Selasa, 10 November 2015

Spirit Kepahlawanan untuk Masyarakat Madura







Derap dan deru pembangunan di Madura semakin keras dan memekakkan telinga. Setelah resmi memasuki Madura sebagai “zona Industri” pasca pembangunan Suramadu, kini Madura juga tengah dihadapkan pada wacana “provinsi baru” yang terus bergulir. Keduanya, sebagai gejala makro harus diakui bahwa keberadaannya mampu membawa pergeseran warna hidup secara sosial. Memang tidak ada yang salah dengan terjadinya sebuah pergeseran sosial, karena itu memang sebuah konsekuensi dari sebuah dinamika. Masalahnya sekarang adalah setiap dinamika pasti meminta ongkos, dan yang dkhawatirkan ongkos tersebut adalah terjadinya proses marginalisasi peranan masyarakat local. 

Kita tidak bisa memungkiri bahwa gejala marginalisasi itu akan lebih tampak pada suatu daerah yang sebelumnya masih terbelakang tapi tiba-tiba menjadi daerah yang digadang-gadang dengan harapan kesejahteraan melalui pembangunan dan privatisasi. Bagaimanapun, pembangunan adalah arus ekspansi capital yang memiliki logika tersendiri, yaitu mengikuti kemauan penguasa capital. Karenanya, jangan heran jika akan sulit sekali untuk berorientasi kepada rakyat.

Dalam konteks masyarakat Madura, tak salah rasanya jika kita bertanya, di tengah kondisi percepatan pembangunan yang demikian, apakah masyarakat Madura yang sebelumnya masih tradisional sudah sepenuhnya siap untuk menyongsong perubahan kearah masyarakat industrial? Atau benar-benar sudah siap untuk membentuk provinsi sendiri? Hanya satu yang dikhawatirkan, mereka akan menjadi korban dari pembangunan di tanah sendiri, menjadi pemuas syahwat kekuasaan sekelompok orang. Mengingat sampai detik ini, Madura masih diisi oleh mayoritas mereka yang hanya bermodalkan semangat untuk bekerja keras, minim keterampilan, pengalaman, dan finansial.

Prioritas, Untuk siapa?
Ada semacam hubungan yang nyata dan hampir berulang, antara ketidakberdayaan dengan kemiskinan. Ini adalah fakta yang jelas dan dikenal, namun menggelisahkan golongan yang lebih kuat, sehingga orang lebih baik memalingkan mukanya dan berbicara tentang masalah lain.

Untuk itu, marilah kita bersikap terbuka. Dari dulu hingga kini, Madura memang menjadi daerah yang identik dengan kemiskinan, dan jauh dari hingar bingar kemajuan dan kesejahteraan. Madura, sebagai bagian dari Jawa Timur dipisahkan oleh lautan mengesankan bahwa alam turut andil untuk mengisolasinya dari hingar bingar yang terjadi di Pulau Jawa. Setelah sekian puluh tahun termarjinalkan dalam pembangunan yang pada gilirannya berdampak domino pada timbulnya prasangka sosial, menjadikan masyarakat Madura tidak hanya menjadi masyarakat yang marginal, subordinat, miskin dan terbelakang, tapi juga stereotype dan penuh stigma negative.

Tapi, walaupun berbagai hal itu terjadi dan merupakan kenyataan konkret, kita tetap harus meninjau apa yang dapat dan perlu dilakukan untuk mengatasinya. Jangan sampai kita menjadi orang luar yang terperangkap dalam persepsi dan pola pikir pusat-pinggiran. Dengan pandangan yang diarahkan ke tempat yang jauh terpencil dan ke bawah kepada mereka yang tidak berdaya, penglihatan kita menjadi kabur. Dan hanya dapat melihat dengan jelas apa yang ada di depan mata atau di dekat kita, hanya memandang kegiatan-kegiatan yang berawal dari tempat kita berada.

Bagi mereka yang hidup layak dan terjamin, tentu tidak akan menjadi hal yang sulit untuk tetap memiliki kedudukan yang kuat, meski di tengah persaingan ekonomi global. Tapi, bagi mereka yang ada di bawah, dihimpit kemiskinan, persoalannya lebih jelas. Kemiskinan yang mencekik –dari segi material dan social- menyempitkan dan membengkokkan pikiran, menumbuhkan rasa sakit hati dan akhirnya membunuh jiwa raga yang bersangkutan. Jadi, benar dan pantas kiranya apabila kita memusatkan perhatian pada mereka yang ada di urutan “terakhir”, yaitu berjuta-juta orang yang sering tidak tampak, yang bergelimang kemiskinan, lemah, tersisih, rentan dan tidak mempunyai kekuatan apapun.

Rakyat dan Elite
Pada tingkat local, orang yang mempunyai kekuatan dan berkuasa disebut elite. Mereka berada di ujung lain dari mantra kehidupan orang-orang miskin. Keadaan jasmani mereka lebih kuat, kehidupan mereka lebih terjamin. Kedudukan mereka yang kuat, semakin dikukuhkan oleh factor-faktor seperti solidaritasnya sebagai suatu kelas masyarakat, dan juga oleh ketidakberdayaan golongan miskin. Dalam kedudukannya itu, mereka mempunyai hambatan cultural dan structural. Hambatan itu langsung muncul dan tampak dalam bentuk bias dalam pemikiran dan tindakan. Barangkali secara mental-spiritual, golongan ini bisa melakukan transendensi nilai-nilai dan mengatasi kesadaran kelasnya untuk berorientasi kepada golongan kecil. Tapi secara structural, hambatan menuju ke realisasi orientasi itu memang tidak mudah untuk diatasi.

Hanya dengan otokritik-lah, jalan keluar untuk mengatasi hambatan itu menjadi terbuka. Dan langkah pertama untuk menembus hambatan tersebut adalah dengan mendalami arti penting kata-kata “dari rakyat”, “oleh rakyat”, dan “untuk rakyat”.

Akhirnya, di hari pahlawan ini semoga kita menjadi paham bahwa seseorang disebut sebagai pahlawan karena ia mampu meruntuhkan episode ketidakberdayaan, kemiskinan dan kemandulan peradaban dengan sebuah kebangkitan. Akar dari kebangkitan adalah kecemasan. Jadi, sudah seharusnya kita diliputi kecemasan luar biasa sehingga kita harus bergerak. Di sinilah sebuah paradoks terpampang dalam layar peradaban: sebagian merasakannya, dan sebagian yang lain tidak. Bagi yang merasakannya, akan didera kecemasan dan ketakutan, lalu bergerak dan menjadi pahlawan. Sementara bagi yang tidak, akan bersikap dingin terhadap kepahitan itu, lantas diam menjadi orang-orang awam, atau bahkan kolaborator penjajah, stagnan hingga arus menenggelamkan mereka.
 
Adalah kita yang harus memilih, untuk terlahir dari rahim kecemasan ataukah rahim kenyamanan?





0 komentar:

Posting Komentar