Sabtu, 28 Februari 2015

Mereka, yang ku sebut Sahabat



http://kartun.co/wp-content/uploads/2014/06/kata-mutiara-persahabatan-arti-sahabat.jpg
Aku tidak terlalu mengerti bagaimana mendefinisikan kebahagiaan. Namun, aku merasa bahwa hidup memang lebih kaya dan menyenangkan dengan adanya sahabat-sahabat di sepanjang perjalanan. Beruntunglah orang-orang yang mengenal arti “sahabat” di sepanjang alur kehidupannya. Karena bersama “sahabat” lah kita mampu merajut mimpi dan indahnya hidup di atas garis warna-warni dunia fana. Mungkin, sahabat memiliki makna layaknya bintang yang setia menemani malam, walau terkadang dia tak tampak bukan berarti dia menghilang, dia tetap ada, karena dialah sahabat sang malam. Ya, bersahabat dengan mereka membuatku menjadi tahu, rasa sayang bukan hanya soal mata yang saling menatap. Tapi juga hati yang tak pernah berhenti mendoakan.
Bisa dibilang, aku termasuk dalam golongan yang beruntung itu. Hari-hari dalam menikmati indahnya dunia selalu aku jalani bersama mereka. Kenangan, mari satu persatu kita buka pintu waktu. Karena sejatinya, kita selalu, selalu bersama.
 Sahabat yang pertama kali ada dalam hidupku adalah saudara sepupu seusiaku dari garis keturunan ayah. Ya, sejak kecil kami telah tumbuh bersama, ibarat anak kembar malah. Semua serba serupa. Mulai dari barang-barang kepunyaan, seperti baju, tas, dan sepatu, hingga gaya penampilan dan pendidikan. Namun, se-betapa-pun kami dimiripkan, kami tetaplah dua manusia yang meski sangat rekat tetaplah memiliki perbedaan. Jika kata orang aku memiliki keunggulan dalam prestasi akademik, menurutku dia memiliki keunggulan dalam kesederhanaan dan kebersahajaannya. Sungguh, menurutku dia hebat. Di usia kami yang masih kanak-kanak, dia telah memiliki tingkat kedewasaan di atas rata-rata.
Dia begitu bersahaja. Dia selalu tabah dan senantiasa ikhlas dalam menjalani hari-harinya. Bahagianya itu dari sebuah kesederhanaannya, Tawanya itu dari sikap sederhanannya. Ya, diantara saudara ayahku yang mayoritas berprofesi sebagai guru, memang hanya orang tua dialah yang harus bekerja lebih keras menggarap sawah. Seringkali, di hari libur aku turut menemaninya ke sawah. Walau kami hanya sekedar bermain ilalang, atau mencari ulat yang mulai menggerogoti tanaman. Tidak hanya itu, jika mayoritas anak-anak seusia kami hanya bisa meminta uang pada orang tua, dia justru selalu berusaha agar bisa menghasilkan uang sendiri. Terkadang, aku juga turut membantunya mencari dan mengumpulkan buah asam, ketika kami berangkat atau pulang sekolah bersama. Buah asam itu lalu dikuliti, dijemur, dan nantinya bisa dijual. Atau, ketika musim panen tembakau, dia dan anak-anak di desa itu membantu para petani dari satu rumah ke rumah secara bergantian. Uang-uang itu ia simpan dengan baik. Tidak seperti aku yang sangat susah untuk menabung.
Terkadang, aku merasa tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dia. Aku memang lebih tua beberapa bulan darinya, aku anak pertama dan dia anak terakhir, seharusnya aku jauh lebih dewasa kan? Nyatanya, aku justru belajar banyak darinya. Dia, saudara sekaligus sahabatku. Kami bersama hingga masa sekolah dasar dan madrasah kami berakhir. Setelah itu, dia lebih memilih untuk memperdalam ilmu agama. Dia selalu bilang padaku, bahwa “kebahagiaan itu tak akan pernah bisa di ukur dari seberapa banyak harta di dunia. Tak apa jika Allah tidak memberi kesempatan kita untuk kaya di dunia, yang terpenting kita selalu berusaha agar nanti kita bisa bahagia dan kaya di akhirat.” Selepas menamatkan Madrasah Aliyah, dia menikah dengan seorang laki-laki soleh. Sungguh, dia pantas untuk mendapatkannya, karena dia wanita sholehah, seperti nama belakangnya. Saudariku, tak peduli tangan dan tubuh yang makin jarang bisa rekat, kita akan tetap punya ikatan yang kuat.     
Di SMP, aku tak lagi bersamanya. Hari-hari mulai dihiasi dengan hadirnya teman-teman baru. Beberapa ada yang mendekat karena kepentingan. Tapi, ada juga yang karena ketulusan. Seperti mereka. Dua orang ini mulai memasuki kehidupanku di tahun kedua masa ini. Meski di dua tahun itu pula kita tak pernah berada dalam satu kelas. Baru di tahun terakhirlah, kami benar-benar bisa menikmati hari-hari putih-biru bersama setiap saat. Tak ada kata sebentar dalam sebuah persahabatan sejati bukan? Ya, saat kami telah memasuki masa SMA, dimana diantara kami bertiga ada yang berbeda sekolah, persahabatan ini tetap terjalin dengan baik. Bahkan, hingga mereka berdua bekerja, dan aku masih berkutat dengan materi di bangku kuliah, ketulusan hati mereka tetap terpancar. Bahwa mereka tidak pernah memandang persahabatan sebatas status, materi, ataupun sebatas prestasi akademik.
