A: "Aang kuliah di mana? Jurusan apa?"
Ibu: "jurusan Hukum Islam di UIN Semarang"
A: "Ooh... Anak saya mah kuliahnya di teknik semua"
B: "Nggak kuliah di STAIN aja deket, toh jurusannya juga cuma gitu, bla bla..."
B: "Alfan rangking berapa?"
Ibu: "Nggak ada rangkingnya.."
B: "Oh...bla bla bla..."
Padahal, si tante B ini belum tahu saja kalau memang sekolahnya Alfan tidak menganut sistem rangking. Dan Ibu juga malas yang mau menjelaskan.
Realita semacam ini pasti akan selalu menyeruak di musim-musim libur sekolah. Meski tak bermaksud untuk berprasangka negatif, nyatanya tak sedikit nada membandingkan dan meremehkan yang terselubung di balik basa-basi pertanyaan.
Karena kita pun tidak bisa memungkiri, bahwa mayoritas orang tua di Indonesia masih menganggap kecerdasan kognitif adalah yang utama. Dan rangking, dianggap sebagai salah satu indikatornya. Lebih lanjut, dalam tataran yang lebih tinggi, tak sedikit pula masyarakat 'awam' yang beranggapan bahwa pilihan jurusan --SMA dan kuliah-- adalah penentu kesuksesan seseorang. Jurusan IPA dengan teknik dan kedokterannya memang masih menjadi primadona yang diagungkan sekaligus menggiurkan. Sementara yang lain, --sebut saja beberapa jurusan IPS, bahasa, dan seni-- acapkali dipandang sebelah mata, atau bahkan mungkin sarat dengan pertanyaan, "Mau jadi apa?".
Tak ayal, banyak dari kita --utamanya para orang tua-- yang menuntut anak-anaknya untuk berada di jalur yang dianggap "bergengsi" tersebut. Meski terkadang harus mengabaikan bakat dan kemampuan yang dimiliki anak. Padahal, semua anak istimewa. Semua anak memiliki keunggulan di bidangnya masing-masing. Bukankah beragam penelitian juga telah menyebutkan bahwa kecerdasan ada bermacam-macam?
Jadi, jika seorang anak lemah di bidang matematika, bukan lantas dia bodoh. Hanya saja, kecerdasan dan keistimewaannya ada di bidang lain. Dan tugas orang tualah --juga guru dan masyarakat-- untuk membantu mengembangkannya. Bukan malah memaksakan kehendak agar anak bisa menjadi seperti yang diinginkan. Apalagi, hanya demi menuruti gengsi. Duh...
Menjadi orang tua sejatinya adalah proses belajar. Belajar menerima titipan Allah, belajar menjaga pertumbuhan dan perkembangannya. Serta belajar untuk menyiapkan dan mendukung pendidikan terbaik baginya. Dan proses belajar itu pun adalah proses sepanjang hayat. Tidak lantas berhenti atau saklek dengan itu-itu saja. Karena bagaimanapun, antara anak pertama, kedua, ketiga, atau seterusnya, takkan pernah sama. Selalu ada keunikan dan keistimewaan masing-masing dalam diri anak. Meski bagi mereka yang terlahir dari rahim yang sama.
Dulu, orang tua saya pun juga begitu, terlalu mengagungkan kecerdasan kognitif dan rangking. Bisa jadi saya beruntung, karena sejak kecil saya memang menyukai matematika dan ilmu alam lainnya. Prestasi saya pun selalu berada di jajaran atas, hingga tak ada alasan bagi orang tua saya untuk tidak berbangga. Berbeda dengan adik saya --yang hanya berjarak usia 1.5 tahun--, yang sejak kecil telah menunjukkan bakatnya di bidang seni. Sayangnya, bakat tersebut dianggap sebagai suatu hal 'main-main' dan tidak serius. Parahnya lagi, dengan jarak usia yang sangat dekat, menjadikan adik saya selalu dituntut untuk menjadi bayang-bayang saya. Dituntut untuk memiliki kemampuan yang sama, dan prestasi yang setara. Tidak hanya dari orang tua, tapi juga dari guru-guru di sekolah kami. Adik saya itu bahkan harus mengalami tekanan tersebut hingga di jenjang SMP. Bisa dibayangkan bagaimana tersiksanya anak-anak seperti adik saya. Yang harus menjalani hari-hari dengan menjadi orang lain, dan mengabaikan apa yang menjadi minatnya.
