“Setelah Lulus S2 mau ke mana?”
Sebenarnya, pertanyaan jenis ini pernah
ada dalam fase hidup saya sebelumnya. Fase setelah lulus kuliah memang menjadi
sebuah tonggak sejarah yang penting dalam perjalanan hidup seseorang. Bedanya,
dulu ketika baru menjadi seorang sarjana baru, yang ada dalam pikiran saya
hanyalah ego yang tinggi tentang pekerjaan. Hingga akhirnya saya mengerti bahwa
untuk mencari pekerjaan yang pas, yang sesuai dengan passion, tujuan, dan
mimpi-mimpi hidup itu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan.
Kini, pertanyaan serupa kembali
hadir, yang barangkali dengan beban mental yang jauh lebih berat. Karena
tentunya, dengan gelar S2 yang telah kami sandang, begitu banyak tuntutan yang
akan hadir, utamanya yang berasal dari cermin social.
Pernah suatu waktu, saya dan
teman-teman terlibat dalam sebuah perbincangan tentang apa yang akan kita
lakukan selepas kita lulus kuliah. Lebih enak mana menjadi guru SMA atau Dosen?
Kemudian berlanjut pada sebuah masalah yang bisa jadi akan menghampiri kami
semua nantinya. Berkarir atau tidak setelah menikah?
Pembahasan tentang masalah ini
langsung menjadi topik hangat, mengingat yang terlibat dalam perbincangan ini
mayoritas adalah wanita-wanita muda yang memang belum menikah. (Oh ya, kelas
ini memang kelas dengan mahasiswa paling muda-muda diantara semua angkatan yang
pernah ada, jadi tidak heran jika tingkah kami masih pecicilan, layaknya
mahasiswa S1, hahha)
Topik ini muncul karena curahan
hati dari seorang sahabat saya sekaligus kakak tingkat saya zaman S1 dulu. Dia
bercerita bahwa “calonnya” melarang dia untuk meniti karir selepas menikah
nanti. Menjadi berat bagi dia mengingat selama ini dia telah terbiasa dengan
kesibukannya mengajar, dan berbeda dengan saya yang cenderung lebih suka berada di rumah, dia adalah tipe
orang dengan kepribadian ekstrovert, mencintai keramaian. Selain itu, setelah
menikah nanti, dia akan diboyong ke luar jawa. Wow… bisa dibayangkan, dia akan
jauh dari keluarganya, dari teman-temannya, dan dari hingar-bingar kota besar
seperti Surabaya -karena teman saya ini adalah fashionista sejati-, dan harus
berada di rumah? Tentu, akan sangat membosankan bagi dia, bukan?
“Rugi dong S2 kamu kalau kamu
nggak boleh kerja?” celetuk salah seorang diantara kami
“Tapi kenapa dia nyuruh kamu S2
ya mbak, kalau akhirnya nggak boleh kerja? Tujuannya apa coba?” sahut teman
saya yang lain
Hmm... Pada akhirnya, masing-masing
pribadilah yang akan memutuskan. Bukankah bagi seorang wanita, sebuah
perbincangan memang tidak menuntut untuk hadirnya sebuah solusi? Meski
demikian, setidaknya, dengan adanya perbincangan ini, pikiran kami menjadi
lebih terbuka bahwa segala hal memang selalu terdiri dari dua sisi.
Menjelang wisuda, mulai merebak
pengumuman tentang pengajuan beasiswa LPDP untuk jenjang doctoral. Beberapa
teman menyambutnya dengan antusias, bahkan satu diantara teman kelas kami sudah
ada yang lolos.
“Orin nggak mau nyoba beasiswa S3
LPDP? Yuk, nyoba yuk!” ajak salah satu teman saya.
Hmm… jujur, tak pernah terlintas
dalam benak saya bahwa saya ingin melanjutkan S3. Karena kenapa? Pertama, saya
merasa bahwa saya belum memiliki kapasitas untuk menjadi mahasiswa doctoral.
Kedua, saya berpikir, sudah cukup saya menjadi mahasiswa yang berkutat dengan
diktat dan tugas, kini saatnya saya mengamalkan ilmu yang saya miliki. Perkara
suatu saat saya ditakdirkan untuk kembali ke kampus, itu soal lain. Ketiga,
saya merasa sudah saatnya saya belajar di universitas kehidupan, atau bahasa
sederhananya, menikah. hihihi…
Nah, alasan yang ketiga inilah
yang sering saya jadikan tameng sekaligus guyonan setiap kali ada yang
menanyakan tentang keberlanjutan studi saya.
“iya mau.. S3 (Es tri/istri)
tapi…” jawab saya dengan seutas senyum
Duh, pokoknya, usia seperempat
abad itu memang dikit-dikit bawa perasaan deh, apalagi untuk urusan yang satu
ini. Ya, seperti kita-kita ini.
Pasca wisuda, yang menjadi
trending topik pembicaraan adalah lowongan pekerjaan utamanya untuk menjadi dosen. Tentang
penawaran dari kampus almamater, lowongan dosen atau peneliti yang lumayan
banyak di luar jawa, atau tentang kesempatan untuk menjadi PNS di kementerian
pusat.
“Dijalani aja yang ada, ndak usah
terlalu jauh, biar bisa sering-sering pulang” ucap ayah saya ketika saya
bercerita tentang teman-teman yang mulai mencoba ini-itu.
Sebenarnya, saya
pribadi juga hanya ingin bercerita sih, tanpa bermaksud apa-apa -karena memang
kebiasaan saya tiap kali pulang untuk bercerita apapun pada ayah-ibu-. Tidak
seperti dulu ketika baru lulus S1, saat hasrat untuk merantau dan
memperjuangkan mimpi masih menggebu. Bukan berarti saat ini hasrat
memperjuangkan mimpi itu telah padam lhoh ya, hanya saja, kini saya telah tahu
apa mimpi saya yang sebenarnya. Pertimbangan lain, saya anak perempuan
satu-satunya, tidak seperti adik-adik saya yang bebas merantau untuk menuntut
ilmu dan mengamalkan ilmu, saya mah di sini saja, dekat rumah, bisa
sering-sering pulang, sebelum nanti pada waktunya dibawa suami. Eaa…. Baper
lagi kan. hahahah
Ya, setiap orang mengukir
perjuangannnya sendiri. Dan, selalu ada kisah-kisah yang terserak tentang
perjuangan dalam meraih banyak hal. Setiap orang bebas menentukan arah hidupnya. Setiap orang bebas memperjuangkan apa yang diyakininya.
Tapi, pada akhirnya orang-orang
yang punya komitmen, merasa cinta dengan apa yang ia lakukan, dan selalu
berangkat kerja dengan penuh semangat adalah orang-orang yang sedang membuat
perubahan. Dengan energi yang dimilikinya, mereka berbagi dan mendorong orang
lain untuk merasakan hal yang sama, kebahagiaan – dalam bentuk apapun-.
Termasuk meneruskan apa yang pernah didapatkannya dalam hidup ini. Meneruskan
kesempatan dan kepercayaan.
Love love love
BalasHapusEpoyy...
BalasHapusLove u too..😘😘
Epoyy...
BalasHapusLove u too..😘😘