Aku tidak
terlalu mengerti bagaimana mendefinisikan kebahagiaan. Namun, aku merasa bahwa
hidup memang lebih kaya dan menyenangkan dengan adanya sahabat-sahabat di
sepanjang perjalanan. Beruntunglah orang-orang yang mengenal arti “sahabat” di
sepanjang alur kehidupannya. Karena bersama “sahabat” lah kita mampu merajut
mimpi dan indahnya hidup di atas garis warna-warni dunia fana. Mungkin, sahabat
memiliki makna layaknya bintang yang setia menemani malam, walau terkadang dia
tak tampak bukan berarti dia menghilang, dia tetap ada, karena dialah sahabat
sang malam. Ya, bersahabat dengan mereka membuatku menjadi tahu, rasa sayang
bukan hanya soal mata yang saling menatap. Tapi juga hati yang tak pernah
berhenti mendoakan.
Bisa dibilang,
aku termasuk dalam golongan yang beruntung itu. Hari-hari dalam menikmati
indahnya dunia selalu aku jalani bersama mereka. Kenangan, mari satu persatu
kita buka pintu waktu. Karena sejatinya, kita selalu, selalu bersama.
Sahabat yang pertama kali ada dalam hidupku
adalah saudara sepupu seusiaku dari garis keturunan ayah. Ya, sejak kecil kami
telah tumbuh bersama, ibarat anak kembar malah. Semua serba serupa. Mulai dari
barang-barang kepunyaan, seperti baju, tas, dan sepatu, hingga gaya penampilan
dan pendidikan. Namun, se-betapa-pun kami dimiripkan, kami tetaplah dua manusia
yang meski sangat rekat tetaplah memiliki perbedaan. Jika kata orang aku
memiliki keunggulan dalam prestasi akademik, menurutku dia memiliki keunggulan
dalam kesederhanaan dan kebersahajaannya. Sungguh, menurutku dia hebat. Di usia
kami yang masih kanak-kanak, dia telah memiliki tingkat kedewasaan di atas
rata-rata.
Dia begitu
bersahaja. Dia selalu tabah dan senantiasa ikhlas dalam menjalani hari-harinya.
Bahagianya itu
dari sebuah kesederhanaannya, Tawanya itu dari sikap sederhanannya. Ya,
diantara saudara ayahku yang mayoritas berprofesi sebagai guru, memang hanya
orang tua dialah yang harus bekerja lebih keras menggarap sawah. Seringkali, di
hari libur aku turut menemaninya ke sawah. Walau kami hanya sekedar bermain
ilalang, atau mencari ulat yang mulai menggerogoti tanaman. Tidak hanya itu,
jika mayoritas anak-anak seusia kami hanya bisa meminta uang pada orang tua,
dia justru selalu berusaha agar bisa menghasilkan uang sendiri. Terkadang, aku
juga turut membantunya mencari dan mengumpulkan buah asam, ketika kami
berangkat atau pulang sekolah bersama. Buah asam itu lalu dikuliti, dijemur,
dan nantinya bisa dijual. Atau, ketika musim panen tembakau, dia dan anak-anak
di desa itu membantu para petani dari satu rumah ke rumah secara bergantian.
Uang-uang itu ia simpan dengan baik. Tidak seperti aku yang sangat susah untuk
menabung.
Terkadang, aku
merasa tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dia. Aku memang lebih tua
beberapa bulan darinya, aku anak pertama dan dia anak terakhir, seharusnya aku
jauh lebih dewasa kan? Nyatanya, aku justru belajar banyak darinya. Dia,
saudara sekaligus sahabatku. Kami bersama hingga masa sekolah dasar dan
madrasah kami berakhir. Setelah itu, dia lebih memilih untuk memperdalam ilmu
agama. Dia selalu bilang padaku, bahwa “kebahagiaan itu tak akan pernah bisa di
ukur dari seberapa banyak harta di dunia. Tak apa jika Allah tidak memberi
kesempatan kita untuk kaya di dunia, yang terpenting kita selalu berusaha agar
nanti kita bisa bahagia dan kaya di akhirat.” Selepas menamatkan Madrasah
Aliyah, dia menikah dengan seorang laki-laki soleh. Sungguh, dia pantas untuk
mendapatkannya, karena dia wanita sholehah, seperti nama belakangnya.
Saudariku, tak peduli tangan dan tubuh yang makin jarang bisa rekat, kita akan
tetap punya ikatan yang kuat.
Di SMP, aku
tak lagi bersamanya. Hari-hari mulai dihiasi dengan hadirnya teman-teman baru. Beberapa
ada yang mendekat karena kepentingan. Tapi, ada juga yang karena ketulusan.
Seperti mereka. Dua orang ini mulai memasuki kehidupanku di tahun kedua masa
ini. Meski di dua tahun itu pula kita tak pernah berada dalam satu kelas. Baru
di tahun terakhirlah, kami benar-benar bisa menikmati hari-hari putih-biru
bersama setiap saat. Tak ada kata sebentar dalam sebuah persahabatan sejati
bukan? Ya, saat kami telah memasuki masa SMA, dimana diantara kami bertiga ada
yang berbeda sekolah, persahabatan ini tetap terjalin dengan baik. Bahkan,
hingga mereka berdua bekerja, dan aku masih berkutat dengan materi di bangku
kuliah, ketulusan hati mereka tetap terpancar. Bahwa mereka tidak pernah
memandang persahabatan sebatas status, materi, ataupun sebatas prestasi
akademik.
