Judul : Aku Menunggumu
Penulis : Devi Eka
Penerbit : De Teens (Diva Press Group)
Cetakan : I, Februari 2015
Tebal : 216 Halaman
ISBN : 978-602-255-803-3
“Sampai saat ini pun aku masih
bertahan. Sampai kapan? Sampai aku benar-benar menyadari kalau ia bukan
untukku. Pasti ada waktu tertentu untuk sampai pada titik jenuh itu. Kapan?
Entahlah. Aku belum jenuh, dan mungkin takkan pernah jenuh untuk menunggunya.”
Dalam hal cinta, beberapa orang, bahkan mungkin
sebagian besar lebih meyakini bahwa cinta harus dikejar, bukan ditunggu. Menunggu
dan mengejar adalah dua pekerjaan yang saling bertolak belakang. Jika menunggu
dianggap pekerjaan pasif dan melelahkan, maka mengejar adalah tindakan aktif
dan nyata untuk mendapatkan. Dengan mengejar, seseorang merasa telah beberapa
langkah lebih dekat dengan apa yang dia inginkan. Bisa memotong waktu, dan
memangkas jarak. Tapi, bukankah cinta takkan pernah sama dengan matematika?
Yang hasil akhirnya bisa diprediksi dengan presisi?
Novel ini mengajak pembaca untuk mengerti
bahwa mencintai selalu sepaket dengan keikhlasan melepaskan selama yang
dicintainya mendapatkan kebahagiaan. Tapi, layaknya manusia yang mencinta, tak
berdosa rasanya jika harapan tuk mendapatkan cinta dengan porsi yang sama masih
tetap tumbuh di tengah kenyataan yang memang terasa menyesakkan. Karena itulah,
dalam cinta selalu ada pilihan untuk “menunggu”. “Bila cinta lebih indah dengan menunggu, apa salahnya aku berharap kau
ada di sisiku kembali, bukan?” Ya, bagi Kalea, pun juga bagi Ruka, menunggu
adalah perkara melebarkan kesabaran. Namun, juga tak ada alasan untuk percaya
bahwa penantian itu akan sia-sia.
“Aku
adalah salah satunya, menjadi orang yang mencintainya, bukan yang dicintai.”
(Hal 140)
Setiap
manusia akan merasakan yang namanya mencintai dan dicintai. Namun, manusia
tidak mempunyai daya control atas apa yang akan terjadi dalam hubungan
percintaannya. Seringnya, seseorang berharap pada dia yang justru mengharapkan
orang lain, dan memberikan bahagia kepada ia yang membuatnya berurai air mata.
Begitulah, cinta segi empat yang menyelimuti perjalanan hidup Kalea, Ruka,
Konane, dan Malia. Sebuah segi empat tak beraturan, dengan Ruka di salah satu
titik yang saling berjauhan dengan Kalea, dan Konane dan Malia di titik yang
saling berdekatan.
Bagi
Ruka, keceriaan gadis pendiam bernama Kalea itulah yang menularkan semangat
dalam dirinya. Meski ia berbeda, namun kehadirannya mampu meramaikan kesunyian
yang terkadang melanda sudut hati seorang Ruka. Mahasiswa pertukaran dari
Indonesia yang mahir memainkan alat music Ukulele. Sementara bagi Kalea, Ruka
adalah sosok yang telah membangkitkan kesadarannya kembali, bahwa seorang Kalea
yang selama ini dikenal sebagai gadis pemurung juga bisa berarti, ketika ia
telah berani memutuskan apa yang dia suka dan dia inginkan dalam hidupnya.
Baginya, Ruka tidak hanya mengajarkannya persahabatan, pun tidak sekedar
keahlian, tapi juga sebuah ketulusan.
Hari-hari
Kalea juga semakin berwarna dan bersemangat dengan hadirnya Konane. Lelaki
tampan dengan segala pesonanya, yang memang sejak awal ia kagumi. Kekaguman
yang awalnya hadir entah karena ketampanan, atau kemampuannya memainkan ukulele
dan piano yang begitu menawan. Tak peduli ia datang untuk pergi, atau pergi
untuk kembali, bagi Kalea dia adalah sosok yang telah mengisi relung hatinya,
dengan sesuatu yang ia sebut dengan cinta.
Dan
Malia, gadis cantik nan popular yang tidak pernah menyukai, bahkan sebelumnya
tidak pernah menganggap kehadiran Kalea. Kalea sendiri, tidak pernah merasa harus bersaing dengan
Malia. Dalam hal kepopuleran, tentu ia tidak menginginkannya. Tapi, siapa yang
menyangka jika ternyata kedua gadis itu juga harus bersaing dalam hal cinta.
Sesuatu
yang wajar ketika anak manusia menginginkan kebersamaan dengan orang yang
dicintainya. Namun sayangnya, Cinta tak pernah datang dengan kepastian. Setiap
hubungan pun pasti punya dua kemungkinan, antara berhasil atau justru nihil.
Ya, itulah hidup. Akan ada saatnya mereka yang mencinta merasakan romansa yang
berbunga-bunga. Tapi, juga ada saatnya awan gelap itu melanda. Ketika kata
perpisahan telah dilontarkan, yang tersisa hanyalah hubungan yang telah kosong.
Hampa.
“Apakah aku terlalu bodoh untuk menunggunya?”
“Tidak. Manusia yang memiliki berjuta-juta
keinginan akan sanggup menunggu untuk sebuah harapan yang terkadang tidak
selalu terjadi. Harapan akan cinta inilah yang membuat manusia tegar, dalam
diam maupun dalam helaan nafas.” (Hal 178)
Ketika cinta yang begitu besar
tak dibalas dengan sepadan, masih haruskah kita mempertahankan rasa yang tak
bermasa depan? Tak salah rasanya jika kita turut berpegang pada apa yang Ruka
yakini. Bahwa seseorang tak bisa meminta orang lain untuk memilih mencintai
atau tidak mencintai diri kita. Jangan salahkan apa pun saat kita jatuh cinta.
Seperti simpul terikat mati, takdir sudah mengikat, bahkan air mata pun tak
mampu menggoyahkan keputusan itu. Ya, jatuh cinta adalah bagian dari sepotong
rencana takdir. Percaya saja selalu ada akhir yang manis.
Mungkin saja cinta memakan waktu untuk sampai di
hatinya. Mungkin saja, bukan? Semoga saja tidak terlambat.
0 komentar:
Posting Komentar