Sabtu, 28 Februari 2015

Ketika Dunia dalam Genggaman




http://assets.kompasiana.com/statics/files/2014/03/1395677900515546588.jpg
Jika dulu suatu bangsa bisa hidup aman di tengah-tengah padang pasir atau hutan. Sekarang tidak. Ilmu pengetahuan modern mengusik siapa saja dari keamanan dan kediamannya. Juga manusia sebagai makhluk sosial dan sebagai individu tidak lagi bisa merasa aman. Dia dikejar-kejar selalu, karena ilmu-pengetahuan modern memberikan inspirasi dan nafsu untuk menguasai: alam dan manusia sekaligus. Tak ada kekuatan lain yang bisa menghentikan nafsu berkuasa ini kecuali ilmu-pengetahuan itu sendiri yang lebih unggul, di tangan manusia yang lebih berbudi.” (Pramoedya Ananta Toer)

Hari ini, ketika aku kembali mengulang pelajaran tentang modernitas dan postmodernitas, aku menjadi lebih paham bagaimana proses pergeseran masa mulai dari tradisional yang magis berpindah ke modernitas yang rasionalitas, hingga ke masa postmodernitas, masa dimana irrasionalitas tumbuh dan berkembang dalam rasionalitas. Kita tahu bahwa masa tradisional berakhir sejak abad pencerahan, sejak ilmu pengetahuan bisa bebas dan berkembang. Abad modern memang berkembang dengan mengedepankan rasionalitas. Dan terapan maksimal dari rasionalitas manusia ini adalah perkembangan teknologi. 

 Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai turunannya memang tidak saja membantu manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Lebih jauh, ilmu pengetahuan dan teknologi telah berhasil mendatangkan kemudahan hidup bagi manusia. Namun sayangnya, perlahan tapi pasti, tujuan mulia ilmu pengetahuan dan teknologi dalam membantu manusia memenuhi kebutuhan hidupnya telah mengalami pergeseran. Ilmu pengetahuan dan teknologi seolah menjadi bumerang bagi manusia sebagai penggunanya. Penggunaan IPTEK yang salah kaprah dan tidak terkendali, kini hanya menciptakan alienasi, dehumanisasi, dan konsumerisme dalam kehidupan manusia. Padahal, ilmu pengetahuan lahir dan hadir di tengah-tengah manusia untuk melakukan enlightening, pencerahan. Tetapi mengapa ilmu pengetahuan dan teknologi, kemudian justru menimbulkan tanda-tanda kehancuran bagi umat manusia?

Bahkan seorang Einstein pun pernah mengungkapkan kekhawatirannya akan perkembangan ilmu yang sifatnya rasional, mulai menjadi dewa baru yang tidak saja menundukkan tapi juga memperbudak masyarakat modern. Beliau berpesan “Dalam peperangan, ilmu menyebabkan kita saling meracun dan saling menjegal. Dalam perdamaian, dia membikin hidup kita dikejar waktu dan penuh tak tentu. Mengapa ilmu yang amat indah ini, yang menghemat kerja dan membikin hidup lebih mudah, hanya membawa kebahagiaan yang sedikit sekali kepada kita?” (Pesan Albert Einstein kepada mahasiswa California Institute of Technology)

Untuk zaman seperti ini, perkembangan teknologi memang bukan hal yang bisa dielakkan, pun tidak perlu sekedar dikutuk, bahkan secara keseluruhan masyarakat memang menyenanginya, seolah tak bisa hidup tanpanya. Ya, dalam kerangka dan irama kultur secara makro, masyarakat memang membutuhkan teknologi. Namun, kita juga harus berhati-hati dalam menerjemahkan makna kemajuan. Dari sudut lain terlihat bahwa ini adalah contoh mencolok betapa tangan-tangan raksasa teknologi kapitalis telah mencengkeram hingga rongga terdalam dari tubuh kebudayaan masyarakat. Satu sisi realitas yang naif; masyarakat telah didorong sedemikian rupa, dipaksa secara kultur dengan dahsyat untuk memiliki apa-apa yang sesungguhnya tidak atau setidaknya belum merupakan kebutuhan dasar yang berasal dari dirinya sendiri. Contoh paling sederhana, handphone –yang saat ini disebut smartphone- misalnya. Anak-anak kecil di era ini bahkan masih dalam usia balita telah menjadikan Smartphone sebagai mainan sehari-hari. Usia diatasnya, Smartphone seolah telah menjadi kebutuhan pokok, yang bisa atau tidak bisa harus ada dalam keseharian mereka. Sementara bagi mereka yang berada dalam rentang remaja-dewasa, memakai Smartphone telah melebihi alasan kebutuhan akan esensi dari barang itu sendiri. Kepuasaan akan fitur-fitur yang selalu berkembang untuk dianggap sebagai yang tercanggih, serta kebesaran nama dari sebuah produk lebih penting untuk mereka miliki. Sehingga tidak heran jika Indonesia menjadi pasar sekaligus konsumen terbesar untuk industry Smartphone. Sangat wajar jika hasil survei Mobility Report Ericsson, menyebutkan bahwa pengguna perangkat mobile akan mencapai 9,3 miliar pada tahun 2019. Dan sekitar 5,6 miliar atau lebih dari 60 persennya merupakan pengguna Smartphone.

