Selasa, 30 Oktober 2012

Novel Pertama, oh rasanya.....^^

Novel pertama nich....
pengalaman pertama menulis sebuah novel, susah-susah gimana gitu....^^
novel ini sebenarnya tugas matakuliah Pendidikan multikultur di jurusanku,,, aneh yaa??? dan pasti bertanya-tanya apakah aku jurusan sastra? owh.. tidak kawan, saya memang mencintai sastra tapi saat ini saya bukan anak sastra. saya memang mempunyai secercah mimpi untuk jadi penulis, tapi sekarang masih merangkak untuk menggapainya... -.- doakan yaa...^^



Disini aku menunggu waktu
Untuk membawaku pergi menuju mimpi indahku
Mengayung dayung melewati samudra hari yang penuh gelombang
Bersama mentari pagi aku menanti
Sinar matahari mencubit manja kulit wajahku
Membelai halus selembar nyawaku
Sejuk merasuk memberikan satu kedamaian
Rumput ranum bersenda gurau dengan sang bayu
Seperti halnya aku, dan dirimu….
Kini, Aku hidup di episode baru
Memiliki dialog baru yang kuyakin lebih indah dari yang dulu
Kita pun mulai bermain diatas pijakan mimpi
Mencoba nyalakan pelita
Gubah dunia dengan prestasi
Langitpun  masih biru sejak pertama kali ku melihatnya
Embun masih saja bening dan sejuk setiap kali hadir
            di dedaunan yang selalu merindunya tanpa henti
namamu pun rupanya tak mau kalah, masih tetap
            tersimpan di hati ini sejak waktu mempertemukannya 
Dan disaat ini, ingin  kupaparkan segalanya
Bahwa sebenarnya dalam tatapanku ada cinta untukmu
Telah kusematkan sabda-sabda cinta didalamnya
Ku beranikan bertanya kepadamu..
Adakah satu ruang di sudut hatimu untukku yang mendambamu?
            Namun, Bayang wajahmu perlahan lindap di selendang hari
Kutikam dengan pedang kasmaran
Lampu-lampu memilih padam menikmati kelam
Dan aku, hanya menjadi sebait puisi yang kesepian


itu dia novelku...:)
"Langitpun Bersaksi : Ketika mimpi, cinta, dan kehilangan harus berjalan beriringan"
novel ini memang lahir dari sebuah tuntutan, dan itu saya syukuri...^^
tuntutan memang selayaknya harus ada bersama adanya harapan, karena kalo nggk gitu pasti rasa malas selalu menyelimutiku.. hehehehhe
semoga esok hari, akan lahir pula novel-novel selanjutnya... amien...:)

