Selasa, 28 Januari 2020

Bismillah, Hijrah!


Berat, iya berat. Tapi ingat, bahwa setiap diri sudah pernah berucap perjanjian primordial masing-masing kita dengan-Nya. Lalu, sudah sampai mana pembuktiannya?


Di musim penerimaan CPNS seperti sekarang, orang-orang umumnya akan sibuk bertanya ke mana diri akan mendaftar. Tapi, kali ini bukan itu fokus yang hendak saya tuliskan. Ada hal lain yang kemudian berhasil membawa saya kembali pada perenungan. Ini dimulai ketika salah satu teman saya bercerita bahwa dia hendak ikut di tempat lain (dibanding tempat di mana sekarang dia bekerja), dengan salah satu alasannya yakni ingin hijrah. Dan barangkali, di tempat yang baru bisa bertemu jodoh, begitu katanya. 

Berbicara soal hijrah, yang secara sederhananya dapat diartikan berpindah, saya dipaksa untuk kembali ke masa lalu; bahwa saya dulu pernah mengalami hal yang hampir serupa, meski dalam konteks berbeda. 

Secara latar belakang keluarga, saya memang lahir dan tumbuh dalam keluarga yang bisa dibilang agamis. Tetapi, dari kecil ayah dan ibu saya tidak pernah memaksa atau menuntut anaknya harus seperti apa. Kecuali untuk selalu mengingatkan agar tidak melenceng dari ajaran dan aturan agama, serta menjadikannya sebagai modal utama hidup. Sedangkan tentang proses untuk berislam secara kaffah, kedua orang saya tidak pernah memaksakan untuk itu.

Ya layaknya sebuah perjalanan, itu membutuhkan sebuah proses. Dan proses masing-masing orang bisa jadi tidak sama. Yang terpenting, dalam setiap prosesnya kita selalu menyertakan hati, bukan? Jelas, agar tidak dijalani secara terpaksa. 

Itulah mengapa, dalam hal pendidikan, orang tua saya tidak pernah memaksa harus masuk di pondok A atau jurusan B. Anak-anak bebas menyuarakan haknya, meski orang tua yang tetap akan mempertimbangkan baik buruknya. Dan nyatanya, dalam keluarga saya, hanya saya saja yang gak pernah mondok. Hanya saya yang gak bisa bahasa Arab. Dan hanya saya juga yang nggak kuliah di universitas berbasis Islam. Ya memang sih, saya juga pernah ikut pesantren ramadhan di pondok salah satu famili ibu di Sidoarjo. Tapi kan, tetap aja, tinggalnya di kompleks kediaman kyai, jadi gak ngerasain juga gimana rasanya menjadi anak pondok. Dibanding kedua adik saya yang alumni TMI Al-Amien Prenduan dan Tambak Beras Jombang, saya mah apa atuh. Pemahaman agama dan amalan juga masih apalah-apalah ini. Duh...

Berbicara tentang hijrah, semasa S1 niatan itu hadir.. dan salah satu faktor pendukungnya adalah karena seseorang. Iya, seorang kakak kelas tiga tingkat di atas saya, yang akhirnya juga menjadi cinta dalam diam saya waktu itu, wkwkw. Beliau yang selalu menundukkan pandangan, santun, cerdas, kalem, dan mawapres (mahasiswa berprestasi) lagi. Meski beda jurusan, saya kenal dengan mas X ini di Social Study Club. Beliau yang pertama kali mengajarkan serta membimbing saya untuk ikut PKM dan berbagai lomba karya tulis. 

Tentu dong, saya kagum. Hingga akhirnya saya tergerak untuk berubah, berbenah, dan mendalami agama secara lebih mendalam. Oke, saya akui ini memang niat awalnya sudah salah, bukan karena lillah.

