Selasa, 30 Agustus 2016

Perempuan berpendidikan tinggi, what’s wrong?



“Mbak Orin mboten pengen nikah ta? Kok sekolah terus?”

Deg. Sejenak saya termangu mendengar pertanyaannya. “nggeh, pandungane mawon!” jawaban diplomatis dengan seutas senyum -yang sedikit dipaksakan-  menjadi satu-satunya alternative pilihan.

Pernah suatu waktu, saya juga sempat membaca sebuah komentar di salah satu akun socmed teman saya, yang isinya kurang lebih begini, “cantik-cantik belum laku, yang dipikir sekolah terus sih. Habis S2, S3?”

Percaya atau tidak, pertanyaan atau komentar semacam ini jauh lebih nyelekit daripada pertanyaan “kapan nikah?”  Duh… bisa nggak kalian sedikit saja mengerti bagaimana perasaan kami? Setidaknya, sebelum kalian sibuk berkomentar dan mengurusi hidup orang lain. Pilihan-pilihan hidup kami. 

Andai kalian tahu, kami juga perempuan biasa, yang mimpi terbesar kami adalah bisa menjadi seorang istri dan ibu yang baik. Dalam lubuk hati kami yang terdalam, kami juga ingin segera merasakan kebahagian membangun sebuah keluarga. Tapi, jika saat ini kami masih memilih menyibukkan diri dengan belajar, meningkatkan kualitas diri kami, apa itu salah?

Oh come on baby, semua orang memiliki jalan dan waktunya sendiri. Jika saat ini kalian telah berbahagia dengan kehidupan baru kalian, silahkan dinikmati dan berbahagialah. Tak usah kalian sibuk meluangkan waktu berharga kalian dengan mengurusi hidup kami. Ok, anggaplah itu salah satu bentuk perhatian kalian. Tapi bagi kami, cukup dengan hargai perasaan kami -syukur-syukur jika kalian berkenan untuk mendoakan- itu sudah jauh lebih dari cukup. 

Barangkali memang benar, orang-orang selalu merasa lebih tahu dengan apa yang seharusnya orang lain lakukan. Sesuai atau tidak sesuai dengan pandangan mereka, mereka akan tetap saja sibuk berkomentar. Mungkin, ada baiknya jika di masa ini, para wanita muda termasuk juga saya, harus pintar-pintar untuk bersikap sesuai posisi dan kondisi. Ada waktu dimana kita harus menghargai pendapat mereka, tapi di lain waktu juga berhak untuk membebalkan diri dari semua komentar mereka. Karena bagaimanapun, hidup tidak pernah bisa disamaratakan.

Pernah juga seseorang berkata pada saya, “Perempuan itu gak perlu sekolah tinggi-tinggi sampe S2, nanti laki-laki takut yang mau mendekat,”

Hmm… saya menjadi semakin bertanya-tanya, apa sih yang salah dengan perempuan yang berpendidikan tinggi? Bukankah semakin bagus jika semakin banyak perempuan yang berpendidikan? Mereka kan madrasah pertama dan yang utama bagi anak-anak. Logikanya, jika madrasahnya saja sudah baik, bukankah hasil didikannya nanti juga akan semakin berkualitas?

Pernah dengar kalimat ini, “mendidik seorang laki-laki itu mendidik pemimpin, dan mendidik seorang perempuan sama halnya dengan mendidik satu generasi.”

Saya pribadi memahami betul makna dari kalimat tersebut. Bersyukur saya bisa tumbuh dan berkembang dalam sebuah keluarga yang hangat. Ibu yang selalu ada dan memantau setiap perkembangan si anak. Ibu yang selalu mendukung ayah, menasehati ayah jika ayah salah, dan berembuk untuk menyelesaikan masalah bersama. Ya, saya menjadi mengerti bahwa menjadi perempuan itu harus kuat, dan harus cerdas. Saya menjadi semakin paham makna dari pepatah yang mengatakan bahwa dibalik suksesnya seorang laki-laki, ada perempuan yang mendampinginya. Istri dan Ibunya.

Jika yang kalian khawatirkan adalah kami akan jauh lebih berkuasa –dengan gelar kami-, sepertinya kalian harus pahami ini terlebih dahulu, pernikahan itu bukan sebuah kompetisi, right? Sehebat-hebatnya wanita cerdas mereka juga paham bahwa suami adalah imam mereka dan segala perintahnya adalah kewajiban.

