Derap
dan deru pembangunan di Madura semakin keras dan memekakkan telinga. Setelah
resmi memasuki Madura sebagai “zona Industri” pasca pembangunan Suramadu, kini
Madura juga tengah dihadapkan pada wacana “provinsi baru” yang terus bergulir. Keduanya,
sebagai gejala
makro harus diakui bahwa keberadaannya mampu membawa pergeseran warna hidup
secara sosial. Memang tidak ada yang salah dengan terjadinya sebuah pergeseran
sosial, karena itu memang sebuah konsekuensi dari sebuah dinamika. Masalahnya
sekarang adalah setiap dinamika pasti meminta ongkos, dan yang dkhawatirkan
ongkos tersebut adalah terjadinya proses marginalisasi peranan
masyarakat local.
Kita
tidak bisa memungkiri bahwa gejala marginalisasi itu akan lebih tampak pada
suatu daerah yang sebelumnya masih terbelakang tapi tiba-tiba menjadi daerah
yang digadang-gadang dengan harapan kesejahteraan melalui pembangunan dan
privatisasi. Bagaimanapun, pembangunan adalah arus ekspansi capital yang
memiliki logika tersendiri, yaitu mengikuti kemauan penguasa capital.
Karenanya, jangan heran jika akan sulit sekali untuk berorientasi kepada
rakyat.
Dalam
konteks masyarakat Madura, tak salah rasanya jika kita bertanya, di tengah
kondisi percepatan pembangunan yang demikian, apakah masyarakat Madura yang
sebelumnya masih tradisional sudah sepenuhnya siap untuk menyongsong perubahan
kearah masyarakat industrial? Atau benar-benar sudah siap untuk membentuk
provinsi sendiri? Hanya satu yang dikhawatirkan, mereka akan menjadi korban
dari pembangunan di tanah sendiri, menjadi pemuas syahwat kekuasaan sekelompok orang.
Mengingat sampai detik ini, Madura masih diisi oleh mayoritas mereka yang hanya
bermodalkan semangat untuk bekerja keras, minim keterampilan, pengalaman, dan
finansial.
Prioritas,
Untuk siapa?
Ada
semacam hubungan yang nyata dan hampir berulang, antara ketidakberdayaan dengan
kemiskinan. Ini adalah fakta yang jelas dan dikenal, namun menggelisahkan
golongan yang lebih kuat, sehingga orang lebih baik memalingkan mukanya dan
berbicara tentang masalah lain.
Untuk
itu, marilah kita bersikap terbuka. Dari dulu hingga kini, Madura memang
menjadi daerah yang identik dengan kemiskinan, dan jauh dari hingar bingar
kemajuan dan kesejahteraan. Madura, sebagai bagian dari Jawa Timur dipisahkan
oleh lautan mengesankan bahwa alam turut andil untuk mengisolasinya dari hingar
bingar yang terjadi di Pulau Jawa. Setelah sekian puluh tahun termarjinalkan
dalam pembangunan yang pada gilirannya berdampak domino pada timbulnya prasangka
sosial, menjadikan masyarakat Madura tidak hanya menjadi masyarakat yang
marginal, subordinat, miskin dan terbelakang, tapi juga stereotype dan penuh
stigma negative.
Tapi,
walaupun berbagai hal itu terjadi dan merupakan kenyataan konkret, kita tetap
harus meninjau apa yang dapat dan perlu dilakukan untuk mengatasinya. Jangan
sampai kita menjadi orang luar yang terperangkap dalam persepsi dan pola pikir
pusat-pinggiran. Dengan pandangan yang diarahkan ke tempat yang jauh terpencil
dan ke bawah kepada mereka yang tidak berdaya, penglihatan kita menjadi kabur.
Dan hanya dapat melihat dengan jelas apa yang ada di depan mata atau di dekat
kita, hanya memandang kegiatan-kegiatan yang berawal dari tempat kita berada.
Bagi
mereka yang hidup layak dan terjamin, tentu tidak akan menjadi hal yang sulit
untuk tetap memiliki kedudukan yang kuat, meski di tengah persaingan ekonomi
global. Tapi, bagi mereka yang ada di bawah, dihimpit kemiskinan, persoalannya
lebih jelas. Kemiskinan yang mencekik –dari segi material dan social-
menyempitkan dan membengkokkan pikiran, menumbuhkan rasa sakit hati dan
akhirnya membunuh jiwa raga yang bersangkutan. Jadi, benar dan pantas kiranya
apabila kita memusatkan perhatian pada mereka yang ada di urutan “terakhir”,
yaitu berjuta-juta orang yang sering tidak tampak, yang bergelimang kemiskinan,
lemah, tersisih, rentan dan tidak mempunyai kekuatan apapun.
Rakyat
dan Elite
Pada
tingkat local, orang yang mempunyai kekuatan dan berkuasa disebut elite. Mereka
berada di ujung lain dari mantra kehidupan orang-orang miskin. Keadaan jasmani
mereka lebih kuat, kehidupan mereka lebih terjamin. Kedudukan mereka yang kuat,
semakin dikukuhkan oleh factor-faktor seperti solidaritasnya sebagai suatu
kelas masyarakat, dan juga oleh ketidakberdayaan golongan miskin. Dalam
kedudukannya itu, mereka mempunyai hambatan cultural dan structural. Hambatan
itu langsung muncul dan tampak dalam bentuk bias dalam pemikiran dan tindakan.
Barangkali secara mental-spiritual, golongan ini bisa melakukan transendensi
nilai-nilai dan mengatasi kesadaran kelasnya untuk berorientasi kepada golongan
kecil. Tapi secara structural, hambatan menuju ke realisasi orientasi itu
memang tidak mudah untuk diatasi.
Hanya
dengan otokritik-lah, jalan keluar untuk mengatasi hambatan itu menjadi
terbuka. Dan langkah pertama untuk menembus hambatan tersebut adalah dengan
mendalami arti penting kata-kata “dari rakyat”, “oleh rakyat”, dan “untuk
rakyat”.
Akhirnya,
di hari pahlawan ini semoga kita menjadi paham bahwa seseorang disebut sebagai
pahlawan karena ia mampu meruntuhkan episode ketidakberdayaan, kemiskinan dan
kemandulan peradaban dengan sebuah kebangkitan. Akar dari kebangkitan adalah
kecemasan. Jadi, sudah seharusnya kita diliputi kecemasan luar biasa sehingga
kita harus bergerak. Di sinilah sebuah paradoks terpampang dalam layar
peradaban: sebagian merasakannya, dan sebagian yang lain tidak. Bagi yang
merasakannya, akan didera kecemasan dan ketakutan, lalu bergerak dan menjadi
pahlawan. Sementara bagi yang tidak, akan bersikap dingin terhadap kepahitan
itu, lantas diam menjadi orang-orang awam, atau bahkan kolaborator penjajah,
stagnan hingga arus menenggelamkan mereka.
Adalah kita yang harus memilih, untuk terlahir dari rahim kecemasan ataukah rahim kenyamanan?
0 komentar:
Posting Komentar