Senin, 15 Desember 2014

“Pendidikan tanpa kelas, mungkinkah?

Pendidikan merupakan sektor yang sangat penting bagi perkembangan serta peradaban sebuah negara. Di indonesia, pentingnya pendidikan telah dituangkan dalam janji kemerdekaan yang termaktub dalam UUD 1945 yaitu Mencerdaskan kehidupan bangsa. “Mencerdaskan kehidupan bangsa” diletakkan sebagai salah satu janji kemerdekaan. Ia disejajarkan dengan ketiga janji lainnya, yaitu: “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”, “Memajukan kesejahteraan umum”, serta “Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Penempatan pendidikan sebagai salah satu janji kemerdekaan menekankan bahwa janji lain yang meliputi keamanan, ekonomi dan peran internasional, tidak mungkin dapat terwujud tanpa memberikan perhatian yang baik pada pendidikan. Pembangunan yang dilakukan harus berpusat pada manusia, dan pendidikan adalah kunci untuk menciptakan manusia yang berkualitas.
            Jika kita memperhatikan sistem pendidikan yang berlangsung di Indonesia sekarang ini, masih banyak aspek yang perlu dievaluasi untuk memperbaiki kondisi pendidikan di negeri ini.  Ada tiga masalah pokok yang harus segera diselesaikan demi terciptanya sistem pendidikan yang mampu mewujudkan cita-cita sekaligus janji kemerdekaan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Yaitu berkaitan dengan keadilan pendidikan, mutu pendidikan, dan pengelolaan pendidikan.
            Hal-hal yang berkaitan dengan keadilan pendidikan di indonesia sudah bukan lagi suatu hal yang baru, dan bahkan sudah sangat jelas terjadi. Perbedaan kualitas pendidikan antara Jawa dan pulau-pulau lainnya di Indonesia serta kesenjangan pendidikan antara pendidikan di kota besar dengan yang ada di pedesaan. Padahal, pendidikan yang baik dan berkualitas menjadi hak semua warga Indonesia, tidak terkecuali. Ketika keterbatasan atas pemenuhan hak-hak telah terjadi, maka konsekuensi logis yang akan tercipta adalah kesenjangan. Dan semakin kesenjangan itu tercipta atau semakin melebar, hal tersebut semakin akan membatasi atau menghalangi upaya pengentasan kemiskinan yang juga merupakan masalah akut yang tengah dihadapi bangsa ini.
            Pendidikan seringkali dianggap sebagai salah satu cara untuk memutus rantai kemiskinan. Tidak salah memang, karena pendidikan yang baik dan tepat dapat memberi pengetahuan dan keterampilan sehingga individu terdidik dapat meningkatkan taraf hidupnya melalui peningkatan produktivitas serta pemerolehan akses dan sumber daya. Namun nyatanya, akses untuk sekedar mendapatkan pendidikan yang baik saja sudah terbatas bagi beberapa golongan. Lalu, bagaimana mereka bisa terlepas dari belenggu kebodohan dan kemiskinan? Tidakkah ini semacam ironi atas peran pendidikan dalam upaya pengentasan kemiskinan? Pendidikan yang diharapkan mampu mengatasi masalah, justru memperbesar masalah dan kesenjangan yang selama ini telah ada.
            Tidak bisa dipungkiri jika dari hari ke hari pendidikan menjadi semakin mahal. Meskipun juga tidak bisa ditampik bahwa janji-janji pendidikan gratis seringkali bergema. Tapi, bukankah keduanya memang berbeda? Ketika biaya pendidikan berkualitas harus ditanggung oleh peserta didik, atau orang tua peserta didik, pendidikan justru akan menjadi alat seleksi untuk naik kelas. Golongan yang secara keadaan sosial ekonominya mampu, tentu akan berpendidikan yang baik, otomatis akses akan sumber daya juga menjadi lebih mudah dan mereka akan lebih mudah untuk sejahtera. Sementara golongan dengan tingkat sosial ekonomi rendah, keterbatasan akses akan pendidikan yang berkualitas tentu akan menjadi masalah dari sekian masalah mereka. Padahal, pendidikan bermutu adalah salah satu hak dasar anak yang harus dipenuhi dan negara wajib menjamin pemenuhan hak ini bagi semua anak tanpa terkecuali.
