Senin, 08 Desember 2014

Cinta di ujung senja

“Karena itulah, aku ingin kau meneruskan pencarian impianmu. Kalau aku memang bagian dari mimpimu, suatu hari nanti kau pasti kembali.” Gadis itu menyeka titik bening yang membahasi pipinya. Ia menundukkan kepala, memejamkan mata, mencoba mencari kekuatan. Barangkali, hatinya  juga melakukan hal yang serupa. Tapi hati sedikit beruntung, karena tidak semua orang bisa mengetahui bagaimana kerasnya ia berjuang melawan kemunafikan yang terjadi padanya. Ia kembali menengadah, mencoba kuat untuk menatap sepasang mata elang yang ada di hadapannya.

“Pergilah... cinta tak pernah menghalangi seseorang untuk mengejar mimpinya. Jika memang ini adalah cinta sejati, cinta ini pulalah yang akan menuntunmu. Pergilah...!” suaranya remuk redam oleh isak tangis yang mulai tak kuasa ia tahan. Sekali lagi ia mengusap pipinya yang basah. Ah, hati. Kadangkala, kau dan tubuh memang tak dapat dipisahkan, yang berarti tubuh menjadi sahih sebagai pencerminanmu. Seperti yang aku lihat pada gadis ini. Seberapapun ia berusaha, ia telah gagal untuk melawan bahwa hati memang tak bisa berbohong.

Gadis itu diam. Aku diam. Semuanya hening. Hanya suara cicit cericit burung-burung yang terbang hinggap diantara pepohonan di sekitar kami yang menjadi nada cinta dalam kebisuan. Ya, terkadang aku memang mencintainya dalam diam. Diamku adalah salah satu caraku mencintaimu, wahai gadisku.

Tapi percayalah, diam bukan berarti pasrah, diam bukan berarti tidak bertindak. Ibarat air yang tenang, seolah aku memang tidak melakukan apapun, hanya diam, sabar, tapi sebenarnya sedang terus berusaha habis-habisan. Berusaha untuk menjalani hari sesuai hukum alamnya, untuk bertemu rintangan, bertemu celah-celah kecil, bahkan bertemu batu-batu. Kau perlu tahu, bagi orang yang mencintai dalam diam sepertiku, apa yang ditunjukkannya hanyalah bagai gunung es di dalam samudera, hanya memperlihatkan pucuk kecil dari betapa besar perasaan itu di dalamnya. Besar sekali yang tersembunyi.

“Sama halnya seperti diriku, Kumohon padamu.. bersabarlah. Bersabarlah atas waktu terbaikNya. Bersabarlah atas skenario terbaikNya. Bahkan ketika orang-orang tidak tahu betapa besar dan menakjubkannya rasa sabar tersebut. Jika memang kita ditakdirkan bersama, biarlah Tuhan yang mengatur semua jalannya. Aku tak ingin mengikatmu dalam penantian, jika ada yang datang padamu dan ternyata dia lebih baik dari aku. Terimalah... aku hanya ingin kau mendapatkan yang terbaik. Meski disini aku juga sedang berjuang untuk menjadi lebih baik bagimu.” Ya, meski berat, akhirnya aku mengatakannya.

Kulihat gadis di sebelahku, dia masih menunduk. Dan kuyakin dalam hatinya menyimpan segumpal rasa sesak. Seperti halnya hatiku. Ah, rasa macam apa ini. Terkatakan tidak, tapi terasa ada. Meski aku juga yakin, dia gadis yang kuat. Mencoba untuk kuat, barangkali. Sebagaimana aku juga yakin akan cintanya yang begitu tulus. Termasuk tulus untuk melepas kepergianku. Meski aku tahu benar, perasaan itu akan benar-benar menyakitkan baginya.

Tentang cinta, betapa ia mengalir diam-diam tanpa harus mencari di mana awal mulanya. Kau hanya tahu, tiba-tiba merasa aneh karena ada seseorang yang mulai mengganggu otak dan perasaanmu. Seperti yang aku dan gadis itu alami. Kita, sepasang cinta yang dipertemukan tanpa proses pendekatan. Kau dan aku, sepasang manusia yang lekat tanpa pernah harus berpelukan.

Entah aku harus berterima kasih atau tidak pada keadaan, pada mereka yang berusaha mempertemukan sekaligus menyatukan aku denganmu. Merekalah yang mengantarkanku pada semua ambiguitas ini. Ah, yang jelas aku harus minta maaf padamu. Ya, padamu.

Terdengar sedikit bising kesibukan yang diciptakan oleh segerombolan anak remaja yang baru saja memasuki area taman. Mereka terlihat sangat riang dalam canda dan tawa mereka. Sungguh, bertolak belakang dengan kita bukan? yang berselimut cinta dalam kesunyian.

Aku dengan resah memalingkan wajah ke arah pepohonan di depanku dan bergumam  “Maafkan aku.”
“maaf untuk apa?”
“karena aku, kau harus kecewa.”

Gadis itu mendesah dan tersenyum tipis, “tidak usah meminta maaf, kau tidak bersalah. Mungkin semuanya memang belum waktunya. Aku tahu, kita masih sama-sama membutuhkan waktu untuk selesai dengan diri sendiri.”

Lagi, Selama beberapa saat suasana tercipta tanpa saling bicara. Suara yang terdengar hanyalah suara gemeresik dedaunan yang ditiup angin, suara lalu lintas di kejauhan dan suara segerombolan anak remaja yang telah berada di ujung taman sana.  

