Selasa, 30 Agustus 2016

Saya harus tetap menulis!



“Perjalanan untuk menjadi seorang penulis itu bisa saja berbeda. Orin tidak harus menempuh jalan yang telah saya lalui, karena saya yakin Orin akan menemukan jalannya sendiri.”

Saya selalu kagum ketika membaca sebuah tulisan yang tidak saja menyentuh secara penyampaian, namun juga bernas secara secara logika dan pemikiran. Lalu, kekaguman itu berlanjut menjadi sebuah pertanyaan, “apa yang penulis itu lakukan hingga dia bisa menulis sedemikian bagusnya?”, “buku-buku apa yang biasa Dia baca?”, “habitus apa yang dia bentuk?”, “bagaimana proses kreatifnya?”, dan akhirnya, saya akan bertanya pada diri saya sendiri, akankah saya bisa menulis sebagus itu?”

Pernah suatu waktu saya memberanikan diri untuk bertanya pada dosen saya tentang hal itu. Ya, dosen saya yang satu ini memang memiliki kemampuan menulis dan juga karya yang mumpuni. Beliau juga turut andil dalam membentuk kemampuan menulis dan daya analitis saya, tidak hanya ketika saya masih menjadi mahasiswa beliau, ketika saya sudah lulus pun saya bersyukur masih bisa menikmati proses belajar dan ilmu dari Beliau.

“Proses belajar dan proses kreatif tiap orang bisa saja berbeda. Kalau saat ini saya menempa kamu, bukan berarti kamu harus menjadi atau mengikuti jejak saya. Saya hanya mengajarkan apa-apa yang saya pahami dari pengalaman saya. Dan saya yakin, kamu akan menemukan pengalaman-pengalaman itu dan bisa berproses dari sana.” 

Saya pun akhirnya sadar bahwa bagaimanapun saya tidak akan pernah bisa meniru gaya tulisan orang lain. Saya adalah saya. Begitupun, tulisan saya adalah saya dalam wujud yang lain.

Saya bersyukur di sepanjang perjalanan ini Allah selalu mempertemukan saya dengan orang-orang yang darinya saya bisa belajar. Termasuk juga kaitannya dengan mimpi saya yang satu ini.

Saya mulai menggenggam mimpi ini ketika saya menginjak masa putih abu-abu. Kala itu saya baru menyadari bahwa dunia itu adalah dunia saya, setelah sebelumnya saya selalu berkata bahwa cita-cita saya adalah menjadi seorang dokter. Aih… itu kan cita-cita anak sejuta umat.

Di SMA, saya hanya bisa mengasah kemampuan sekaligus berproses dalam sebuah keredaksian majalah sekolah “PIJAR”. Itu sudah lebih dari cukup bagi seorang remaja seperti saya yang kala itu sedang mencari jati diri, mencari apa itu yang disebut “passion”. Saya pun belum berani melangkah lebih jauh, kodrat saya sebagai anak ilmu alam menuntut saya untuk terus bergelut di bidang itu, hingga akhirnya Allah memilihkan tempat lain untuk saya belajar. Dunia yang sangat jauh berbeda dengan sebelumnya. Ya, Dunia social.

Proses peralihan yang tidak mudah memang, tapi ketika kita telah memutuskan untuk terjun, apapun yang terjadi, itu adalah proses belajar, kan? saya hayati betul kata-kata Ayah waktu itu, “Allah memilihkan tempat untukmu, bukan karena kebetulan, pasti ada sesuatu di depan sana”  begitu pesan ayah saya di malam pengumuman SNMPTN. “jalanilah.. mungkin memang jalannya” lanjutnya.

Dan memang benar, di tempat itulah saya benar-benar yakin akan passion saya. Menulis.

