Selasa, 01 November 2016

Karir, Nikah, atau Pendidikan?



“Setelah Lulus S2 mau ke mana?”

Sebenarnya, pertanyaan jenis ini pernah ada dalam fase hidup saya sebelumnya. Fase setelah lulus kuliah memang menjadi sebuah tonggak sejarah yang penting dalam perjalanan hidup seseorang. Bedanya, dulu ketika baru menjadi seorang sarjana baru, yang ada dalam pikiran saya hanyalah ego yang tinggi tentang pekerjaan. Hingga akhirnya saya mengerti bahwa untuk mencari pekerjaan yang pas, yang sesuai dengan passion, tujuan, dan mimpi-mimpi hidup itu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan.

Kini, pertanyaan serupa kembali hadir, yang barangkali dengan beban mental yang jauh lebih berat. Karena tentunya, dengan gelar S2 yang telah kami sandang, begitu banyak tuntutan yang akan hadir, utamanya yang berasal dari cermin social.

Pernah suatu waktu, saya dan teman-teman terlibat dalam sebuah perbincangan tentang apa yang akan kita lakukan selepas kita lulus kuliah. Lebih enak mana menjadi guru SMA atau Dosen? Kemudian berlanjut pada sebuah masalah yang bisa jadi akan menghampiri kami semua nantinya. Berkarir atau tidak setelah menikah? 

Pembahasan tentang masalah ini langsung menjadi topik hangat, mengingat yang terlibat dalam perbincangan ini mayoritas adalah wanita-wanita muda yang memang belum menikah. (Oh ya, kelas ini memang kelas dengan mahasiswa paling muda-muda diantara semua angkatan yang pernah ada, jadi tidak heran jika tingkah kami masih pecicilan, layaknya mahasiswa S1, hahha)

Topik ini muncul karena curahan hati dari seorang sahabat saya sekaligus kakak tingkat saya zaman S1 dulu. Dia bercerita bahwa “calonnya” melarang dia untuk meniti karir selepas menikah nanti. Menjadi berat bagi dia mengingat selama ini dia telah terbiasa dengan kesibukannya mengajar, dan berbeda dengan saya yang cenderung  lebih suka berada di rumah, dia adalah tipe orang dengan kepribadian ekstrovert, mencintai keramaian. Selain itu, setelah menikah nanti, dia akan diboyong ke luar jawa. Wow… bisa dibayangkan, dia akan jauh dari keluarganya, dari teman-temannya, dan dari hingar-bingar kota besar seperti Surabaya -karena teman saya ini adalah fashionista sejati-, dan harus berada di rumah? Tentu, akan sangat membosankan bagi dia, bukan?

“Rugi dong S2 kamu kalau kamu nggak boleh kerja?” celetuk salah seorang diantara kami

“Tapi kenapa dia nyuruh kamu S2 ya mbak, kalau akhirnya nggak boleh kerja? Tujuannya apa coba?” sahut teman saya yang lain

Hmm... Pada akhirnya, masing-masing pribadilah yang akan memutuskan. Bukankah bagi seorang wanita, sebuah perbincangan memang tidak menuntut untuk hadirnya sebuah solusi? Meski demikian, setidaknya, dengan adanya perbincangan ini, pikiran kami menjadi lebih terbuka bahwa segala hal memang selalu terdiri dari dua sisi.

Menjelang wisuda, mulai merebak pengumuman tentang pengajuan beasiswa LPDP untuk jenjang doctoral. Beberapa teman menyambutnya dengan antusias, bahkan satu diantara teman kelas kami sudah ada yang lolos. 

“Orin nggak mau nyoba beasiswa S3 LPDP? Yuk, nyoba yuk!” ajak salah satu teman saya. 

Hmm… jujur, tak pernah terlintas dalam benak saya bahwa saya ingin melanjutkan S3. Karena kenapa? Pertama, saya merasa bahwa saya belum memiliki kapasitas untuk menjadi mahasiswa doctoral. Kedua, saya berpikir, sudah cukup saya menjadi mahasiswa yang berkutat dengan diktat dan tugas, kini saatnya saya mengamalkan ilmu yang saya miliki. Perkara suatu saat saya ditakdirkan untuk kembali ke kampus, itu soal lain. Ketiga, saya merasa sudah saatnya saya belajar di universitas kehidupan, atau bahasa sederhananya, menikah. hihihi…

Nah, alasan yang ketiga inilah yang sering saya jadikan tameng sekaligus guyonan setiap kali ada yang menanyakan tentang keberlanjutan studi saya.

“iya mau.. S3 (Es tri/istri) tapi…” jawab saya dengan seutas senyum

Duh, pokoknya, usia seperempat abad itu memang dikit-dikit bawa perasaan deh, apalagi untuk urusan yang satu ini. Ya, seperti kita-kita ini.  

Pasca wisuda, yang menjadi trending topik pembicaraan adalah lowongan pekerjaan  utamanya untuk menjadi dosen. Tentang penawaran dari kampus almamater, lowongan dosen atau peneliti yang lumayan banyak di luar jawa, atau tentang kesempatan untuk menjadi PNS di kementerian pusat.

“Dijalani aja yang ada, ndak usah terlalu jauh, biar bisa sering-sering pulang” ucap ayah saya ketika saya bercerita tentang teman-teman yang mulai mencoba ini-itu. 

Sebenarnya, saya pribadi juga hanya ingin bercerita sih, tanpa bermaksud apa-apa -karena memang kebiasaan saya tiap kali pulang untuk bercerita apapun pada ayah-ibu-. Tidak seperti dulu ketika baru lulus S1, saat hasrat untuk merantau dan memperjuangkan mimpi masih menggebu. Bukan berarti saat ini hasrat memperjuangkan mimpi itu telah padam lhoh ya, hanya saja, kini saya telah tahu apa mimpi saya yang sebenarnya. Pertimbangan lain, saya anak perempuan satu-satunya, tidak seperti adik-adik saya yang bebas merantau untuk menuntut ilmu dan mengamalkan ilmu, saya mah di sini saja, dekat rumah, bisa sering-sering pulang, sebelum nanti pada waktunya dibawa suami. Eaa…. Baper lagi kan. hahahah

Ya, setiap orang mengukir perjuangannnya sendiri. Dan, selalu ada kisah-kisah yang terserak tentang perjuangan dalam meraih banyak hal. Setiap orang bebas menentukan arah hidupnya. Setiap orang bebas memperjuangkan apa yang diyakininya. 

Tapi, pada akhirnya orang-orang yang punya komitmen, merasa cinta dengan apa yang ia lakukan, dan selalu berangkat kerja dengan penuh semangat adalah orang-orang yang sedang membuat perubahan. Dengan energi yang dimilikinya, mereka berbagi dan mendorong orang lain untuk merasakan hal yang sama, kebahagiaan – dalam bentuk apapun-. Termasuk meneruskan apa yang pernah didapatkannya dalam hidup ini. Meneruskan kesempatan dan kepercayaan.

Well, Selamat berjuang teman-teman. Good Luck.

3 komentar: