Selasa, 18 Juli 2017

Jodoh, Antara Keinginan dan Pengetahuan

"Kita hanya mempunyai keinginan, dan Allah yang mempunyai pengetahuan"

Dulu, ada teman kos saya yang bisa dikatakan dia adalah relationship goals kami semua --anak kos. Bagaimana tidak, dia cantik si cowok ganteng. Si cewek calon pendidik, si cowok calon dokter. Kedua pihak keluarga pun telah menyetujui, menerima dan bahkan mendukung banget hubungan mereka. Hubungan itu pun langgeng hingga 4-5 tahun. 

Baru beberapa waktu yang lalu, di akun media sosialnya dia memposting video di mana dia sedang membaca lantunan ayat inti Surah Ar-Rahman, yang kurang lebih isinya, 'Nikmat mana pula yang kau dustakan?'.

Dari sana dan dari beberapa caption n komentar orang-orang terdekatnya,  kemudian tersiar kabar bahwa hubungannya bersama sang kekasih telah kandas. Sontak, berita itu pun membuat saya dan teman-teman kos saya dulu kaget bukan main. Pertanyaan semacam 'kok bisa?' langsung memenuhi benak kami. 

Akhirnya, teman saya itu pun mengakui secara pribadi, meski waktu itu dia belum siap menceritakan apa masalah dan penyebabnya. Ya sudahlah, yang penting hubungan itu diakhiri dengan cara baik-baik, dan pasti yang terbaik untuk keduanya. Meski saya akui, pasti itu berat.

Tentunya, telah banyak kenangan kebersamaan yang tercipta. Telah banyak harapan-harapan yang dirajut bersama. Dan kemudian, itu harus hancur.
Meski di sisi lain, mereka sama-sama meyakini bahwa itu adalah keputusan yang terbaik bagi keduanya. Namun, yang namanya perasaan, rasa sesak dan berat itu pasti ada bukan?

Dari sana saya belajar, bahwa sesuatu yang terjadi sering kali jauh melenceng dari apa yang kita rencanakan. Ukuran mengenal secara lebih dalam --pacaran-- dalam waktu yang lama ternyata bukan menjadi tolak ukur dari keberhasilan sebuah hubungan. Pun keserasian dan kepantasan yang kita yakini sebagai janji Tuhan, terkadang menyimpan sejuta rahasia. Tidak hanya dari faktor fisik, kemapanan, atau hal-hal duniawi semata, karena nyatanya ada sejuta hal yang tidak kita ketahui sebagai manusia, yang hanya menjadi kuasa-Nya.

Di lain cerita, ada sepupu saya yang dulu memutuskan untuk menikah dengan hanya menempuh proses mengenal yang sangat singkat. Padahal, dulunya saya tahu dia pernah beberapa kali memiliki pacar dalam waktu yang cukup lama, meski akhirnya putus.
"Ya bagus sih mbak.. Berarti dia setidaknya ada niat serius dengan sampeyan" komentar saya dulu
"Iya dek... Wes capek pacaran suwi-suwi"
"Tapi harus juga diliat lho mbak backgroundnya, agamanya, jangan cuma mapan aja, heheheh"
"Iya dek, dia dulu pernah mondok juga kok"

Lalu, beberapa tahun kemudian, berbagai masalah bahkan isu perpecahan rumah tangga mereka mulai terdengar. Mulai dari masalah prinsip, ketegasan, materi, hingga agama, menjadi pemicu retaknya hubungan mereka. Entahlah... Saya hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk mbak saya itu. Semoga dia senantiasa kuat untuk menghadapinya.

Dari kasus mbak sepupu itu pun kita bisa mengambil pelajaran, bahwa lelaki saleh tak selalu didapat dari koko putih berkopiah hitam. Lelaki baik tak selalu diperoleh dari mereka yang lulusan pesantren. Allah lebih tahu laki-laki baik seperti apa yang cocok untuk kita. 

Bukan berarti pula, semua hubungan yang singkat pasti akan berujung pada kegagalan. Karena nyatanya, banyak orang yang telah menikmati bagaimana indahnya pacaran setelah menikah. Ketika aktivitas kebersamaan --sesedikit apapun itu-- dinilai sebagai ibadah.