Smartphone, di samping kedudukannya sebagai pemenuh mimpi kultur yang kewajarannya dipertanyakan, juga memberi degup yang berbeda dalam kehidupan masyarakat indonesia. Smartphone dan teknologi semacamnya, notabenenya adalah suatu kemajuan konkret. Namun, masalahnya lebih rumit dan naif dari sekedar soal “maju” karena Smartphone tidaklah hadir serempak dengan kesiapan masyarakat untuk menjadikannya sebagai alat komunikasi yang benar-benar efektif. Benda-benda gemerlap itu merupakan produk kultur teknologi yang mencampakkan orang-orang sedemikian rupa kedalam impian kemewahan yang meminta hampir seluruh hidup mereka. Mereka hanya mengerti bahwa produk teknologi tersebut bisa menjadi simbol kemajuan taraf hidup mereka. Bahwa ia tidak bisa dan tidak boleh dielakkan untuk hadir. 

Sehingga, Handphone secara langsung atau sedikit demi sedikit, akan mampu mengendalikan atau bahkan bisa disebut memperbudak sikap dan mekanisme hidup mereka sehari-hari. Barangkali, hal demikian boleh sesekali diabaikan. Namun, sebuah benda teknologi tidak pernah berdiri sendiri, dan sebagai gejala makro yang merata harus diakui bahwa keberadaannya mampu membawa pergeseran warna hidup secara sosial. Memang tidak ada yang salah dengan terjadinya sebuah pergeseran sosial, karena itu memang sebuah konsekuensi dari sebuah dinamika. Dan setiap dinamika meminta ongkos terjadinya kehilangan-kehilangan. Sementara kemajuan akan teruji kebenarannya apabila atas kehilangan-kehilangan ini bisa ditemukan gantinya. Sebut saja terhapusnya beberapa tatanan dan pertalian kehidupan masyarakat sebagai salah satu contohnya.

Dalam Runaway World, Giddens menjelaskan bahwa Globalisasi yang tidak lain adalah anak dari kemajuan ilmu dan teknologi juga bisa menciptakan perubahan super dahsyat yang merombak dan memporak-porandakan tradisi, dimana nilai-nilai penyangga kehidupan manusia terbentuk.  Tidak berhenti di situ saja, proses penghancuran ini pun merambah ke keluarga, komunitas terkecil tempat manusia hidup. Akibatnya, manusia semakin kehilangan tempat berpijak bagi kehidupannya. Bukan hal yang aneh jika saat ini dalam sebuah keluarga, mereka lebih asyik dengan Smartphone masing-masing dibandingkan dengan harus menciptakan quality time dengan anggota keluarga yang lain. Bahkan tak jarang, untuk sekedar komunikasi pun mereka lakukan hanya melalui alat teknologi serba canggih ini. Disadari atau tidak, Smartphone telah mengubah perilaku masyarakat. Orang-orang di zaman ini sudah tidak bisa lagi lepas dari Smartphone. Mereka seolah tidak bisa melepaskannya dari genggaman bahkan hanya untuk beberapa menit. Hal ini tentu cukup mengejutkan bagi kehidupan sosial setiap orang yang ada sekarang. Tujuan utama ponsel sebagai alat komunikasi jarak jauh pun sudah terlupakan. Smartphone membuat orang yang jauh menjadi dekat, namun justru membuat orang yang dekat menjadi jauh. Orang-orang modern saat ini justru lebih asyik dengan dunia yang mereka ciptakan sendiri, dibandingkan dengan dunia nyata dimana mereka berpijak.

Perlahan, kita telah melepaskan diri dari tatanan dan pertalian yang lazim terdapat dalam kehidupan social khususnya di Indonesia yang sebelumnya amat erat dengan kebersamaan dan kekeluargaannya. Di titik ini, kita patut bertanya perihal tatanan-tatanan baru yang mampu mencapai tingkat lebih tinggi secara peradaban manusia, sesuai dengan tingkat kemajuan yang notabenenya menjadi hak masyarakat modern.

Ah, aku tiba-tiba jadi ingat ibu yang pernah berkata “semoga saya dilindungi dari kuasa handphone”. Ya, ibuku. Sosok sederhana tapi telah mampu melakukan counter culture akan kuasa Smartphone. Bagi beliau, dianggap kuno atau ketinggalan zaman masih lebih baik dibandingkan jika kita harus menjadi budak dari sebuah benda kecil seperti itu. Dan tak patut rasanya jika waktu yang amat berharga, yang dikaruniakan oleh tuhan pada umatnya, hanya dihabiskan untuk mengurusi hal-hal yang berada dalam Smartphone. Awalnya, aku pun sempat merasa risih ketika di rumah selalu ditegur dan dinasehati acapkali aku memegang HP. Bagi mereka, ayah dan ibuku, handphone hanya patut digunakan ketika dibutuhkan, dan itu tidak setiap saat. Benar memang, handphone bagi mereka hanya cukup sekedar SMS dan telepon, tidak seperti aku dan saudara-saudaraku yang memang hidup dan besar di era dahsyatnya teknologi komunikasi. Tapi, perlahan seiring bertambahnya usia dan pengetahuan, aku menjadi mengerti, bahwa waktu itu sangat penting untuk hanya sekedar dihabiskan di depan layar smartphone. Ada waktu atas segala sesuatu.

Karena masalah kita bukanlah bagaimana mengelakkan teknologi, melainkan bagaimana menjinakkannya, bagaimana belajar hidup berteknologi secara kreatif, produktif, dan prospektif. Semoga, kita bisa.  

Surabaya, 24 Februari 2015

0 komentar:

Posting Komentar