Sejak semester awal, saya sudah leluasa mengembangkan minat di dunia tulis menulis. Mulai dari SSC, PKM dan LKTM, FLP Surabaya, redaksi tabloid kampus, hingga redaksi jurnal Paradigma. Tuntutan tugas-tugas mata kuliah yang mayoritas berbasis riset juga berpengaruh terhadap minat dan kemampuan menulis. Ditambah lagi dengan kesempatan mengikuti beberapa proyek penelitian dosen semakin membuat saya yakin bahwa dunia ini sangat mengasyikkan. Dunia dimana kita tidak hanya menggali ilmu, tapi juga menebar ilmu dan pengetahuan melalui pena.

Saya begitu menikmati hari-hari itu, hingga akhirnya saya lulus dan mendapatkan pekerjaan. Sayangnya, pekerjaan pertama saya sangat jauh dari dunia yang selama ini saya geluti. Mungkin benar kata orang, bagi seorang sarjana tahun-tahun pertama adalah tahun pembuktian diri. Baru setelah itu, kita akan kembali tersadar, “apa benar ini dunia saya?” Begitu pun yang saya rasa kala itu.

Beruntunglah Allah tidak pernah rela membiarkan saya terlalu lama larut dalam kebingungan. Saya kembali diarahkan ke dunia yang amat saya cintai. Dunia literasi. Saya pun diberi kesempatan untuk memiliki keluarga baru, tempat belajar dan berproses, sekaligus kembali memantapkan hati bahwa ini memang dunia dan mimpi saya. Saya lolos dalam seleksi Kampus Fiksi edisi Nonfiksi angkatan 1 dari sebuah penerbit di kota Yogyakarta. Di sana saya bertemu dengan saudara-saudara dengan passion yang sama. Beberapa dari mereka adalah penulis yang telah berhasil melahirkan beberapa buku. Tulisan-tulisan mereka telah beberapa kali muncul di berbagai media. Tiga hari bersama mereka sukses menyulut semangat saya untuk juga bisa berkarya seperti mereka. Terlebih selama tiga hari itu kita juga digembleng dengan materi dan pemaparan dari penulis dan praktisi dunia kepenulisan. Ahh… rasanya itu, tak pernah bisa terlukis oleh kata-kata meski pena telah berusaha menguraikannya panjang lebar.

Sepulang dari Jogja, hasrat itu masih mengakar kuat untuk menjadi nyata apalagi kita memproleh fasilitas untuk bimbingan online  terkait naskah yang akan kita terbitkan. Pertama, kita harus mengajukan tema yang menarik secara kualitas dan juga secara “pasar”. Jika lolos, baru kita akan dibimbing hingga naskah itu terbit. Sayangnya, judul naskah saya waktu itu ditolak. Mungkin karena tema yang saya ajukan kurang menarik pasar, telah banyak judul buku yang sejenis, atau alasan lainnya. Sempat down? Iya. Lalu saya mencoba peruntungan dengan mencoba nulis untuk media. Baik itu resensi, opini, ataupun cerpen. Hasilnya? Tetap saja nihil.

Oh Tuhan. Kenapa rasanya semuanya begitu sulit? Sedangkan teman-teman saya di KF kok kayaknya gampang banget tembus media. Beberapa lainnya juga telah bertambah buku karya mereka. Sedangkan saya? seolah tetap stagnan. Tanpa progress yang berarti. Ok lah, saya masih tetap menulis hasil-hasil riset, baik untuk tugas kuliah ataupun proyek penelitian. Tapi saya ingin lebih dari itu.

Saya ingin jadi penulis. Saya ingin tulisan saya dibaca banyak orang, syukur-syukur jika bermanfaat dan bahkan menginspirasi. Saya juga tidak memungkiri bahwa saya ingin menjadikan menulis sebagai profesi. Benar memang, dengan gelar akademik yang saat ini telah saya peroleh sangat memungkinkan bagi saya untuk bergelut di dunia akademisi dan peneliti (keduanya telah dan tengah saya jalani). Keduanya memang tidak terlampau jauh dari dunia literasi, pun keduanya juga menuntut kemampuan menulis yang mumpuni. Dengan kata lain, saya tetap bisa menulis di tengah profesi tersebut. Hanya saja, hati kecil saya berbisik tentang mimpi terbesar saya sebagai seorang wanita. Ya, menjadi seorang istri dan ibu.

