“Karena itulah, aku
ingin kau meneruskan pencarian impianmu. Kalau aku memang bagian dari mimpimu,
suatu hari nanti kau pasti kembali.” Gadis itu menyeka titik bening yang
membahasi pipinya. Ia menundukkan kepala, memejamkan mata, mencoba mencari
kekuatan. Barangkali, hatinya juga
melakukan hal yang serupa. Tapi hati sedikit beruntung, karena tidak semua
orang bisa mengetahui bagaimana kerasnya ia berjuang melawan kemunafikan yang
terjadi padanya. Ia kembali menengadah, mencoba kuat untuk menatap sepasang
mata elang yang ada di hadapannya.
“Pergilah... cinta tak
pernah menghalangi seseorang untuk mengejar mimpinya. Jika memang ini adalah
cinta sejati, cinta ini pulalah yang akan menuntunmu. Pergilah...!” suaranya
remuk redam oleh isak tangis yang mulai tak kuasa ia tahan. Sekali lagi ia
mengusap pipinya yang basah. Ah, hati. Kadangkala, kau dan tubuh memang tak
dapat dipisahkan, yang berarti tubuh menjadi sahih sebagai pencerminanmu.
Seperti yang aku lihat pada gadis ini. Seberapapun ia berusaha, ia telah gagal
untuk melawan bahwa hati memang tak bisa berbohong.
Gadis itu diam. Aku diam.
Semuanya hening. Hanya suara cicit cericit burung-burung yang terbang hinggap
diantara pepohonan di sekitar kami yang menjadi nada cinta dalam kebisuan. Ya,
terkadang aku memang mencintainya dalam diam. Diamku adalah salah satu caraku
mencintaimu, wahai gadisku.
Tapi percayalah, diam
bukan berarti pasrah, diam bukan berarti tidak bertindak. Ibarat air yang
tenang, seolah aku memang tidak melakukan apapun, hanya diam, sabar, tapi
sebenarnya sedang terus berusaha habis-habisan. Berusaha untuk menjalani hari
sesuai hukum alamnya, untuk bertemu rintangan, bertemu celah-celah kecil, bahkan
bertemu batu-batu. Kau perlu tahu, bagi orang yang mencintai dalam diam
sepertiku, apa yang ditunjukkannya hanyalah bagai gunung es di dalam samudera,
hanya memperlihatkan pucuk kecil dari betapa besar perasaan itu di dalamnya.
Besar sekali yang tersembunyi.
“Sama halnya seperti
diriku, Kumohon padamu.. bersabarlah. Bersabarlah atas waktu terbaikNya.
Bersabarlah atas skenario terbaikNya. Bahkan ketika orang-orang tidak tahu
betapa besar dan menakjubkannya rasa sabar tersebut. Jika memang kita
ditakdirkan bersama, biarlah Tuhan yang mengatur semua jalannya. Aku tak ingin
mengikatmu dalam penantian, jika ada yang datang padamu dan ternyata dia lebih
baik dari aku. Terimalah... aku hanya ingin kau mendapatkan yang terbaik. Meski
disini aku juga sedang berjuang untuk menjadi lebih baik bagimu.” Ya, meski berat,
akhirnya aku mengatakannya.
Kulihat gadis di
sebelahku, dia masih menunduk. Dan kuyakin dalam hatinya menyimpan
segumpal rasa sesak. Seperti halnya hatiku. Ah, rasa macam apa ini. Terkatakan
tidak, tapi terasa ada. Meski aku juga yakin, dia gadis yang kuat. Mencoba
untuk kuat, barangkali. Sebagaimana aku juga yakin akan cintanya yang begitu
tulus. Termasuk tulus untuk melepas kepergianku. Meski aku tahu benar, perasaan
itu akan benar-benar menyakitkan baginya.
Tentang cinta, betapa ia mengalir diam-diam
tanpa harus mencari di mana awal mulanya. Kau hanya tahu, tiba-tiba merasa aneh
karena ada seseorang yang mulai mengganggu otak dan perasaanmu. Seperti yang
aku dan gadis itu alami. Kita, sepasang cinta
yang dipertemukan tanpa proses pendekatan. Kau dan aku, sepasang manusia
yang lekat tanpa pernah harus berpelukan.
Entah aku harus
berterima kasih atau tidak pada keadaan, pada mereka yang berusaha
mempertemukan sekaligus menyatukan aku denganmu. Merekalah yang mengantarkanku
pada semua ambiguitas ini. Ah, yang jelas aku harus minta maaf padamu. Ya,
padamu.
Terdengar sedikit bising kesibukan yang
diciptakan oleh segerombolan anak remaja yang baru saja memasuki area taman. Mereka
terlihat sangat riang dalam canda dan tawa mereka. Sungguh, bertolak belakang
dengan kita bukan? yang berselimut cinta dalam kesunyian.
Aku dengan resah
memalingkan wajah ke arah pepohonan di depanku dan bergumam “Maafkan aku.”
“maaf untuk
apa?”
“karena aku, kau
harus kecewa.”
Gadis itu
mendesah dan tersenyum tipis, “tidak usah meminta maaf, kau tidak bersalah.
Mungkin semuanya memang belum waktunya. Aku tahu, kita masih sama-sama
membutuhkan waktu untuk selesai dengan diri sendiri.”
Lagi, Selama
beberapa saat suasana tercipta tanpa saling bicara. Suara yang terdengar
hanyalah suara gemeresik dedaunan yang ditiup angin, suara lalu lintas di
kejauhan dan suara segerombolan anak remaja yang telah berada di ujung taman
sana.
