Rabu, 02 November 2016

Head, Heart, And Hand



Jagat raya ini memang demikian ramai, sibuk, dan penuh gejolak. Betapa tidak, semesta dengan segala isinya senantiasa sibuk dengan segala aturan yang harus dijalani. Lihat saja bumi, selain berotasi pada porosnya, ia juga melakukan tawaf bersama matahari dan planet-planet lain. Sementara matahari senantiasa memancarkan cahaya ke penjuru planet, termasuk bumi.

Semua bergerak sibuk!

Semua kesibukan itu berlaku bagi seluruh jagat berikut isi dan setiap hal yang ada di dalamnya. Dari kesibukan jagat raya yang ramai itu, tidak ada yang lebih ramai selain jagat pikiran kita. Jagat pikir adalah jagat cipta. Kita dapat saja duduk di kursi sambil meneguk kopi, tetapi siapa yang dapat menebak ke mana saja arah alam pikiran kita melayang dan menerjang. Kadang, jagat pikir kita lebih dari sekedar sibuk, bahkan macet! 

Kita sudah tidak lagi terbiasa berpikir jernih untuk menemukan hal-hal positif. Jangankan untuk memikirkan hal-hal kreatif dan inovatif, untuk menemukan solusi diri saja sudah tidak terkendali.

Selain jagat pikir, demikian pula dengan hati. Orang sering mengatakan, “hati adalah cermin”. Sebuah kalimat singkat, namun sarat makna. Kita tahu, cermin memiliki karakter merefleksikan apa saja yang ada di hadapannya. Namun, sang cermin tidak selalu sempurna memantulkan gambar atau rupa jika sang cermin sendiri kotor dan gelap.

Membersihkan hati adalah tugas manusia tiada henti. Sepanjang tarikan nafas, manusia dengan segala keyakinan yang dimiliki berupaya membenahi diri agar senantiasa berarti. Semua itu dilakukan demi mendapati gambar dan rupa secara utuh dan sempurna. Itulah hati. Dan hati, hanya bisa dibersihkan oleh yang “memiliki” hati. Dialah sang Hati.

Jika alam pikir adalah cipta maka alam hati adalah sebagai rasa. Jika demikian, yang bisa kita lakukan hanya pasrah, bersedia untuk senantiasa “mengheningkan” cipta. Lalu, kita memohon kepada sang pemilik hati agar sennatiasa memberi bimbingan dan cara terbaik dalam membersihkan hati.

Sekali waktu, coba kita renungkan apa yang kita lakukan sejak kita bangun hingga kembali beranjak tidur. Ketika fajar menyingsing dan cahaya matahari menyergap, yang selalu menjadi pikiran kita adalah banyaknya uang yang harus kita dapatkan hari ini. Dalam bahasa lain, kita akan mengatakan keuntungan apa yang bisa diperoleh hari ini. Apapun yang kita lakukan tujuan akhirnya adalah uang. Secara sederhana, kita mempunyai logika bahwa jika saya mendapatkan uang, saya bisa membeli makan. Jika saya  makan, maka saya akan sehat. Jika saya sehat, saya dapat bekerja. Jika saya bisa bekerja, saya bisa mendapatkan uang. Inikah yang menjadi pola dan rutinitas kita sehari-hari?
 
Ya.

Tanpa kita sadari, uang telah semakin mendewa, kita akan menjadi hamba-hamba yang akan saling 
bersinggungan, bahkan berselisih untuk mendapatkan sang dewa. Uang telah menggeser nilai dan jati diri manusia sebagai manusia spiritual.

Time is money. Satu ungkapan modern yang demikian popular di telinga kita. Sadar atau tidak ungkapan ini menjelaskan secara nyata bahwa segalanya diukur oleh (dengan) uang. Sehingga setidaknya setiap gerak dan langkah kita selalu diisi dengan segala hal yang bernilai atau menghasilkan uang. Jika hal ini yang menjadi orientasi hidup kita. Betapa kering kehidupan ini, semua selalu diukur dengan uang, uang, dan uang.

Padahal, apa yang kita buru selama ini, seperti uang, kekayaan, dan popularitas, bukanlah sesuatu yang abadi. Terlalu banyak cerita yang menuturkan mengenai orang yang sering tergelincir pada wilayah kekayaan 
dan jabatan tinggi. Sederhana saja, orang yang sebelumnya memiliki kepekaan dan solidaritas sesama kawan, kemudian menjadi sirna hanya karena statusnya berubah menjadi seorang yang “ber-uang”.