Meski tidak seberat tekanan yang dialami adik saya, saya pun mengalami tekanan dalam tataran yang berbeda. Saya memang menyukai matematika dan ilmu alam, namun sikap selalu dibanggakan menjadikan saya tertekan. Saya seolah dituntut untuk selalu menduduki posisi 1 atau 2, bisa masuk kelas unggulan, hingga dituntut untuk bisa memenuhi harapan orang tua untuk bisa menjadi dokter.
Jika adik saya diatur untuk senantiasa belajar dan tidak menggambar atau aktivitas seni lainnya. Maka saya diatur untuk membatasi kebiasaan membaca saya. Ya, kala itu orang tua saya melarang saya untuk membaca buku-buku sastra. Menurut mereka, buku-buku itu tidak berguna, dan lebih baik saya membaca buku-buku pelajaran atau buku-buku agama yang banyak tersedia di rumah. Jadi, jika adik saya harus sembunyi-sembunyi ketika menggambar, saya pun hanya bisa memuaskan hasrat membaca karya sastra ketika saya berkunjung ke rumah kakek di akhir pekan. Di sanalah saya bebas membaca koleksi buku cerita dan sastra koleksi kakek saya yang notabenenya adalah mantan kepala sekolah dan pegiat literasi.
Adik saya bisa bebas melangkah di jalannya sejak dia memutuskan untuk tidak lagi berada satu sekolah dengan saya. Dia memilih menamatkan SMA-nya di pondok pesantren terbaik di Madura. Dan dari sanalah dia bisa berkembang hingga saat ini bisa menjadi calon hafidz dan sarjana Alquran.
Sementara saya, baru bisa menjadi diri saya sendiri setelah memasuki dunia kuliah. Saat di mana Allah memilihkan tempat terbaik, meski sangat jauh melenceng dari dunia saya sebelumnya. Meski banyak cemooh dan nyinyiran yang saya dapatkan kala itu --krn memilih jurusan tersebut-- nyatanya saya bisa bertahan dan berkembang di dalamnya. Toh mereka hanya bisa berkomentar, yang menjalani dan bertanggung jawab kan tetap saya.
Sejak saat itu, sejak saya mulai bisa melejit dengan dunia kepenulisan saya di kampus, dan sejak adik saya juga betah dan berkembang di jalannya sendiri, orang tua saya mulai berbenah untuk mengubah mindset. Bahwa apa-apa yang diyakini masyarakat umum sebagai sesuatu yang terbaik, belum tentu terbaik untuk semua orang. Semua orang, semua anak berhak untuk mengukir kisah perjalanannya sendiri. Orang tua hanya bertugas untuk mengarahkan, membimbing dan memfasilitasi.
Kini, Aang bebas untuk memilih tempat untuk mengembangkan dirinya. Bebas untuk membaca buku apa yang disukainya, dan bebas untuk memilih minat dan jurusan yang diinginkannya. Tentunya, tanpa mengabaikan rambu-rambu dan pengawasan orang tua, serta rasa tanggung jawab yang harus tertanam dalam dirinya.
Dan Alfan, menjelang usia 10 tahun --kelas 4-- ini, bakat-bakat dan minatnya mulai terlihat. Tinggal bagaimana nantinya dipilihkan tempat dan sarana terbaik untuk mengembangkannya.
Ya, dengan mengenali bakat, minat, dan potensi anak sejak dini, kewajiban orang tua untuk mengawal dan mendidik anak bisa dijalankan dengan baik. Anak bisa menemukan jati dirinya sedini dan sebaik mungkin.
Tak perlu risau dengan cemooh atau ejekan orang karena anak kita memilih jalur yang berbeda dengan orang kebanyakan. Yang terpenting bagaimana kita mendidik dan mengembangkannya. Hingga kelak potensi tersebut bisa bermanfaat bagi anak dan juga bagi kemaslahatan umat.
Ya, di atas segalanya, ada Allah pengatur segala kehidupan. Asal anak telah berbekal keimanan, ketakwaan, dan kedekatan dengan Sang Pencipta, bukankah tidak ada yang perlu dirisaukan lagi?
0 komentar:
Posting Komentar