Terkadang, hidup memang acapkali mengajak kita
bercanda, pasti akan ada suatu masa di mana kita dihadapkan pada segala
kesulitan dengan segala risiko ketidakmungkinan yang tengah disiapkan semesta. Di saat itu pulalah semangat tengah berada di dasar rasa. Ya, jika digambarkan diri
ini seolah tengah berada dalam kondisi dimana tubuh tengah terpisah dari
jiwanya. Tak ada lagi gairah untuk menjalani hidup. Hari-hari terasa kosong.
Merasa tidak memiliki apapun tuk dibanggakan, tidak
mempunyai pencapaian, juga tidak ada gairah besar dalam diri yang benar-benar
bisa membuat diri merasa
hidup. Alhasil, diri ini menjadi
sering gelisah, mencela setiap usaha yang dilakukan,
dan menjadikannya sebagai kebiasaan. Kebiasaan yang buruk.
Saat itu adalah saat
dimana kita seolah bertentangan
dengan seseorang yang lain yang ada dalam diri. Kita berniat untuk mengalahkannya, tapi tak
ada usaha dan kekuatan untuk itu. Kita
menginginkan perubahan dalam diri, tapi diri ini enggan beranjak dari
kenyamanannya. Alhasil, seringkali kita
terjatuh untuk mengalah pada kenyamanan yang semu. Kita tahu betul bahwa itu
bukan suatu hal yang benar untuk dilakukan, tapi justru kita tetap menikmatinya.
Lalu, untuk apa kita hidup? Hanya sekedar
untuk menjalani hari tanpa makna?
Kau tahu, pada dasarnya kita pasti
memiliki ironi dalam diri masing-masing; mungkin juga paradoks, kemunafikan,
atau ambiguitas. Sesuatu yang kita benci untuk kita sukai. Sesuatu yang
sebenarnya baik untuk tidak kita pilih. Atau sesuatu yang berusaha kita sembunyikan dari
siapapun, tetapi kita katakan sebaliknya di hadapan orang lain. Ya, entah
bagaimana kita memiliki wilayah-wilayah yang memaksa kita untuk mendua.
Perasaan dan pikiran yang sering membuat kita letih dan sedih. Tetapi sekaligus
penting untuk kita miliki agar kita bisa seutuhnya menjadi manusia, yang
terbatas dan tidak sempurna.
Jadi,
barangkali tak salah jika kukatakan
padamu bahwa yang kita
alami ini adalah suatu hal yang
wajar dialami oleh anak muda seusia kita. Bukankah dilema anak muda adalah
menentukan arah hidupnya?
Di saat seperti ini, alangkah baiknya jika kita
sesekali menengok dan belajar sesuatu dari sebuah kapal. Ya, kapal. Apa
hubungannya dengan sebuah kapal?
Kapal terbuat dari bahan-bahan terbaik,
dilengkapi dengan alat-alat komunikasi yang lengkap, layar yang gagah dan
dengan kompas penunjuk arah. Sempurna
memang. Tapi, kapal diciptakan bukan hanya untuk tertambat di dermaga, bukan? Ya, bukan untuk itu ia diciptakan. Melainkan untuk berlayar mengarungi samudra
dengan segala kemungkinan yang ada untuk menguji kekokohannya. Pun demikian
halnya dengan hidup kita, manusia.
Kesejatian
hidup memang ibarat berlayar
mengarungi samudra, menembus badai, menghalau gelombang, hingga akhirnya bisa
menemukan pantai harapan kebahagiaan dan keselamatan hidup abadi. Jika kapal diciptakan dengan bahan yang yang
bermutu tinggi, dilengkapi layar yang bagus dan peralatan yang canggih, pun juga manusia yang diciptakan dengan sangat baik
oleh Allah. Dilengkapi dengan bakat, talenta serta
kemampuan yang luar biasa oleh Allah,
diberi
hati nurani dan akal budi serta kebebasan untuk menjalani perahu kehidupan kita
secara baik dan benar.
Jika diibaratkan, dermaga
adalah tempat kita
memulai hidup, dan bisa juga diartikan sebagai masa lalu. Sedangkan tali penambat itu adalah
kemalasan, ketakutan, penyesalan,
dan luka-luka batin yang belum disembuhkan, yang seringnya menghambat kita untuk
memulai melakukan sesuatu dan berjuang untuk keluar dari masa lalu.
Dan benar
saja, ketika kita merasa hidup yang kita jalani terasa berat, bisa jadi itu karena saat ini kita hidup dalam dua — atau
mungkin malah tiga — waktu. Seolah
kita berada diantara bayang-bayang kesalahan masa lalu, hari ini, dan bayang
misteri esok hari.
jika benar itu yang terjadi, mari berhentilah
menyesali kesalahan masa lalu. Jangan biarkan pula ketakutanmu akan masa depan mengecilkan nyalimu.
Hidupilah hari ini! Hidup yang sebenarnya adalah hidup yang saat ini sedang kita jalani — detik ini,
menit ini, hari ini. Dan tentang
masa depan, masa depan memang misteri yang tak bisa diketahui sebelum dijalani,
dan inilah yang seringkali menjadikan kita takut tuk melangkah. Tapi, bukankah hidup selalu bisa diatur dan direncanakan. Kita punya kuasa untuk
mengatur ke mana jalan hidup akan membawa. Kita memiliki kemampuan untuk menentukan peta hidup
yang akan jadi
panduan dalam berjalan. Ya, kita tak pernah kehilangan kendali atas hidup, selama kita mau berusaha.
Karenanya, mari kita jangan buang waktu dan energi
untuk menyia-nyiakan segala kemampuan, dan kesempatan yang telah dianugerahkan oleh Tuhan.
Lepaskan tali kemalasan, lepaskan ikatan kekhawatiran dan ketakutan yang
membelenggu, lepaskan segala pikiran-pikiran yang menghambat kita untuk maju. Jangan
biarkan diri ini tertambat dalam kecemasan, kekhawatiran dan penyesalan masa lalu.
Satu hal yang harus kita ingat betul, bahwa yang
memisahkan perahu dan pantai impian adalah angin badai, gelombang dan batu
karang. Begitupun yang memisahkan kita dengan kebahagiaan dan
keselamatan adalah tantangan, cobaan/godaan yang kita hadapi, masalah-masalah yang selalu
menggerogoti, dan tawaran-tawaran
duniawi yang bisa memisahkan kita
dari Sang Tujuan hidup. Sebenarnya, di sinilah kemampuan, martabat/harga diri
dan kesejatian hidup kita
diuji oleh Tuhan. Hakekat sebuah kapal adalah terus berlayar, menembus rintangan
mencapai pulau yang dituju. Dan hakekat hidup kita adalah berkarya, dan
melakukan kebaikan agar kita bisa menemukan kebahagiaan.
Pamekasan, 03 Maret 2017
*hanya sebuah tulisan sederhana, yang semoga bermanfaat bagi sesama...:)
0 komentar:
Posting Komentar