Sekarang mungkin saya masih bebas untuk pergi kemana-mana melakukan riset, atau seharian penuh berada di sekolah/kampus untuk mengajar. Tapi bagaimana ketika nanti saya telah menikah dan telah dikaruniai seorang anak? Ah… maklum lhah, usia saya sudah memasuki masa-masa menikah, jadi mikirnya sudah menata masa depan. Eaaa… hahahaha

Sebenarnya, tidak masalah bagi saya jika seandainya saya harus menjadi full time mother dan berhenti berkarir di ranah public. Justru itu adalah keinginan terbesar dari lubuk hati yang terdalam. Mungkin karena saya dibesarkan oleh keluarga yang hangat dan ibu yang selalu ada dan dekat dengan anak-anaknya. Saya pun berharap bisa demikian. Meski di sisi lain, saya juga bisa menebak bahwa akan banyak orang nyinyir yang akan berkomentar, “apa gak sayang tuh gelar S2-nya?” atau “sekolah tinggi-tinggi sampe S2 cuma jadi ibu rumah tangga?”

Ya, mungkin akan ada rasa bersalah dalam diri saya jika akhirnya saya hanya ongkang-ongkang kaki di rumah. Akan kamu kemanakan ilmu yang telah kamu pelajari selama ini? benar memang, akan sangat bermanfaat bagi suami dan anak-anak. Tapi, masak iya hanya sekedar itu? ya, saya ingin berkarya dari rumah. Bekerja tanpa harus jauh dari anak-anak. Raga saya tetap berada di dekat mereka, tapi saya tetap ingin karya dan pemikiran saya tersebar dan bermanfaat bagi semua orang.

Keinginan itu semakin membuncah tatkala saya berkenalan dengan teman-teman KF yang telah menjadi ibu dari beberapa anak, menjadi ibu rumah tangga, tapi tetap produktif untuk berkarya. Ya, saya ingin menjadi seperti itu. 

Karenanya, setelah semua kereweuhan tesis dan urusan tetek bengeknya selesai, saya kembali memantapkan hati untuk menempuh jalan sunyi kepenulisan. Setelah sebelumnya saya sempat vakum dari dunia menulis, sejenak mimpi itu mati suri, dan mungkin ini adalah waktu yang tepat untuknya kembali.

Disaat itu pulalah Allah kembali membuka jalan-Nya. Saya diberi kesempatan untuk bergabung dalam sebuah keluarga baru bernama “Kontenesia”. Allah kembali memilihkan tempat untuk saya belajar dan beproses untuk mimpi-mimpi saya. Di sini saya tidak hanya akan belajar tentang kepenulisan, namun juga tentang profesionalitas dan attitude seorang penulis.  

Ya, awal yang bagus untuk kembali mengasah kemampuan menulis saya. Dan yang terpenting, untuk mengembalikan habitus menulis saya yang sempat mati suri oleh kesibukan-kesibukan lainnya. Saya bertekad, saya tetap harus menulis untuk naskah buku-buku saya, saya tetap harus menulis untuk media (meski saya telah menjadi penulis tetap rubric social-budaya di emadura.com).

“Semua harus ditulis. Apa pun. Jangan takut tidak dibaca atau tidak diterima penerbit. Yang penting tulis, tulis, dan tulis. Suatu saat pasti berguna.” Pramoedya Ananta Toer

Saya harus tetap menulis, saya harus tetap berkarya. Semoga Allah berkenan untuk mengabulkan mimpi-mimpi saya. Amiin…

0 komentar:

Posting Komentar