Melihatnya tersenyum, aku turut tersenyum samar. “kau benar, aku belum selesai dengan diriku sendiri. Dan karena itulah, aku masih terlalu takut untuk membawamu turut serta bersamaku. Karena aku tahu, perjalanan itu pasti tidak mudah.”

“mmm.. aku tahu.” Gumamnya, lalu menarik nafas dalam-dalam. “percayalah, aku disini akan baik-baik saja. Jika nanti dalam perjalanan pencarian mimpimu kau akhirnya bertemu dengan seorang gadis yang bisa memahamimu lebih dari aku, semoga cinta kalian dimudahkan oleh Tuhan. Tentu, kau tak perlu memikirkan aku yang disini senantiasa mendoakanmu. Doakan saja aku  ikhlas dengan bahagiamu mas.. hanya itu pintaku. Ya, hanya itu.”

Aku menatapnya dengan heran. mencoba membuka mulutku untuk mengatakan sesuatu, tapi tak ada satu patah katapun yang keluar dari mulutku. Aku berpikir sejenak.
“aku bukannya ingin meninggalkanmu untuk selamanya, Aira.”

Gadis yang dipanggil Aira itu menatap laki-laki di depannya dengan tatapan setengah terkejut.
ah, perasaan macam apa ini. Aku tidak ingin meninggalkannya, tapi aku juga terlalu takut untuk membawanya untuk saat ini. Ya tuhan. Semuanya serba paradoks. Ambigu. Bahkan, beberapa detik yang lalu aku sendiri yang mengatakan padanya bahwa aku tidak mengikatnya dalam penantian ini. Dan detik ini, ketika dia rela melepaskanku. Aku yang tidak rela untuk melepaskan dan dilepaskan. Ya tuhan.

Aku membuka mulut hendak menjelaskan, namun lagi-lagi aku mengurungkan niatku. Tetapi saat ini aku sangat ingin mengatakan apa yang aku rasakan, apa yang ada dalam hatiku. Tidak lagi berbohong, tidak lagi bersikap sok tegar dan seolah semuanya akan baik-baik saja. Tidak.
Aku menoleh ke arahnya. “bisakah aku memintamu untuk menungguku?”

Dia tertegun. Sedangkan aku menatapnya dengan penuh harap. Ia diam. Tak bersuara. Mungkinkah ia sedang berpikir ia harus menjawab apa? Sayangnya aku juga tidak bisa menunggu untuk tidak mengatakannya. “aku pergi untuk sementara. Untuk selesai dengan diriku sendiri, dengan semua impian-impian pribadiku.  Hingga saat itu tiba, bisakah kau menungguku?”

Aku menghela napas dalam-dalam, mencoba meredakan kepanikan yang tiba-tiba menyerangku.
“Kejarlah impianmu,” ucap Aira datar, lalu ia mengulum senyumnya yang tipis. “Setelah itu, kalau memang masih ada kesempatan, kita bisa bertemu lagi.”
“berarti kau mau menungguku?” tanyaku tak sabar.
“entahlah...” sejenak ia terdiam.

Sementara aku masih tidak mengerti apa maksudnya.  Lagi-lagi senyum manisnya terkulum. Dia selalu tenang ketika tersenyum.  “jika saat ini kita memang belum bisa bersatu, mungkin perpisahan ini memang ada baiknya. Aku merasa kita berdua butuh waktu untuk berpikir. Supaya kita benar-benar yakin tentang apa yang kita inginkan.”
Aku terdiam. Kalau aku boleh jujur, aku tidak ingin meninggalkannya. Aku juga tidak ingin ia melepaskanku. Sungguh, keputusan ini sangat sulit.

Aku lihat dia kembali menunduk. Aku bisa merasakan bahwa ia juga merasa sedih walaupun dia terus berkata pada diri sendiri bahwa ia telah melakukan hal yang benar. Bagaimanapun juga, ia melakukan semua ini demi aku dan dirinya sendiri.

Seperti yang aku katakan tadi, aku butuh waktu untuk selesai dengan diriku sendiri. Dan mungkin benar, dia juga butuh waktu. Kita sama-sama membutuhkan waktu untuk memikirkan ulang semuanya. Ya, barangkali memang benar.

Sebutir air mata jatuh di pipinya dan Aira menghapusnya dengan cepat. Kenapa ia menangis? Mungkinkah tiba-tiba hatinya terasa sakit? Dia menghela napas dalam-dalam dan mengembuskannya dengan pelan, mencoba tersenyum. Senyum yang paling aku suka darinya.

“Tidakkah kita seperti dua orang yang sama-sama keras kepala berjuang demi akhir yang sebenarnya belum bisa diperkirakan?” tanyanya seolah dia menertawakan kehidupan yang sedang terjadi.

Aku mencoba menguatkan diriku. Hingga akhirnya...
“Baiklah, mungkin memang lebih baik kita berpisah untuk sementara waktu.”
Aira tidak berkata apa-apa.

“Sebelum waktu itu tiba. Mungkin kita adalah dua manusia yang masih harus berjuang di arena pertarungan serupa, hanya saja dari dua tempat yang berbeda. Yang pasti, hanya Tuhanlah yang memiliki kuasa atas jalannya.”

Masih tidak terdengar suara darinya. Suasana kembali hening sejenak, lalu terdengar Aira bergumam, “Baiklah. ”

Di langit, seraut senja mulai terisak. Enggan berpisah, tapi harus berpisah. Yang barangkali memang hanya untuk sementara.


Surabaya, Desember 2014

0 komentar:

Posting Komentar