Ada banyak motivasi mengapa orang
ingin menjadi seorang seorang penulis. Ada yang berkeinginan agar mendapatkan
populiritas. Namanya dikenal dan disebut-disebut bak seorang selebritis. Dia
ingin tampil memukau dihadapan para penggemarnya dalam acara-acara bedah buku.
Setiap orang berebut berdesak-desakkan untuk meminta tanda tangannya atau
sekedar foto bareng. Ada pula yang menjadikan profesi sebagai penulis sebagai
pilihan profesi yang menghasilkan uang. Mengharapkan limpahan rezeki nomplok
ketika karya yang ditulisnya 'best seller' atau mengharapkan royalti per 3
bulanan. Dan ada pula yang hanya ingin sekedar berbagi pengetahuan, atau
sekedar hobi. Lama aku merenung, menelusuri alasan yang manakah yang mendasari
mengapa aku menulis?
Aku kembali terpikir, seandainya
aku menulis hanya menginginkan populiritas, seberapa besar populiritas itu?
Jika aku menulis hanya untuk mencari kekayaan, maka seberapa banyak kekayaan
yang akan kudapatkan? Sekiranya aku menulis hanya untuk sekedar hobi atau
meluangkan waktu, maka sungguh aku rugi besar, sebab banyak waktuku yang
terbuang hanya untuk sekedar hobi, padahal masih banyak kewajiban yang lebih
utama aku lakukan. Aku tidak ingin terjebak dalam jebakan massa .
Menulis Adalah Proyek Peradaban Masa Depan
Dalam perenungan panjang, aku
teringat dengan pertanyaan Imam Ghazali. Dalam satu majelis, Imam Ghazali
pernah bertanya kepada murid-muridnya. "Apakah yang paling dekat dengan
kita di dunia ini?" Masing-masing murid memberikan berbagai macam jawaban.
Orang tua, guru, teman, istri, anak-anak, kerabat dan berbagai macam jawaban
lainnya yang berbeda-beda. Imam Ghazali tersenyum. Beliau tidak menyalahkan
jawaban-jawaban tersebut. Namun, beliau punya jawaban tersendiri. "Akan
tetapi, yang paling dekat dengan kita adalah mati. Ya, itulah jawaban yang
tepat! Jarak antara kita dengan kematian, sama dekatnya jarak antara keluar dan
masuknya nafas yang sedang kita hirup saat ini.
Ya, kita semua akan mati! Lantas
warisan apakah yang akan tetap mengabadi? Tak ada yang mengabadi, melainkan
tulisan yang kita tinggalkan? Bukankah kita mengenal orang-orang hebat sebelum
kita, lantaran mereka meninggalkan tulisan? Darimana kita mengenal bahwa Imam
Ghazali pernah hidup di abad ke-5? Tentunya dari karya-karyanya, semisal Ihya
Ulumuddin, Tahafut Falasifah, Kimia Sa'adah, Minhaj al-Abidîn. Kita mengenal
tokoh-tokoh besar dalam sejarah, semisal: Ibnu Khaldun, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd,
Ibnu Katsir, Ibnu Batutah, Ibnu Haitsam, Ibnu Thufail, Ibnu Nafis, dan ratusan
ibnu-ibnu yang lainnya. Darimana kita mengetahui bahwa mereka adalah ilmuwan
muslim? Ya, tentunya dari karya-karya mereka, bukan? Jasad mereka terkubur
dalam perut bumi, namun nama mereka mengabadi lantaran mereka meninggalkan
sesuatu yang tertulis. Allazî 'alama bil qalam (Dialah yang mengajarkan kamu
dengan pena).
Ada baiknya, kita bercermin
dengan para ulama kita terdahulu. Imam Ibnu Taymiyyah jumlah karangannya
mencapai 500 jilid. Ibnu Qayyim muridnya juga mengarang tak kurang dari 500
jilid. Imam Baihaqi mengarang lebih dari 1000 juz. Ibnu Jauzi menulis lebih
dari 500 buku. Imam Fakhrurazi meninggalkan karangan sebanyak 200 buku.
Karangan Abu Ubaidah Ma'mar bin al-Mustanna mencapai 200 buku. Ibnu Suraij
mencapai 400 buku. Dan masih ribuan ulama lain yang tak bisa saya sebutkan di
sini.
