Beberapa hari ini, masyarakat, khususnya para orang
tua, pelaku pendidikan, bahkan pemerhati pendidikan, sedang dibayang-bayangi
oleh wacana “full day school”.
"Jadi kalau FDS
(full day school) itu waktu sehari penuh itu kan nanti bisa menerjemahkan lebih
lanjut dari program nawacita dari Beliau (Jokowi-JK) yang dimana pendidikan
dasar SD dan SMP itu pendidikan karakter lebih banyak dibanding knowledge basenya
dan banyak waktu memberikan kesempatan guru mendidik anaknya menanamkan pada
siswanya karakter yang ada dalam nawacita itu," ungkap Muhadjir Effendy.
Sontak, pendapat Pak
Menteri itupun menuai pro dan kontra di kalangan netizen, tidak saja para
pemerhati pendidikan yang mengungkapkan pendapatnya, masyarakat umum pengguna
social media pun turut menyampaikan uneg-uneg-nya.
Cara pengungkapannya pun beragam, mulai dari yang sopan, satir, bahkan hingga
ada yang “sarkastik”.
Ya, Kita semua tahu, bahwa segala sesuatu pasti
memiliki dua sisi. Sisi lebih dan sisi kurang. Kedua sisi yang harus diakui
sebagai satu hal yang sama.
Sejenak, saya ingin
bercerita pengalaman saya sebagai salah satu produk dari fullday school, meski tidak pada tataran pendidikan yang sama. Karena
jika yang dimaksud dengan Fullday School adalah seharian penuh berada di
sekolah, saya rasa masa itu saya juga mengalaminya. Hanya saja di sekolah yang
berbeda, pagi-siang di sekolah dasar, siang-sore di madrasah diniyah, sore
menjelang maghrib berlanjut dengan mengaji di masjid, baru setelah isya’ saya
bisa berada di rumah bersama keluarga. Capek? Tidak. Layaknya anak 90-an
lainnya, justru itu adalah masa-masa terindah kami. Sekolah bagi kami saat itu
adalah arena untuk bermain dan bersosialisasi bersama teman-teman sebaya. Belum
ada gadget, belum ada dunia maya, belum ada permainan ini-itu, jadi wajar jika
sekolah mempunyai daya tarik tersendiri sebagai tempat “bermain”.
Tujuan para orang tua
–termasuk orang tua saya- menyekolahkan anaknya dengan model seperti itu (di
zaman itu), tentu agar anaknya tidak hanya belajar ilmu pengetahuan umum, tapi
juga berbekal ilmu agama. Keseimbangan antara keduanya itulah yang kemudian
menjadi dasar terbentuknya sekolah-sekolah dasar terpadu (SDI/SDIT/sekolah alam),
yang dalam perkembangannya juga lekat dengan kesan “bonafit” dan “mahal”.
Dua adik saya menjadi
bagian dari system pendidikan yang demikian. Dulu, ketika Aank (adik saya)
pertama kali masuk di RA sekolah Fullday tersebut, saya baru menginjak kelas
satu SMP. Saya tidak terlalu paham, dan juga tidak ambil pusing waktu itu. Yang
saya tahu, ketika saya bertanya pada orang tua saya, beliau hanya menjawab
“biar sekalian belajar agamanya disitu, jadi gak usah tengah hari berjalan kaki
ke desa sebelah untuk sekolah madrasah”. Sesimpel itu.
Waktu itu, saya juga
melihat bahwa keputusan itu memang lebih baik, karena perlahan pilihan untuk
sekolah di madrasah diniyah memang semakin ditinggalkan –utamanya di masyarakat
perkotaan-. Alih-alih, perkembangan sekolah model seperti ini pun kian
berkembang bak jamur di musim penghujan.
Baru di tahun 2012,
ketika adik bungsu saya (Alfan) juga disekolahkan di sekolah RA-SDI yang sama,
saya baru bisa melihat dengan jelas bagaimana lebih dan kurangnya system
pendidikan dengan model seperti itu. Mahal, sudah pasti. Bagaimanapun, sarana
prasarana belajar harus menunjang, dan untuk melengkapi itu tentu dibutuhkan
biaya yang mahal, bukan? sungguh, sangat jauh berbeda dengan sekolah dasar dan
madrasah diniyah saya dulu.