Jika di dua jenjang pendidikan sebelumnya aku telah terbiasa berada di atas, maka di jenjang SMA aku berada diantara mereka yang juga memiliki kemauan, mimpi, dan kemampuan di atas rata-rata. Ya, selama tiga tahun kami disatukan dalam satu ikatan yang tidak hanya sebatas kelas formal. Tapi, sebuah ikatan dimana kami saling merangkul tuk menuju ranah impian. Meski kami tahu, tuk mencapainya, ada lautan yang harus di sebrangi, ada hujan yang akan melanda, atau bahkan mungkin badai dalam sebuah hubungan dan perjalanan ini. Tapi, kami percaya, selalu percaya, bahwa semuanya akan baik-baik saja. Kami biasa menyebut diri kami Einsteiner, karena kami disatukan oleh sebuah ikatan bernama Einstein.
Hampir seluruh kenangan di masa putih abu-abu adalah kenangan bersama mereka. Kami tersenyum, menangis dan bertengkar. Waktu pun berlalu sejak hari itu, di saat kami saling berbicara tentang impian masing-masing. Hampir seluruh kenangan ini adalah jejak kehidupan kami. Kami berjalan, berlari dan berhenti. Hingga akhirnya kami sadar, bahwa pasti akan ada masa dimana kami harus fokus mengejar impian masing-masing. Hari pun berlalu sejak hari itu.
Di bangku kuliah, semuanya memang tak lagi sama. Kehidupan mulai menuntut untuk menjadi lebih mandiri. Berada di tanah rantau, menjadikan kita sangat mengerti hadirnya teman seperjuangan. Aku pun kembali dipertemukan dengan mereka, dan telah mengukir cerita yang tak kalah indah tuk dikenang. Aku bersyukur bisa melalui masa ini bersama kalian. Kuakui, menjalani perjuangan di kota besar seperti Surabaya memang tidak mudah. Tapi, kalian telah berhasil menjadikan hari-hari itu berwarna dan bermakna. Ah, aku membayangkan bagaimana rasanya jika suatu saat kita mengulang ceritanya? Mengenangnya saja telah mampu menghadirkan senyum, apalagi nanti jika kita mampu bernostalgia. Pasti, yang tersisa dari semua kenangan kebersamaan itu hanyalah canda tawa. Tak peduli itu tangis, rasa kecewa, semangat yang membara, ataupun sikap konyol dan kegilaan, kita hanya akan mengenangnya dalam senyum dan tawa yang tak pernah palsu.
Aku memiliki beberapa sahabat di masa ini. Nita, abang Omen, b.ma dan Afril adalah mereka yang menemani hari-hari perkuliahan sejak awal masa itu dimulai. Ibarat keluarga, kami telah menganggap satu sama lain sebagai saudara. Selain mereka, aku juga memiliki sahabat sekaligus partner-partner dalam dunia literasi kampus. Ya, mereka adalah orang-orang dalam keredaksian jurnal kampus yang juga tergabung dalam tim riset. Bersama mereka, aku semakin mengenal diriku, mengerti apa pilihan hatiku, yaitu dunia akademisi dan literasi. Bersama mereka, aku menjadi sangat paham bahwa jika ada orang yang mengatakan padamu bahwa perbedaan tidak dapat berjalan beriringan, jangan sepenuhnya percaya. Karena, seperti halnya pelangi, kami bersatu, tumbuh dan berkembang dengan warna masing-masing. Dunia menjadi lebih terbuka bersama mereka, karena selalu ada cara untuk belajar dan mempelajari sesuatu. Kebersamaan itu tercipta dan terjalin dengan sangat baik berkat dosen-dosen muda yang penuh integritas, dedikasi dan loyalitas. Beribu-ribu terima kasih patut kami haturkan untuk beliau-beliau, atas semua kesempatan, keahlian, dan perhatian yang telah ditularkan. Kawan, kau perlu tahu, tak ada yang berbeda meski kita telah terpisah jarak, ruang, maupun waktu. Dukunganku selalu bisa kau dapat, walau hanya melalui doa. Semoga, tidak hanya di hari itu, tapi juga hari ini dan hari-hari esok, kita akan senantiasa menjadi pegiat literasi.
Sepanjang perjalanan ini, aku juga memiliki sahabat-sahabat lain, diantaranya Olive, Dyah, Tanti dan Winda. Persahabatan ini memang baru terjalin beberapa semester menjelang kelulusanku. Tapi percayalah sahabat, aku takkan pernah melupakan kau sebagai kawan terbaikku. Berjanjilah. Jangan pernah merasa sendiri. Semisal kau tak sanggup menanggung bebanmu, kau paham bahwa aku selalu siap tuk diajak berbagi.
Sahabat-sahabatku, lewat tulisan ini, aku hanya ingin mengirim ucapan terima kasih kepadamu. Kau tentu tahu jika lisanku tak lihai berkata-kata. Jadi, Maafkan aku yang hanya mampu melukiskannya melalui kata-kata sederhana ini. Tapi yang jelas, itu tak sedikitpun mengurangi rasa syukurku karena memilikimu. Sahabat-sahabat terbaikku.
Jika hari ini aku bisa menerima hari-hari seperti ini, itu semua berkat orang-orang yang mendukungku. Termasuk kau, sahabatku. Sekali lagi, terima kasih telah berkenan ambil bagian dalam hidupku.

Surabaya, Februari 2015

0 komentar:

Posting Komentar