Rabu, 14 Oktober 2015

Negara yang tunggang langgang



Bagi masyarakat Riau, kehidupan masyarakat yang ideal adalah barangkali mereka bisa kembali bebas beraktivitas tanpa diselimuti asap. Bagi masyarakat Selok awar-awar (juga masyarakat local di daerah-daerah), kehidupan yang ideal adalah kehidupan yang mampu memberi mereka kebebasan akan hak, hak untuk hidup tenang dalam kesederhanaannya bersama alam. 

Ya,  Sesederhana itu.

Namun sayangnya, sesuatu yang sederhana tidak pernah benar-benar menjadi sesuatu yang mudah, justru terkadang menjadi sesuatu yang terlampau mahal. Seringkali kita pun terlupa bahwa sampai detik ini ketenangan hidup di negeri ini masih berupa mimpi, masih berupa mitos karena ia belum dapat diempiriskan sebagai kenyataan hidup. Seperti orang desa yang membayangkan “kota”, seperti itulah masyarakat kita. Masalahnya jauh lebih rumit dan naif dari sekedar soal “maju”, karena sebagai gejala makro yang merata harus diakui bahwa keberadaannya mampu membawa pergeseran warna hidup secara sosial. Memang tidak ada yang salah dengan terjadinya sebuah pergeseran sosial, karena itu memang sebuah konsekuensi dari sebuah dinamika. Dan setiap dinamika meminta ongkos terjadinya kehilangan-kehilangan. Sementara kemajuan akan teruji kebenarannya apabila atas kehilangan-kehilangan ini bisa ditemukan gantinya.

Sepertinya, di titik ini, kita patut bertanya perihal tatanan-tatanan baru yang mampu mencapai tingkat lebih tinggi secara peradaban manusia, sesuai dengan tingkat kemajuan yang notabenenya menjadi hak masyarakat –yang katanya kini telah menjadi- modern.

Barangkali, sebagai kenyataan, masyarakat ideal dengan segala ketenangan hidup tak pernah ada dan tak akan terwujud di Indonesia, ia akan tetap menjadi mitos tentang masyarakat ideal, seperti mitos tentang ratu adil. Tetapi tentu saja, kenyataan selalu lebih pahit dari mimpi, karena kenyataan adalah suatu rasionalisasi, dan rasionalisasi selalu dibatasi oleh kekurangan-kekurangan yang tidak lagi kasat mata.

Sebuah kenyataan, bahwa bangsa dan Negara kita tengah dihadapkan pada masalah-masalah yang mengganggu, menggelisahkan, dan bahkan mengancam. Sebut saja, terjadinya pukulan balik lingkungan yang dieksploitasi dan dicemari berlebihan, krisis ekonomi, supremasi kepentingan pribadi, nepotisme kelompok atas kepentingan bangsa, runtuhnya system hukum, etik, dan moral, erosi nasionalisme dan patriotisme yang mengancam disintegrasi bangsa dan Negara, serta masalah masalah lainnya yang teramat banyak untuk disebutkan.

Dalam bahasa metaforik Giddens, kita, bangsa ini, saat ini sedang terbirit-birit, terputar-putar, dan terbolak-balik di “lingkar tak bermoral di antara perasaan geram dan tersengat”. Melalui ungkapan Giddens yang lain, sepertinya negeri ini juga cocok untuk dimisalkan sebagai “truk raksasa” yang membawa banyak muatan, berlari kencang, terbirit dan terputar di situ-situ saja, tanpa tujuan. Begitulah. Giddens menyebutnya dengan dunia yang tunggang langgang. Dalam konteks Indonesia, mungkin bisa menjadi Negara yang tunggang langgang. Bisa jadi, bukan?

Bukankah Negara yang dikarunia dengan keindahan alam, kesuburan tanah, laut yang luas, dan kebhinnekaan yang beragam ini, justru menjadi bangsa yang miskin sekali? Mengapa bangsa ini menjadi hina sekali sebagai pengekspor TKI dan TKW kelas unskill labour? Mengapa bangsa ini menjadi pengemis kelas dunia (pengutang)? Mengapa bangsa ini tak pernah dapat melepaskan diri dari berbagai krisis? Mengapa dan mengapa?

Mungkin benar, masyarakat kita memang sudah lama sakit, yang disebabkan oleh berbagai ketidakseimbangan, baik dalam dirinya maupun dengan lingkungannya. Patologi social yang dialami Negara kita ini bermacam-macam, meliputi semua golongan penyakit. Banyak kita alami penyakit bawaan dari orde baru. Kita terima warisan yang salah, berupa pejabat-pejabat korup dari orde sebelumnya yang makin lebih berpengalaman. Jika diibaratkan, korupsi itu ibarat kanker, sel-sel birokrasi hidup dengan menyedot makanan untuk sel-sel normal, sehingga bangsa dan rakyat menjadi kurus kering, sedangkan kanker bertambah besar, dan menyebar.

Bagi Nietzsche, korupsi adalah musim rontok suatu bangsa. Dan bisa jadi, sebentar lagi, maut akan menghampirinya dalam wujud Negara lain atau badan-badan internasional, para spekulan dan petualang asing, serta system-sistem dalam badan yang tidak terkoordinasi atau berfungsi lagi.

Ah, tidak-tidak, itu tidak akan terjadi.

Dalam kenyataan hidup yang pahit, menghadirkan kembali cita-cita masyarakat ideal di tengah masyarakat yang sakit memang terkesan dilematis. Ibarat mimpi di siang bolong. Tapi, sebagai sebuah jalan, tidakkah ia layak dituju bersama penguasa yang baru?

Lalu, tugas kita sebagai generasi muda? Ya, bela Negara. Katanya, sebagai warga Negara yang baik, kita harus membela Negara. Jika tidak berkenan, silahkan angkat kaki dari sini. Simple sekali, bukan? Semudah itukah menetapkan ukuran rasa cinta air warga Negara terhadap bangsanya? Hanya ber-standart-kan rasa patuh, didisiplinkan, dan dikontrol?

Pertanyaan selanjutnya, jika Negara harus dibela, dibela dari siapa? Bukankah kebodohan, kemiskinan, kemelaratan, ketidakberdayaan, kerakusan pemodal, kekerasan atas nama agama, dll, adalah musuh nyata kita? Masak iya kita harus berperang melawan Negara sendiri?
 
Ah, sepertinya benar, kita harus banyak belajar pada orang Madura yang sudah lebih dulu paham arti harga diri sebagai warga Negara yang anti kolonialisme dan kesewenangan kekuasaan. Dimana pepatah “ango’an apotèya tolang ètèmbang potèya mata” (lebih baik mati berkalang tanah daripada harus hidup menanggung malu) tidak hanya sebatas slogan yang digembar-gemborkan, pun tidak sebatas program yang hanya dicanangkan. Tapi, sesuatu yang telah diresapi dalam jiwa dan raga.

0 komentar:

Posting Komentar