Melihatnya
tersenyum, aku turut tersenyum samar. “kau benar, aku belum selesai dengan
diriku sendiri. Dan karena itulah, aku masih terlalu takut untuk membawamu turut
serta bersamaku. Karena aku tahu, perjalanan itu pasti tidak mudah.”
“mmm.. aku tahu.”
Gumamnya, lalu menarik nafas dalam-dalam. “percayalah, aku disini akan
baik-baik saja. Jika nanti dalam perjalanan pencarian mimpimu kau akhirnya
bertemu dengan seorang gadis yang bisa memahamimu lebih dari aku, semoga cinta
kalian dimudahkan oleh Tuhan. Tentu, kau tak perlu memikirkan aku yang disini
senantiasa mendoakanmu. Doakan saja aku ikhlas
dengan bahagiamu mas.. hanya itu pintaku. Ya, hanya itu.”
Aku menatapnya
dengan heran. mencoba membuka mulutku untuk mengatakan sesuatu, tapi tak ada
satu patah katapun yang keluar dari mulutku. Aku berpikir sejenak.
“aku bukannya
ingin meninggalkanmu untuk selamanya, Aira.”
Gadis yang
dipanggil Aira itu menatap laki-laki di depannya dengan tatapan setengah
terkejut.
ah, perasaan
macam apa ini. Aku tidak ingin meninggalkannya, tapi aku juga terlalu takut
untuk membawanya untuk saat ini. Ya tuhan. Semuanya serba paradoks. Ambigu.
Bahkan, beberapa detik yang lalu aku sendiri yang mengatakan padanya bahwa aku
tidak mengikatnya dalam penantian ini. Dan detik ini, ketika dia rela
melepaskanku. Aku yang tidak rela untuk melepaskan dan dilepaskan. Ya tuhan.
Aku membuka
mulut hendak menjelaskan, namun lagi-lagi aku mengurungkan niatku. Tetapi saat
ini aku sangat ingin mengatakan apa yang aku rasakan, apa yang ada dalam
hatiku. Tidak lagi berbohong, tidak lagi bersikap sok tegar dan seolah semuanya
akan baik-baik saja. Tidak.
Aku menoleh ke
arahnya. “bisakah aku memintamu untuk menungguku?”
Dia tertegun.
Sedangkan aku menatapnya dengan penuh harap. Ia diam. Tak bersuara. Mungkinkah
ia sedang berpikir ia harus menjawab apa? Sayangnya aku juga tidak bisa
menunggu untuk tidak mengatakannya. “aku pergi untuk sementara. Untuk selesai
dengan diriku sendiri, dengan semua impian-impian pribadiku. Hingga saat itu tiba, bisakah kau menungguku?”
Aku menghela
napas dalam-dalam, mencoba meredakan kepanikan yang tiba-tiba menyerangku.
“Kejarlah
impianmu,” ucap Aira datar, lalu ia mengulum senyumnya yang tipis. “Setelah
itu, kalau memang masih ada kesempatan, kita bisa bertemu lagi.”
“berarti kau mau
menungguku?” tanyaku tak sabar.
“entahlah...”
sejenak ia terdiam.
Sementara aku
masih tidak mengerti apa maksudnya.
Lagi-lagi senyum manisnya terkulum. Dia selalu tenang ketika
tersenyum. “jika saat ini kita memang
belum bisa bersatu, mungkin perpisahan ini memang ada baiknya. Aku merasa kita
berdua butuh waktu untuk berpikir. Supaya kita benar-benar yakin tentang apa
yang kita inginkan.”
Aku terdiam.
Kalau aku boleh jujur, aku tidak ingin meninggalkannya. Aku juga tidak ingin ia
melepaskanku. Sungguh, keputusan ini sangat sulit.
Aku lihat dia
kembali menunduk. Aku bisa merasakan bahwa ia juga merasa sedih walaupun dia
terus berkata pada diri sendiri bahwa ia telah melakukan hal yang benar.
Bagaimanapun juga, ia melakukan semua ini demi aku dan dirinya sendiri.
Seperti yang aku
katakan tadi, aku butuh waktu untuk selesai dengan diriku sendiri. Dan mungkin
benar, dia juga butuh waktu. Kita sama-sama membutuhkan waktu untuk memikirkan
ulang semuanya. Ya, barangkali memang benar.
Sebutir air mata
jatuh di pipinya dan Aira menghapusnya dengan cepat. Kenapa ia menangis?
Mungkinkah tiba-tiba hatinya terasa sakit? Dia menghela napas dalam-dalam dan
mengembuskannya dengan pelan, mencoba tersenyum. Senyum yang paling aku suka
darinya.
“Tidakkah kita
seperti dua orang yang sama-sama keras kepala berjuang demi akhir yang
sebenarnya belum bisa diperkirakan?” tanyanya seolah dia menertawakan kehidupan
yang sedang terjadi.
Aku mencoba
menguatkan diriku. Hingga akhirnya...
“Baiklah,
mungkin memang lebih baik kita berpisah untuk sementara waktu.”
Aira tidak
berkata apa-apa.
“Sebelum waktu
itu tiba. Mungkin kita adalah dua manusia yang masih harus berjuang di arena
pertarungan serupa, hanya saja dari dua tempat yang berbeda. Yang pasti, hanya
Tuhanlah yang memiliki kuasa atas jalannya.”
Masih tidak
terdengar suara darinya. Suasana kembali hening sejenak, lalu terdengar Aira
bergumam, “Baiklah. ”
Di langit,
seraut senja mulai terisak. Enggan berpisah, tapi harus berpisah. Yang
barangkali memang hanya untuk sementara.
Surabaya,
Desember 2014
0 komentar:
Posting Komentar