Jumat, 01 Juli 2011

“Sekolah Bertaraf Internasional: modernisasi atau kastanisasi pendidikan?”


ABSTRAK
Dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945 menjelaskan bahwa salah satu tujuan nasional adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa” yang menyiratkan sebuah makna bahwa kemajuan suatu bangsa terletak pada kualitas sumber daya manusianya (SDM), dan SDM dapat dikembangkan melalui pendidikan. Dalam rangka peningkatan mutu dan kualitas pendidikan nasional, pemerintah berupaya untuk membawa pendidikan ke ranah “modernisasi pendidikan” yang dituntut untuk sejalan dengan arus globalisasi yang sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dan teknologi. Upaya pemerintah tersebut tertuang dalam UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 50 Ayat (2) dan (3) yang melahirkan adanya sekolah-sekolah dengan internasionalisasi di dalamnya. SBI, RSBI, SSN, dan sekolah reguler adalah strata sekolah yang lahir seiring dijalankannya amanat  UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Ironisnya, pengkotakan kelas-kelas tersebut berujung pada kemampuan financial pembayaran pendidikan. yang akhirnya, akan semakin memarginalkan kaum bawah dalam dunia pendidikan yang seharusnya juga menjadi hak mereka. Seperti yang menjadi amanat UUD 1945 pasal 31 bahwa setiap warga negara berhak untuk mendapat pendidikan. Pendidikan disini tentu dalam arti pendidikan yang layak dan tanpa diskriminasi. Namun, berdasarkan fakta yang ada sejalan dengan terbaginya sekolah menjadi SBI, RSBI, SSN, dan sekolah reguler semakin menegaskan bahwa pendidikan nasional telah terjadi sebuah “kastanisasi pendidikan”.
Kata kunci: pendidikan, kualitas, internasionalisasi, stratifikasi.

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
            Pendidikan adalah sebuah proses pembelajaran yang terencana agar tercipta peserta didik yang secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri dan kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan lain yang diharapkan memberikan manfaat bagi dirinya, dan orang lain[1]. Pendidikan adalah hak setiap manusia, begitupun halnya dengan warga negara Indonesia. Negara menjamin dalam UUD 1945 pasal 31 bahwa setiap warga negara berhak untuk mendapat pendidikan[2]. Karena Pendidikan merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan kualitas suatu bangsa. Dan tentunya, pendidikan yang diharapkan adalah pendidikan yang bermutu dan berkualitas.
 Salah satu upaya pemerintah untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas tersurat dalam UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 50 Ayat (2) dan (3), yaitu dengan mencetuskan sekolah berstandart nasional, dan bahkan bertaraf internasional. Di satu sisi, pengembangan sekolah menjadi sekolah bertaraf internasional memang membantu peningkatan kualitas SDM (sumber daya manusia) indonesia yang akan sangat berguna dalam menopang pembangunan negeri.  tapi di sisi lain juga lahir kenyataan pahit tatkala tidak semua masyarakat indonesia bisa menikmati indahnya dunia pendidikan yang berkualitas tersebut.
Mimpi mereka untuk bisa menikmati sarana prasarana belajar yang memadai dan tenaga pengajar yang berkualitas dengan segudang pengalaman dan kemampuan, harus dihadapkan pada kondisi nyata bahwa pendidikan bermutu harus ditukar dengan biaya yang tidak sedikit. Hasrat itu terpendam oleh serentetan biaya yang harus ditanggung. Karena sekolah dengan status Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) ataupun sekolah yang telah menyandang status Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) dilegalkan  untuk menarik  iuran dari siswa. Status sekolah yang dituntut untuk bisa mencapai standart internasional memaksa sekolah untuk menarik biaya pendidikan yang tidak bisa murah seperti sekolah-sekolah negeri pada umumnya yang hanya berstatus “sekolah reguler”. Dengan kata lain,  sekolah SBI hanya ada untuk mereka dengan kemampuan finansial yang cukup[3]. Sedangkan mereka yang tidak didukung oleh materi, hanya bisa pasrah berucap syukur dalam menitip impian pada lembaga pendidikan dengan kualitas apa adanya.
Pembagian status sekolah menjadi SBI, RSBI, SSN, dan sekolah reguler yang lahir dari UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memang membawa sistem pendidikan nasional selangkah mulai memasuki “modernisasi pendidikan, namun secara tersirat juga telah membawa pendidikan indonesia ke ranah “kastanisasi pendidikan”. Dalam dunia pendidikan telah lahir kasta-kasta berdasarkan sisi finansial dalam pembayaran pendidikan. Hal yang sangat tidak relevan dengan amanat UUD 1945 yang memberikan hak kepada semua warga negara untuk mendapatkan pelayanan pendidikan, termasuk pelayanan SBI, RSBI, dan SSN. Adanya stratifikasi sekolah mulai dari strata tertinggi SBI, hingga strata terendah sekolah reguler pada dasarnya memang tidak dibenarkan jika dilihat dari UU No.20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pasal 5 ayat (1) dan pasal 11 ayat (1) yang telah sangat jelas mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak untuk memperoleh pendidikan yang bermutu tanpa ada diskrimasi.
Para bapak bangsa indonesia menyatakan bahwa “pendidikan yang bagus  adalah kunci untuk memutus rantai kemiskinan”[4]. Secara tersirat, kalimat tersebut menyatakan bahwa semua warga khususnya orang miskin berhak mendapatkan pendidikan yang bagus. Modernisasi pendidikan seharusnya wajib masuk hingga pelosok negeri. Tidak hanya tersentral di kota dan hanya pada salah satu sekolah saja. Apabila pendidikan bagus hanya bisa dinikmati segelintir orang dan sebagian besar rakyat Indonesia lainnya harus menikmati pendidikan apa adanya, bisa dibayangkan jika indonesia akan tetap tenggelam dengan penduduk miskin yang kian hari makin miskin oleh pendidikan yang kian mahal.

