Rabu, 10 Agustus 2016

it's our full day school



Beberapa hari ini, masyarakat, khususnya para orang tua, pelaku pendidikan, bahkan pemerhati pendidikan, sedang dibayang-bayangi oleh wacana “full day school”.

"Jadi kalau FDS (full day school) itu waktu sehari penuh itu kan nanti bisa menerjemahkan lebih lanjut dari program nawacita dari Beliau (Jokowi-JK) yang dimana pendidikan dasar SD dan SMP itu pendidikan karakter lebih banyak dibanding knowledge basenya dan banyak waktu memberikan kesempatan guru mendidik anaknya menanamkan pada siswanya karakter yang ada dalam nawacita itu," ungkap Muhadjir Effendy.

Sontak, pendapat Pak Menteri itupun menuai pro dan kontra di kalangan netizen, tidak saja para pemerhati pendidikan yang mengungkapkan pendapatnya, masyarakat umum pengguna social media pun turut menyampaikan uneg-uneg-nya. Cara pengungkapannya pun beragam, mulai dari yang sopan, satir, bahkan hingga ada yang “sarkastik”.

Ya, Kita semua tahu, bahwa segala sesuatu pasti memiliki dua sisi. Sisi lebih dan sisi kurang. Kedua sisi yang harus diakui sebagai satu hal yang sama.

Sejenak, saya ingin bercerita pengalaman saya sebagai salah satu produk dari fullday school, meski tidak pada tataran pendidikan yang sama. Karena jika yang dimaksud dengan Fullday School adalah seharian penuh berada di sekolah, saya rasa masa itu saya juga mengalaminya. Hanya saja di sekolah yang berbeda, pagi-siang di sekolah dasar, siang-sore di madrasah diniyah, sore menjelang maghrib berlanjut dengan mengaji di masjid, baru setelah isya’ saya bisa berada di rumah bersama keluarga. Capek? Tidak. Layaknya anak 90-an lainnya, justru itu adalah masa-masa terindah kami. Sekolah bagi kami saat itu adalah arena untuk bermain dan bersosialisasi bersama teman-teman sebaya. Belum ada gadget, belum ada dunia maya, belum ada permainan ini-itu, jadi wajar jika sekolah mempunyai daya tarik tersendiri sebagai tempat “bermain”.

Tujuan para orang tua –termasuk orang tua saya- menyekolahkan anaknya dengan model seperti itu (di zaman itu), tentu agar anaknya tidak hanya belajar ilmu pengetahuan umum, tapi juga berbekal ilmu agama. Keseimbangan antara keduanya itulah yang kemudian menjadi dasar terbentuknya sekolah-sekolah dasar terpadu (SDI/SDIT/sekolah alam), yang dalam perkembangannya juga lekat dengan kesan “bonafit” dan “mahal”.

Dua adik saya menjadi bagian dari system pendidikan yang demikian. Dulu, ketika Aank (adik saya) pertama kali masuk di RA sekolah Fullday tersebut, saya baru menginjak kelas satu SMP. Saya tidak terlalu paham, dan juga tidak ambil pusing waktu itu. Yang saya tahu, ketika saya bertanya pada orang tua saya, beliau hanya menjawab “biar sekalian belajar agamanya disitu, jadi gak usah tengah hari berjalan kaki ke desa sebelah untuk sekolah madrasah”. Sesimpel itu.

Waktu itu, saya juga melihat bahwa keputusan itu memang lebih baik, karena perlahan pilihan untuk sekolah di madrasah diniyah memang semakin ditinggalkan –utamanya di masyarakat perkotaan-. Alih-alih, perkembangan sekolah model seperti ini pun kian berkembang bak jamur di musim penghujan.

