleh jujur, aku tidak ingin meninggalkannya. Aku juga tidak ingin ia melepaskanku. Sungguh, keputusan ini sangat sulit.

Aku lihat dia kembali menunduk. Aku bisa merasakan bahwa ia juga merasa sedih walaupun dia terus berkata pada diri sendiri bahwa ia telah melakukan hal yang benar. Bagaimanapun juga, ia melakukan semua ini demi aku dan dirinya sendiri.

Seperti yang aku katakan tadi, aku butuh waktu untuk selesai dengan diriku sendiri. Dan mungkin benar, dia juga butuh waktu. Kita sama-sama membutuhkan waktu untuk memikirkan ulang semuanya. Ya, barangkali memang benar.

Sebutir air mata jatuh di pipinya dan Aira menghapusnya dengan cepat. Kenapa ia menangis? Mungkinkah tiba-tiba hatinya terasa sakit? Dia menghela napas dalam-dalam dan mengembuskannya dengan pelan, mencoba tersenyum. Senyum yang paling aku suka darinya.

“Tidakkah kita seperti dua orang yang sama-sama keras kepala berjuang demi akhir yang sebenarnya belum bisa diperkirakan?” tanyanya seolah dia menertawakan kehidupan yang sedang terjadi.

Aku mencoba menguatkan diriku. Hingga akhirnya...
“Baiklah, mungkin memang lebih baik kita berpisah untuk sementara waktu.”
Aira tidak berkata apa-apa.

“Sebelum waktu itu tiba. Mungkin kita adalah dua manusia yang masih harus berjuang di arena pertarungan serupa, hanya saja dari dua tempat yang berbeda. Yang pasti, hanya Tuhanlah yang memiliki kuasa atas jalannya.”

Masih tidak terdengar suara darinya. Suasana kembali hening sejenak, lalu terdengar Aira bergumam, “Baiklah. ”

Di langit, seraut senja mulai terisak. Enggan berpisah, tapi harus berpisah. Yang barangkali memang hanya untuk sementara.


Surabaya, Desember 2014

Kau adalah Bintang

Surat untuk adikku tercinta yang telah menginjak usia 16 tahun.

Tak terasa, waktu memang cepat berlalu. Rasanya, baru kemarin kehadiranmu menggenapkan kebahagiaan ayah dan ibu beserta dua orang lain yang telah hadir sebelum engkau. Ya, kedua kakakmu. Kau hadir ketika aku tengah duduk di bangku kelas dua sekolah dasar, dan Af Isnain berada satu tahun di bawahku, kelas 1SD. Berbeda dengan sebelumnya, saat kehadiranmu aku telah sedikit mengerti arti keberadaan seorang adik. Meski waktu itu, dalam harapanku aku lebih menginginkan kehadiran adik perempuan dibandingkan adik laki-laki lagi. Sangat wajar bagi anak perempuan seusiaku untuk menginginkan hadirnya saudara sekaligus teman perempuan juga bukan? walau pada akhirnya, aku memang ditakdirkan untuk menjadi putri satu-satunya dalam keluarga ini. Dan kuakui saat ini, aku bahagia karenanya.

Adikku, saat ini usiamu telah genap 16 tahun. Hari ini, juga menjadi hari ulang tahun pertamamu jauh dari rumah bukan? bagaimana rasanya? Karena itulah aku menuliskan surat ini. Jika menurut kebanyakan orang, ulang tahun ke-17 menjadi spesial karena menjadi langkah awal tapak kedewasaan. Maka kau telah memulai tapak kedewasaanmu di usia 16 tahun ini. Memang tak ada perayaan, kado spesial pun mungkin tak ada. Tapi percayalah, doa itu akan senantiasa ada untukmu. Untuk kedewasaan berpikirmu, kematangan jiwamu, dan lapangnya masa depanmu.

Kabar yang aku dengar dari ayah dan ibu, ulang tahunmu kali ini bertepatan dengan hari pertamamu UAS. Dan sebagai syarat utama untuk mengikutinya kau harus terlebih dahulu hafal beberapa surah penting dalam Al-quran. Sudahkah kau hafal? Lalu, sudahkah kau belajar menyiapkan materi ujianmu? Ah, sekarang kau harus benar-benar melakukannya sendiri bukan? Ya, memang sudah masanya. Di rumah ada ayah yang akan selalu menemanimu belajar dan mengetes hafalan surah mu. Terkadang, juga ada aku yang akan menemanimu belajar matematika dan fisika. Tapi, itu dulu. Sekarang, kau harus mulai belajar sendiri. Bersama teman-teman seperjuanganmu. Masih seperti dulu, jika kau belajar sungguh-sungguh, hasilnya juga tidak mengecewakan bukan? kerja keras memang tidak pernah mengkhianati adikku.  Kau tahu, kau pasti bisa jika kau mau.

Selepas menyambangimu, ibu selalu bercerita tentang keadaanmu. Tentang kemajuan-kemajuanmu, juga tentang hal-hal lucu yang menunjukkan bahwa kau memang anak yang baru pertama kalinya merantau. Tak perlu malu atau riskan. Aku, mz fajar, bahkan juga ayah sekalipun pasti pernah mengalami hal yang sama, atau bahkan lebih parah darimu. Itulah yang namanya proses kehidupan. Selalu ada kata “pengalaman pertama” dalam setiap proses bukan? dan dari sanalah kita senantiasa harus belajar.

Pernah suatu hari ada seorang rekan ayah di kegiatan desa bertanya padaku, apa ayah dan ibu tidak kepikiran ketika anak-anaknya berada nun jauh disana? Aku lalu menceritakannya pada ayah, ayah tertawa. Lalu ia melanjutkan, “kalau mengedepankan rasa khawatir, bagaimana bisa maju?” kau tentu bisa mencerna makna di balik kata-kata itu bukan? bukannya tidak khawatir. Bukan pula tidak ingin menyaksikan perkembangan kita secara langsung di sisinya. Tapi, akan ada suatu masa dimana kita harus belajar mandiri, belajar arti kedewasaan, sekaligus memperluas ilmu dan pengalaman.

Banyak pelajaran yang akan kau dapatkan di tanah perantauan adikku. Pergaulanmu tidak akan lagi hanya sebatas rumah-sekolah dan kota kelahiran ini saja. Sekarang, teman-temanmu berasal dari berbagai kota bukan? Dengan segala perbedaan di dalamnya, tentu akan lebih menuntutmu untuk lebih bertoleransi, memahami, dan menghargai. Merekalah teman seperjuanganmu. Keluarga barumu. Aku tahu, tidak semua dari mereka akan cocok denganmu. Tapi, tetap hargailah mereka. Bersama merekalah, hidupmu akan mejadi lebih berwarna. Bukankah hidup tidak hanya sekedar hitam dan putih?

Adikku, barangkali pernah terbesit dalam benakmu untuk lebih baik menjadi seperti teman-teman SMP mu. Yang tetap berada di rumah dengan segala kenikmatannya, tetap bisa bermain-main dengan teman yang sudah saling cocok, dan yang paling penting dan utama bagi anak se-usiamu adalah  tidak lepas dari gadget. Aku tahu pasti bagaimana rasanya, pasti berat ya? Tapi, ketika kau sudah bisa melewatinya, bukankah kau sudah selangkah lebih dewasa?

Di tempatmu yang baru, kau juga akan ditempa untuk lebih disiplin terhadap diri sendiri. Tidak akan ada lagi suara ibu yang mengomel untuk sekedar mengingatkanmu. Tidak akan ada juga suaraku yang seringkali memarahimu karena kau belum bisa mengatur sendiri barang-barangmu. Kau boleh sedikit bersenang hati, karena hidupmu akan sedikit bebas. Tapi bebas disini tentu bukan bebas untuk melakukan hal-hal di luar batas, tetapi kebebasan yang bertanggung jawab terhadap batas-batas yang telah ditetapkan Tuhan atas dirimu.