B. Rumusan Masalah
            Berdasarkan latar belakang  masalah, maka dirumuskan rumusan masalah sebagai berikut:
a. bagaimana kesetaraan hak antara orang kaya dan orang miskin dalam hal memperoleh pendidikan yang berkualitas?
b. apakah kehadiran Sekolah Bertaraf Internasional merupakan suatu upaya modernisasi pendidikan atau kastanisasi pendidikan?

C. Tujuan
            Berdasarkan rumusan masalah yang telah ditentukan, maka tujuan penelitian adalah sebagai berikut:
a. untuk mengetahui kesetaraan hak antara orang kaya dan orang miskin dalam hal memperoleh pendidikan yang berkualitas?
b. untuk mengetahui kehadiran Sekolah Bertaraf Internasional merupakan suatu upaya modernisasi pendidikan atau kastanisasi pendidikan.

LANDASAN TEORITIS
            Fenomena merebaknya sekolah bertaraf internasional yang akhir-akhir ini mulai menghiasi dunia pendidikan nasional memang membawa angin segar dalam upaya peningkatan mutu dan kualitas pendidikan di Indonesia. Adanya sekolah bertaraf internasional (SBI) merupakan salah satu langkah untuk membawa pendidikan nasional kearah modernisasi. Modernisasi pendidikan menjadi wacana yang sering diperbincangan seiring lahirnya kebijakan dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional yang menjadi dasar lahirnya internasionalisasi dalam pendidikan. Internasionalisasi dalam pendidikan dianggap salah satu cara untuk membawa pendidikan nasional kearah modernisasi pendidikan. Modernisasi pendidikan itu sendiri dapat diartikan sebagai upaya pergeseran sikap dan mentalitas untuk dapat hidup di tengah tuntunan zaman yang saat ini tengah berada di era globalisasi, zaman dengan perkembangan pengetahuan dan teknologi yang kian hari kian maju[5].
 Dengan dicetuskannya sekolah bertaraf internasional (SBI) yang merupakan wujud dari upaya internasionalisasi dalam pendidikan, diharapkan generasi penerus bangsa akan mampu menjadi bagian dari “masyarakat dunia”. Dalam arti, putra-putri Indonesia dapat berperan aktif  dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dunia, yang tentu juga akan membawa Indonesia kearah yang lebih maju.
            Namun, dibalik wacana “modernisasi pendidikan” yang digaungkan pemerintah melalui lahirnya sekolah bertaraf internasional, juga diikuti lahirnya sekolah dengan status Rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI), sekolah berstandart nasional (SSN), dan sekolah reguler. Keempat jenis sekolah ini lahir dengan segala hal yang membedakannya. Baik itu dari fasilitas, tenaga pendidik, bahkan pembayaran pendidikannya. dari segi biaya, sekolah reguler menduduki posisi sekolah ternurah bahkan sekolah gratis, yang kemudian disusul SSN, RSBI, dan SBI. Sedangkan dari segi fasilitas, cara pembelajaran dan tenaga pendidik, sekolah reguler pula yang menduduki kualitas terakhir, yang kemudian disusul oleh SSN, RSBI, dan SBI. 
            Adanya pebedaan antara keempat jenis sekolah tersebut, menegaskan bahwa dunia pendidikan telah terbagi menjadi strata-strata dari bawah hingga keatas. Seolah Ada sebuah kelas-kelas tersendiri bagi setiap jenis sekolah ini, yang secara tidak langsung juga semakin mempertegas sekat-sekat antara orang kaya, menengah dan orang miskin. Orang kaya untuk sekolah RSBI, dan SBI. Orang dari golongan menengah untuk sekolah SSN, dan orang miskin untuk sekolah reguler. Dengan arti lain, pemilahan jenis sekolah itu ditentukan berdasarkan sisi financial belaka. Yang tentu akan sangat berpengaruh terhadap kualitas pendidikan yang akan mereka peroleh. Secara tersirat, pemerintah telah melakukan diskriminasi dalam hal pemenuhan hak akan pendidikan yang layak antara orang miskin dan orang kaya.
            Hal ini senada dengan yang diungkapkan karl marx bahwa pada masyarakat kapitalis, terbagi kedalam kelas-kelas tertentu yang didasarkan pada kepemilikan materi[6]. Dalam era kapitalisme, marx menyebut ada kelas borjuis dan kelas proletar. Kelas borjuis adalah kelas untuk mereka yang memiliki alat-alat produksi atau dengan kata lain orang kaya. Sedangkan proletar adalah kelas untuk orang yang tidak memiliki materi, atau orang miskin. Diantara keduanya terdapat jurang pemisah yang sudah tentu juga akan berpengaruh terhadap pemenuhan hak-hak mereka. Dan pendidikan Indonesia, tengah berada dalam pengkotak-kotakan kelas tersebut. Dalam Pendidikan Indonesia telah ada tingkatan-tingkatan layaknya kasta yang membedakan golongan-golongan tersebut. Sehingga, bisa dikatakan bahwa kehadiran SBI, RSBI. SSN, dan sekolah reguler telah membawa pendidikan nasional ke ranah “kastanisasi pendidikan”.