Ya, pekerjaan menulis adalah
upaya menuliskan nama si penulisnya di prasasti sejarah. Menulis adalah proyek
peradaban masa depan. Jika Descartes mengatakan, "Jika aku berpikir, maka
aku akan ada!" Maka di sini aku akan berkata, "Jika aku menulis, maka
aku akan tetap ada!" Ya, itulah jawabannya, mengapa aku menulis? Sebab aku
ingin abadi! Aku ingin dikenang! Tulisanlah yang akan mengabadikan si
penulisnya, kendatipun tubuhnya sudah terkubur bersama tulang belulang yang
berserak.
Jika menulis hanya diniatkan
untuk populiritas dan materi semata, maka semuanya hanya akan menjadi siksaan.
Betapa banyak penulis hebat yang bunuh diri, bukan lantaran mereka tidak
mencapai tujuannya, namun mereka lupa bahwa menjadi seorang penulis tak sekedar
menekuni dunia kepenulisan, namun di sana ada visi, cita-cita, dan idealisme
yang harus diperjuangkan. Lihatlah Ernest Hemingway, misalnya, peraih Nobel
Sastra bunuh diri di Ketchum. Idaho pada tahun 1961 dengan menembak dirinya.
Atau, Hunter S. Thompson. Dia mengakhiri hidupnya dengan menembak kepalanya
sendiri.
Ada lagi, Virginia Woolf
menenggelamkan dirinya ke sungai dengan meninggalkan sepucuk surat kepada
suaminya yang menjelaskan bahwa dia merasa akan menjadi gila dan tidak akan
sembuh. Terus, Yukio Mishima pada usianya yang baru 45 tahun membunuh dirinya
dengan merobek perutnya sendiri (Harakiri). Lalu, Yasunari Kawabata juga
melakukan hal yang sama yaitu harakiri di usia 73 tahun dan dia adalah penerima
hadiah Sastra Nobel. Masih banyak lagi daftar penulis bunuh diri. Na'udzubillah
min dzalik! Mereka tidak abadi, sebab tujuan mereka hanya sekedar tujuan
sesaat.
Tekanan batin yang lebih kecil
dikala niat sudah tidak ikhlas adalah kekecewaan. Ada banyak penulis yang
berhenti menulis, hanya lantaran kecewa naskahnya ditolak penerbit. Ada pemula
yang tidak menulis lagi hanya disebabkan kecewa tulisannya dikritik orang lain.
Tulisannya tidak dibaca atau diapresiasi. Semua bermula dari kekeroposan batin
dan niat yang belum lurus.
Saya baru menyadari betapa
dahsyatnya hadist Rasulullah Saw yang pernah diriwayatkan oleh Umar Ibnu
Khatab. Redaksi haditsnya pendek, namun maknanya luar biasa hebatnya, sehingga
dalam ilmu ushul fiqih redaksi ini menjadi landasan kewajiban dalam seluruh
ibadah yang wajib. Hadits itu berbunyi: Innâma al-'amalu bin niyyât (Segala
sesuatu harus dimulai dari niat). Indikasi niat seseorang, dapat dilihat dari
perilakunya. Karya yang kau tuliskan, ada orang yang mau membaca atau tidak,
ada orang yang memuji atau mencemooh, itu bukan urusanmu! Urusanmu adalah
menulis dan terus menulis! Oleh karena itulah, prinsip pertama yang harus ada
dalam diri seorang penulis adalah ketulusan niat. Wahai para penulis, luruskan
niatmu, menulis hanya semata-mata karena berjuang li'la kalamatilllah!
Menulis Adalah Ibadah Sosial
Dalam satu kesempatan berjalan
menelusuri kota Cairo (Jami'ah Wafa al- 'amal- Teknologi Mall, Nasr City ) pada
malam hari bersama Udo Yamin Majdi (Penulis Quranic Qoutient), saya bertanya
kepada beliau, "Udo kenapa sich antum memilih profesi sebagai
penulis?" Dengan santai beliau menjawab, "Saya ini bukan orang yang
ahli tahajud, saya ini bukan orang yang bisa berderma dengan harta, saya bukan
orang da'i yang bisa mengajak orang lain berbuat kebaikan. Saya tidak punya
sesuatu yang bisa saya berikan, kecuali saya berharap tulisan saya bisa
bermanfaat dan memberikan pencerahan bagi orang lain. Barangkali di sanalah
amal ibadah yang bisa saya lakukan." Ketika mendengar penuturan yang
sederhana, namun sarat dengan makna itu, tiba-tiba dada saja tertohok.