Bersama sahabat saya, yang juga ngefans sama sahabat si mas-nya, jadilah kami selalu hadir di kajian fakultas yang notabenenya pasti dihadiri oleh mas-mas itu. Perlahan, cara busana yang awalnya fashionable unyu-unyu kami ubah, ya meski belum bergamis juga, sih. Jujur, kami pun pernah berharap bisa dapat suami yang paham agama macem mereka, ya kan Nit? Inget gak? Haha..  Bahkan, dengan hanya panggilan 'Dek Orin' saja udh meleleh, loh. Iya, segitu senangnya dulu saya dipanggil dengan embel-embel itu oleh masnya. Meleleh adek, bang! Lebay, ya. Tapi, ya begitulah adanya. Namanya juga orang lagi jatuh cinta. 

Namun, tak lama, karena beliau adalah mahasiswa angkatan 2006, sedang saya 2009, hanya sekitar 1 tahunan lah ya bisa ketemu di kampus, setelah itu masnya lulus. Bak ditinggal seseorang yang selama ini menjadi motivator, niatan itu pun perlahan mulai goyah. Jadi, saya paham banget, kalau hijrah itu sebenarnya mudah, tapi Istiqomahnya yang susah. Harus ada dukungan dari lingkungan. 

Alhasil, karena niat awalnya bukan karena lillah, ya kami kembali seperti mode awal. Ikut kajian sudah tidak serajin sebelumnya, pakaian juga sudah mulai bercelana 'jeans' lagi. Yang selalu menjadi pembenaran adalah alasan fleksibilitas mengingat seringnya kita kuliah lapangan. Atau, ke mana-mana sudah lupa untuk memakai kaos kaki, apalagi musim hujan kawasan kampus sering banjir, dll. 

Alah... Itu mah alibi kalian aja, Rin! Bilang aja, karena niat awalnya sudah salah, hanya karena ingin dilihat manusia!

Kembali lagi ke saat ini, ketika teman saya bertanya, 'Orin gak pengen hijrah juga?'

Saya jawab, saya ada di sini dan ngajar di IAIN itu sudah bagian dari hijrah. Kenapa saya bilang begitu, ya karena dulu saya pernah berdoa untuk selalu dipertemukan dengan orang dan lingkungan yang bisa mendekatkan saya dengan-Nya. 

Kepulangan saya kembali ke Pamekasan pun, jujur memang saya niatkan untuk itu. Untuk hijrah menjadi lebih baik. Bukan berarti selama ini nggak baik loh ya, tapi mengingat serangkaian proses iman yang naik turun, saya sadar bahwa saya butuh suasana yang selalu bisa menguatkan. Terlebih, saya juga sadar kalau orang tua semakin menua, kapan lagi saya bisa berbakti ke beliau. Iya kalau setelah menikah saya bisa tetap tinggal dekat dengan beliau, kalau tidak? Tahu kan, kalau cewek setelah menikah baktinya akan berpindah, berbeda dengan cowok. Makanya, saya pikir, sebelum waktu itu tiba, puas-puasin dulu. Udah cukup merantau dan jadi anak kosnya dari SMA sampai S2. 

Hingga akhirnya, setengah tahun setelah saya pulang, saya ngajar di kampus agama itu. Mungkin ini doa orang tua juga kali ya. Secara meskipun beliau gak pernah maksa, saya tahu ayah dan ibu juga sering ngode. Misal, bilang kalau saya lebih anggun pake rok atau gamis lah dibanding celana, atau sering ngajak diskusi tentang agama, dll. Dan benar, setelah kerja di kampus tersebut, celana dan baju-baju unyu itu resmi saya tanggalkan. Memang, pakaian itu hanya sebatas simbol, tetapi menurut saya itu juga bagian dari proses untuk menuju perubahan yang lebih baik. 

'Orin tambah shalihah ya' komentar Nila, sahabat saya semasa S2 beberapa waktu yang lalu. 

Tidak... Tidak... Saya masih jauh dari kata shalihah. Saya hanya perempuan akhir zaman yang masih sering lemah iman, dan karenanya selalu minta didoakan untuk bisa Istiqomah. Selalu berharap dipertemukan dengan orang-orang yang bisa saling mengingatkan dalam kebaikan, termasuk jodoh pun demikian. Eh gimana, hihihi... 