Saya juga tidak sependapat ketika salah satu teman saya mengutarakan ketakutannya untuk memilih jalan 'jomblo sampai halal' ini. Takut nanti beli kucing dalam karung, begitu menurutnya.
Tentu, kekhawatiran itu pun tak sepenuhnya salah. Karena nyatanya, 'dia' adalah orang baru yang belum kita kenal lama. Tapi, bukankah kita bisa mengetahui segala seluk beluk tentangnya dari orang-orang terdekatnya? Itulah mengapa dalam agama pun ada ajaran dan tata cara ta'aruf (perkenalan), bukan?

Tulisan saya ini tidak bermaksud untuk menjudge atau menyinggung mereka yang memilih jalan pacaran. Karena saya pun memiliki banyak teman, bahkan saudara sepupu yang dulunya memilih jalan ini. Ini hanyalah masalah prinsip bukan? Tak perlu dipaksakan untuk dianut semua orang.

Pun saya tak menganggap bahwa diri atau langkah saya yang paling benar. Nyatanya, saya pun masih dalam proses belajar.

Dari mereka yang berada di sekitar, saya belajar. Bahwa perkara jodoh adalah perkara di luar kendali kita. Ada tangan dan rencana Tuhan yang mengatur baik buruknya. Karenanya, melibatkan Dia Yang Maha Tahu dalam setiap keputusan yang akan kita ambil, adalah hal yang penting untuk dilakukan.

Tak selamanya yang kita anggap baik, itu baik, pun sebaliknya. Bisa jadi, di awal memang terasa indah, terasa pantas, atau yang lainnya, tapi bukankah kita tidak tahu apa yang akan terjadi di esok hari? 

Duhai diri, berdoalah dengan penuh kekhusyu'an..

"Allah... Jodohkanlah hamba dengan orang baik menurut-Mu, bukan menurutku. Karena aku hanya punya keinginan, tapi Engkau mempunyai pengetahuan"


Jumat, 07 Juli 2017

Masa Depan Anak, Seperti Apa?

A: "Aang kuliah di mana? Jurusan apa?"
Ibu: "jurusan Hukum Islam di UIN Semarang"
A: "Ooh... Anak saya mah kuliahnya di teknik semua"
B: "Nggak kuliah di STAIN aja deket, toh jurusannya juga cuma gitu, bla bla..."

B: "Alfan rangking berapa?"
Ibu: "Nggak ada rangkingnya.."
B: "Oh...bla bla bla..."
Padahal, si tante B ini belum tahu saja kalau memang sekolahnya Alfan tidak menganut sistem rangking. Dan Ibu juga malas yang mau menjelaskan.

Realita semacam ini pasti akan selalu menyeruak di musim-musim libur sekolah. Meski tak bermaksud untuk berprasangka negatif, nyatanya tak sedikit nada membandingkan dan meremehkan yang terselubung di balik basa-basi pertanyaan.

Karena kita pun tidak bisa memungkiri, bahwa mayoritas orang tua di Indonesia masih menganggap kecerdasan kognitif adalah yang utama. Dan rangking, dianggap sebagai salah satu indikatornya. Lebih lanjut, dalam tataran yang lebih tinggi, tak sedikit pula masyarakat 'awam' yang beranggapan bahwa pilihan jurusan --SMA dan kuliah-- adalah penentu kesuksesan seseorang. Jurusan IPA dengan teknik dan kedokterannya memang masih menjadi primadona yang diagungkan sekaligus menggiurkan. Sementara yang lain, --sebut saja beberapa jurusan IPS, bahasa, dan seni-- acapkali dipandang sebelah mata, atau bahkan mungkin sarat dengan pertanyaan, "Mau jadi apa?".