Karena itulah, saya lebih menganggap keistimewaan seseorang dari bagaimana dia tersenyum pada sekitarnya. Menaruh kesempurnaan bagaimanapun juga saat dia kekurangan. Sederhana adalah saat kita menjadikan segala sesuatu yang ada dan terjadi tepat menjadi kebahagiaan.
Dari mereka yang tetap sederhana, saya belajar. 

Sebuah refleksi, dan sebuah renungan.

Disleksia, bukan penyakit kok!


Disleksia? Apa itu?

Kata “Disleksia” pertama kali saya dengar dari sebuah film yang menceritakan tentang kesulitan seorang anak untuk membaca dan menulis. Dalam film tersebut diceritakan bagaimana seorang anak berumur sekitar 8-9 tahun -yang ternyata mengidap disleksia-, terlanjur mendapat label “anak bodoh”, bahkan dari ayah dan gurunya sendiri.

Setelah menonton film tersebut, saya jadi teringat pada salah satu sepupu saya, yang saat ini telah menginjak kelas 2 SMA, tapi belum mahir dalam membaca dan menulis. Lalu, bagaimana dia bisa naik kelas?

Dalam hal ini mungkin sepupu saya tersebut sedikit lebih beruntung karena dia tidak harus mengalami  riwayat “tinggal kelas”, serta tidak harus mengalami fase labeling “anak bodoh” secara langsung dan kasar seperti yang dialami oleh si tokoh dalam film. Beruntungnya lagi, orang tuanya lebih bisa menerima kondisi dia, dan tidak membanding-bandingkannya dengan sang kakak. Jadi, untuk pembentukan mental dan psikisnya, dia tidak mengalami masalah hingga saat ini. Perlakuan yang dia terima dari lingkungannya lebih pada pemakluman, sekaligus rasa sungkan pada kedua orang tuanya.

Sama halnya seperti di film, kekuatan dan ketegaran sang ibu sangat diuji, begitupun halnya dengan tante saya itu. Tentu bukan hal yang mudah baginya, meski di luar nampak selalu baik-baik saja, mampu bersikap masa bodoh dengan gunjingan atau bahkan cemooh orang, tapi dalam hatinya, dalam pikirannya, yang ada hanyalah anak dan masa depan si anak, apalagi anak itu adalah anak laki-lakinya.

Sebenarnya, tanda-tanda “lamban” dalam proses belajar telah ada sejak dia kecil. Malah, waktu itu ada yang menyarankan agar sepupu saya itu dimasukkan ke sekolah luar biasa. Tentu saja ayah-ibunya menolak, wong anaknya normal kok. Alhasil, dia tetap menempuh pendidikan di sekolah layaknya anak pada umumnya. Guru-guru les pun selalu didatangkan untuk membantunya belajar. Sayangnya, tetap belum ada perkembangan yang signifikan hingga saat ini.

Hingga tante saya itu pernah berkata pada ayah saya, “Saya seorang guru kak, ayahnya juga guru, tapi kami tidak bisa mengajari anak kami sendiri”. Ya, akhirnya yang mengalami frustasi adalah tante saya. Semacam ada rasa bersalah dalam dirinya, juga ada beragam ketakutan sekaligus kekhawatiran akan masa depan anak-anaknya.

Tante saya itu adalah bungsu dari lima bersaudara, dan selama ini yang selalu menjadi tumpuan segala keluh kesahnya adalah ayah saya, kakak tertuanya. Saya pribadi juga bisa dikatakan sangat dekat dengan keluarganya, dengan anak-anaknya. Bahkan, sepupu saya itu sangat nurut pada saya dan adik saya Fajar. Ya, dia butuh diemong.

Yang sangat saya sayangkan adalah mengapa saya baru mengenal disleksia setelah saya dewasa, dan lebih banyak memahaminya ketika harus menulis artikel bertema parenting –yang salah satunya membahas tentang disleksia-.

Seandainya sejak dulu saya tahu, mungkin saya bisa menjelaskan dan menyarankan orang tua saya dan tante saya terkait cara-cara menangani anak Disleksia.

Disleksia bukan penyakit kok, tapi merupakan salah satu gangguan dalam pembelajaran yang biasanya dialami oleh anak-anak. Mereka yang mengalami Disleksia dapat dipastikan adalah orang yang tidak mengalami kecacatan, gangguan pendengaran, atau penglihatan, dan bahkan sebagian dari mereka adalah orang-orang dengan intelektual tinggi. Bahkan, tokoh sekaliber Einstein, di masa kecilnya adalah anak Disleksia.