Senin, 29 Oktober 2012

Mahasiswa Indonesia, Growing with Character


Kita bisa mengantar orang memasuki universitas, tapi belum tentu bisa membuatnya berpikir.
(Finley Fater Dunoe)
“Mahasiswa”.  Adakah hal lain yang dirasa, jika enggan tuk meluapkan kebanggaan dan kesenangan bahwa kini “aku telah menjadi “maha””siswa”. Ya, mahasiswa! golongan tertinggi dari kaum pelajar, bukan siswa biasa atau lebih sederhananya seseorang yang sedang menempuh pendidikan di “perguruan tinggi”. Lalu, sudahkah kita memaknai hakikat status kebanggaan yang telah melekat dalam diri? Dan rasanya terlalu naïf jika hanya mengenal mahasiswa sesederhana makna kamus belaka. mungkinkah mahasiswa adalah sosok kaum muda berintelektual yang miskin oleh moral? Yang menghalalkan segala cara untuk hanya mencapai tujuan – tujuan akademik (nilai/ijasah), Yang menggunakan suara dan pergerakannya dengan apatis dan anarkis, atau yang muda yang hanya berpusat pada kehidupan hedonis dan konsumtif, layaknya cerita-cerita dalam sinetron. Itukah mahasiswa?
Nyatanya, Itu hanya sebagian cermin dari tumpukan cermin-cermin retak yang memantulkan permasalahan bangsa kita terkait dunia kampus dan mahasiswa. Dari masa ke masa, kian beraneka karakter mahasiswa menghiasi bahkan bisa dikatakan mendominasi dinamika pergaulan dunia kampus. Kampus yang dulu menjadi tempat pelepas dahaga, bagi mereka yang haus akan ilmu. Kini, seolah hal tersebut hanya menjadi ikon kuno sebuah kampus. Kampus di era kekinian, tak ubahnya sebagai pusat kebobrokan moral, elitism, anti-kerakyatan, dan lahan bisnis ala dunia pendidikan. Dunia kampuspun kini telah menjadi korban dari intervensi budaya luar yang penuh kepentingan kapitalistik. Menjadikan mahasiswa lupa bahwa kampus adalah tempat yang memang dimaksudkan untuk kegiatan akademis. Mereka telah terlena diatas kepuasan yang diberikan oleh budaya hedonistic.
Adalah mahasiswa yang tengah berada pada masa transisi, masa dimana mereka mulai meninggalkan tahap kehidupan yang lalu yaitu remaja, dan mulai menuju tahap selanjutnya yaitu tahap kedewasaan. Dalam masa ini, mereka tengah berada dalam situasi yang anomie, di satu sisi mereka belum memiliki pegangan yang kuat, sementara di sisi lain kepribadian mereka tengah mengalami pembentukan. Dalam masa ini mereka seringkali terombang-ambing tak tentu arah oleh gempuran modernisasi. Jiwa mereka  masih labil, sehingga seringkali di isi oleh hal-hal yang hanya bersifat kesenangan dan kepuasan diri. Jika dinalar dengan paham Freudian, maka hasrat tersebut secara mendasar adalah sesuatu yang bersifat instingtual. Ia berada dalam fase pertama perkembangan struktur psikis manusia: yaitu id. Pada fase id ini semua tindakan mengacu atau didasari oleh prinsip kesenangan-kesenangan yang bersifat spontan. Disadari atau tidak, jika aspek ini dibiarkan untuk terus tumbuh justru akan memperlemah kepekaan humanisme seorang mahasiswa.
Dan bukan tidak mungkin jika nantinya mahasiswa sebagai Agent of Change, Generasi yang diharapkan bisa memberi titik tolak perubahan kondisi masyarakat ke arah yang lebih baik,  justru menjadi golongan yang sangat pasif dan tidak peka terhadap isu-isu terkini. Mahasiswa lebih tertarik untuk meng”update” status facebook, twitter, atau jaringan social lainnya,  daripada mendengarkan suara rakyat yang menderita karena kebijakan pemerintah. Memang, Gerakan kemahasiswaan memang tidak sepenuhnya mati. Gejala turun ke jalan dan melakukan aktivitas social-politik masih menjadi pilihan utama bagi sebagian mahasiswa. Namun, sadarkah kita bahwa mereka yang menyandang predikat sebagai kaum intelektual, justru seringkali menjadikan kekerasan sebagai solusi untuk menyelesaikan sebuah masalah.
Menjadi sebuah ironi, tatkala melihat apa yang senyatanya justru berbanding terbalik dengan apa yang seharusnya. Pendidikan selama ini diharapkan mampu menempatkan prinsip-prinsip moralitas agung sebagai basisnya, sehingga hasil pendidikan tidak hanya individu dengan intelektual namun juga dengan kepribadian dan karakter yang baik. Namun nyatanya, fenomena-fenomena tersebut telah mampu menggambarkan realitas. Lalu, Adakah yang salah dengan pendidikan kita? Ya… pendidikan Indonesia tengah mengalami ketidakseimbangan pengembangan kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual.
Fakta tak terbantahkan, Pendidikan di Indonesia selama ini masih berorientasi pada pengembangan kecerdasan intelektual (IQ) dan cenderung mengabaikan kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ). Pendidikan di Indonesia selama ini seolah hanya berisi hafalan dan cara cepat membabat soal tanpa ada pembentukan sikap mental yang positif. Perhatian Pemerintah dan dinas pendidikan saat ini hanya cenderung fokus pada peningkatan nilai-nilai setiap mata pelajaran atau yang berhubungan dengan IQ saja. Sementara hal-hal yang berhubungan dengan pendidikan moral, akhlak dan kepribadian pelajar atau yang berhubungan dengan EQ (kecerdasan emosional) masih kurang diperhatikan.
