Tak ada yang pasti dalam kehidupan ini bukan?
Ya, karena kita tidak pernah bisa merencanakan atau mengatur bagaimana kehidupan kita akan berjalan. Kita memang
bisa berencana, tapi kita juga harus ingat bahwa ada Maha perencana diatas
sana. Pemberi skenario terbaik atas hidup setiap umatnya. Seringkali kita
mungkin akan dihadapkan pada suatu kondisi yang tak pernah kita bayangkan
sebelumnya. Atau jauh dari apa yang kita harapkan. Sedih, kecewa, pasti ada
bukan? Yah, inilah hidup. Kadang kita berada diatas dengan penuh canda tawa,
tapi sedetik kemudian bisa jadi kita tengah terpuruk dengan tangis yang tak
kunjung henti. Terlalu meratapi apa yang telah menjadi kehendak-Nya rasanya
juga bukan hal yang baik untuk dilakukan. Bukankah janji Allah itu pasti. Bahwa
ada kemudahan selepas kesulitan, ada kebahagiaan setelah kesedihan. Lalu,
mengapa kita harus khawatir dan meratap berlebihan?
Yang harus
kita lakukan adalah memahami dan menerima dengan hati
bahwa apa yang kita inginkan tak bisa selalu menjadi kenyataan. Ada kekuatan yang Maha,
yang menentukan ujung semua jalan. Ada pelajaran-pelajaran yang ingin Ia
sampaikan dengan cara-Nya sendiri.
Beberapa hari
yang lalu, aku mendapat kabar bahwa aku lolos seleksi pembinaan kepenulisan
yang diadakan oleh sebuah penerbit di jogja. Bisa ditebak bagaimana rasa
bahagia itu menyelimutiku. Sangat. Aku sangat bahagia. Seolah mimpi itu tinggal
selangkah lagi. Kau tahu? Aku memimpikannya sudah sejak beberapa tahun yang
lalu. Memimpikan bagaimana rasanya tulisanku bisa dibaca oleh banyak orang dan
syukur jika bisa menginspirasi dan bermanfaat. Sama halnya seperti diriku, semua orang ketika masih muda pasti tahu apa mimpi mereka. Pada titik itu segalanya seolah terlihat jelas, segalanya mungkin. Mereka
tidak takut bermimpi, mendambakan segala yang mereka inginkan terwujud dalam
hidup. Tetapi dengan berlalunya waktu, ada daya misterius yang mulai meyakinkan
mereka bahwa mustahil mereka bisa mewujudkan mimpi itu. Daya ini adalah
kekuatan yang kelihatannya negatif, tapi sebenarnya menunjukkan pada kita cara
mewujudkan takdir kita. Daya ini mempersiapkan jiwa dan menguji kesungguhan
keinginan kita, sebab ada suatu kebenaran mahabesar dalam dunia ini, siapapun
dirimu, apapun yang kamu lakukan, jika engkau bersungguh sungguh menginginkan
sesuatu, itu karena hasrat tersebut bersumber dari jiwa jagat raya. Itulah
misimu di dunia ini. Seperti yang pernah dikatakan oleh Paulo Coelho bahwa salah satu kewajiban sejati manusia adalah
mewujudkan takdir/mimpinya. Dan kini, mimpi itu seolah benar-benar telah
menemukan jalannya.
Selang beberapa hari kemudian, lagi-lagi aku mendapat kabar terkait
masa depan. Aku gagal dalam seleksi pegawai negeri sipil. Rasanya memang tidak
sepedih tahun lalu. Entahlah.. apa karena aku sudah terlebih dahulu memantapkan
hati memperjuangkan mimpiku untuk menjadi penulis dan akademisi? Atau karena di
tahun ini prosesnya tidak dilalui dengan luka seperti halnya tahun lalu. Aih,
sudahlah. Tak perlu rasanya membuka luka lama. Dari pengalaman tahun lalu, aku
belajar bahwa pasti selalu ada orang yang akan mencintaimu. Selalu ada pula orang yang membenci dan bahkan mungkin ingin membunuhmu. Tetapi
apapun itu adalah segala hal yang akan membuatmu lebih
kuat.
Yang jelas, aku merasa saat ini aku lebih tegar menghadapi kegagalan
dibandingkan dengan aku tahun lalu. Tidak seperti tahun lalu yang disertai
dengan kesedihan yang mendalam, saat ini yang terlintas dalam benakku “ah,
mungkin memang bukan jalanku. Pasti ada yang lebih baik.” Tidak, aku tidak
sedang menghibur diri atas kegagalan ini. Itulah yang kurasa saat itu. Walau
mungkin, dimata orang lain posisiku terlihat sangat disayangkan. Bagaimana
tidak? Hanya selisih 10 poin atau dua soal, selain itu diantara 3 orang dari
teman seangkatanku yang ikut di instansi yang sama, hanya aku yang gagal. Alhasil,
beberapa teman terdekat berupaya menghibur dan menyemangatiku. Walau telah
berulang kali aku katakan bahwa aku baik-baik saja. Aku turut berbahagia
sahabatku lolos dalam seleksi PNS tahun ini. Doaku selalu teriring
untuknya.