PEMBAHASAN
A. Sekolah Bertaraf Internasional VS Sekolah Reguler dan orang kaya VS orang miskin
Pada dasarnya, pendidikan diselenggarakan dalam rangka untuk mendidik dan mencerdaskan rakyat untuk menuju taraf hidup yang layak, makmur dan sejahtera, serta mampu menopang pembangunan bangsa untuk terus berkembang sesuai tuntutan zaman. Dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945 menjelaskan bahwa salah satu tujuan nasional adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa” yang menyiratkan sebuah makna bahwa kemajuan suatu bangsa terletak pada kualitas sumber daya manusianya (SDM), dan SDM dapat dikembangkan melalui pendidikan.
Pemerintah sebagai salah satu pihak yang berperan dalam penyelenggaraan pendidikan, di tahun 2003 telah melahirkan UU No.20 tentang sistem pendidikan nasional yang menjadi cikal bakal munculnya sekolah bertaraf internasional. Pasal 50 ayat (3) menyatakan bahwa di setiap daerah setidaknya harus dikembangkan satu sekolah yang sesuai dengan standart internasional, dan pengembangan tersebut harus merata pada semua jenjang pendidikan.
Adanya Sekolah bertaraf internasional (SBI) memang diharapkan mampu memperbaiki kualitas pendidikan, dan mampu melahirkan output atau lulusan yang mampu bersaing dalam modernisasi pembangunan yang sangat mengedepankan aspek IT dan penguasaan bahasa asing. Oleh karena itu, proses pendidikan di SBI didukung oleh sarana prasarana yang maju dan canggih, tenaga pendidik yang berkualitas, perangkat ICT (information communication and technology) yang lengkap, dan penggunaan bahasa asing dalam setiap proses pembelajaran.
 Sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan sekolah-sekolah negeri biasa yang hanya bergelar “sekolah reguler”. Sekolah dengan fasilitas seadanya, tenaga pendidik berkualitas yang terbatas,  bahkan dengan gedung yang sebenarnya sudah tidak layak pakai. Sekolah dengan atapnya yang bocor, ataupun sekolah yang atapnya ambruk seperti yang sering diberitakan, baik karena terjangan angin puting beliung ataupun karena rongrongan rayap kayu pada penopang atap. Belum lagi terkait masalah pendukung pembelajaran lainnya, seperti laboratorium dan pembekalan IT yang bisa dikatakan sangat minim. Sungguh, Dua wujud sekolah yang sangat berbeda.
Perbedaan diantara sekolah bertaraf  internasional (SBI) dengan sekolah reguler tentu tidak hanya dari fasilitas dan pembelajaran. Tetapi juga dari segi finansial pembayaran pendidikan. Di sekolah negeri reguler, para siswa bisa terlepas dari jeratan biaya karena adanya sokongan dari pemerintah berupa bantuan operasional sekolah (BOS). Lain sekolah reguler, lain lagi dengan sekolah bertaraf internasional. dari segi namanya saja, sudah terdapat makna bahasa yang jelas berbeda. Sekolah bertaraf internasional yang dilengkapi dengan sarana prasarana yang lengkap dan canggih, serta tenaga didik yang bermutu tentu lebih baik, bagus, dan berkualitas. Sekolah yang dituntut untuk sesuai dengan standart internasional inipun memaksa siswa untuk membayar ilmu dan layanan yang mereka peroleh dengan biaya yang tidak sedikit.
Sudah menjadi rahasia umum jika seseorang ingin bisa bersekolah di sekolah bertaraf internasional, mereka harus mau dan rela merogoh kantong dengan biaya yang bisa saja “tidak terkira” jika dibandingkan dengan sekolah negeri biasa pada umumnya. biaya pendidikan tertinggi dan terendah yang dibebankan kepada orangtua untuk sumbangan pembinaan pendidikan(SPP) per bulan tertinggi untuk SD Rp.150 ribu, SMP Rp.600 ribu, SMA Rp.450 ribu dan SMK Rp.250 ribu. Untuk sumbangan sukarela tertinggi untuk SD Rp.1 juta, SMP Rp.12,5 juta , SMA Rp.15 juta dan SMK Rp.2,7 juta[7]. mahalnya biaya yang harus dikeluarkan, seolah makin menegaskan bahwa sekolah ini hanya tercipta untuk dihuni oleh anak-anak dari golongan menengah keatas. Sedangkan mereka, anak-anak yang dilahirkan dalam status sosial yang rendah seolah hanya patut mengenyam pendidikan di “sekolah reguler”.