Memang, pada umumnya masyarakat Indonesia masih menganggap kecerdasan intelektual adalah yang paling utama yang harus dimiliki oleh anak didik dalam proses pendidikan. Pendidikan kita selama ini juga terlalu mengedepankan sains dan teknologi, dan cenderung mengabaikan serta menggeser aspek-aspek humaniora. Bidang-bidang seperti budaya, seni dan sastra merupakan bidang-bidang yang cenderung dianak tirikan. Padahal, melalui bidang-bidang inilah kepribadian dan kemanusiaan kita, kepekaan sosial, religi, kehalusan rasa, pembangunan nilai, moral, budi pekerti, dan sejenisnya,  dapat terolah dan terasah.
Pengabaian terhadap cabang ilmu sastra jelas sangat terlihat dari sedikitnya porsi pembelajaran sastra sejak jenjang Sekolah Dasar (SD) hingga sekolah Menengah Atas bahkan di perguruan tinggi. Pada jenjang-jenjang pendidikan, sastra merupakan bagian dari mata pelajaran Bahasa Indonesia. Akan tetapi, kenyataan di lapangan memperlihatkan mata pelajaran ini lebih didominasi oleh pelajaran tata bahasa. pembelajaran lebih ditekankan pada aspek pengetahuan (kognitif), bukan afektif (pendalaman rasa). Siswa hanya diperkenalkan dengan karya sastra dan penulis angkatan pujangga lama, sastra melayu lama, balai pustaka, pujangga baru, dan angkatan-angkatan selanjutnya. Siswa hanya tahu novel siti nurbaya sebatas marah rusli pengarangnya, seolah siswa hanya dipersiapkan untuk bisa menjawab hal-hal yang bersifat hafalan. mereka tidak diajak untuk mendalami, memahami dan menghayati unsur kehidupan dan nilai-nilai yang tersirat di dalamnya.
Tak heran jika moral dan rasa kemanusiaan di negeri ini kian mundur seiring dengan pembentukan karakter humanis generasi muda melalui pendidikan sastra yang kian mundur. Seperti yang diistilahkan oleh Taufik Ismail “Kerabunan membaca dan kelumpuhan Menulis” telah menjadi tanda kemunduran bangsa. 
Humanisme Melalui Pembelajaran Sastra
Hanya dengan jalan membaca roman orang dapat memperoleh pengalaman-pengalaman lain dan hanya dengan membaca sajak orang dapat mengenal pelbagai perasaan murni yang ada pada manusia tetapi yang sering disembunyikan.
(asrul sani)
Belajar sastra pada hakikatnya adalah belajar tentang hidup dan kehidupan. Melalui karya sastra, manusia akan memperoleh siraman batin yang mencerahkan sisi-sisi gelap dalam hidup dan kehidupannya melalui kristalisasi nilai yang terkandung dalam karya sastra. Teks sastra tak ubahnya seperti layar ditampilkannya rekaman kehidupan yang dibangun oleh sebuah model yang diciptakan oleh sastrawan untuk menjelaskan berbagai kemungkinan kehidupan dari model tersebut.  Karya sastra adalah sebuah karya dengan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial yang mencangkup hubungan antar manusia yang terjadi dalam dunia nyata. Sastra adalah karya yang tidak bisa lepas dari masyarakat. Karena antara masyarakat dengan sastra terbuka sebuah hubungan yang dialektik atau hubungan timbal balik.
Sastra pada dasarnya adalah ungkapan, pandangan, dan penghayatan seorang sastrawan terhadap kehidupan. Kehidupan itu sendiri sangat luas, meliputi persoalan-persoalan kemanusiaan, baik yang sifatnya individual, maupun persoalan sosial, politik, dan budaya dengan berbagai dimensi dan berbagai nilainya didalamnya. Dan seorang penulis atau sastrawan mencoba melukis itu semua dalam dunia imajiner, yakni dalam wujud karya sastra. Sastra juga senantiasa kritis terhadap persoalan-persoalan kehidupan dan selalu berupaya memancarkan pandangan-pandangan untuk membantu pembacanya agar lebih memahami kehidupan dan menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Pemahaman kehidupan dan nilai-nilai kemanusiaan melalui sastra tentu tidak sama dengan pemahaman melalui ilmu-ilmu lain, karena sastra menyampaikannya melalui unsur-unsur estetika.
Dengan karakteristik sastra tersebut, sudah sepatutnya pembelajaran sastra diarahkan untuk mereguk manfaat-manfaat sastra, yakni untuk lebih memahami dan memperkaya wawasan kehidupan, mempertajam watak dan kepribadian, memperhalus budi pekerti, cipta, rasa, karsa, kepekaan sosial, budaya, religi, dan kepekaan pada nilai nilai kemanusiaan. Ini semua akan tumbuh jika pembelajaran sastra diarahkan pada apresiasi sastra dengan lebih banyak menyentuh segi afeksi. Dalam hal ini, siswa diajak untuk menikmati, memahami, dan menghayati karya sastra. Dan misi pendidikan untuk memanusiakan manusia akan menjadi lebih ringan jika pembelajaran sastra bisa diterapkan dengan baik. Dan bersama, Indonesia growing with character.
DAFTAR PUSTAKA
Faruk. 1999. Pengantar Sosiologi sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Soyomukti, Nurani. 2008. Pendidikan Berperspektif Globalisasi. Yogyakarta: Ar-ruzz Media