Berbicara Istiqomah dalam hijrah, itu tidak pernah mudah. Akan selalu ada ujian untuk melihat sejauh mana niat dan kesungguhan kita untuk berbenah. Saya misalnya, yang awalnya niat hijrah untuk lebih 'birrul walidain', akhirnya harus dihadapkan pada ujian yang berhubungan dengan itu sejak akhir tahun 2017 hingga sepanjang 2018 (bahkan hingga pertengahan tahun 2019, karena masih pemulihan). Ibu yang sakit dan harus menjalani operasi pengangkatan rahim dan glukoma hingga 4 kali, jelas langsung membuat saya mau tidak mau harus mengambil alih semua urusan rumah tangga. Tak hanya merawat ibu yang sakit, ada ayah dan adek yang harus juga saya perhatikan. Apalagi, adek bungsu saya masih SD yang notabenenya masih belum bisa mandiri, dan belajar pun masih harus didampingi. Pun demikian dengan pekerjaan (dosen dan penulis Kontenesia) yang tentunya tidak boleh seenaknya ditinggalkan. 

Hmm... Pokoknya udah kayak bu-ibu rumah tangga gitu deh. Sampai-sampai, sering dikira mamanya Alfan karena seringnya antar jemput dan hadir di pertemuan wali murid SDI Al-munawarah hahahaha. 

Ingat masa-masa itu, kadang nggak nyangka juga kalau Orin yang dulu semasa kuliah lekat dengan julukan 'Upin Ipin' atau anak kecil, ternyata bisa sekuat itu ya Allah. Terima kasih sudah menguatkan dan membersamai di masa-masa sulit kemarin. Ya begitulah, pertolongan Allah selalu datang, termasuk salah satunya dengan cara menguatkan hati. 

Beda lagi jika ujiannya berupa ujian hati! Bikin pusing karena setiap harinya jalan-jalan terus di kepala dan hati. Iya, dia. Seseorang yang beberapa waktu terakhir kusebut namanya dalam doa. Hmmm... Lemah lagi, kan!

Hai, hati yang sedang menunggu. Semoga kamu diluaskan dalam ketenangan, dibesarkan dalam keikhlasan, diteguhkan dalam keimanan, dan dilancarkan dalam kemudahan. Percaya saja ya, cara-Nya akan begitu indah. 

Yah, untuk urusan hati ini, saya memang masih berjuang untuk benar-benar berkomitmen pada Allah. Untuk menitipkan cinta ini kepada-Nya dan biarkan Dia yang melabuhkan cinta kita dengan yang dikehendaki. 

Dari berbagai proses hidup, saya belajar bahwa tentang keinginan kadang tidak perlu pusing memikirkan bagaimana nanti. Sama halnya seperti hati, waktu juga dalam genggaman Allah, kan? Serahkan semuanya pada-Nya. Dia yang paling tahu kapan waktu terbaik untuk mewujudkan semua ingin kita, dan mana yang terbaik untuk didatangkan dalam hidup kita. Satu hal yang tak boleh kita lupa, kita ini ciptaan-Nya, hidup dalam pengaturan-Nya. 

Tentang hijrah, jangan pernah berhenti memperbaiki diri. Tetaplah Istiqomah dalam taat kepada-Nya. Semoga dengan itu Allah mempertemukan kita dengan mereka yang memiliki tujuan sama, yakni menuju surga. 

Untuk saya, teman, atau siapapun yang hendak melangkahkan kaki menata diri lebih baik, ketahuilah ini adalah langkah besar. Sebuah langkah yang akan menentukan perjalanan panjang dalam memulai sebuah kehidupan. Dan sebelum kau berhenti pada titik setelah ini, ingat akan ada banyak rintangan yang harus dihadapi. Kuatkan hati dan jangan biarkan buyar lagi. 

Mencoba yang terbaik adalah sebuah usaha, dari kehidupan kemarin yang mungkin tak sesuai kuasa.

