Disleksia? Apa itu?
Kata “Disleksia”
pertama kali saya dengar dari sebuah film yang menceritakan tentang kesulitan
seorang anak untuk membaca dan menulis. Dalam film tersebut diceritakan
bagaimana seorang anak berumur sekitar 8-9 tahun -yang ternyata mengidap
disleksia-, terlanjur mendapat label “anak bodoh”, bahkan dari ayah dan gurunya
sendiri.
Setelah menonton film
tersebut, saya jadi teringat pada salah satu sepupu saya, yang saat ini telah
menginjak kelas 2 SMA, tapi belum mahir dalam membaca dan menulis. Lalu,
bagaimana dia bisa naik kelas?
Dalam hal ini mungkin
sepupu saya tersebut sedikit lebih beruntung karena dia tidak harus mengalami riwayat “tinggal kelas”, serta tidak harus
mengalami fase labeling “anak bodoh”
secara langsung dan kasar seperti yang dialami oleh si tokoh dalam film. Beruntungnya
lagi, orang tuanya lebih bisa menerima kondisi dia, dan tidak
membanding-bandingkannya dengan sang kakak. Jadi, untuk pembentukan mental dan
psikisnya, dia tidak mengalami masalah hingga saat ini. Perlakuan yang dia
terima dari lingkungannya lebih pada pemakluman, sekaligus rasa sungkan pada
kedua orang tuanya.
Sama halnya seperti di
film, kekuatan dan ketegaran sang ibu sangat diuji, begitupun halnya dengan
tante saya itu. Tentu bukan hal yang mudah baginya, meski di luar nampak selalu
baik-baik saja, mampu bersikap masa bodoh dengan gunjingan atau bahkan cemooh
orang, tapi dalam hatinya, dalam pikirannya, yang ada hanyalah anak dan masa
depan si anak, apalagi anak itu adalah anak laki-lakinya.
Sebenarnya, tanda-tanda
“lamban” dalam proses belajar telah ada sejak dia kecil. Malah, waktu itu ada
yang menyarankan agar sepupu saya itu dimasukkan ke sekolah luar biasa. Tentu saja
ayah-ibunya menolak, wong anaknya normal kok. Alhasil, dia tetap menempuh
pendidikan di sekolah layaknya anak pada umumnya. Guru-guru les pun selalu didatangkan
untuk membantunya belajar. Sayangnya, tetap belum ada perkembangan yang
signifikan hingga saat ini.
Hingga tante saya itu
pernah berkata pada ayah saya, “Saya seorang guru kak, ayahnya juga guru, tapi
kami tidak bisa mengajari anak kami sendiri”. Ya, akhirnya yang mengalami
frustasi adalah tante saya. Semacam ada rasa bersalah dalam dirinya, juga ada
beragam ketakutan sekaligus kekhawatiran akan masa depan anak-anaknya.
Tante saya itu adalah
bungsu dari lima bersaudara, dan selama ini yang selalu menjadi tumpuan segala
keluh kesahnya adalah ayah saya, kakak tertuanya. Saya pribadi juga bisa
dikatakan sangat dekat dengan keluarganya, dengan anak-anaknya. Bahkan, sepupu
saya itu sangat nurut pada saya dan adik saya Fajar. Ya, dia butuh diemong.
Yang sangat saya
sayangkan adalah mengapa saya baru mengenal disleksia setelah saya dewasa, dan
lebih banyak memahaminya ketika harus menulis artikel bertema parenting –yang salah
satunya membahas tentang disleksia-.
Seandainya sejak dulu
saya tahu, mungkin saya bisa menjelaskan dan menyarankan orang tua saya dan
tante saya terkait cara-cara menangani anak Disleksia.
Disleksia bukan
penyakit kok, tapi merupakan salah satu gangguan dalam pembelajaran yang
biasanya dialami oleh anak-anak. Mereka yang mengalami Disleksia dapat
dipastikan adalah orang yang tidak mengalami kecacatan, gangguan pendengaran,
atau penglihatan, dan bahkan sebagian dari mereka adalah orang-orang dengan
intelektual tinggi. Bahkan, tokoh sekaliber Einstein, di masa kecilnya adalah
anak Disleksia.
Disleksia terjadi
akibat kerja otak yang berbeda daripada keadaan normal. Ada fokus yang berganda
atau menyebar, satu huruf bisa terlihat tumpuk dua atau tiga, sehingga
menyebabkan si anak kesulitan untuk membaca dan menulis.
Disleksia hanya boleh
ditangani oleh psikolog atau terapis Disleksia. Pengidap Disleksia pada umumnya
akan diberi terapi untuk meningkatkan kemahiran linguistik, berpikir, dan sosial.
Cara ini untuk membantu anak meningkatkan perkembangannya dalam hal membaca dan
menulis. Jika anak mendapat penanganan yang tepat dan intensif, anak Disleksia
akan dapat membaca seperti anak normal bahkan bisa memiliki IQ melebihi anak
kebanyakan.
Duh… nyesel banget deh,
kenapa nggak dari dulu-dulu tahu hal-hal beginian. Ya, semoga saja belum
terlambat, mengingat sepupu saya itu kini telah remaja dan memasuki masa puber.
Untuk menanganinya tentu perlu cara-cara tersendiri, kan?
Entah kenapa sepupu
saya ini sering sekali tiba-tiba nelpon, atau menyuruh ibunya menelpon saya,
untuk sekedar bincang-bincang. Dia hampir sepantaran dengan adik saya Aank,
jadi ya, yang bisa saya lakukan ya tetap menjadi kakak dan sahabatnya, sesekali
mendengarkan dia bercerita tentang teman-temannya, sembari menyelipkan
ajakan-ajakan kecil untuk mengajaknya belajar.
Bukankah tugas orang di
sekitarnya adalah membantu dia untuk menemukan keunggulan dirinya agar bisa
merasa bangga dan tidak pesimis terhadap hambatan-hambatan yang dialaminya. Bukan
begitu?
Setiap anak adalah bintang, meski tidak pada langit yang sama.
Setiap anak adalah bintang, meski tidak pada langit yang sama.
0 komentar:
Posting Komentar