Ironis memang, jika melihat banyak anak yang pandai tapi tidak mampu menikmati fasilitas pendidikan yang bagus dan lengkap karena terkendala oleh status mereka yang miskin. Walaupun di dalam SBI juga disediakan kursi sebanyak 20% dari quota, untuk diduduki anak dari golongan tidak mampu. Tapi, tetap saja tidak semua anak negeri bisa menikmati fasilitas pendidikan yang bagus. Jumlah itu hanya untuk segelintir orang saja, sedangkan mayoritas penduduk indonesia saat ini tengah berada di bawah garis kemiskinan. Dan akhirnya, harus kembali pada kenyataan, bahwa orang miskin hanya layak mengenyam pendidikan sekelas “sekolah reguler”.
B. Kajian Fenomena Sekolah Bertaraf Internasional dengan biaya Mahal
 Sekolah bertaraf Internasional (SBI) adalah sekolah yang dituntut untuk bisa memiliki kualitas setara dengan kualitas internasional yang berstandart pada negara-negara maju dalam pendidikan seperti Amerika Serikat dan Australia. Sekolah yang bisa masuk kategori sekolah bertaraf internasional ini memiliki kriteria dan standart-standart tertentu, diantaranya:
·      Input
Input di dalam sebuah sekolah terdiri dari: siswa, dan tenaga pendidik.
§  Siswa
Siswa baru di sekolah bertaraf internasional diseleksi secara ketat melalui nilai rapor, Ujian akhir sekolah, ujian masuk SBI, tes kesehatan fisik dan wawancara.
§  Tenaga Didik
1. memiliki kemampuan profesional, kepribadian, dan sosial yang baik.
2. memiliki kemampuan berkomunikasi dalam bahasa asing khususnya bahasa inggris.
3. memiliki kemampuan untuk menggunakan alat pembelajaran yang berbasis ICT (information communication and technology).
·      Proses pembelajaran
Proses pembelajaran dalam sekolah bertaraf internasional menggunakan sistem billingual atau bahasa pengantar dalam dua bahasa yaitu Indonesia dan Inggris. Selain itu, juga menggunakan media pendidikan yang berbasis teknologi.
·      Sarana dan prasarana
Sarana dan prasarana dalam sekolah bertaraf internasional pada umumnya berbasis ICT. Ruangan kelas ber-AC, kelas dipenuhi dengan media pembelajaran multimedia, serta fasilitas olahraga dan seni.
Beragam standarisasi dengan fasilitas mewah tersebut membawa pada konsekuensi nyata bahwa kenyamanan itu harus dibayar dengan biaya pendidikan yang mahal.
Untuk memenuhi beragam kebutuhan penunjang pendidikan, sekolah memiliki wewenang dan dihalalkan oleh pemerintah untuk menarik biaya dari siswa. Jumlah biaya itupun tidak tanggung-tanggung, mencapai hingga jutaan bahkan puluhan juta rupiah.
C. Modernisasi pendidikan, Kastanisasi pendidikan dan peran pemerintah
Lahirnya sekolah bertaraf internasional di satu sisi merupakan bagian dari upaya “modernisasi pendidikan” yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional seiring tuntutan arus globalisasi yang membawa perkembangan ilmu dan teknologi yang kian maju.
 Namun, di sisi lain Pembagian status sekolah menjadi SBI, RSBI, SSN dan sekolah reguler juga telah menandakan bahwa pendidikan telah mengenal sistem kasta. Telah ada diskriminasi untuk anak-anak dari golongan atas, menengah, dan bawah. Anak dengan ekonomi yang memadai layak untuk masuk kesekolah bertaraf internasional. sedangkan yang dengan ekonomi pas-pasan harus puas dengan sekolah berstandart Nasional (SSN). Dan, golongan yang paling bawah harus pasrah pada takdir bahwa mereka hanya layak merajut mimpi di sekolah reguler.
