Rabu, 11 November 2015

Hagia Sophia, Senja, dan Cinta yang Setia



 
 
“Perbedaan antara keteguhan hati dengan keras kepala hanyalah terletak pada kemauan dan ketidakmauan.”

Cerita pendek dalam kumpulan cerpen (kumcer) “Hujan Pertama Untuk Aysila” ini, sebagai salah satu genre sastra, hakikatnya dikelompokkan dalam kategori sastra interpretif  (Interpretive Literature). Yakni genre sastra yang sering dikonotasikan dengan sastra serius, sastra yang untuk ditafsirkan dan direnungkan.

Dalam perspektif sosiologi sastra, cerpen tidak dipandang dari estetikanya, melainkan lebih pada sastra sebagai produk budaya. Karena itu, kumcer ini dapat diposisikan dalam dua dimensi tulisan atau karya budaya (cultural writings) entah itu produk budaya atau pembentuk budaya. Karya ini sebagai produk budaya yang telah dihasilkan oleh penulisnya, namun juga merupakan entitas pembentuk (pengonstruksi) budaya bagi pembacanya, mengingat proses pembacaan adalah juga proses kreatif untuk merespon dan mereproduksi budaya yang baru –entah dalam tingkat idea, aksi, maupun produk budaya berikutnya.

Setelah membaca 12 cerpen yang ada dalam kumcer berjudul “Hujan pertama untuk Aysila” ini, dapat ditarik benang merah bahwa tema besar karya ini adalah tentang keteguhan hati. Ada beberapa kluster “keteguhan hati” disini, yakni tentang keteguhan akan pilihan hati dalam cinta, keyakinan, pola pikir, dan keputusan serta dalam pengabdian yang tentu diyakini sebagai suatu kebenaran. Meski nyatanya, kebenaran pun memiliki banyak sisi, sebanyak orang yang memaknainya.

Ada sembilan buah cerpen yang menggelitik pembaca dengan isu cinta, kesetiaan, dan masalah hati yang pantas untuk dijadikan cermin.  Dalam cerpen “Hujan Pertama Untuk Aysila”, “Kue Tart Yang Setia Dijaganya”, dan “Cerita Kesetiaan Gadis Berponi Curly”, terlihat bahwa cerpen-cerpen ini berusaha mengajak pembaca untuk mengerti bahwa mencintai selalu sepaket dengan keikhlasan melepaskan selama yang dicintainya mendapatkan kebahagiaan. Tapi, layaknya manusia yang mencinta, tak berdosa rasanya jika harapan tuk mendapatkan cinta dengan porsi yang sama masih tetap tumbuh di tengah kenyataan yang memang terasa menyesakkan. Karena itulah, dalam cinta selalu ada pilihan untuk “menunggu”. Menunggu atau menanti dalam kesetiaan adalah juga perkara melebarkan kesabaran. Namun, juga tak ada alasan untuk percaya bah'wa penantian itu akan sia-sia.

Seperti Aysila, “Ia hidup hanya untuk setia”. Ya, kesetiaan. Gadis-gadis yang selalu bersedia menunggu dengan setia, para lelaki mereka. Meski terkadang, ada risau akan kesetiaan yang sama dari para lelaki, gadis-gadis itu tetap menjadi bagian dari betapa berharganya arti kesetiaan. “Adakah yang lebih berharga dalam hidup seorang gadis kecuali kesetiaan?”.

“Hagia Sophia, senja, dan cinta yang setia” seolah ingin menunjukkan bahwa kesetiaan masih menjadi bagian dari hidup Aysila, bahkan di usianya yang telah senja. Cerpen yang berjudul “Ku Tunggu Kamu Di Hagia Sophia”, mengajak pembaca untuk mengerti bahwa Cinta tak pernah datang dengan kepastian. Setiap hubungan pun pasti punya dua kemungkinan, antara berhasil atau justru nihil. Menunggu pun demikian. Selalu berada diantara dia yang datang untuk pergi, dan dia yang pergi untuk kembali.