Tiap kelas yang
berisikan kurang lebih 40 anak diampu oleh 4 orang ustadz/ustadzah, jadi setiap
satu orang ustadz/ustadzah membawahi kurang lebih 10 anak yang harus diawasi
dan dipantau perkembangannya. Dari segi pembentukan karakter, saya suka ketika
melihat para guru menyambut siswa di pintu gerbang setiap pagi, adanya kantin
kejujuran, anak yang diajari untuk bebas berpendapat dan akan selalu
didengarkan oleh sang guru (karena memang guru hanya dan harus terkonsentrasi
pada beberapa anak), setiap akhir pekan (jumat-sabtu) ada agenda rutin belajar
di luar kelas, serta adanya hubungan dan komunikasi yang jelas antara guru dan
orang tua. Hal-hal unggul seperti ini yang mungkin memang belum ada di sekolah
kebanyakan. Hanya saja, Guru disini, memang dituntut untuk memiliki kesabaran
dan kreatifitas yang ekstra, karena bagaimanapun pasti ada “tuntutan standar
lulusan” disana.
Ya, memang, saya akui
bahwa sekolah model seperti ini memiliki muatan pelajaran yang memang lebih
berat dibandingkan dengan sekolah lain. Baik dalam hal waktu, ataupun
kemampuan. Terkait kemampuan, stratifikasi kemampuan pasti sangat
dikotak-kotakkan. Meskipun sejatinya, setiap anak memiliki kecerdasan dan
kemampuan yang tidak bisa disamaratakan, apalagi dikotak-kotakkan. Saya sangat
setuju ketika waktu itu adik saya masuk dalam list kelas internasional (ada
beberapa jenis kelas di sekolah tersebut), tapi orang tua saya menolak dan
lebih memilih tetap berada di kelas regular. Bukan karena apa, untuk anak
seusia mereka, berada di sekolah fullday saja sudah berat, apalagi di kelas
internasional?
Sebenarnya, tanpa
menampik kelebihan-kelebihan yang diberikan, orang tua saya pun paham tekanan
yang dialami oleh anak “Fullday School”, dan mereka berusaha mengimbanginya
dengan tidak pernah melarang adik-adik saya untuk bermain selepas pulang
sekolah (1-2 pulang jam 12.00, kelas 3 pulang jam 15.00, kelas 4-6 pulang jam 16.00).
Setelah maghrib, mengaji bersama Ayah, belajar didampingi ibu, dan belajar tidak
pernah lebih lebih dari jam delapan malam.
Dalam kasus keluarga
saya, orang tua menempatkan anak di fullday school bukan karena orang tua yang
bekerja dan sekedar “menitipkan anak” di sekolah. Karena nyatanya, ibu saya
adalah seorang full time mother, yang
harus mengupgrade ulang ilmu pengetahuannya tatkala mendampingi anak-anaknya
belajar di rumah. Hasilnya akan menjadi seperti apa kita semua belum tahu,
Alfan masih di kelas tiga SD, sedangkan Aang saat ini kelas 3 SMA. Alasan
sekaligus harapan sederhana ayah ibu saya adalah bisa memberikan pendidikan
yang terbaik bagi anak-anaknya, baik secara kecerdasan intelektual, spiritual,
maupun emosional. Tentu, tanpa bermaksud mengabaikan peran sentral orang tua
dalam mendidik anak-anaknya.