Tak ayal, banyak dari kita --utamanya para orang tua-- yang menuntut anak-anaknya untuk berada di jalur yang dianggap "bergengsi" tersebut. Meski terkadang harus mengabaikan bakat dan kemampuan yang dimiliki anak. Padahal, semua anak istimewa. Semua anak memiliki keunggulan di bidangnya masing-masing. Bukankah beragam penelitian juga telah menyebutkan bahwa kecerdasan ada bermacam-macam?

Jadi, jika seorang anak lemah di bidang matematika, bukan lantas dia bodoh. Hanya saja, kecerdasan dan keistimewaannya ada di bidang lain. Dan tugas orang tualah --juga guru dan masyarakat-- untuk membantu mengembangkannya. Bukan malah memaksakan kehendak agar anak bisa menjadi seperti yang diinginkan. Apalagi, hanya demi menuruti gengsi. Duh...

Menjadi orang tua sejatinya adalah proses belajar. Belajar menerima titipan Allah, belajar menjaga pertumbuhan dan perkembangannya. Serta belajar untuk menyiapkan dan mendukung pendidikan terbaik baginya. Dan proses belajar itu pun adalah proses sepanjang hayat. Tidak lantas berhenti atau saklek dengan itu-itu saja. Karena bagaimanapun, antara anak pertama, kedua, ketiga, atau seterusnya, takkan pernah sama. Selalu ada keunikan dan keistimewaan masing-masing dalam diri anak. Meski bagi mereka yang terlahir dari rahim yang sama.

Dulu, orang tua saya pun juga begitu, terlalu mengagungkan kecerdasan kognitif dan rangking. Bisa jadi saya beruntung, karena sejak kecil saya memang menyukai matematika dan ilmu alam lainnya. Prestasi saya pun selalu berada di jajaran atas,  hingga tak ada alasan bagi orang tua saya untuk tidak berbangga. Berbeda dengan adik saya --yang hanya berjarak usia 1.5 tahun--, yang sejak kecil telah menunjukkan bakatnya di bidang seni. Sayangnya, bakat tersebut dianggap sebagai suatu hal 'main-main' dan tidak serius. Parahnya lagi, dengan jarak usia yang sangat dekat, menjadikan adik saya selalu dituntut untuk menjadi bayang-bayang saya. Dituntut untuk memiliki kemampuan yang sama, dan prestasi yang setara. Tidak hanya dari orang tua, tapi juga dari guru-guru di sekolah kami. Adik saya itu bahkan harus mengalami tekanan tersebut hingga di jenjang SMP. Bisa dibayangkan  bagaimana tersiksanya anak-anak seperti adik saya. Yang harus menjalani hari-hari dengan menjadi orang lain, dan mengabaikan apa yang menjadi minatnya.

Meski tidak seberat tekanan yang dialami adik saya, saya pun mengalami tekanan dalam tataran yang berbeda. Saya memang menyukai matematika dan ilmu alam, namun sikap selalu dibanggakan menjadikan saya tertekan. Saya seolah dituntut untuk selalu menduduki posisi 1 atau 2, bisa masuk kelas unggulan, hingga dituntut untuk bisa memenuhi harapan orang tua untuk bisa menjadi dokter.

Jika adik saya diatur untuk senantiasa belajar dan tidak menggambar atau aktivitas seni lainnya. Maka saya diatur untuk membatasi kebiasaan membaca saya. Ya, kala itu orang tua saya melarang saya untuk membaca buku-buku sastra. Menurut mereka, buku-buku itu tidak berguna, dan lebih baik saya membaca buku-buku pelajaran atau buku-buku agama yang banyak tersedia di rumah. Jadi, jika adik saya harus sembunyi-sembunyi ketika menggambar, saya pun hanya bisa memuaskan hasrat membaca karya sastra ketika saya berkunjung ke rumah kakek di akhir pekan. Di sanalah saya bebas membaca koleksi buku cerita dan sastra koleksi kakek saya yang notabenenya adalah mantan kepala sekolah dan pegiat literasi.

Adik saya bisa bebas melangkah di jalannya sejak dia memutuskan untuk tidak lagi berada satu sekolah dengan saya. Dia memilih menamatkan SMA-nya di pondok pesantren terbaik di Madura. Dan dari sanalah dia bisa berkembang hingga saat ini bisa menjadi calon hafidz dan sarjana Alquran.