Sistem kasta dalam dunia pendidikan saat ini, seolah mengembalikan indonesia seperti pada saat penjajahan kolonial belanda. Dimana penduduk pribumi dibatasi dalam memperoleh pendidikan. pemerintahan belanda mengkotak-kotakan sekolah menjadi sekolah untuk kaum pribumi, kaum kulit putih, dan china. Atau dengan kata lain, sekolah khusus untuk melayani orang kaya, sekolah khusus untuk orang pintar, dan sekolah khusus untuk orang melarat. Penyekatan sekolah-sekolah berdasarkan status sosial, makin menepis hakikat sekolah sebagai tempat akulturasi antara orang miskin dan orang kaya.   
Padahal dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 telah diamanatkan bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara, dan pemerintah memiliki kewajiban  untuk menyelenggarakan sarana dan prasarana pendidikan yang memadai dan terjangkau oleh semua rakyat indonesia, mulai dari tingkat dasar hingga tingkat perguruan tinggi. Dalam UU No.20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pasal 5 ayat (1) dan pasal 11 ayat (1) juga  mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak untuk memperoleh pendidikan yang bermutu “tanpa ada diskrimasi”. Pengertian “hak” menunjukkan bahwa akan ada jaminan pemenuhan, adanya pihak yang berperan dan terlibat sebagai aktor yang bertanggung jawab. Dan dalam masalah ini actor itu adalah pemerintah.
Seiring munculnya “kastanisasi pendidikan”, janji negara dalam hal pemenuhan hak pendidikan yang layak tanpa diskrimasi mulai dipertanyakan. Pendidikan yang baik dan berkualitas memang  membutuhkan biaya. namun, bukan berarti rakyat miskin yang harus kembali disengsarakan. Haruskah mereka kembali dibebankan dengan ketidakadilan dalam hal pemenuhan hak akan pendidikan yang layak tanpa diskriminasi.
Jika pemerintah memang berniat untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pendidikan nasional, seharusnya modernisasi pendidikan itu ada serentak untuk semua sekolah, baik yang diperkotaan ataupun di pelosok negeri di indonesia. Pemerintah tidak seharusnya hanya me”wah”kan sekolah-sekolah dikota, dan hanya beberapa sekolah saja. Sedangkan sekolah lain di pelosok negeri berada di bawah standart kelayakan. Karena pendidikan yang layak, bagus, dan berkualitas adalah hak semua warga Negara bukan hanya menjadi milik sebagian orang. Dengan pendidikan yang berkualitas, maka rantai kemiskinan yang lama diderita negeri ini akan mudah untuk dilepaskan.
Di tengah carut-marutnya perekonomian Indonesia, kendala biaya memang akan sangat berpengaruh terhadap upaya modernisasi pendidikan ke seluruh pelosok negeri. Namun, hal itu bukan menjadi sebuah hambatan tatkala pemerintah memang bersungguh-sungguh untuk mewujudkannya. Pemerintah harus benar-benar mengalirkan dana pendidikan sebesar 20% dari APBN dan APBD seperti yang diungkapkan dalam UUD 1945 pasal 31 ayat (4) murni untuk kegiatan pendidikan. Bukan untuk dinikmati oleh kalangan pejabat itu sendiri. Karena pendidikan adalah salah satu hal yang paling esensi dari berdirinya dan berkembangnya suatu Negara. Jika pendidikan di suatu Negara baik, maka Negara tersebut akan semakin mudah untuk berkembang, begitupun sebaliknya.
Upaya modernisasi pendidikan itupun dapat dilakukan secara bertahap. Dimulai dengan upaya modernisasi pendidikan berbasis local, artinya sekolah baik yang di desa ataupun dikota mendapatkan perlakuan yang sama dari segi sarana prasarana, tenaga pendidik, ataupun cara pembelajaran. Sehingga tidak akan ada lagi perbedaan kualitas dan tidak akan dikenal lagi istilah sekolah “maju/unggulan” dan “sekolah pinggiran”. Dan sekolah yang bagus, bermutu dan berkualitas akan ada tidak hanya untuk orang kaya, tapi untuk semua anak negeri ini.
Dan untuk mewujudkan hal tersebut dibutuhkan kerja sama dan kesungguhan dari pemerintah, baik pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah beserta masyarakat indonesia pada umumnya. Sehingga tujuan Negara untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa” akan segera terwujud.

