Sabtu, 04 Januari 2020

Don't judge a book by its cover, Saatnya Melihat Mereka dari Sisi yang Lain



"Don't judge a book by its cover". Sebuah pepatah yang menggambarkan bahwa dalam hidup sehari-hari, banyak dari kita yang secara apriori menilai orang lain hanya sebatas dari penampilan luar. Entah itu pakaian, cara bicara, harta/kekayaan, atau hal-hal berwujud lainnya.

Nyatanya, menjadikan penampilan luar sebagai tolak ukur menilai seseorang memang adalah yang termudah. Bagaimana tidak, ketika bertemu seseorang untuk pertama kali, penampilan memiliki porsi skor terbesar. Kita akan cenderung melihat seperti apa pakaiannya, medok tidaknya dia berbicara, sikapnya, dan hal lainnya, yang pada akhirnya itu bisa membawa pada spekulasi, 'o.. dia orangnya begini dan begitu'. Atau malah yang lebih parah, dengan hanya berbekal omongan orang tentang si A, kita sudah sok-sokan menganggap tahu seperti apa si A itu. Padahal, belum tentu juga yang dikatakan itu benar. Selain dzu'udzon (negative thinking), kalau nggak Tabayyun, jatuhnya bisa jadi fitnah juga loh... Lol :D

Meski kita sudah tahu maksud dari ungkapan tersebut, nyatanya dalam praktiknya tetap aja susah. Bahkan, bagi kita yang katanya sudah berpikiran terbuka ini, pasti tanpa sadar kerap menilai seseorang hanya dari sekilas pandang. Iya nggak? Hayoo ngaku! Kalau saya sih, pernah.

Dulu, zaman S1 awal, saya masih ingat betul bahwa pernah memiliki kesan negatif ke orang dari penampilan luarnya. Waktu itu, kebetulan kami sedang kuliah kelas besar yang di dalamnya terdapat anak kelas  A dan B. Seperti biasa, duduknya tetap mengelompok dong! Hahaha..

Nah, sampai di pertengahan sesi, karena sepertinya yang duduk di bagian belakang gak terlalu mendengar atau gak paham materinya, ada seorang mahasiswi yang berani maju dan marah ke sang dosen. Dia bilang, sebagai anak kelas B yang notabenenya membayar lebih mahal (karena bukan kelas reguler), dia jauh lebih berhak untuk diistimewakan. Gak berhenti di situ, dia juga dengan beraninya ninggalin kelas!

Ajegile.... Apa yang ada dalam pikiranmu ketika melihat seseorang berperilaku demikian?

Pasti menganggap kalau si anak itu tidak sopan, dll, kan? Saya pun sama, beranggapan demikian juga. Apalagi, posisinya waktu itu saya sebagai anak kelas A yang jelas belum kenal siapa dia. Tapi lucunya, di semester dua dan selanjutnya, semesta seolah berkomplot mendekatkan saya dengan dia. Entah itu di kelompok penelitian, kegiatan kampus, hingga akhirnya, yah... Saya berteman dekat dengannya.

Dan yang ada di pikiran saya tentang dia sudah berubah bahkan hingga 180 derajat. Justru, sejak dekat dengan dia, saya mendapat banyak pelajaran. Sebenarnya, dia orang yang kritis, humble, ekspresif, dan tentunya seorang ekstrovert. Selalu ada pengalaman baru yang saya dapat ketika bersamanya.  Yah, meski memang awalnya dia cenderung bebas khas anak suroboyoan, sih, yang sering menghabiskan malam dengan keluyuran atau nongkrong, wkwk. Untungnya, perlahan kita sama-sama belajar untuk menjadi pribadi yang lebih baik, ya Bee.

Cerita lain datang dari teman semasa S2 saya. Di kelas yang hanya berjumlah 20 orang itu, ada seorang wanita yang berpenampilan serba hitam dengan sepatu boots serta tindik di hidung dan lidahnya. Ya, dulunya dia adalah anak punk, sebelum memutuskan untuk berhijab.

Saya yang notabenenya besar di lingkungan keluarga yang jauh dari nilai-nilai kebebasan seperti itu, ya kaget dong pasti! Tapi berkaca pada pengalaman zaman S1, selain dari teman seangkatan yang kemudian dekat, juga dari pengalaman waktu kuliah lapangan. Waktu kami harus berinteraksi dengan berbagai lingkungan sosial, mulai dari orang-orang yang hidup di kolong jembatan, anak jalanan, anak di kampung sampah, hingga para PSK, saya belajar kalau ada banyak hal yang tidak hanya bisa dilihat dengan indera penglihatan.