Jika di dua
jenjang pendidikan sebelumnya aku telah terbiasa berada di atas, maka di
jenjang SMA aku berada diantara mereka yang juga memiliki kemauan, mimpi, dan
kemampuan di atas rata-rata. Ya, selama tiga tahun kami disatukan dalam satu
ikatan yang tidak hanya sebatas kelas formal. Tapi, sebuah ikatan dimana kami saling
merangkul tuk menuju ranah impian. Meski kami tahu, tuk mencapainya, ada lautan
yang harus di sebrangi, ada hujan yang akan melanda, atau bahkan mungkin badai
dalam sebuah hubungan dan perjalanan ini. Tapi, kami percaya, selalu percaya,
bahwa semuanya akan baik-baik saja. Kami biasa menyebut diri kami Einsteiner,
karena kami disatukan oleh sebuah ikatan bernama Einstein.
Hampir seluruh kenangan di masa
putih abu-abu adalah kenangan bersama mereka. Kami tersenyum, menangis dan
bertengkar. Waktu pun berlalu sejak hari itu, di saat kami saling berbicara
tentang impian masing-masing. Hampir seluruh kenangan ini adalah jejak
kehidupan kami. Kami berjalan, berlari dan berhenti. Hingga akhirnya kami
sadar, bahwa pasti akan ada masa dimana kami harus fokus mengejar
impian masing-masing. Hari pun berlalu sejak hari itu.
Di bangku
kuliah, semuanya memang tak lagi sama. Kehidupan mulai menuntut untuk menjadi
lebih mandiri. Berada di tanah rantau, menjadikan kita sangat mengerti hadirnya
teman seperjuangan. Aku pun kembali dipertemukan dengan mereka, dan telah
mengukir cerita yang tak kalah indah tuk dikenang. Aku bersyukur bisa melalui
masa ini bersama kalian. Kuakui, menjalani perjuangan di kota besar seperti
Surabaya memang tidak mudah. Tapi, kalian telah berhasil menjadikan hari-hari
itu berwarna dan bermakna. Ah, aku membayangkan bagaimana rasanya jika suatu
saat kita
mengulang ceritanya? Mengenangnya saja telah mampu menghadirkan senyum,
apalagi nanti jika kita mampu bernostalgia. Pasti, yang tersisa dari semua
kenangan kebersamaan itu hanyalah canda tawa. Tak peduli itu tangis, rasa
kecewa, semangat yang membara, ataupun sikap konyol dan kegilaan, kita hanya
akan mengenangnya dalam senyum dan tawa yang tak pernah palsu.
Aku memiliki
beberapa sahabat di masa ini. Nita, abang Omen, b.ma dan Afril adalah mereka
yang menemani hari-hari perkuliahan sejak awal masa itu dimulai. Ibarat
keluarga, kami telah menganggap satu sama lain sebagai saudara. Selain mereka,
aku juga memiliki sahabat sekaligus partner-partner dalam dunia literasi
kampus. Ya, mereka adalah orang-orang dalam keredaksian jurnal kampus yang juga
tergabung dalam tim riset. Bersama mereka, aku semakin mengenal diriku,
mengerti apa pilihan hatiku, yaitu dunia akademisi dan literasi. Bersama
mereka, aku menjadi sangat paham bahwa jika ada orang yang mengatakan padamu
bahwa perbedaan tidak dapat berjalan beriringan, jangan sepenuhnya percaya. Karena,
seperti halnya pelangi, kami bersatu, tumbuh dan berkembang dengan warna
masing-masing. Dunia menjadi lebih terbuka bersama mereka, karena selalu ada
cara untuk belajar dan mempelajari sesuatu. Kebersamaan itu tercipta dan
terjalin dengan sangat baik berkat dosen-dosen muda yang penuh integritas,
dedikasi dan loyalitas. Beribu-ribu terima kasih patut kami haturkan untuk
beliau-beliau, atas semua kesempatan, keahlian, dan perhatian yang telah
ditularkan. Kawan, kau perlu tahu, tak
ada yang berbeda meski kita telah terpisah jarak, ruang, maupun waktu. Dukunganku selalu bisa kau
dapat, walau hanya melalui doa. Semoga, tidak hanya di hari itu, tapi juga hari
ini dan hari-hari esok, kita akan senantiasa menjadi pegiat literasi.
Sepanjang
perjalanan ini, aku juga memiliki sahabat-sahabat lain, diantaranya Olive, Dyah, Tanti dan Winda. Persahabatan ini memang baru terjalin beberapa semester
menjelang kelulusanku. Tapi percayalah sahabat, aku takkan pernah melupakan kau
sebagai kawan terbaikku. Berjanjilah.
Jangan pernah merasa sendiri. Semisal kau tak sanggup menanggung bebanmu, kau
paham bahwa aku selalu siap tuk diajak berbagi.
Sahabat-sahabatku, lewat tulisan ini, aku hanya ingin
mengirim ucapan terima kasih kepadamu. Kau tentu tahu jika
lisanku tak lihai berkata-kata. Jadi,
Maafkan aku yang hanya mampu melukiskannya melalui kata-kata sederhana ini.
Tapi yang jelas, itu tak sedikitpun mengurangi rasa syukurku karena memilikimu.
Sahabat-sahabat terbaikku.
Jika hari ini
aku bisa menerima hari-hari seperti ini, itu semua berkat orang-orang yang
mendukungku. Termasuk kau, sahabatku. Sekali lagi, terima kasih telah berkenan
ambil bagian dalam hidupku.
Surabaya, Februari 2015
0 komentar:
Posting Komentar