Rabu, 22 Januari 2020

Tentang Hari Ini dan Laku-laku di Masa Lalu



Beberapa hari terakhir ini entah kenapa saya lagi kangen! Kangen dengan buku-buku yang dulu selalu menemani. Kangen melihat jejeran buku di perpustakaan yang selalu mampu membuat betah. Termasuk, kangen nge-mall dan nongkrong di Gramedia, refreshing mata yang meski akhirnya ada sesak karena hanya mampu membeli satu-dua buku saja. 

Hmm... Meski bukan bermaksud merutuki nasib tinggal di kota kecil, nyatanya di saat seperti ini saya sedih karena di sini nggak ada toko buku besar. Nongkrong di perpustakaan pun seolah tak lagi sama. Tak sebebas dulu ketika masih muda alias masih menjadi mahasiswa. Yah, namanya juga proses hidup, Rin!

Akhirnya, ngebuka deh beberapa aplikasi buku digital dan nemu sebuah kutipan menarik dari Kuntowijoyo. Yang isinya kurang lebih begini;

'Sebagai hadiah, malaikat menanyakan apakah aku ingin berjalan di atas Mega. Dan aku menolak, karena kaki ku masih di bumi. Sampai kejahatan terakhir dimusnahkan, sampai Dhuafa & Mustadh'afin diangkat Tuhan dari penderitaan'.

Pemikiran Kuntowijoyo ini secara tidak langsung memaksa saya untuk mengaitkannya dengan 'paradigma profetik' yang kemarin-kemarin sedang digaungkan di kampus. Sebuah spirit keilmuan dengan meneladani semangat Rasulullah. Sebuah semangat untuk terlibat dalam sejarah kehidupan kemanusiaan, dan bukan untuk menjadi mistikus atau ilmuwan mendewa yang hanya puas dengan pencapaiannya sendiri.

Sebenarnya, dalam ranah ilmu sosial yang selama ini saya geluti, ini barangkali tak jauh berbeda dengan paradigma kritis. Aih kan... Lagi-lagi ini akan kembali mengembalikan memori. Betapa akhirnya saya pun harus mengakui kalau sebenarnya tidak hanya kangen dengan buku-buku itu, tetapi juga dengan laku-laku di masa lalu.

Saat diri ini masih sangat bebas untuk melangkah dan berpetualang. Ikut berbagai penelitian dosen yang kaya akan pengalaman dan manfaat. Karena ini juga loh, sebenarnya saya bisa S2. Fyi, dulunya, saya juga gak pernah ada niatan untuk kuliah S2 dan menjadi dosen, hahahaha. Cita-cita saya dari SMA adalah ingin menjadi penulis, dan karena aktivitas inilah saya berkesempatan untuk diajak bergabung dalam proyek-proyek penelitian. Hingga akhirnya, saya cenderung menikmati dan sempat terbesit untuk menjadi peneliti. Bahkan, setelah lulus S1, saya masih dengan gigihnya mencoba peruntungan untuk menjadi peneliti di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Meski gagal di tes terakhir.

Qadarullah... Rencana Allah selalu jauh lebih indah. Berkat dukungan keluarga dan dosen-dosen S1, dan tentunya ada kesempatan dari Allah, saya bisa S2. Dipikir-pikir lagi, sebagai seorang --yang katanya-- modernis tetapi terkadang pemikiran masih konservatif, saya akhirnya sadar kalau profesi peneliti barangkali kurang cocok untuk perempuan. Meski jiwa muda waktu itu sedang bergejolak, saya tentu masih sangat sadar tentang kodrat seorang wanita. Yang meski pada akhirnya nanti memilih berkarir, karirnya yang sekiranya tidak mengorbankan keluarga. Gak bayangin kan, gimana suami dan anak saya kalau harus ditinggal penelitian ke mana-mana, haha. Jadi, yah... Pilihan menjadi dosen adalah yang terbaik. Tempat di mana saya akan tetap bisa mengembangkan semangat belajar dan menulis.

Laku-laku lain yang juga tak kalah menuai rindu adalah masa-masa berinteraksi dengan anak-anak, ketika masih aktif melakukan pemberdayaan. Aktivitas 'Sekolah Sampah', taman 'Doli', sekolah sore di kampung kumuh Surabaya Utara, dan beberapa anak yang kami temui di lokasi penelitian yang menarik hati. Iya, sampai kami rela kembali mengunjungi daerah itu untuk hanya sekadar bertemu dengan Ulit dan kawan-kawan. Apa daya ingin menjadi orang tua asuh atau kakak asuh, tapi waktu itu kami belum bisa.