Jangan sampai, dengan hanya menggantungkan kemampuan indera, kita bisa dengan gampangnya memberi penilaian. Mata tetaplah mata yang hanya bisa melihat di permukaan, sedangkan kepribadian dan karakter seseorang bisa kita mengerti ketika melibatkan hati.

Lambat laun, sisi lain dari teman saya itu pun mulai terungkap. Meski mantan anak punk, dia seorang feminis sejati, yang waktu itu sangat terkenal dengan jargonnya 'Hancurkan Patriarki!'. Punya semangat belajar yang gigih, bahkan hingga ke jenjang doktoral. Tak hanya itu, yang paling mencolok adalah meski penampilannya cenderung 'sangar nan nyetrik', ternyata dia sangat memiliki kapasitas untuk jadi 'wanita idaman'. Orangnya sangat kreatif, entah itu dalam urusan jahit-menjahit atau bahkan masak-memasak. Hasil karyanya juga unik dan khas banget. Saya bahkan berani jamin kalau hasil kue buatannya itu gak kalah dengan kue artis kekinian; baik dari segi tampilan ataupun soal rasa.

Berpendidikan, pintar masak, pintar jahit, pintar ngurus rumah, sayang orang tua, adalah sisi lain yang mungkin gak akan terlihat ketika kita hanya mengandalkan melihat 'penampilan' saja. Oh ya, dia juga memiliki rasa sosial yang tinggi. Sampai sekarang dia masih menjalankan program sebar nasi bungkus tiap minggunya. Semacam donasi amal dalam bentuk olahan nasi, yang dimasak dengan tangan sendiri. Salut banget pokoknya ke mbak Hayu ini.

Dari sana, saya belajar bahwa setiap orang pasti punya sisi lain yang barangkali tidak terlihat karena tertutup oleh spekulasi sebagai efek dari penilaian penampilan luar. Dan benar kata orang bijak, ketika kita melihat seseorang dari penampilan, sebenarnya kita akan kehilangan banyak kesempatan bertemu orang-orang hebat.

Berkaca pada pengalaman tersebut pula, saya menyadari, bahwa selalu ada masa di mana kita menumpukan pendapat dari sesuatu yang terlihat. Itu memang tidak sepenuhnya salah. Karena sedikit banyak, penampilan luar memang akan mencirikan sesuatu yang ada pada diri seseorang. Kalau kata pepatah Jawa, “Ajining Diri Soko Lathi, Ajining Rogo Soko Busono”, yang artinya kualitas diri bisa dilihat dari omongan, sedangkan kualitas raga bisa dilihat dari pakaian.

Hanya saja, ada baiknya sebelum menilai kita bersedia meluangkan waktu untuk mengenali orang dari bagian lainnya juga. Mulailah melatih diri untuk menyelami sisi terdalam orang lain. Karena sebenarnya, ketika kita tidak hanya terpaku pada penampilan luarnya saja, akan selalu ada kejutan yang kita dapat. Seseorang yang awalnya kita kira biasa-biasa saja, atau bahkan kita remehkan, bisa jadi memiliki sisi lain yang istimewa nan luar biasa.

Mungkin sekarang kita harus lebih banyak menggunakan hati, karena hal-hal terbaik di dunia justru tak bisa dilihat dengan hanya mengandalkan mata. Ingat, selalu ada sisi baik dari setiap insan, meski penampilan luarnya cenderung tidak menyenangkan. Tuhan menciptakan manusia dengan luar biasa, dan tak ada yang diciptakan dengan sederhana. Saya, Anda, mereka, memiliki porsi yang sama untuk dinilai dengan lebih baik lagi.

Jadi, yuk, mulai sekarang ubah cara pandang. Dari yang awalnya hanya menilai dari kemasan luar menjadi lebih detail dengan sisi yang lain. Ketika kita mulai dilanda pikiran atau prasangka negatif dengan hanya mengandalkan penampilan luar, ucapkan pada diri sendiri, 'benarkah kesimpulan yang baru aku buat ini? Atau ini hanya prasangka yang berpotensi merugikan orang lain yang secara tidak langsung juga menghilangkan kesempatan kita untuk memetik banyak pelajaran darinya.

Bukankah tokoh sekelas Ki Hajar Dewantara pun pernah menyarankan, “Jadikan setiap orang sebagai guru dan jadikan rumah sebagai sekolah”? Tentu, maksud dari pernyataan tersebut lebih menekankan pada aspek memperkaya wawasan serta mengasah kepekaan akal dan hati, yang bisa didapat dari siapa saja dan di mana saja. Bahwa setiap orang sejatinya pasti memiliki “sesuatu” yang bisa diambil sisi baiknya.









0 komentar:

Posting Komentar