Disleksia terjadi akibat kerja otak yang berbeda daripada keadaan normal. Ada fokus yang berganda atau menyebar, satu huruf bisa terlihat tumpuk dua atau tiga, sehingga menyebabkan si anak kesulitan untuk membaca dan menulis. 

Disleksia hanya boleh ditangani oleh psikolog atau terapis Disleksia. Pengidap Disleksia pada umumnya akan diberi terapi untuk meningkatkan kemahiran linguistik, berpikir, dan sosial. Cara ini untuk membantu anak meningkatkan perkembangannya dalam hal membaca dan menulis. Jika anak mendapat penanganan yang tepat dan intensif, anak Disleksia akan dapat membaca seperti anak normal bahkan bisa memiliki IQ melebihi anak kebanyakan.

Duh… nyesel banget deh, kenapa nggak dari dulu-dulu tahu hal-hal beginian. Ya, semoga saja belum terlambat, mengingat sepupu saya itu kini telah remaja dan memasuki masa puber. Untuk menanganinya tentu perlu cara-cara tersendiri, kan?

Entah kenapa sepupu saya ini sering sekali tiba-tiba nelpon, atau menyuruh ibunya menelpon saya, untuk sekedar bincang-bincang. Dia hampir sepantaran dengan adik saya Aank, jadi ya, yang bisa saya lakukan ya tetap menjadi kakak dan sahabatnya, sesekali mendengarkan dia bercerita tentang teman-temannya, sembari menyelipkan ajakan-ajakan kecil untuk mengajaknya belajar. 

Bukankah tugas orang di sekitarnya adalah membantu dia untuk menemukan keunggulan dirinya agar bisa merasa bangga dan tidak pesimis terhadap hambatan-hambatan yang dialaminya. Bukan begitu?

Setiap anak adalah bintang, meski tidak pada langit yang sama. 


Selasa, 01 November 2016

Karir, Nikah, atau Pendidikan?



“Setelah Lulus S2 mau ke mana?”

Sebenarnya, pertanyaan jenis ini pernah ada dalam fase hidup saya sebelumnya. Fase setelah lulus kuliah memang menjadi sebuah tonggak sejarah yang penting dalam perjalanan hidup seseorang. Bedanya, dulu ketika baru menjadi seorang sarjana baru, yang ada dalam pikiran saya hanyalah ego yang tinggi tentang pekerjaan. Hingga akhirnya saya mengerti bahwa untuk mencari pekerjaan yang pas, yang sesuai dengan passion, tujuan, dan mimpi-mimpi hidup itu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan.

Kini, pertanyaan serupa kembali hadir, yang barangkali dengan beban mental yang jauh lebih berat. Karena tentunya, dengan gelar S2 yang telah kami sandang, begitu banyak tuntutan yang akan hadir, utamanya yang berasal dari cermin social.

Pernah suatu waktu, saya dan teman-teman terlibat dalam sebuah perbincangan tentang apa yang akan kita lakukan selepas kita lulus kuliah. Lebih enak mana menjadi guru SMA atau Dosen? Kemudian berlanjut pada sebuah masalah yang bisa jadi akan menghampiri kami semua nantinya. Berkarir atau tidak setelah menikah? 

Pembahasan tentang masalah ini langsung menjadi topik hangat, mengingat yang terlibat dalam perbincangan ini mayoritas adalah wanita-wanita muda yang memang belum menikah. (Oh ya, kelas ini memang kelas dengan mahasiswa paling muda-muda diantara semua angkatan yang pernah ada, jadi tidak heran jika tingkah kami masih pecicilan, layaknya mahasiswa S1, hahha)

Topik ini muncul karena curahan hati dari seorang sahabat saya sekaligus kakak tingkat saya zaman S1 dulu. Dia bercerita bahwa “calonnya” melarang dia untuk meniti karir selepas menikah nanti. Menjadi berat bagi dia mengingat selama ini dia telah terbiasa dengan kesibukannya mengajar, dan berbeda dengan saya yang cenderung  lebih suka berada di rumah, dia adalah tipe orang dengan kepribadian ekstrovert, mencintai keramaian. Selain itu, setelah menikah nanti, dia akan diboyong ke luar jawa. Wow… bisa dibayangkan, dia akan jauh dari keluarganya, dari teman-temannya, dan dari hingar-bingar kota besar seperti Surabaya -karena teman saya ini adalah fashionista sejati-, dan harus berada di rumah? Tentu, akan sangat membosankan bagi dia, bukan?