So, jika suamimu kelak menyuruhmu untuk tidak bekerja, apa nggak sayang S2 kamu? Rugi dong orang tuamu nyekolahin kamu tinggi-tinggi kalo ujung-ujungnya hanya tinggal di rumah.

Sebenarnya ini bukan tentang mana yang lebih baik, ibu rumah tangga atau ibu yang bekerja. Tentu, sebagai perempuan dengan bekal pendidikan yang lebih dari cukup, kami ingin berkarir, berkarya mengamalkan ilmu, dan mandiri secara financial guna membahagiakan orang tua di hari senja.

Tapi, lebih dari itu, ini juga tentang seikhlas apa orang tua membesarkan anak perempuannya.

Bagaimana tidak, ketika kita melihat seorang perempuan dengan gelar strata satu dua atau tiga, tapi memilih membaktikan kebermanfaatan hidup untuk keluarga barunya, mungkinkah kita tidak melihat ke belakang untuk berapa banyak rupiah terhambur demi pendidikannya?

Ya, itu sangat wajar. Bagaimanapun orang tua telah mengorbankan segalanya untuk anak-anaknya. Jadi patut rasanya jika ada keinginan untuk membahagiakan mereka dengan kesuksesan kita. Namun, itu akan sangat jauh berbeda ketika anak itu adalah anak perempuan. Saya pernah membaca sebuah kalimat, memiliki anak perempuan itu hanya bisa membesarkan, tapi tidak bisa memilikinya. Dan kini saya baru menyadari kebenaran kalimat itu.

Beruntung orang tua saya adalah orang tua yang paham akan peran sentral seorang perempuan dalam sebuah keluarga. Tidak masalah seberapa tinggi pendidikan seorang perempuan, atau seberapa fantastis potensi nominal rupiah yang bisa ia hasilkan. Keberadaan ragawinya di rumah adalah sesuatu yang sangat dirindukan.
Dari jauh-jauh hari sebelum saya menyelesaikan studi saya di program magister, ibu telah mewanti-wanti saya, bahwa ketika nanti saya telah menikah, keluarga adalah yang utama. Boleh saja saya berkarir, mencari pengalaman sebanyak-banyaknya selagi saya masih lajang. Tapi, ketika saya sudah menikah, keluarga adalah prioritas

“bukan berarti kamu tidak boleh bekerja, tapi bagaimanapun kamu harus mengerti bahwa tugas utama seorang wanita adalah menjadi istri dan ibu yang baik. Anak-anakmu, suamimu, jauh lebih membutuhkan dirimu daripada gelimang materi. Jika akhirnya kamu tetap bekerja, perbaiki niatmu, niatkan untuk mengamalkan ilmu, bukan untuk materi, apalagi sampek mengorbankan keluarga. Kalo itu yang terjadi, mending kamu gak usah kerja. Buat apa kamu S2, kalo anak-anakmu justru lebih banyak bersama pembantu yang rata-rata pendidikannya SMP.”

Saya tersenyum membenarkan pernyataan Ibu, lalu saya iseng bertanya, “aku kan juga pengen ngebahagiain ayah dan ibu. Apa ibu gak pengen nikmatin hasil jerih payah ayah ibu selama ini nyekolahin aku”

Ibu tersenyum, “bisa mengantarkanmu menjadi istri dan ibu yang sholihah sudah menjadi kebahagiaan tersendiri bagi kami, Nduk.”

Duh… ibu. Seikhlas itu ibu dan ayah membesarkan saya, anak perempuan satu-satunya. Semoga saya  selalu bisa membahagiakan kalian.

Untuk saya dan untuk semua perempuan berpendidikan tinggi, apapun pilihan kita nantinya, menjadi ibu rumah tangga atau ibu yang bekerja. Semoga setiap keputusan dilandasi dengan kesadaran penuh, dan urutan prioritas yang tidak keliru. Semoga setiap perempuan bisa menjalankan peran kebermanfaatannya di setiap tempat dengan tepat. Semoga. 

Surabaya, 30 Agustus 2016
 

0 komentar:

Posting Komentar