Rabu, 22 April 2015

Perempuan, antara cerdas dan batas








“Entah akan berkarir atau berumah tangga seorang wanita wajib berpendidikan tinggi karena ia akan menjadi ibu. Ibu-ibu cerdas akan menghasilkan anak-anak cerdas.” – Dian Sastrowardoyo
Kita semua tahu bahwa di zaman ini perempuan tidak lagi dibatasi dan dikekang, utamanya yang berkenaan dengan pendidikan. Bisa menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi, bekerja, dan memiliki karir cemerlang, seolah telah menjadi alur hidup bagi sebagian besar perempuan di masa kini. Mungkin, jika Kartini hidup di masa ini, beliau akan sangat gembira melihat harapannya tuk melihat gadis modern yang tidak saja berpendidikan, tapi juga bermanfaat telah banyak menjadi kenyataan. 

Polemic wanita modern tidak lagi berkutat pada haknya akan pendidikan, lebih dari itu, polemic wanita di mata social saat ini adalah ketika mereka telah menempuh pendidikan tinggi, mereka akan dihadapkan pada dua pilihan, yakni “bekerja” atau menjadi “ibu rumah tangga”. Dan selalu, setiap pilihan akan selalu memiliki konsekuensi, termasuk konsekuensi social. Begitupun dengan dua pilihan tersebut. Jika wanita memilih tetap berkarir setelah mereka menikah, utamanya setelah mereka memiliki anak, yang dikhawatirkan hanyalah kemampuan mereka dalam menanggung tugas tersebut sekaligus, multi burden istilahnya. Ok lah untuk urusan pekerjaan domestic bisa diserahkan pada asisten rumah tangga, tapi untuk pengasuhan dan pendidikan anak, bukankah tetap menjadi kewajiban orang tua?

“Apakah kamu yakin mampu bekerja sekaligus menjadi istri dan ibu yang sama baiknya?”. Barangkali, pertanyaan inilah yang acapkali menyelimuti wanita-wanita yang memilih untuk menjadi ibu yang berkarir. Sementara, pilihan untuk menjadi “ibu rumah tangga” pun bagi wanita modern saat ini juga tidak lepas dari konsekuensi social. “Apa gak eman gelarnya, jika “hanya” akan menjadi ibu rumah tangga?”.
 
Hmm.. barangkali memang benar, bagi wanita modern saat ini, usia 20-an adalah masa dimana dunia bersikap sangat sinis. Berbagai tuntutan hadir, utamanya yang berasal dari cermin social. Semua itu dimulai ketika pendidikan tinggi telah terselesaikan, pertanyaan “kapan nikah” akan selalu mengiringi langkah. Lalu, 
setelah menikah dan memiliki anak, mereka akan dihadapkan pada pilihan untuk menjadi “wanita karir” atau “ibu rumah tangga”?

Ya, dan orang-orang selalu merasa lebih tahu dengan apa yang seharusnya orang lain lakukan. Sesuai atau tidak sesuai dengan pandangan mereka, mereka akan tetap saja sibuk berkomentar. Mungkin, ada baiknya jika di masa ini, para wanita muda termasuk juga saya, harus pintar-pintar untuk bersikap sesuai posisi dan kondisi. Ada waktu dimana kita harus menghargai pendapat mereka, tapi di lain waktu juga berhak untuk membebalkan diri dari semua komentar mereka. Karena bagaimanapun, hidup tidak pernah bisa disamaratakan. Hidup juga terlalu singkat dan berharga untuk hanya diisi dengan ajang coba-coba, karenanya belajar dari pengalaman orang lain juga perlu untuk dilakukan. 