Kangen kalian gengs! Benar memang, mencari teman yang seirama itu susah. Dan mempertahankannnya jauh lebih susah, apalagi kalau sudah tidak sekota lagi seperti sekarang. Jujur, di tengah memori ini, saya merasa hidup saya kok semakin kosong, ya. Semacam gak ada gitu kegiatan produktif nan bermanfaat yang saya lakukan.

Tidak, saya tidak bermaksud menyesali keputusan untuk kembali ke kampung halaman. Saya juga tidak bermaksud menyederhanakan bagaimana saya berproses selama dua tahun terakhir. Karena nyatanya, itupun penuh dengan pembelajaran dan pendewasaan. Saya hanya merasa hampa, mungkin karena kangen kalian dan laku-laku di masa lalu yang patut diapresiasi karena turut andil membentuk diri.

Manusia memang seperti ini, kan? Merindukan yang lalu dan mempertanyakan yang di depan!

Namanya juga manusia, Rin! Hidup ya untuk berproses, dari satu step ke step selanjutnya. Tentunya, dengan harapan penuh ke Sang Pencipta, semoga proses-proses kehidupan menghantarkan kita untuk lebih taat kepada-Nya.  

Mungkin memang ranahnya saat ini sudah berbeda. Ranahnya bukan lagi untuk menjadi volunteer dan aktif di lapangan (sosial kemasyarakatan). Pasti ada arena lain yang disiapkan Tuhan untuk bisa kita maksimalkan. Fokus saja pada peranmu saat ini, untuk menjadi dosen yang bisa memotivasi dan menjembatani mahasiswa. Bukankah katamu, kesempatan itu harus ditularkan. Tak ada salahnya jika segala kesempatan yang dulu pernah diterima, kini kamu tularkan pada generasi berikutnya, kan? Tentunya, sembari terus berproses untuk menjalani peran selanjutnya, menjadi seorang istri dan ibu.

Jangan lupa, niatnya dilurusin lillah, ya, Rin! Lalu, jalankan prosesnya dengan benar, insha Allah akan ada hasil terbaik menurut Allah, bukan menurut manusia.

Pegang juga kata-kata ini, 'kalau kita nggak menghargai proses hari ini, lantas bagaimana cara kita mengapresiasi diri kita di masa depan?


Apa kabar Ulit dan anak-anak di sana ya? Terakhir kalau nggak salah kita ke sana tahun 2014, setelah itu saya sibuk dengan kuliah S2 dan kalian dengan pekerjaan. Hingga akhirnya, ternyata kita bertiga ditakdirkan untuk sama-sama meninggalkan Surabaya; kota yang penuh kenangan. 


Sabtu, 04 Januari 2020

Don't judge a book by its cover, Saatnya Melihat Mereka dari Sisi yang Lain



"Don't judge a book by its cover". Sebuah pepatah yang menggambarkan bahwa dalam hidup sehari-hari, banyak dari kita yang secara apriori menilai orang lain hanya sebatas dari penampilan luar. Entah itu pakaian, cara bicara, harta/kekayaan, atau hal-hal berwujud lainnya.

Nyatanya, menjadikan penampilan luar sebagai tolak ukur menilai seseorang memang adalah yang termudah. Bagaimana tidak, ketika bertemu seseorang untuk pertama kali, penampilan memiliki porsi skor terbesar. Kita akan cenderung melihat seperti apa pakaiannya, medok tidaknya dia berbicara, sikapnya, dan hal lainnya, yang pada akhirnya itu bisa membawa pada spekulasi, 'o.. dia orangnya begini dan begitu'. Atau malah yang lebih parah, dengan hanya berbekal omongan orang tentang si A, kita sudah sok-sokan menganggap tahu seperti apa si A itu. Padahal, belum tentu juga yang dikatakan itu benar. Selain dzu'udzon (negative thinking), kalau nggak Tabayyun, jatuhnya bisa jadi fitnah juga loh... Lol :D

Meski kita sudah tahu maksud dari ungkapan tersebut, nyatanya dalam praktiknya tetap aja susah. Bahkan, bagi kita yang katanya sudah berpikiran terbuka ini, pasti tanpa sadar kerap menilai seseorang hanya dari sekilas pandang. Iya nggak? Hayoo ngaku! Kalau saya sih, pernah.

