Minggu, 29 Maret 2015

(Resensi Koala Kumal) Cinta Tahu Kemana Harus Pulang



Judul               : Koala Kumal
Penulis             : Raditya Dika
Penerbit           : Gagas Media
Cetakan           : 1, Desember 2014
Tebal               : 250 Halaman
ISBN               : 979-780-769-X

 “Dalam rekam jejak hidupku kau tak akan pernah hilang. Namun, bukan padamulah kini dapat kutemukan kata pulang.”
Siapa yang tidak pernah merasakan indahnya jatuh cinta dan pahitnya patah hati? Hampir semua orang pasti pernah mengalami keduanya. Raditya Dika, melalui novel terbarunya, Koala Kumal mengajak pembacanya berbicara tentang hubungan yang “patah”. Mulai dari patah hati terhadap persahabatan, sikap yang tanpa sadar telah membuat orang lain patah hati, patah hati pada orang yang bahkan belum kita kenal, perasaan yang berubah terhadap orang yang sama, hubungan orang tua dan anak, hingga patah hati terhebat yang mengubah cara pandang terhadap cinta.

Masih mengusung genre yang sama, dalam Koala Kumal penulis tetap menyajikan sesuatu yang berpijak pada pengalaman-pengalaman pribadi, yang kemudian ia tuangkan dalam sesuatu yang ia sebut dengan “komedi pakai hati”. Di setiap lembarnya, pembaca tidak saja dibuat tersenyum dan bahkan tertawa lebar, namun juga diajak tuk merenung dan berfikir. Karena di bagian akhir setiap babnya, penulis selalu memberikan penutup yang mencerahkan.

Membaca buku ini pembaca diajak untuk belajar dari hal-hal pahit yang sering dialami. Bahwa terkadang, memang akan ada saat dimana kita memberikan hati pada orang yang salah. Namun, orang-orang yang menghargai hiduplah yang akan cepat move on  dan kembali melanjutkan kehidupannya.  “Kalau gak patah hati, gak belajar kali Ma,” begitulah kata Raditya Dika.

“Setiap orang pasti akan mengalami patah hati
yang mengubah cara pandangnya dia terhadap cinta seumur hidupnya.
Cara dia ngelihat cinta akan berbeda semenjak patah hati itu.” (Hal. 207)

Mengenang kembali rasa yang pernah ada, dan tentang kenyamanan yang telah punah ditelan masa, memang tidak pernah mudah. Seperti melakoni napak tilas langkah yang hanya menyisakan luka yang dalam. Tapi, melalui buku ini penulis seolah ingin menunjukkan bahwa mencintai selalu sepaket dengan keikhlasan melepaskan selama yang dicintai mendapatkan kebahagiaan. Ya, hidup harus terus berjalan. Patah hati dan segala kekecewaan yang mengiringinya, seharusnya menjadikan seseorang menjadi lebih kuat dan lebih dewasa.
“Perlu berapa kali diselingkuhi agar kita kuat menghadapi patah hati?” (Hal. 68)

Perpisahan, apapun bentuknya memang selalu menyisakan duka. Dan seringnya, menjadikan seseorang limbung, seperti tercerabut dari akarnya. Selalu butuh waktu untuk kembali tegak berdiri. Merelakan hal yang telah hilang memang terdengar simple. Tapi hanya orang bodohlah yang akan mengabaikan hal yang dimilikinya untuk sesuatu yang telah hilang darinya. Sakit dan sembuh mempunyai waktunya sendiri, kita hanya perlu tahu cara merawat luka. Mengolah kegalauan dan mengambil pelajaran darinya.

“Dan aku yang sekarang, enggak mau dengan kamu yang sekarang.” (Hal 246)

Urusan cinta juga bukan tentang menang dan kalah. Tak pernah ada giliran untuk saling menyakiti. Karena sejatinya, Cinta adalah perjuangan mempertahankan kenyamanan. Sedangkan kenyamanan, sama halnya seperti siklus kehidupan yang perlahan bisa tergantikan. Sesuatu yang dulu kita anggap sebagai rumah, tempat untuk melunasi rindu dan menyemai bahagia, kini semuanya tidak lagi seperti dulu. Sesuatu yang dulu kita akrabi, sekarang tidak lagi kita kenali. Semuanya telah berubah, semuanya telah berbeda.

Secara keseluruhan, Koala Kumal memang masih berkutat pada cerita-cerita masa kecil Raditya Dika yang kikuk dan tak mempunyai banyak teman. Begitu juga dengan tingkah laku keluarganya yang absurd, serta beberapa kisah kehidupannya bersama wanita-wanita yang pernah singgah di hatinya. Buku ini pun juga masih dilengkapi dengan bab penuh tips-tips komikal, yang diselipkan di sela-sela cerita. Hanya saja, humor-humor yang penulis sajikan, kini ditulis dengan narasi yang lebih reflektif dan kontemplatif. Bab-bab seperti “Perempuan Tanpa Nama”, “Patah Hati Terhebat”, serta “Koala Kumal”, adalah contoh bab dalam Koala Kumal yang ditulis dengan gaya seperti ini.

Secara konten, yang membedakan novel ini dibandingkan novel-novel terdahulunya adalah peletakan bab yang ditata secara lebih cermat. Jika dalam Marmut Merah Jambu atau Manusia Setengah Salmon, pembaca mampu dengan mudah menangkap apa yang ingin disampaikan penulis, tanpa perlu membaca bukunya secara tuntas. Dalam Koala Kumal, di sepanjang dua belas bab buku ini, pembaca dibuat sedikit bingung untuk menarik kesimpulan. Baru di bab terakhirlah terlihat dengan jelas apa sebenarnya yang hendak disampaikan oleh penulis, dan mengapa Koala yang dipakai sebagai judul buku.

Selebihnya, novel ini memang mampu menguatkan Raditya Dika sebagai penulis personal literature yang mampu memadukan kisah-kisah hidupnya, mengikatnya dalam sebuah premis yang kuat, dan tanpa melupakan unsur komedi yang menjadi genre literasi pilihannya. 

4 komentar:

  1. Suka nih sama buku ini, banyak kata-kata yang bagus juga 😊

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iy..
      Dr beberapa buku radit, ini yg paling kusuka..☺

      Hapus
    2. Iy..
      Dr beberapa buku radit, ini yg paling kusuka..☺

      Hapus
    3. Iy..
      Dr beberapa buku radit, ini yg paling kusuka..☺

      Hapus