Saya sendiri lahir dan besar dari keluarga dengan ibu yang full di rumah. Melihat kembali ke belakang, dan mengaitkannya dengan masa saat ini, dimana saya dan ketiga saudara saya telah tumbuh dengan karakter dan kemampuan masing-masing, jujur, saya mengakui bahwa kami bisa menjadi seperti saat ini, karena didikan dan perhatian yang penuh tercurah untuk kami. Ibu saya hanya tamatan SMA, yang memiliki keinginan kuat untuk menempuh pendidikan tinggi, walau kala itu memang tidak bisa terwujud. Tapi meski demikian, saya tetap melihat ibu saya sebagai wanita yang penuh integritas, eksistensi, dan selalu haus untuk belajar. Dulu, sewaktu muda, ibu juga pernah menjadi guru di yayasan keluarga, beliau juga aktif dalam kegiataan kewanitaan di sekitar rumah, dan pernah juga bekerja di rumah, sebelum akhirnya memilih untuk focus mendidik anak.

Besar dari keluarga dengan ibu yang full di rumah bukan berarti menjadikan keluarga saya pengikut aliran yang menganggap bahwa wanita hanya berkutat dengan “Macak, Masak, dan Manak”. Justru, ayah dan ibu saya adalah orang yang sangat menghargai pentingnya pendidikan. Termasuk juga bagi saya, anak perempuan satu-satunya. Bahkan, mereka sangat mendukung saya untuk menempuh pendidikan Strata-2 sejak masih muda. Karena menurut beliau, selain mumpung masih muda dan belum terlalu banyak tanggungan, orientasi perjalanan yang dilalui juga akan lebih ikhlas dan tulus untuk keilmuan dan pengabdian setelahnya, bukan semata-mata hanya untuk cari gelar dan naik jabatan.

Lalu, sebagai wanita muda yang berpendidikan tinggi, apakah saya dididik untuk melupakan kodrat saya sebagai wanita?

Tentu tidak. Sama halnya seperti ibu saya, saya pun mengamini bahwa perempuan harus berpendidikan. Perempuan itu harus Cerdas, bukan untuk menyamai atau melawan laki-laki, tapi untuk melahirkan generasi yang bisa membawa peradaban kearah yang lebih baik lagi. Karena Ibu adalah pendidik pertama bagi anak-anaknya yang juga harus mengerti berbagai hal yang kelak akan ditanyakannya. Terlebih di zaman seperti saat ini, untuk mendidik anak tentu tidak hanya diperlukan sosok perempuan yang pandai mengurusi keperluan domestic, tapi juga perempuan yang bisa mendidik moral dan intelektual seorang anak, dan untuk bisa melakukannya tentu dibutuhkan bekal yang matang bukan?

Memang benar, bekal yang matang, dan proses belajar tidak hanya bisa didapat dari sekolah. Dari mana saja juga bisa. Tapi, kita juga tidak bisa memungkiri bahwa pendidikan yang kita dapat di bangku kuliah juga akan sangat mempengaruhi cara berpikir, berbicara, dan bertindak kita. Yang nantinya, kemampuan itu tidak saja akan bermanfaat untuk mendidik anak, tapi juga akan menjadikan kita partner berpikir yang baik bagi suami. Karena pendidikan yang baik akan membentuk cara berpikir dan kemampuan kita dalam melihat masalah dari sudut pandang yang berbeda.

Yang menjadi pertanyaan kemudian, setelah menyandang gelar master dan menikah, saya akan memilih menjadi “ibu yang berkarir” atau “ibu rumah tangga”?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, saya rasa saya harus kembali pada niat awal saya bahwa saya sekolah tinggi-tinggi tidak hanya untuk diri saya. Tapi untuk kebermanfaatan. Baik itu bagi keluarga, sesama, maupun untuk lingkungan social dimana saya berada.

Sebagai perempuan berpendidikan yang dewasa, saya tetap berpegang teguh bahwa wanita memang seharusnya memiliki eksistensi dan kebermanfaatan sosial, tanpa mengesampingkan bagaimana pendampingan kita bisa memberi arti. Bagi kesuksesan suami, dan bagi kecemerlangan masa depan anak-anak. Semoga, saya dan wanita muda lainnya bisa. 

 Surabaya, April 2015