Kau juga bebas untuk menentukan arah masa depanmu adikku. Ibaratnya, ayah dan ibu saat ini hanya memilihkan pondasi untukmu. Selanjutnya, minat dan bakatmu mengarah kemana, ikutilah. Ikuti kata hatimu. Kau tidak harus mengikutiku, juga tak harus memilih jalan seperti yang dipilih mas fajar. Kau memiliki jalanmu sendiri. Sampai disini, mungkin kau akan bertanya apa passion mu? Dan yang tahu jawabannya hanya dirimu sendiri adikku. Maka dari itu, ikutilah kata hatimu, ikuti semua inginmu. Jika kau tertarik dengan hal-hal yang berbau teknik, dalamilah. Jika kau tertarik untuk belajar bahasa jepang, pelajarilah. Sudahkan kau melakukan apa yang ingin kau lakukan?

Satu pesanku untukmu. Ketika kau telah memilih hal-hal yang kau sukai dan ingin kau lakukan, tekunilah dengan sebaik-baiknya. Tak perlu ragu atau minder. Yakinlah dengan kemampuanmu. Tapi, jika kau memilihnya karena hanya sekedar ikutan-ikutan. Lupakan saja adikku. Hidup ini terlalu singkat untuk menjadi orang lain. Kau hanya memiliki satu kehidupan. Masa SMA juga hanya akan sekali kau alami. Sayang rasanya jika tak kau jalani dengan sungguh-sungguh. Ada beberapa pilihan kelas disana, juga ada banyak ekskul tersedia. Pilih dan jalanilah sesuai minatmu. Kau tentu tak ingin menyesal di kemudian hari kan? Maka, jalanilah harimu dengan sebaik-baiknya. Kau tak perlu takut untuk mencoba hal-hal baru. Kau juga tak perlu takut untuk menjadi berbeda. Jalanilah hari-hari ini dengan versi terbaik dari dirimu sendiri.

Satu hal lagi, dalam masa-masa belajar ini, kau juga tak perlu takut untuk salah. Kadang, hidup memang mengajak kita becanda, tetapi yang terbaik adalah saat kita mampu menertawakan kesalahan sendiri dan berani berdiri lagi setelahnya. Mulai saat ini, aku harap kau bisa percaya pada dirimu sendiri. Pada kemampuanmu. Pada hal-hal istimewa yang ada pada dirimu. Kau tahu? mereka yang hari ini tampil dengan percaya diri pun pernah mengalami berbagai pengalaman pahit dan berjuang melawan keraguan dalam dirinya sendiri. Pada akhirnya semua akan belajar bahwa menerima diri sendiri adalah hal yang paling melegakan di dunia ini. Semua orang adalah bintang, meski tidak di langit yang sama.

Ingatlah, kau juga adalah bintang. Dan kamu hanya perlu mempercayainya. Percayalah pada kekuatanmu.

Adikku, apapun yang kau nikmati hari ini, di hari istimewamu, akan terasa lebih sempurna bila kau mengingat dan mengetahui bahwa kesempatan tidak selalu ada pada kita semua. Mumpung masih diberi umur, mari kita manfaatkan segala kesempatan dengan perubahan, tentu perubahan untuk menjadi lebih baik. Betapa Allah masih menyertai  dan memberi kau kesempatan, untuk mengulas, memperbaiki segala yang kurang menjadi lebih, dan lebih. Tentu lebih baik dari hari kemarin.

Maka dari itu, mari nikmati setiap detik yang ada dalam hidupmu, ambil setiap kesempatan yang tersedia untukmu dan besyukurlah atas hidupmu.

Salam sayang dariku
Teruntuk adik tersayang Maulana Abdillah (Aank) di PP. Tambak beras Jombang