KESIMPULAN

 Sekolah bertaraf internasional (SBI) merupakan wujud upaya pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional dengan cara proses internasionalisasi pendidikan. Sekolah ini dituntut untuk menjadi sekolah yang sesuai dengan standart sekolah internasional di Negara-negara maju yang mengedepankan teknologi dan penguasaan bahasa asing. Keunggulan-keunggulan yang dimiliki SBI, menuntut adanya sebuah hubungan timbal balik dengan sisi financial pembayaran pendidikan yang tergolong sangat mahal. Sehingga, saat ini SBI masih dikatakan sekolah  milik anak-anak dari golongan atas. Sedangkan mereka dari golongan bawah, yang jika didasarkan pada amanat UUD 1945 pasal 31 juga berhak atas pendidikan yang layak, justru saat ini memiliki peluang yang sangat sedikit untuk bisa menikmati pendidikan yang layak dan bermutu sekelas SBI. Dan tentu, hambatan itu terkait dengan beban biaya yang harus ditanggung.
Upaya pemerintah untuk membawa pendidikan nasional ke ranah “modernisasi pendidikan” dengan cara melahirkan SBI, yang kemudian diikuti RSBI, SSN, dan sekolah reguler secara tidak langsung juga membawa pendidikan nasional ke arah “kastanisasi pendidikan”. Yaitu, pembagian kelas-kelas sekolah yang didasarkan pada kualitas dan mutu pendidikan yang juga berujung pada pengelompokan strata berdasarkan kemampuan financial dalam pembayaran pendidikan. Anak dengan kemampuan materi berlimpah untuk sekolah SBI dan RSBI, golongan menengah untuk SSN, dan golongan bawah untuk sekolah reguler. Pengkotakan-kotakan kelas-kelas sekolah ini menyiratkan sebuah makna bahwa sekolah yang bagus, bermutu, dan berkualitas hanya ada untuk anak-anak orang kaya. Dan bisa dikatakan bahwa pendidikan nasional saat ini telah melanggar amanat UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap warga Negara berhak untuk memperoleh pendidikan yang layak tanpa ada diskrimasi.


[1] Undang-Undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (online)http://downloads.ziddu.com/downloadfile/3395384/UUSikdiknas.PDF.html diakses pada tanggal 31 desember 2010

[2] Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945. 2004. Surabaya: penerbit Apollo

[3] Kompas. 2010. 7 mei. “kastanisasi pendidikan”. Halaman 11

[4] Ibid.,
[5]Thamita. 2006. Modernisasi pendidikan. (Online) (http://thamita.multiply.com/journal/item/45/Modernisasi_Pendidikan diakses pada tanggal 3 januari 2011.

[6] Ritzer, George dan Dogman, douglas. 2010. Teori sosiologi: dari teori klasik sampai perkembangan mutakhir teori social post modern. Bantul: kreasi wacana.

[7] Wardoyo, cipto. 2010. Orang miskin dilarang sekolah!.(online). http://soulofcipta.blogspot.com/item/32/orang-miskin-dilarang-sekolah.html diakses pada tanggal 2 januari 2011