Baru di tahun 2012, ketika adik bungsu saya (Alfan) juga disekolahkan di sekolah RA-SDI yang sama, saya baru bisa melihat dengan jelas bagaimana lebih dan kurangnya system pendidikan dengan model seperti itu. Mahal, sudah pasti. Bagaimanapun, sarana prasarana belajar harus menunjang, dan untuk melengkapi itu tentu dibutuhkan biaya yang mahal, bukan? sungguh, sangat jauh berbeda dengan sekolah dasar dan madrasah diniyah saya dulu.

Tiap kelas yang berisikan kurang lebih 40 anak diampu oleh 4 orang ustadz/ustadzah, jadi setiap satu orang ustadz/ustadzah membawahi kurang lebih 10 anak yang harus diawasi dan dipantau perkembangannya. Dari segi pembentukan karakter, saya suka ketika melihat para guru menyambut siswa di pintu gerbang setiap pagi, adanya kantin kejujuran, anak yang diajari untuk bebas berpendapat dan akan selalu didengarkan oleh sang guru (karena memang guru hanya dan harus terkonsentrasi pada beberapa anak), setiap akhir pekan (jumat-sabtu) ada agenda rutin belajar di luar kelas, serta adanya hubungan dan komunikasi yang jelas antara guru dan orang tua. Hal-hal unggul seperti ini yang mungkin memang belum ada di sekolah kebanyakan. Hanya saja, Guru disini, memang dituntut untuk memiliki kesabaran dan kreatifitas yang ekstra, karena bagaimanapun pasti ada “tuntutan standar lulusan” disana.

Ya, memang, saya akui bahwa sekolah model seperti ini memiliki muatan pelajaran yang memang lebih berat dibandingkan dengan sekolah lain. Baik dalam hal waktu, ataupun kemampuan. Terkait kemampuan, stratifikasi kemampuan pasti sangat dikotak-kotakkan. Meskipun sejatinya, setiap anak memiliki kecerdasan dan kemampuan yang tidak bisa disamaratakan, apalagi dikotak-kotakkan. Saya sangat setuju ketika waktu itu adik saya masuk dalam list kelas internasional (ada beberapa jenis kelas di sekolah tersebut), tapi orang tua saya menolak dan lebih memilih tetap berada di kelas regular. Bukan karena apa, untuk anak seusia mereka, berada di sekolah fullday saja sudah berat, apalagi di kelas internasional?

Sebenarnya, tanpa menampik kelebihan-kelebihan yang diberikan, orang tua saya pun paham tekanan yang dialami oleh anak “Fullday School”, dan mereka berusaha mengimbanginya dengan tidak pernah melarang adik-adik saya untuk bermain selepas pulang sekolah (1-2 pulang jam 12.00, kelas 3 pulang jam 15.00, kelas 4-6 pulang jam 16.00). Setelah maghrib, mengaji bersama Ayah, belajar didampingi ibu, dan belajar tidak pernah lebih lebih dari jam delapan malam.

Dalam kasus keluarga saya, orang tua menempatkan anak di fullday school bukan karena orang tua yang bekerja dan sekedar “menitipkan anak” di sekolah. Karena nyatanya, ibu saya adalah seorang full time mother, yang harus mengupgrade ulang ilmu pengetahuannya tatkala mendampingi anak-anaknya belajar di rumah. Hasilnya akan menjadi seperti apa kita semua belum tahu, Alfan masih di kelas tiga SD, sedangkan Aang saat ini kelas 3 SMA. Alasan sekaligus harapan sederhana ayah ibu saya adalah bisa memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak-anaknya, baik secara kecerdasan intelektual, spiritual, maupun emosional. Tentu, tanpa bermaksud mengabaikan peran sentral orang tua dalam mendidik anak-anaknya.