Aku
percaya, Tuhan telah menyiapkan jalan yang mesti dilalui masing masing orang,
dan itu tak harus sama. Kita hanya harus membaca pertanda-pertanda yang
ditinggalkan-Nya. Termasuk juga dari pencapaian-pencapaian kecil atau dari
kegagalan yang acapkali terjadi. Mungkin, aku digagalkan saat ini agar aku
lebih fokus untuk mengejar mimpiku, mengasah kemampuan menulisku, dan
menuntaskan studi S2 ku. Yang jelas tidak akan bisa kulakukan ketika aku
berhasil dalam tes ini bukan?
Ya, memang tak ada yang tahu apa
yang akan terjadi esok hari. Tapi, aku percaya, sangat percaya bahwa di depan
sana Allah telah menyiapkan sesuatu yang indah untukku. Walau aku juga tahu
untuk mencapai puncak itu juga bukan suatu hal yang mudah. Akan ada berbagai
jalan menanjak dan ranting besar yang harus dilewati. Dan pasti hanya tersedia
dua pilihan. Memilih berhenti dan membalikkan badan untuk kembali atau
terus memaksakan diri agar tetap melangkahkan kaki. Ketika aku memilih untuk
terus berjalan, aku yakin perlahan puncak itu pasti terlihat di hadapanku. Satu
hal yang harus aku pegang, bahwa kerja keras tidak akan pernah menghianati.
Maka, hanya soal waktu, dan mimpi itu akan menjadi nyata.
Setelah berusaha keras meyakinkan diri bahwa segala sesuatu yang
terjadi padaku merupakan bagian dari skenario terbaik Tuhan. Aku kembali harus
belajar merelakan hati ini untuk diproses menjadi dewasa. Bedanya, kali
menyangkut urusan hati, perasaan. Mungkin, di hadapan orang lain aku bisa
berbohong, bersikap seolah semuanya baik-baik saja. Ya, bukankah dalam setiap diri kita memiliki ironi
dalam diri masing-masing; mungkin juga paradoks, kemunafikan, atau ambiguitas. Sesuatu yang berusaha kita sembunyikan dari
siapapun, sesuatu yang sebenarnya kita sayangi, kita harapkan, atau
sesuatu yang terlampau menyakitkan tetapi kita katakan
sebaliknya di hadapan orang lain. Aku melakukannya. Tapi, sekuat apapun aku
berusaha melakukannya, justru itu semakin menyakitkan.
Dalam hening, aku coba meyakinkan diriku. Apa
mungkin ini bentuk teguran dari Tuhan? Atas cinta dan kebesaran-Nya. Ketika aku
telah meyakini bahwa Cinta yang hakiki adalah cinta karena-Nya, dan ketika aku
telah mencoba mencintai seseorang karena-Nya, maka aku pun harus ikhlas
meninggalkan cinta ini semata-mata karena-Nya. Mungkin, Allah hendak
mengingatkanku bahwa cinta yang suci itu tak pernah tersentuh oleh “cinta”
sebelum cinta itu menjadi kehalalan bagi penikmatnya. Saat ini, aku sangat
ingin menjadi seperti dirinya, yang tak sedikitpun tenggelam dalam rasa, dan
dengan santainya bisa mengatakan bahwa sekarang belumlah saatnya. Ya,
seandainya aku juga bisa seperti itu.
Untuk
kesekian kalinya, aku harus menguatkan diriku. Merelakan semuanya, dan berusaha
ikhlas atas segala sesuatu yang terjadi. Aku tahu, aku tidak memiliki hati
sekokoh batu karang. Tapi aku akan selalu berusaha untuk menjadi pribadi dengan
hati yang kuat. Termasuk hati yang kuat untuk bersabar. Bukankah hidup selalu
mengajarkan kita untuk selalu bersabar. Bersabar dalam setiap proses, baik itu
proses dalam meraih mimpi ataupun cinta. Ya, seperti kata Tere Liye bahwa cinta
itu adalah bersabar, bukan tergesa-gesa. Bersabar menunggu waktu terbaiknya. Bersabar
menunggu orang paling tepat. Bersabar dengan cara yang paling mulia dan Bersabar
atas setiap skenario yang terjadi.
0 komentar:
Posting Komentar