            Barangkali, pendidikan di Indonesia saat ini memang telah berbasis kelas. Disparitas mutu antarsekolah seolah tidak bisa dihindari lagi. Ada segelintir sekolah yang dimungkinkan untuk mencapai keunggulan dengan sebagian anak yang akan menikmati pendidikan kelas dunia. Sementara yang lain, harus berpuas diri dengan pendidikan seadanya atau bahkan mungkin tidak sama sekali. Nyatanya, untuk mendapatkan pendidikan mereka telah terbatasi oleh kelas sosial, dalam proses pendidikan pun mereka akan terkelas-kelas. Kastanisasi sekolah SBI, RSBI, SSN, dan Sekolah reguler memang telah dihapus. Embel-embel sekolah internasional, sekolah unggulan, juga telah disarankan untuk tidak digunakan. Tapi, selama tidak diimbangi dengan adanya perbaikan dan pemerataan kualitas, tidakkah hal itu hanya kebohongan belaka?
            Proses pembelajaran pun juga telah terbagi dalam kelas-kelas. Adanya beragam tes, standarisasi dan sistem perangkingan menjadi salah satu caranya. Serangkaian tes atau aneka ujian telah mengaburkan hakikat dan tujuan pendidikan yang seharusnya mengedepankan proses. Sekolah cenderung mengajarkan siswa untuk semata-mata bisa lulus dari ujian yang harus mereka jalani. Terlepas dari hakikat belajar yang sesungguhnya. Penetapan standarisasi pendidikan pun semakin tidak jelas dasarnya. Jika harus ada standarisasi, berdasarkan standarisasi atau patokan dari yang mana? Bukankah semuanya memang berbeda dan tidak bisa begitu saja disamaratakan? Dan sistem perangkingan menjadi titik akhir sekaligus titik tembak pembagian kelas dalam proses pembelajaran. Siswa akan terkotak-kotak menjadi rangking atas-rangking bawah, lulus-tidak lulus, dan yang paling sederhana bisa-tidak bisa. Ketika kelas-kelas telah tercipta, akses akan sumber daya yang dalam hal ini adalah pengetahuan dan kemampuan (Skill) juga akan berbeda. Anak yang berada di golongan atas akan jauh lebih mudah untuk mendapatkannya karena seringkali guru di indonesia lebih memusatkan perhatiannya pada mereka yang bisa, dan cenderung mengabaikan atau setengah hati dalam mendampingi mereka yang terkategori “tidak bisa”.
            Jika ditelisik lebih jauh lagi, latar belakang keluarga terutama status sosial ekonomi juga memiliki peran besar dalam membentuk kemampuan anak. Anak dari golongan mampu, dengan segala fasilitas yang tersedia, serta kemampuan untuk memperdalam kemampuan melalui bimbingan belajar, tentu bukan hal yang sulit bagi mereka untuk bisa lulus ujian dan berada di rangking atas. Berbeda halnya dengan anak yang berlatar belakang menengah-bawah, selain keterbatasan fasilitas, seringkali mereka juga dihadapkan pada kondisi dimana psikologis mereka telah terbagi antara peran mereka sebagai peserta didik, dan peran mereka dalam keluarga. Proses belajar mereka seringkali terpengaruh oleh hal-hal di luar batas kapasitas mereka sebagai anak. Sehingga tidak heran jika seringkali kemampuan mereka kalah jauh. Dalam kasus ini, tidakkah pendidikan menjadi proses pelanggengan kesenjangan?
            Pendidikan akan mampu memutus mata rantai kemiskinan tatkala keadilan dan kesetaraan pendidikan telah tercipta di bumi Indonesia. Barangkali, reformasi pendidikan memang sudah saatnya dilakukan. Pendidikan untuk semua sudah seharusnya digalakkan dan diterapkan. Adanya diskriminasi dalam dunia pendidikan memang lebih baik diminimalisir, agar semua siswa bisa memperoleh perlakuan yang sama. Kemampuan antar siswa memang bisa jadi beragam, tapi ketika guru bisa mendampingi, membimbing, dan mengarahkannya sesuai kemampuan masing-masing siswa, tentu proses dan hasil pendidikan jauh akan lebih baik. Sedangkan untuk evaluasi, alangkah lebih baik jika penilaian lebih mengedepankan progres atau kemajuan belajar dari masing-masing siswa. Jadi, siswa tidak lagi diuji kemampuan dengan siswa lain, atau hanya untuk sekedar memenuhi standar nilai yang telah ditetapkan. Penilaian untuk mengukur kemampuan memang diperlukan, tapi jika dilakukan terlalu sering juga akan menimbulkan tekanan, dan mengaburkan proses belajar minus pemahaman, penerapan, dan pengembangan kreativitas siswa. Ketika generasi muda telah tumbuh tanpa tekanan, maka tidak akan lagi kita temui anak Indonesia yang besar dan tumbuh tanpa pernah menggunakan otaknya untuk kreativitas. Dan ketika pendidikan untuk semua telah mampu dilaksanakan, kesenjangan (kastanisasi) dalam pendidikan telah dihapuskan, maka secara perlahan kemiskinan dan kesenjangan ekonomi juga akan teratasi. 

0 komentar:

Posting Komentar