Saya pribadi, baru
mengalami bagaimana tekanan “sekolah plus-plus” itu pada tingkat SMA. Secara
umum SMA saya memang bukan fullday school, hanya beberapa kelas saja yang bisa
disebut dengan “kelas plus-plus”. Mengapa begitu? Ya, karena rutinitas yang
harus kami jalani. Kami harus tinggal di asrama, setiap hari harus bangun
sebelum shubuh, pagi-siang belajar di sekolah, sore-malam juga ada bimbingan
belajar. Tidak ada waktu bagi kami untuk hanya sekedar mengikuti
ekstrakurikuler sekolah, seperti anak-anak kelas lain. Tugas kami hanya
belajar, belajar, dan belajar. Terlebih ketika menjelang musim olimpiade, kami
benar-benar digenjot untuk belajar dan bahkan unggul di bidang pelajaran yang
kami pilih. Karena rutinitas yang demikian, jadi tidak perlu heran jika banyak
yang mengecap kami sebagai “kutu buku”, atau bahkan kami memang “ekslusif”
(untuk tidak mengatakan kuper), karena tidak semua anak bisa bergaul bebas
dengan kami.
Entah kami harus bangga
atau tertekan dengan semua status yang melekat pada kami waktu itu. Kenyataan
bahwa untuk bisa menjadi dan mendapat fasilitas seperti kami itu memang tidak
mudah, dan mungkin juga “mahal”. Dan kami, mendapatkannya dengan gratis. Senang
dan bangga, tentu. Bagi kami waktu itu, itu adalah salah satu jalan pembuka mimpi-mimpi.
Apakah kami stress dan
merasa tertekan? Saya tidak bisa memungkiri bahwa rasa tertekan dan stress itu
pernah ada, apalagi posisi kami waktu itu jauh dari keluarga. Tapi ada hal yang
membuat kami bisa bertahan. Apa itu? Teman seperjuangan dan kecintaan kami pada
belajar dan ilmu (apapun ilmu itu). Kami tahu, tuk mencapainya, ada lautan yang
harus disebrangi, ada hujan yang akan melanda, atau bahkan mungkin badai dalam
sebuah hubungan dan perjalanan ini. Tapi, kami percaya, selalu percaya, bahwa
semuanya akan baik-baik saja.
Hampir seluruh kenangan di masa putih abu-abu adalah
kenangan bersama mereka (Einstein). Kami tersenyum, menangis dan bertengkar. Waktu pun
berlalu sejak hari itu, di saat kami saling berbicara tentang impian
masing-masing. Hampir seluruh kenangan ini adalah jejak kehidupan kami. Kami
berjalan, berlari dan berhenti. Hingga akhirnya kami sadar, bahwa pasti akan
ada masa dimana kami harus fokus mengejar impian masing-masing.
Ya, saya akui saya
adalah salah satu produk fullday School. Pahit manis “sekolah plus-plus” atau lebih khusus
“kelas plus-plus” telah kami rasakan. Hasilnya? Ya, seperti kami-kami ini.
Yang perlu saya
tekankan di sini, tak perlu lhah kita terlalu menyempitkan arti “pendidikan”.
Sekolah memang tempat belajar, tapi bukan satu-satunya tempat belajar. Jangan
sampai karena terlalu mengagungkan sekolah, kita justru terjebak
mendiskreditkan peran sentral orang tua, masyarakat, dan lingkungan.
Yah, barangkali ini
bukan tentang lamanya jam pelajaran, namun lebih pada kebahagiaan anak secara
sadar untuk berangkat ke sekolah. Karena sekali lagi, pendidikan itu proses. Jika
memang “sekolah plus-plus” itu telah terbukti mampu bisa “membahagiakan” anak,
bisa membantu anak menjawab nalar-nalar kritisnya, bisa menjadikan mereka peka
dengan dunia alam dan sosialnya. Ya silahkan, dilanjutkan.
Lalu, bagaimana dengan
sekolah lain yang belum menjadi “sekolah plus-plus”? dan jumlahnya masih
menjadi mayoritas di Indonesia. Mungkin perombakan yang harus dilakukan bukan
dari sisi itu, perbaiki saja kualitas proses pembelajarannya. Jika anak sudah “bahagia”
belajar di sekolah, tidak perlu disuruh untuk “fullday” pun mereka akan selalu
tertarik untuk belajar di manapun dan kapanpun.
Tidak percaya? Ya,
silahkan dibuktikan.
Surabaya, 10-08-2016
0 komentar:
Posting Komentar