“Mbak Orin mboten
pengen nikah ta? Kok sekolah terus?”
Deg. Sejenak saya
termangu mendengar pertanyaannya. “nggeh, pandungane mawon!” jawaban diplomatis dengan seutas senyum -yang sedikit dipaksakan-
menjadi satu-satunya alternative pilihan.
Pernah suatu waktu,
saya juga sempat membaca sebuah komentar di salah satu akun socmed teman saya,
yang isinya kurang lebih begini, “cantik-cantik belum laku, yang dipikir
sekolah terus sih. Habis S2, S3?”
Percaya atau tidak,
pertanyaan atau komentar semacam ini jauh lebih nyelekit daripada pertanyaan
“kapan nikah?” Duh… bisa nggak kalian
sedikit saja mengerti bagaimana perasaan kami? Setidaknya, sebelum kalian sibuk
berkomentar dan mengurusi hidup orang lain. Pilihan-pilihan hidup kami.
Andai kalian tahu, kami
juga perempuan biasa, yang mimpi terbesar kami adalah bisa menjadi seorang
istri dan ibu yang baik. Dalam lubuk hati kami yang terdalam, kami juga ingin
segera merasakan kebahagian membangun sebuah keluarga. Tapi, jika saat ini kami
masih memilih menyibukkan diri dengan belajar, meningkatkan kualitas diri kami,
apa itu salah?
Oh come on baby, semua
orang memiliki jalan dan waktunya sendiri. Jika saat ini kalian telah
berbahagia dengan kehidupan baru kalian, silahkan dinikmati dan berbahagialah.
Tak usah kalian sibuk meluangkan waktu berharga kalian dengan mengurusi hidup
kami. Ok, anggaplah itu salah satu bentuk perhatian kalian. Tapi bagi kami,
cukup dengan hargai perasaan kami -syukur-syukur jika kalian berkenan untuk
mendoakan- itu sudah jauh lebih dari cukup.
Barangkali memang benar, orang-orang selalu merasa lebih tahu dengan
apa yang seharusnya orang lain lakukan. Sesuai atau tidak sesuai dengan
pandangan mereka, mereka akan tetap saja sibuk berkomentar. Mungkin, ada
baiknya jika di masa ini, para wanita muda termasuk juga saya, harus
pintar-pintar untuk bersikap sesuai posisi dan kondisi. Ada waktu dimana kita
harus menghargai pendapat mereka, tapi di lain waktu juga berhak untuk
membebalkan diri dari semua komentar mereka. Karena bagaimanapun, hidup tidak
pernah bisa disamaratakan.
Pernah juga seseorang
berkata pada saya, “Perempuan itu gak perlu sekolah tinggi-tinggi sampe S2,
nanti laki-laki takut yang mau mendekat,”
Hmm… saya menjadi
semakin bertanya-tanya, apa sih yang salah dengan perempuan yang berpendidikan
tinggi? Bukankah semakin bagus jika semakin banyak perempuan yang
berpendidikan? Mereka kan madrasah pertama dan yang utama bagi anak-anak.
Logikanya, jika madrasahnya saja sudah baik, bukankah hasil didikannya nanti
juga akan semakin berkualitas?
Pernah dengar kalimat
ini, “mendidik seorang laki-laki itu mendidik pemimpin, dan mendidik seorang
perempuan sama halnya dengan mendidik satu generasi.”
Saya pribadi memahami
betul makna dari kalimat tersebut. Bersyukur saya bisa tumbuh dan berkembang
dalam sebuah keluarga yang hangat. Ibu yang selalu ada dan memantau setiap
perkembangan si anak. Ibu yang selalu mendukung ayah, menasehati ayah jika ayah
salah, dan berembuk untuk menyelesaikan masalah bersama. Ya, saya menjadi
mengerti bahwa menjadi perempuan itu harus kuat, dan harus cerdas. Saya menjadi
semakin paham makna dari pepatah yang mengatakan bahwa dibalik suksesnya
seorang laki-laki, ada perempuan yang mendampinginya. Istri dan Ibunya.
Jika yang kalian
khawatirkan adalah kami akan jauh lebih berkuasa –dengan gelar kami-,
sepertinya kalian harus pahami ini terlebih dahulu, pernikahan itu bukan sebuah
kompetisi, right? Sehebat-hebatnya wanita cerdas mereka juga paham bahwa suami
adalah imam mereka dan segala perintahnya adalah kewajiban.