“Rugi dong S2 kamu kalau kamu nggak boleh kerja?” celetuk salah seorang diantara kami

“Tapi kenapa dia nyuruh kamu S2 ya mbak, kalau akhirnya nggak boleh kerja? Tujuannya apa coba?” sahut teman saya yang lain

Hmm... Pada akhirnya, masing-masing pribadilah yang akan memutuskan. Bukankah bagi seorang wanita, sebuah perbincangan memang tidak menuntut untuk hadirnya sebuah solusi? Meski demikian, setidaknya, dengan adanya perbincangan ini, pikiran kami menjadi lebih terbuka bahwa segala hal memang selalu terdiri dari dua sisi.

Menjelang wisuda, mulai merebak pengumuman tentang pengajuan beasiswa LPDP untuk jenjang doctoral. Beberapa teman menyambutnya dengan antusias, bahkan satu diantara teman kelas kami sudah ada yang lolos. 

“Orin nggak mau nyoba beasiswa S3 LPDP? Yuk, nyoba yuk!” ajak salah satu teman saya. 

Hmm… jujur, tak pernah terlintas dalam benak saya bahwa saya ingin melanjutkan S3. Karena kenapa? Pertama, saya merasa bahwa saya belum memiliki kapasitas untuk menjadi mahasiswa doctoral. Kedua, saya berpikir, sudah cukup saya menjadi mahasiswa yang berkutat dengan diktat dan tugas, kini saatnya saya mengamalkan ilmu yang saya miliki. Perkara suatu saat saya ditakdirkan untuk kembali ke kampus, itu soal lain. Ketiga, saya merasa sudah saatnya saya belajar di universitas kehidupan, atau bahasa sederhananya, menikah. hihihi…

Nah, alasan yang ketiga inilah yang sering saya jadikan tameng sekaligus guyonan setiap kali ada yang menanyakan tentang keberlanjutan studi saya.

“iya mau.. S3 (Es tri/istri) tapi…” jawab saya dengan seutas senyum

Duh, pokoknya, usia seperempat abad itu memang dikit-dikit bawa perasaan deh, apalagi untuk urusan yang satu ini. Ya, seperti kita-kita ini.  

Pasca wisuda, yang menjadi trending topik pembicaraan adalah lowongan pekerjaan  utamanya untuk menjadi dosen. Tentang penawaran dari kampus almamater, lowongan dosen atau peneliti yang lumayan banyak di luar jawa, atau tentang kesempatan untuk menjadi PNS di kementerian pusat.

“Dijalani aja yang ada, ndak usah terlalu jauh, biar bisa sering-sering pulang” ucap ayah saya ketika saya bercerita tentang teman-teman yang mulai mencoba ini-itu. 

Sebenarnya, saya pribadi juga hanya ingin bercerita sih, tanpa bermaksud apa-apa -karena memang kebiasaan saya tiap kali pulang untuk bercerita apapun pada ayah-ibu-. Tidak seperti dulu ketika baru lulus S1, saat hasrat untuk merantau dan memperjuangkan mimpi masih menggebu. Bukan berarti saat ini hasrat memperjuangkan mimpi itu telah padam lhoh ya, hanya saja, kini saya telah tahu apa mimpi saya yang sebenarnya. Pertimbangan lain, saya anak perempuan satu-satunya, tidak seperti adik-adik saya yang bebas merantau untuk menuntut ilmu dan mengamalkan ilmu, saya mah di sini saja, dekat rumah, bisa sering-sering pulang, sebelum nanti pada waktunya dibawa suami. Eaa…. Baper lagi kan. hahahah

Ya, setiap orang mengukir perjuangannnya sendiri. Dan, selalu ada kisah-kisah yang terserak tentang perjuangan dalam meraih banyak hal. Setiap orang bebas menentukan arah hidupnya. Setiap orang bebas memperjuangkan apa yang diyakininya. 

Tapi, pada akhirnya orang-orang yang punya komitmen, merasa cinta dengan apa yang ia lakukan, dan selalu berangkat kerja dengan penuh semangat adalah orang-orang yang sedang membuat perubahan. Dengan energi yang dimilikinya, mereka berbagi dan mendorong orang lain untuk merasakan hal yang sama, kebahagiaan – dalam bentuk apapun-. Termasuk meneruskan apa yang pernah didapatkannya dalam hidup ini. Meneruskan kesempatan dan kepercayaan.

Well, Selamat berjuang teman-teman. Good Luck.