Hal sama yang membuat saya
terkesima adalah wasiat Mbah Neneng Mahendra kepada Udo Yamin (Direktur milis
WSC ini). Saya tidak tahu persis berapa usia Neneng Mahendra sesungguhnya. Saya
hanya bisa menduga, barangkali usia beliau lebih dari 60 tahunan. (Maaf Mbah
kalau saya salah menyebutkan, hehe..) Beliau salah satu member teraktif di
milis WSC saat ini.
Di sini saya hanya ingin
memberikan contoh betapa orang yang berusia lanjut seperti beliau masih tetap
bersemangat berkarya. Saya pernah membaca pesan yang beliau sampaikan kepada
Udo Yamin melalui surat balasan email. Mbah Neneng mengatakan bahwa beliau
mempunyai banyak naskah di koper besinya, dan suatu saat silahkan untuk
diterbitkan. Beliau pernah berniat menulis cerpen, hingga akhirnya berkembang
menjadi sebuah novel. Di sini saya sebagai anak muda merasa tersentil untuk
terus memacu semangat agar bisa mengikuti jejak langkah beliau. Dan ternyata
lagi, usia tidak membatasi seseorang untuk terus berkarya. Luar biasa!
Kembali ke cerita Udo tadi,
jawaban beliau membuat hati saya benar-benar terenyuh. Iya ya. Ya, berarti
menulis termasuk ibadah dong? Iya benar! Sejatinya ibadah tidak terbatas pada
ibadah ritual di mesjid saja. Ibadah itu luas. Pekerjaan baik apaapun yang
dilakukan semata-mata mengharapkan ridha Allah dapat kita kategorikan sebagai
ibadah. Termasuk menulis yang membawa pembacanya kepada pencerahan dan
mengingat Allah.
Saya teringat kepada perjuangan
para ulama kita dahulu. Andaikan dahulu para ulama hanya mementingkan shalat
sunat ribuan raka'at, berzikir jutaan kali, atau asyik dengan aktivitas ibadah
mereka masing-masing, tanpa mereka mau meluangkan waktunya untuk mewariskan
ilmu pada lembaran-lembaran kertas, tentunya kita akan kesulitan memahami agama
ini. Sebab jarang sekali ada orang yang mau menuliskan tafsir al-Qur'an. Jarang
sekali, ada orang yang mau mengkodifikasikan hadits. Sehingga kita tidak bisa
mengenali mana hadits yang shahih, mana yang dhaif, mana hadits yang munkar dan
mana hadits yang maudhu (palsu). Kita akan kesulitan memahami hukum-hukum
syariat, sebab tidak ada orang mau menulis tentang ilmu fiqih dan cabang
ilmu-ilmu bermanfaat lainnya.
Pantaslah di dalam al-Qur'an
Allah sendiri bersumpah dengan nama pena. Nun. Wal qalami wa ma yasturûn (Nun.
Demi yang dituliskan). Di sinilah Rasulullah memuji para penulis, yang aliran
tinta mereka ditimbang dengan nilai darah para syuhada. Seorang penulis yang
menggunakan penanya untuk berdakwah semata-mata karena Allah termasuk ibadah
sosial yang bermanfaat bagi dirinya dan bagi orang lain. Di sinilah salah satu
aplikasi dari redaksi hadits Rasulullah yang mengatakan 'amal jariyyah'; amal
senantiasa mengalir, kendatipun jasad si penulisnya telah bersatu dengan bumi.
Di sini saya ingin mengajak generasi muda –khususnya para penuntut ilmu- agar
meneruskan tradisi mengarang seperti ulama kita zaman dahulu! Jadikanlah aliran
tinta penamu sebagai pengganti pedang para syuhada yang telah mengalirkan darah
mereka demi menegakkan li'ila kalimatillah!
Goresan Pena : Miftah el-Banjary
Cairo, 28 Feb 2010
Pukul : 12. 52 AM
Wassalam
0 komentar:
Posting Komentar