Saya pribadi, baru mengalami bagaimana tekanan “sekolah plus-plus” itu pada tingkat SMA. Secara umum SMA saya memang bukan fullday school, hanya beberapa kelas saja yang bisa disebut dengan “kelas plus-plus”. Mengapa begitu? Ya, karena rutinitas yang harus kami jalani. Kami harus tinggal di asrama, setiap hari harus bangun sebelum shubuh, pagi-siang belajar di sekolah, sore-malam juga ada bimbingan belajar. Tidak ada waktu bagi kami untuk hanya sekedar mengikuti ekstrakurikuler sekolah, seperti anak-anak kelas lain. Tugas kami hanya belajar, belajar, dan belajar. Terlebih ketika menjelang musim olimpiade, kami benar-benar digenjot untuk belajar dan bahkan unggul di bidang pelajaran yang kami pilih. Karena rutinitas yang demikian, jadi tidak perlu heran jika banyak yang mengecap kami sebagai “kutu buku”, atau bahkan kami memang “ekslusif” (untuk tidak mengatakan kuper), karena tidak semua anak bisa bergaul bebas dengan kami.

Entah kami harus bangga atau tertekan dengan semua status yang melekat pada kami waktu itu. Kenyataan bahwa untuk bisa menjadi dan mendapat fasilitas seperti kami itu memang tidak mudah, dan mungkin juga “mahal”. Dan kami, mendapatkannya dengan gratis. Senang dan bangga, tentu. Bagi kami waktu itu, itu adalah salah satu jalan pembuka mimpi-mimpi.

Apakah kami stress dan merasa tertekan? Saya tidak bisa memungkiri bahwa rasa tertekan dan stress itu pernah ada, apalagi posisi kami waktu itu jauh dari keluarga. Tapi ada hal yang membuat kami bisa bertahan. Apa itu? Teman seperjuangan dan kecintaan kami pada belajar dan ilmu (apapun ilmu itu). Kami tahu, tuk mencapainya, ada lautan yang harus disebrangi, ada hujan yang akan melanda, atau bahkan mungkin badai dalam sebuah hubungan dan perjalanan ini. Tapi, kami percaya, selalu percaya, bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Hampir seluruh kenangan di masa putih abu-abu adalah kenangan bersama mereka (Einstein). Kami tersenyum, menangis dan bertengkar. Waktu pun berlalu sejak hari itu, di saat kami saling berbicara tentang impian masing-masing. Hampir seluruh kenangan ini adalah jejak kehidupan kami. Kami berjalan, berlari dan berhenti. Hingga akhirnya kami sadar, bahwa pasti akan ada masa dimana kami harus fokus mengejar impian masing-masing.

Ya, saya akui saya adalah salah satu produk fullday School. Pahit manis “sekolah plus-plus” atau lebih khusus “kelas plus-plus” telah kami rasakan. Hasilnya? Ya, seperti kami-kami ini.

Yang perlu saya tekankan di sini, tak perlu lhah kita terlalu menyempitkan arti “pendidikan”. Sekolah memang tempat belajar, tapi bukan satu-satunya tempat belajar. Jangan sampai karena terlalu mengagungkan sekolah, kita justru terjebak mendiskreditkan peran sentral orang tua, masyarakat, dan lingkungan.

Yah, barangkali ini bukan tentang lamanya jam pelajaran, namun lebih pada kebahagiaan anak secara sadar untuk berangkat ke sekolah. Karena sekali lagi, pendidikan itu proses. Jika memang “sekolah plus-plus” itu telah terbukti mampu bisa “membahagiakan” anak, bisa membantu anak menjawab nalar-nalar kritisnya, bisa menjadikan mereka peka dengan dunia alam dan sosialnya. Ya silahkan, dilanjutkan.

Lalu, bagaimana dengan sekolah lain yang belum menjadi “sekolah plus-plus”? dan jumlahnya masih menjadi mayoritas di Indonesia. Mungkin perombakan yang harus dilakukan bukan dari sisi itu, perbaiki saja kualitas proses pembelajarannya. Jika anak sudah “bahagia” belajar di sekolah, tidak perlu disuruh untuk “fullday” pun mereka akan selalu tertarik untuk belajar di manapun dan kapanpun.

Tidak percaya? Ya, silahkan dibuktikan.  

Surabaya, 10-08-2016

0 komentar:

Posting Komentar