Sementara saya, baru bisa menjadi diri saya sendiri setelah memasuki dunia kuliah. Saat di mana Allah memilihkan tempat terbaik, meski sangat jauh melenceng dari dunia saya sebelumnya. Meski banyak cemooh dan nyinyiran yang saya dapatkan kala itu --krn memilih jurusan tersebut-- nyatanya saya bisa bertahan dan berkembang di dalamnya. Toh mereka hanya bisa berkomentar, yang menjalani dan bertanggung jawab kan tetap saya.

Sejak saat itu, sejak saya mulai bisa melejit dengan dunia kepenulisan saya di kampus, dan sejak adik saya juga betah dan berkembang di jalannya sendiri, orang tua saya mulai berbenah untuk mengubah mindset. Bahwa apa-apa yang diyakini masyarakat umum sebagai sesuatu yang terbaik, belum tentu terbaik untuk semua orang. Semua orang, semua anak berhak untuk mengukir kisah perjalanannya sendiri. Orang tua hanya bertugas untuk mengarahkan, membimbing dan memfasilitasi.

Kini, Aang bebas untuk memilih tempat untuk mengembangkan dirinya. Bebas untuk membaca buku apa yang disukainya, dan bebas untuk memilih minat dan jurusan yang diinginkannya. Tentunya, tanpa mengabaikan rambu-rambu dan pengawasan orang tua, serta rasa tanggung jawab yang harus tertanam dalam dirinya.

Dan Alfan, menjelang usia 10 tahun --kelas 4-- ini, bakat-bakat dan minatnya mulai terlihat. Tinggal bagaimana nantinya dipilihkan tempat dan sarana terbaik untuk mengembangkannya.

Ya, dengan mengenali bakat, minat, dan potensi anak sejak dini, kewajiban orang tua untuk mengawal dan mendidik anak bisa dijalankan dengan baik. Anak bisa menemukan jati dirinya sedini dan sebaik mungkin.

Tak perlu risau dengan cemooh atau ejekan orang karena anak kita memilih jalur yang berbeda dengan orang kebanyakan. Yang terpenting bagaimana kita mendidik dan mengembangkannya. Hingga kelak potensi tersebut bisa bermanfaat bagi anak dan juga bagi kemaslahatan umat.

Ya, di atas segalanya, ada Allah pengatur segala kehidupan. Asal anak telah berbekal keimanan, ketakwaan, dan kedekatan dengan Sang Pencipta, bukankah tidak ada yang perlu dirisaukan lagi?

The Quest for Love

Barangkali, dulu kita pernah berdoa.
"Ya Allah, jika dia yang terbaik untuk dunia akhiratku, maka satukanlah kami dalam pernikahan. Namun Yaa Rahmaan, jika dia bukan yang terbaik untuk dunia akhiratku, maka pisahkanlah kami dalam kebaikan"

Duhai hati yang sedang menimbun harapan. Saat dia pergi meninggalkan kita, atau menolak uluran rasa dari kita, dan atau memilih yang lain selain kita, maka tersenyumlah...

Tersenyumlah dengan sunggingan paling indah. Jangan bersedih. Karena mungkin, itulah jawaban dari doa-doa kita. Bahwa memang dia bukan yang terbaik untuk dunia dan akhirat kita. Sesak di dada, pasti. Nyeri di hati, iya. Tapi, insyafi segera, bahwa berharaplah hanya pada Allah semata. Agar kita tidak menelan kekecewaan yang teramat pahit.

Kepada dia, katakan...
"Terima kasih atas pertemuan sekejap itu. Jika seandainya ada setitik rasa di antara kita, doakan semoga rasa itu bukanlah sebuah dosa.
Pergilah...
Kuikhlaskan semua ini karena Dia..."

Wahai Rabbi, Ampuni saat diri ini lebih sibuk meratapi rasa, hingga lupa membersihkan dosa. Tuntun hamba selalu untuk senantiasa ikhlas dengan semua rencana indah-Mu.

~Rintihan Jemari