Rabu, 02 November 2016

Disleksia, bukan penyakit kok!


Disleksia? Apa itu?

Kata “Disleksia” pertama kali saya dengar dari sebuah film yang menceritakan tentang kesulitan seorang anak untuk membaca dan menulis. Dalam film tersebut diceritakan bagaimana seorang anak berumur sekitar 8-9 tahun -yang ternyata mengidap disleksia-, terlanjur mendapat label “anak bodoh”, bahkan dari ayah dan gurunya sendiri.

Setelah menonton film tersebut, saya jadi teringat pada salah satu sepupu saya, yang saat ini telah menginjak kelas 2 SMA, tapi belum mahir dalam membaca dan menulis. Lalu, bagaimana dia bisa naik kelas?

Dalam hal ini mungkin sepupu saya tersebut sedikit lebih beruntung karena dia tidak harus mengalami  riwayat “tinggal kelas”, serta tidak harus mengalami fase labeling “anak bodoh” secara langsung dan kasar seperti yang dialami oleh si tokoh dalam film. Beruntungnya lagi, orang tuanya lebih bisa menerima kondisi dia, dan tidak membanding-bandingkannya dengan sang kakak. Jadi, untuk pembentukan mental dan psikisnya, dia tidak mengalami masalah hingga saat ini. Perlakuan yang dia terima dari lingkungannya lebih pada pemakluman, sekaligus rasa sungkan pada kedua orang tuanya.

Sama halnya seperti di film, kekuatan dan ketegaran sang ibu sangat diuji, begitupun halnya dengan tante saya itu. Tentu bukan hal yang mudah baginya, meski di luar nampak selalu baik-baik saja, mampu bersikap masa bodoh dengan gunjingan atau bahkan cemooh orang, tapi dalam hatinya, dalam pikirannya, yang ada hanyalah anak dan masa depan si anak, apalagi anak itu adalah anak laki-lakinya.

Sebenarnya, tanda-tanda “lamban” dalam proses belajar telah ada sejak dia kecil. Malah, waktu itu ada yang menyarankan agar sepupu saya itu dimasukkan ke sekolah luar biasa. Tentu saja ayah-ibunya menolak, wong anaknya normal kok. Alhasil, dia tetap menempuh pendidikan di sekolah layaknya anak pada umumnya. Guru-guru les pun selalu didatangkan untuk membantunya belajar. Sayangnya, tetap belum ada perkembangan yang signifikan hingga saat ini.

Hingga tante saya itu pernah berkata pada ayah saya, “Saya seorang guru kak, ayahnya juga guru, tapi kami tidak bisa mengajari anak kami sendiri”. Ya, akhirnya yang mengalami frustasi adalah tante saya. Semacam ada rasa bersalah dalam dirinya, juga ada beragam ketakutan sekaligus kekhawatiran akan masa depan anak-anaknya.

Tante saya itu adalah bungsu dari lima bersaudara, dan selama ini yang selalu menjadi tumpuan segala keluh kesahnya adalah ayah saya, kakak tertuanya. Saya pribadi juga bisa dikatakan sangat dekat dengan keluarganya, dengan anak-anaknya. Bahkan, sepupu saya itu sangat nurut pada saya dan adik saya Fajar. Ya, dia butuh diemong.

Yang sangat saya sayangkan adalah mengapa saya baru mengenal disleksia setelah saya dewasa, dan lebih banyak memahaminya ketika harus menulis artikel bertema parenting –yang salah satunya membahas tentang disleksia-.

Seandainya sejak dulu saya tahu, mungkin saya bisa menjelaskan dan menyarankan orang tua saya dan tante saya terkait cara-cara menangani anak Disleksia.

Disleksia bukan penyakit kok, tapi merupakan salah satu gangguan dalam pembelajaran yang biasanya dialami oleh anak-anak. Mereka yang mengalami Disleksia dapat dipastikan adalah orang yang tidak mengalami kecacatan, gangguan pendengaran, atau penglihatan, dan bahkan sebagian dari mereka adalah orang-orang dengan intelektual tinggi. Bahkan, tokoh sekaliber Einstein, di masa kecilnya adalah anak Disleksia.

Disleksia terjadi akibat kerja otak yang berbeda daripada keadaan normal. Ada fokus yang berganda atau menyebar, satu huruf bisa terlihat tumpuk dua atau tiga, sehingga menyebabkan si anak kesulitan untuk membaca dan menulis. 

Disleksia hanya boleh ditangani oleh psikolog atau terapis Disleksia. Pengidap Disleksia pada umumnya akan diberi terapi untuk meningkatkan kemahiran linguistik, berpikir, dan sosial. Cara ini untuk membantu anak meningkatkan perkembangannya dalam hal membaca dan menulis. Jika anak mendapat penanganan yang tepat dan intensif, anak Disleksia akan dapat membaca seperti anak normal bahkan bisa memiliki IQ melebihi anak kebanyakan.

Duh… nyesel banget deh, kenapa nggak dari dulu-dulu tahu hal-hal beginian. Ya, semoga saja belum terlambat, mengingat sepupu saya itu kini telah remaja dan memasuki masa puber. Untuk menanganinya tentu perlu cara-cara tersendiri, kan?

Entah kenapa sepupu saya ini sering sekali tiba-tiba nelpon, atau menyuruh ibunya menelpon saya, untuk sekedar bincang-bincang. Dia hampir sepantaran dengan adik saya Aank, jadi ya, yang bisa saya lakukan ya tetap menjadi kakak dan sahabatnya, sesekali mendengarkan dia bercerita tentang teman-temannya, sembari menyelipkan ajakan-ajakan kecil untuk mengajaknya belajar. 

Bukankah tugas orang di sekitarnya adalah membantu dia untuk menemukan keunggulan dirinya agar bisa merasa bangga dan tidak pesimis terhadap hambatan-hambatan yang dialaminya. Bukan begitu?

Setiap anak adalah bintang, meski tidak pada langit yang sama. 


0 komentar:

Posting Komentar