Rabu, 16 April 2014

Sebuah Penemuan, Oleh Waktu…



Saat semua tak sama, kadang aku terjatuh di dasar rasa. Hati lemahku begitu memancar. Namun dalam hati aku juga bertanya apa iya ketika semuanya sama, akankah menjadi indah dan seperti yang ku bayangkan? Belum tentu, bahkan mungkin, Tidak!

Bukankah semua orang memiliki jalannya masing-masing? dan ini jalanku. Jalan yang dipilihkan tuhan untukku.  

Barangkali aku terlalu terjebak dalam ketakutanku sendiri. Ketakutan akan masa depan. Ah, bukannya semua yang tidak terlihat selalu bisa menimbulkan rasa takut? Apalagi misteri masa depan. Yang tidak satu pun orang tahu atau setidaknya sedikit memberikan rasa ketenangan untuk menghadapinya.  Masa muda memang masa dalam kecemasan yang memprihatinkan.

Dan itu benar. Masa ini merupakan masa pergulatan antara mimpi, hati nurani, dan tuntutan orang lain. Memilih menuruti hati nurani, kata egoisme bisa jadi akan menempel dalam diri. Sedangkan jika pilihan itu kita jatuhkan pada tuntutan di luar diri, kita tak lebih dari seorang yang tidak memiliki arah yang jelas. Melangkah setengah hati. 

Aku pun pernah mengalaminya. Terkadang, aku juga bingung dengan diriku sendiri. Apa sebenarnya yang aku mau dan aku inginkan?

Cita-cita? Kau bertanya apa cita-citaku? Aih, menanggapi pertanyaan seperti ini, seolah jawabannya sudah bisa ditebak. Bagaimana tidak, hampir semua anak saat ditanya apa cita-cita mereka, jawaban paling populer adalah dokter dan guru, setidaknya bagi anak perempuan di zamanku dulu.
Dokter. Ya dokter. Bagi orien kecil ibarat bintang yang harus ia gapai. Yang nantinya bisa menerangi banyak orang dengan cahayanya. Harapan itu terus ia pegang hingga masa remaja mulai menapak. Beruntung, Tuhan juga menganugrahinya dengan otak yang memang sudah terbiasa bermain dengan angka-angka. Dunia eksak seolah memang benar-benar dunianya. 

Bisa menempuh masa putih abu-abu di kelas unggulan seolah membuka jalan itu semakin lebar. Tapi, apa yang terjadi kemudian tidak selamanya sama seperti yang manusia rencanakan. Ada kuasa Sang perencana kehidupan disana.

 Hatiku mulai goyah. Aku seolah tersadar bahwa ada dunia lain yang lebih kuminati. Di dunia itu, aku bisa menuai selaksa makna dalam nyata coretan pena. Aku mencintai dunia sastra, dan dunia tulis menulis pada umumnya.

Aku yakin jalan ini adalah jalan yang akan membawaku ke tempat yang ku inginkan. Menjadi bintang yang mampu menerangi dan memberikan cahayanya bagi semesta. Aku pun sudah tak peduli lagi akan apa yang mungkin ada di hadapanku nantinya. Yang terpenting aku jalani dan aku telusuri jalan lurus yang ada di hadapanku.

Aku pun mulai berjalan melangkahkan kakiku perlahan demi perlahan. Tapi aku merasa langkah kakiku ini begitu berat. Tapi aku terus berusaha untuk terus menelusuri jalan ini.  Aku mulai menulis, mengirimkannya di majalah sekolah, hingga menjadi redaksi majalah sekolah. Aku lebih menikmati waktuku bersama deretan kata-kata dibandingkan dengan harus bermain dengan angka-angka. aku mulai dihinggapi rasa malas, padahal ini adalah dunia yang telah membesarkanku hingga kini.
Ah, entahlah.

Yang jelas, satu hal yang sangat kusadari waktu itu. Minat sangat berpengaruh terhadap prestasi. Sekeras apapun aku bertahan di dunia eksak, tapi minatku sudah tidak lagi bersemayam di sana. Semuanya menjadi percuma, sia-sia.  Prestasiku stagnan, bahkan cenderung menurun.
Bingung, pasti! Seperti berada di persimpangan jalan, dan aku harus memilih jalan mana yang akan kulewati. Haruskah aku memilih jalan yang dipilih hatiku? Tapi, aku juga tak kuasa mengecewakan harapan keluargaku yang selama ini berharap aku bisa menjadi dokter. 

Dan kau tahu apa yang kemudian terjadi?
Aku memang menuruti keinginan orang tua untuk mengikuti tes masuk fakultas kedokteran. Aku tak kuasa untuk menolak, ya.. aku tidak ingin mengecewakan harapan mereka. Dengan bekal doa orang tua yang senantiasa mengalir, berangkatlah aku bersama keenam temanku ke kota Yogyakarta. Kita mengikuti UM-UGM. Banyak harapan kita gantungkan di kota itu. Namun sayang, tidak ada satupun diantara kita yang berhasil menjemput mimpinya di kota pendidikan itu. 