So, jika suamimu kelak
menyuruhmu untuk tidak bekerja, apa nggak sayang S2 kamu? Rugi dong orang tuamu
nyekolahin kamu tinggi-tinggi kalo ujung-ujungnya hanya tinggal di rumah.
Sebenarnya ini bukan
tentang mana yang lebih baik, ibu rumah tangga atau ibu yang bekerja. Tentu,
sebagai perempuan dengan bekal pendidikan yang lebih dari cukup, kami ingin
berkarir, berkarya mengamalkan ilmu, dan mandiri secara financial guna
membahagiakan orang tua di hari senja.
Tapi, lebih dari itu, ini
juga tentang seikhlas apa orang tua membesarkan anak perempuannya.
Bagaimana tidak, ketika
kita melihat seorang perempuan dengan gelar strata satu dua atau tiga, tapi
memilih membaktikan kebermanfaatan hidup untuk keluarga barunya, mungkinkah
kita tidak melihat ke belakang untuk berapa banyak rupiah terhambur demi
pendidikannya?
Ya, itu sangat wajar.
Bagaimanapun orang tua telah mengorbankan segalanya untuk anak-anaknya. Jadi
patut rasanya jika ada keinginan untuk membahagiakan mereka dengan kesuksesan
kita. Namun, itu akan sangat jauh berbeda ketika anak itu adalah anak perempuan.
Saya pernah membaca sebuah kalimat, memiliki anak perempuan itu hanya bisa
membesarkan, tapi tidak bisa memilikinya. Dan kini saya baru menyadari kebenaran kalimat itu.
Beruntung orang tua
saya adalah orang tua yang paham akan peran sentral seorang perempuan dalam
sebuah keluarga. Tidak masalah seberapa tinggi pendidikan seorang perempuan,
atau seberapa fantastis potensi nominal rupiah yang bisa ia hasilkan.
Keberadaan ragawinya di rumah adalah sesuatu yang sangat dirindukan.
Dari jauh-jauh hari
sebelum saya menyelesaikan studi saya di program magister, ibu telah mewanti-wanti
saya, bahwa ketika nanti saya telah menikah, keluarga adalah yang utama. Boleh
saja saya berkarir, mencari pengalaman sebanyak-banyaknya selagi saya masih
lajang. Tapi, ketika saya sudah menikah, keluarga adalah prioritas.
“bukan berarti kamu tidak
boleh bekerja, tapi bagaimanapun kamu harus mengerti bahwa tugas utama seorang
wanita adalah menjadi istri dan ibu yang baik. Anak-anakmu, suamimu, jauh lebih
membutuhkan dirimu daripada gelimang materi. Jika akhirnya kamu tetap bekerja,
perbaiki niatmu, niatkan untuk mengamalkan ilmu, bukan untuk materi, apalagi
sampek mengorbankan keluarga. Kalo itu yang terjadi, mending kamu gak usah
kerja. Buat apa kamu S2, kalo anak-anakmu justru lebih banyak bersama pembantu
yang rata-rata pendidikannya SMP.”
Saya tersenyum
membenarkan pernyataan Ibu, lalu saya iseng bertanya, “aku kan juga pengen
ngebahagiain ayah dan ibu. Apa ibu gak pengen nikmatin hasil jerih payah ayah
ibu selama ini nyekolahin aku”
Ibu tersenyum, “bisa
mengantarkanmu menjadi istri dan ibu yang sholihah sudah menjadi kebahagiaan
tersendiri bagi kami, Nduk.”
Duh… ibu. Seikhlas itu
ibu dan ayah membesarkan saya, anak perempuan satu-satunya. Semoga saya selalu bisa membahagiakan kalian.
Untuk saya dan untuk
semua perempuan berpendidikan tinggi, apapun pilihan kita nantinya, menjadi ibu
rumah tangga atau ibu yang bekerja. Semoga setiap keputusan dilandasi dengan
kesadaran penuh, dan urutan prioritas yang tidak keliru. Semoga setiap
perempuan bisa menjalankan peran kebermanfaatannya di setiap tempat dengan
tepat. Semoga.
Surabaya, 30 Agustus 2016
0 komentar:
Posting Komentar