Perpisahan, apapun bentuknya memang selalu menyisakan duka. Dan seringnya, menjadikan seseorang limbung, seperti tercerabut dari akarnya. Selalu butuh waktu untuk kembali tegak berdiri. “Menangkap Nawang Wulan” dan “Lelaki Yang Penuh Kenangan” kurang lebih ingin berbicara tentang hal itu. Urusan cinta juga bukan tentang menang dan kalah. Tak pernah ada giliran untuk saling menyakiti. Karena sejatinya, Cinta adalah perjuangan mempertahankan kenyamanan. Sedangkan kenyamanan, sama halnya seperti siklus kehidupan yang perlahan bisa tergantikan. Sesuatu yang dulu kita anggap sebagai rumah, tempat untuk melunasi rindu dan menyemai bahagia, kini semuanya tidak lagi seperti dulu. Sesuatu yang dulu kita akrabi, sekarang tidak lagi kita kenali. Semuanya telah berubah, semuanya telah berbeda.

Lebih jauh, pembaca juga diajak untuk menyelami aspirasi dan kritik social. Cerpen “Madame Tussaud” ingin berbicara bahwa aspirasi memang perlu dikumandangkan, kendati kemungkinan untuk membuahkan hasil sangat kecil. Cerpen ini juga berbicara tentang keteguhan hati akan pengabdian seorang bawahan terhadap majikannya. Pengabdian yang tetap dia persembahkan meski nyawa sekalipun yang akan menjadi taruhannya. Memang ada jarak social-psikologis antara bawahan yang tersubordinasi dan atasan yang mensubordinasi. Hal ini juga terlihat dalam cerpen “Orang-Orang yang mengganti Hatinya dengan Batu”, keduanya sama-sama berbicara tentang keteguhan hati untuk mengabdi pada atasan, meski konteks keduanya sangat jauh berbeda. Cerpen “Orang-Orang yang mengganti Hatinya dengan Batu” lebih terasa kritik social dan dunia liar yang seolah memang menyelimuti ranah tersebut.

Dalam beberapa cerpen, utamanya dalam cerpen “Cara Mudah Untuk Bahagia” yang sangat kental dengan pergulatan pemikiran dan keyakinan para tokohnya, penulis seringkali membahas ide-ide dan filosofi-filosofi Derrida, Barthes, Habermas, Baudrilard, Foucault, bahkan Sartre. Tidak saja dari segi substansi gagasan tapi juga dalam kecerdasan cara menyajikannya. Ia mendiskusikan nama-nama penting dalam jagad pemikiran tokoh social barat tersebut bukan dengan kualitas “ngalor ngidul” atau dienteng-entengkan, tapi justru sebaliknya, menukik tajam. Sehingga tidak heran, jika dalam beberapa cerpen seperti “Orang-Orang Yang Mengganti Hatinya Dengan Batu”, “Lelaki Yang Penuh Kenangan”, dan “Tukang Cerita Yang Tak Lagi Jatuh Cinta Pada Telepon Genggamnya”, penulis tidak hanya menyajikan tafsiran yang padat, kaya nuansa, tapi juga “Liar”.

Penulis memang tak memberi peluang pada pembacanya untuk ikut menimbang atau menguji ide orang-orang yang dikutipnya, dengan cara memaparkan gagasan itu secara cukup lengkap, sistematis, dan tertib. Sehingga bukan tidak mungkin, jika pembaca yang kurang akrab dengan pemikiran tokoh-tokoh tersebut, mereka akan sedikit mengalami kesulitan untuk mengikuti dinamika obrolannya. Sampai disini, sepertinya penulis memang memperlakukan mereka sepenuhnya sebagai rekan ngobrol. Bagai berbincang akrab dengan teman dekat yang setingkat dalam pengetahuan tentang data elementer di seputar pokok bahasan. Cara ini memang ampuh untuk menangkal tendensi yang amat dihindari oleh para penulis pada umumnya, yakni sikap menggurui.
 
Secara keseluruhan, cerpen-cerpen dalam buku ini memang dibentuk oleh pondasi berpikir, kompleksitas sudut pandang, dan analisis logis-argumentatif. Dan gaya surealis yang digunakan oleh penulis telah berhasil mengajak pembaca untuk berpikir reflektif, kontemplatif, dan analitis.

0 komentar:

Posting Komentar