Tuhan pasti telah mengatur rencana lain. Dan aku yakin dengan hal itu.
Mungkin beberapa orang akan bertanya, kenapa kok gak masuk ITS aja? Anak SMAN 3 apalagi yang unggulan kan banyak yang disana?

Alasan yang pertama, karena aku sudah merasa aku tidak bisa lagi bertahan di dunia eksak. Memang, dulu aku sangat menyukai matematika, kimia, dan fisika. Tapi, seiring berjalannya waktu, berkurangnya minat, berkuranglah pula kemampuanku di bidang itu. Jadi, tidak..tidak, terima kasih.
Alasan yang kedua, yang mungkin jika tidak ada alasan ini, bisa jadi alasan pertama tidak pernah diperhitungkan. Ayahku tidak ingin putri satu-satunya berkecimpung di dunia teknik. Kesannya patriarki banget yaa.. tapi menurutku sah-sah aja. Bagi beliau, pekerjaan yang paling ideal bagi seorang wanita adalah guru atau tenaga kesehatan. dan otomatis, gugurlah pilihan untuk masuk di teknik.

Kodratku sebagai anak IPA seolah menuntutku untuk tetap menjadikan jurusan-jurusan eksak sebagai prioritas. Waktu itu aku masih merasa kalaupun aku harus keluar dari dunia eksak, aku harus kemana? Haruskah aku terjun di dunia IPS? Atau bahasa? Sastra?
Entahlah.. yang jelas waktu itu aku bertekad dimanapun aku nantinya, minat itu kan tetap ku pelihara.yaa.. kau benar, waktu itu aku masih terlalu takut untuk mengambil keputusan.

SNMPTN pun tiba. LBB tempatku mempersiapkan ujian masuk universitas ini mewajibkan anak didiknya untuk mengambil IPC. Padahal, hampir semua pesertanya berasal dari sekolah-sekolah unggulan di Madura, dan mayoritas adalah anak IPA. Dan lagi-lagi, saya bingung menentukan pilihan jurusan selain jurusan ipa. Lalu, berbekal pedoman buku SNMPTN 2009, ibuku menyarankan untuk memilih “Sosiologi”.
Kenapa harus sosiologi? Kenapa tidak ekonomi yang setidaknya masih berhubungan dengan angka? Ketika ku tanya, ibu pun tidak tahu pasti alasannya. Beliau hanya menjawab “kok kayaknya gampang gitu pelajarannya” 

Kau tentu bisa menebak jalan cerita selanjutnya. Ya.. aku masuk di jurusan Sosiologi. Jangan kau Tanya gimana rasanya terdampar, tersesat, atau salah alamat, karena aku tahu dengan jelas susahnya beradaptasi di dunia yang sebelumnya tidak pernah aku bayangkan.
Jika kau mau, kau bisa bayangkan gimana rasanya menjadi diriku. Dengan segala basic keunggulan di dunia eksak sedari kecil, dengan rutinitas penggemblengan di kelas unggulan IPA1, dan pergaulan yang selama ini hanya berkutat dengan anak-anak dari golongan tertinggi di dunia eksak, sekarang harus berada di ranah anak social. Serasa berubah 180 derajat. Aku tidak hanya masuk ke dunia social, tapi terjerembab sedalam-dalamnya ke jurusan yang paling social. Sungguh, dunia yang benar-benar baru.

“Allah memilihkan tempat untukmu, bukan karena kebetulan, pasti ada sesuatu di depan sana..” begitu pesan ayahku di malam pengumuman SNMPTN. “jalanilah.. mungkin memang jalannya” lanjutnya.

Penerimaan yang ikhlas dari kedua orang tuaku, bukan berarti jalan menjadi benar-benar lapang. Ada banyak cibiran dan ejekan yang tertuju padaku. Bahkan tidak jarang suara itu juga datang dari orang di lingkaran terdekat. “unggulan kok masuk sosiologi? Unesa lagi.” Atau “mau jadi apa itu?” “ya iya keterima di snmptn, jurusan yang ecek-ecek kan gampang masuknya. Tapi belum jelas juga nantinya jadi apa?” atau yang lebih halus “owh.. sosiologi yaa, tak pikir psikologi”

Belum lagi di kalangan teman-teman unggulan lain dengan jurusan dan universitas terkenal masing-masing. Minder, pasti. Bukan.. bukan karena masuk di jurusan IPS. Karena nyatanya tidak sedikit temanku yang beralih jalur ke dunia itu. Hanya saja, jurusan ini memang dianggap sebelah mata, cenderung membosankan, gak jelas, hanya teori, dan seolah gak banget dech buat anak unggulan IPA di SMA ku. Gak seperti ekonomi, manajemen, atau akutansi. Belum lagi, universitas tempat ku bernaung, meskipun negeri tapi universitas ini tidak se-populer Unair, ITS, ataupun UGM. Alhasil, minder sangat sangat… terutama ketika reuni tahunan, atau reuni unggulan antar angkatan.

