Jagat raya ini memang demikian
ramai, sibuk, dan penuh gejolak. Betapa tidak, semesta dengan segala isinya
senantiasa sibuk dengan segala aturan yang harus dijalani. Lihat saja bumi,
selain berotasi pada porosnya, ia juga melakukan tawaf bersama matahari dan
planet-planet lain. Sementara matahari senantiasa memancarkan cahaya ke penjuru
planet, termasuk bumi.
Semua bergerak sibuk!
Semua kesibukan itu
berlaku bagi seluruh jagat berikut isi dan setiap hal yang ada di dalamnya.
Dari kesibukan jagat raya yang ramai itu, tidak ada yang lebih ramai selain
jagat pikiran kita. Jagat pikir adalah jagat cipta. Kita dapat saja duduk di
kursi sambil meneguk kopi, tetapi siapa yang dapat menebak ke mana saja arah
alam pikiran kita melayang dan menerjang. Kadang, jagat pikir kita lebih dari sekedar
sibuk, bahkan macet!
Kita sudah tidak lagi
terbiasa berpikir jernih untuk menemukan hal-hal positif. Jangankan untuk
memikirkan hal-hal kreatif dan inovatif, untuk menemukan solusi diri saja sudah
tidak terkendali.
Selain jagat pikir,
demikian pula dengan hati. Orang sering mengatakan, “hati adalah cermin”.
Sebuah kalimat singkat, namun sarat makna. Kita tahu, cermin memiliki karakter
merefleksikan apa saja yang ada di hadapannya. Namun, sang cermin tidak selalu
sempurna memantulkan gambar atau rupa jika sang cermin sendiri kotor dan gelap.
Membersihkan hati
adalah tugas manusia tiada henti. Sepanjang tarikan nafas, manusia dengan
segala keyakinan yang dimiliki berupaya membenahi diri agar senantiasa berarti.
Semua itu dilakukan demi mendapati gambar dan rupa secara utuh dan sempurna.
Itulah hati. Dan hati, hanya bisa dibersihkan oleh yang “memiliki” hati. Dialah
sang Hati.
Jika alam pikir adalah
cipta maka alam hati adalah sebagai rasa. Jika demikian, yang bisa kita lakukan
hanya pasrah, bersedia untuk senantiasa “mengheningkan” cipta. Lalu, kita
memohon kepada sang pemilik hati agar sennatiasa memberi bimbingan dan cara
terbaik dalam membersihkan hati.
Sekali waktu, coba kita
renungkan apa yang kita lakukan sejak kita bangun hingga kembali beranjak
tidur. Ketika fajar menyingsing dan cahaya matahari menyergap, yang selalu
menjadi pikiran kita adalah banyaknya uang yang harus kita dapatkan hari ini. Dalam
bahasa lain, kita akan mengatakan keuntungan apa yang bisa diperoleh hari ini.
Apapun yang kita lakukan tujuan akhirnya adalah uang. Secara sederhana, kita
mempunyai logika bahwa jika saya mendapatkan uang, saya bisa membeli makan. Jika
saya makan, maka saya akan sehat. Jika
saya sehat, saya dapat bekerja. Jika saya bisa bekerja, saya bisa mendapatkan
uang. Inikah yang menjadi pola dan rutinitas kita sehari-hari?
Ya.
Tanpa kita sadari, uang
telah semakin mendewa, kita akan menjadi hamba-hamba yang akan saling
bersinggungan, bahkan berselisih untuk mendapatkan sang dewa. Uang telah
menggeser nilai dan jati diri manusia sebagai manusia spiritual.
Time is money. Satu
ungkapan modern yang demikian popular di telinga kita. Sadar atau tidak
ungkapan ini menjelaskan secara nyata bahwa segalanya diukur oleh (dengan)
uang. Sehingga setidaknya setiap gerak dan langkah kita selalu diisi dengan
segala hal yang bernilai atau menghasilkan uang. Jika hal ini yang menjadi
orientasi hidup kita. Betapa kering kehidupan ini, semua selalu diukur dengan
uang, uang, dan uang.
Padahal, apa yang kita
buru selama ini, seperti uang, kekayaan, dan popularitas, bukanlah sesuatu yang
abadi. Terlalu banyak cerita yang menuturkan mengenai orang yang sering
tergelincir pada wilayah kekayaan
dan jabatan tinggi. Sederhana saja, orang
yang sebelumnya memiliki kepekaan dan solidaritas sesama kawan, kemudian
menjadi sirna hanya karena statusnya berubah menjadi seorang yang “ber-uang”.
Karena itulah,
saya lebih menganggap keistimewaan seseorang dari bagaimana dia
tersenyum pada sekitarnya. Menaruh kesempurnaan bagaimanapun juga saat dia
kekurangan. Sederhana adalah saat kita menjadikan segala sesuatu yang ada dan
terjadi tepat menjadi kebahagiaan.
Dari mereka yang tetap sederhana, saya belajar. Sebuah refleksi, dan sebuah renungan.
0 komentar:
Posting Komentar