Dulu, zaman S1 awal, saya masih ingat betul bahwa pernah memiliki kesan negatif ke orang dari penampilan luarnya. Waktu itu, kebetulan kami sedang kuliah kelas besar yang di dalamnya terdapat anak kelas  A dan B. Seperti biasa, duduknya tetap mengelompok dong! Hahaha..

Nah, sampai di pertengahan sesi, karena sepertinya yang duduk di bagian belakang gak terlalu mendengar atau gak paham materinya, ada seorang mahasiswi yang berani maju dan marah ke sang dosen. Dia bilang, sebagai anak kelas B yang notabenenya membayar lebih mahal (karena bukan kelas reguler), dia jauh lebih berhak untuk diistimewakan. Gak berhenti di situ, dia juga dengan beraninya ninggalin kelas!

Ajegile.... Apa yang ada dalam pikiranmu ketika melihat seseorang berperilaku demikian?

Pasti menganggap kalau si anak itu tidak sopan, dll, kan? Saya pun sama, beranggapan demikian juga. Apalagi, posisinya waktu itu saya sebagai anak kelas A yang jelas belum kenal siapa dia. Tapi lucunya, di semester dua dan selanjutnya, semesta seolah berkomplot mendekatkan saya dengan dia. Entah itu di kelompok penelitian, kegiatan kampus, hingga akhirnya, yah... Saya berteman dekat dengannya.

Dan yang ada di pikiran saya tentang dia sudah berubah bahkan hingga 180 derajat. Justru, sejak dekat dengan dia, saya mendapat banyak pelajaran. Sebenarnya, dia orang yang kritis, humble, ekspresif, dan tentunya seorang ekstrovert. Selalu ada pengalaman baru yang saya dapat ketika bersamanya.  Yah, meski memang awalnya dia cenderung bebas khas anak suroboyoan, sih, yang sering menghabiskan malam dengan keluyuran atau nongkrong, wkwk. Untungnya, perlahan kita sama-sama belajar untuk menjadi pribadi yang lebih baik, ya Bee.

Cerita lain datang dari teman semasa S2 saya. Di kelas yang hanya berjumlah 20 orang itu, ada seorang wanita yang berpenampilan serba hitam dengan sepatu boots serta tindik di hidung dan lidahnya. Ya, dulunya dia adalah anak punk, sebelum memutuskan untuk berhijab.

Saya yang notabenenya besar di lingkungan keluarga yang jauh dari nilai-nilai kebebasan seperti itu, ya kaget dong pasti! Tapi berkaca pada pengalaman zaman S1, selain dari teman seangkatan yang kemudian dekat, juga dari pengalaman waktu kuliah lapangan. Waktu kami harus berinteraksi dengan berbagai lingkungan sosial, mulai dari orang-orang yang hidup di kolong jembatan, anak jalanan, anak di kampung sampah, hingga para PSK, saya belajar kalau ada banyak hal yang tidak hanya bisa dilihat dengan indera penglihatan.

Jangan sampai, dengan hanya menggantungkan kemampuan indera, kita bisa dengan gampangnya memberi penilaian. Mata tetaplah mata yang hanya bisa melihat di permukaan, sedangkan kepribadian dan karakter seseorang bisa kita mengerti ketika melibatkan hati.