Oh tuhan… aku benar-benar butuh kekuatan untuk berdiri tegak.
Kau bertanya kenapa aku tidak mencoba tes-tes penerimaan lain, dengan jurusan dan universitas yang lebih bonafit? Memang masih banyak kesempatan terbuka untukku setelah SNMPTN. Tapi, entahlah.. aku sudah tidak minat lagi mengikuti serangkaian tes. Seolah pasrah dan menerima jalan yang diberikan tuhan.

“sekolah itu bukan untuk pamer-pameran, jurusan mana yang bonafit, atau universitas yang terkenal, yang terpenting itu niat mencari ilmunya. Tugasmu mencari ilmu setinggi-tingginya, ibadah sedekat-dekatnya dengan allah. Jadi apa nantinya? Allah yang bertugas menata masa depanmu..” nasehat ibu seolah menjadi oase di tengah keringnya kepercayaan diriku menjalani hari. 

Sejak saat itu aku mulai bangkit. aku benar-benar merasakan arti kasih sayang orang tua. Bukan.. bukan berarti selama ini orang tua ku tidak menyayangiku. Hanya saja, saat itu aku benar-benar merasa mengecewakan mereka. Selama ini aku selalu bisa mempersembahkan yang terbaik. Mulai dari SD, Madrasah, SMP, Prestasiku selalu gemilang. Hingga SMA pun aku berhasil masuk di Kelas unggulan dengan segala fasilitas dan beasiswanya. Dan saat itu, aku menggugurkan harapan terbesar mereka. Menjadi dokter. Tapi, apa yang mereka lakukan? Tetap mendukungku. Meyakinkanku bahwa ini semua yang terbaik, dan aku masih bisa untuk menjadi yang terbaik.  

Hari demi hari aku lalui. Jujur, aspek yang paling sulit bagiku untuk beradaptasi adalah pergaulan. Semua orang pun sudah mengakui bahwa anak IPA dan IPS itu memang benar-benar berbeda. Kesan negative, membatasi pergaulan, sudah pasti pernah dilakukan oleh orang awam sepertiku. Maafkan aku teman-teman… ada beberapa kesan negative yang sempat bersarang di kepalaku, dulu.. tapi, sekarang semua itu sudah terhapus dengan rasa solidaritas, kecintaan akan keilmuan dan kemanusiaan yang kalian ajarkan.

Dan, rasa pasrah itu perlahan berubah jadi rasa syukur. Terima kasih tuhan, telah memilihkan tempat untukku belajar. 

Dunia tempat dimana aku belajar membuka mata, hati, dan hari bersama semua golongan. Mulai dari golongan yang selama ini dianggap golongan menengah atas dan berpendidikan, hingga golongan yang seringkali termarginalkan oleh struktur yang berkuasa, serta golongan yang acapkali dianggap sampah dan dijauhi oleh masyarakat pada umumnya. Mereka semua mengajarkanku bagaimana melihat dunia, melihat Indonesia, yang tidak hanya bisa dilihat dari hasil pendataan angka-angka.

Disana, aku juga menemukan sesuatu. Passion.
Sejak semester awal, aku sudah leluasa mengembangkan minatku di dunia tulis menulis. Mulai dari SSC, PKM dan LKTM, FLP Surabaya, redaksi tabloid kampus, hingga redaksi jurnal Paradigma. Tuntutan tugas-tugas mata kuliah yang mayoritas berbasis riset juga berpengaruh terhadap minat menulisku. Ditambah lagi dengan kesempatan mengikuti beberapa proyek penelitian dosen semakin membuatku yakin bahwa dunia ini sangat mengasyikkan. Dunia dimana kita tidak hanya menggali ilmu, tapi juga menebar ilmu dan pengetahuan melalui pena.

Kini, aku menemukan jawabannya. Benang merah dari episode kehidupan ini.
Terkadang, ada pertanyaan dalam hidup yang jawabannya tidak bisa ditemukan saat itu juga. Jawaban yang baru bisa ditemukan saat jiwa terus melangkah. Sebuah penemuan, oleh waktu..
Jika dulu aku sempat iri dengan teman-teman yang bisa kuliah di Unair, UGM, UB, dan UI. Sekarang… aku masih iri dengan temanku yang mendapat beasiswa S2 di luar negeri. Pengeennn…
Aku tahu, jalan hidupku masih panjang…. Dan aku yakin aku juga bisa... sepanjang aku tidak pernah berhenti percaya akan masa depanku yang penuh dengan kesempatan…:)

0 komentar:

Posting Komentar