Lambat laun, sisi lain dari teman saya itu pun mulai terungkap. Meski mantan anak punk, dia seorang feminis sejati, yang waktu itu sangat terkenal dengan jargonnya 'Hancurkan Patriarki!'. Punya semangat belajar yang gigih, bahkan hingga ke jenjang doktoral. Tak hanya itu, yang paling mencolok adalah meski penampilannya cenderung 'sangar nan nyetrik', ternyata dia sangat memiliki kapasitas untuk jadi 'wanita idaman'. Orangnya sangat kreatif, entah itu dalam urusan jahit-menjahit atau bahkan masak-memasak. Hasil karyanya juga unik dan khas banget. Saya bahkan berani jamin kalau hasil kue buatannya itu gak kalah dengan kue artis kekinian; baik dari segi tampilan ataupun soal rasa.

Berpendidikan, pintar masak, pintar jahit, pintar ngurus rumah, sayang orang tua, adalah sisi lain yang mungkin gak akan terlihat ketika kita hanya mengandalkan melihat 'penampilan' saja. Oh ya, dia juga memiliki rasa sosial yang tinggi. Sampai sekarang dia masih menjalankan program sebar nasi bungkus tiap minggunya. Semacam donasi amal dalam bentuk olahan nasi, yang dimasak dengan tangan sendiri. Salut banget pokoknya ke mbak Hayu ini.

Dari sana, saya belajar bahwa setiap orang pasti punya sisi lain yang barangkali tidak terlihat karena tertutup oleh spekulasi sebagai efek dari penilaian penampilan luar. Dan benar kata orang bijak, ketika kita melihat seseorang dari penampilan, sebenarnya kita akan kehilangan banyak kesempatan bertemu orang-orang hebat.

Berkaca pada pengalaman tersebut pula, saya menyadari, bahwa selalu ada masa di mana kita menumpukan pendapat dari sesuatu yang terlihat. Itu memang tidak sepenuhnya salah. Karena sedikit banyak, penampilan luar memang akan mencirikan sesuatu yang ada pada diri seseorang. Kalau kata pepatah Jawa, “Ajining Diri Soko Lathi, Ajining Rogo Soko Busono”, yang artinya kualitas diri bisa dilihat dari omongan, sedangkan kualitas raga bisa dilihat dari pakaian.

Hanya saja, ada baiknya sebelum menilai kita bersedia meluangkan waktu untuk mengenali orang dari bagian lainnya juga. Mulailah melatih diri untuk menyelami sisi terdalam orang lain. Karena sebenarnya, ketika kita tidak hanya terpaku pada penampilan luarnya saja, akan selalu ada kejutan yang kita dapat. Seseorang yang awalnya kita kira biasa-biasa saja, atau bahkan kita remehkan, bisa jadi memiliki sisi lain yang istimewa nan luar biasa.

Mungkin sekarang kita harus lebih banyak menggunakan hati, karena hal-hal terbaik di dunia justru tak bisa dilihat dengan hanya mengandalkan mata. Ingat, selalu ada sisi baik dari setiap insan, meski penampilan luarnya cenderung tidak menyenangkan. Tuhan menciptakan manusia dengan luar biasa, dan tak ada yang diciptakan dengan sederhana. Saya, Anda, mereka, memiliki porsi yang sama untuk dinilai dengan lebih baik lagi.

Jadi, yuk, mulai sekarang ubah cara pandang. Dari yang awalnya hanya menilai dari kemasan luar menjadi lebih detail dengan sisi yang lain. Ketika kita mulai dilanda pikiran atau prasangka negatif dengan hanya mengandalkan penampilan luar, ucapkan pada diri sendiri, 'benarkah kesimpulan yang baru aku buat ini? Atau ini hanya prasangka yang berpotensi merugikan orang lain yang secara tidak langsung juga menghilangkan kesempatan kita untuk memetik banyak pelajaran darinya.

Bukankah tokoh sekelas Ki Hajar Dewantara pun pernah menyarankan, “Jadikan setiap orang sebagai guru dan jadikan rumah sebagai sekolah”? Tentu, maksud dari pernyataan tersebut lebih menekankan pada aspek memperkaya wawasan serta mengasah kepekaan akal dan hati, yang bisa didapat dari siapa saja dan di mana saja. Bahwa setiap orang sejatinya pasti memiliki “sesuatu” yang bisa diambil sisi baiknya.