“Perjalanan untuk
menjadi seorang penulis itu bisa saja berbeda. Orin tidak harus menempuh jalan
yang telah saya lalui, karena saya yakin Orin akan menemukan jalannya sendiri.”
Saya selalu kagum
ketika membaca sebuah tulisan yang tidak saja menyentuh secara penyampaian,
namun juga bernas secara secara logika dan pemikiran. Lalu, kekaguman itu
berlanjut menjadi sebuah pertanyaan, “apa yang penulis itu lakukan hingga dia
bisa menulis sedemikian bagusnya?”, “buku-buku apa yang biasa Dia baca?”,
“habitus apa yang dia bentuk?”, “bagaimana proses kreatifnya?”, dan akhirnya,
saya akan bertanya pada diri saya sendiri, akankah saya bisa menulis sebagus
itu?”
Pernah suatu waktu saya
memberanikan diri untuk bertanya pada dosen saya tentang hal itu. Ya, dosen
saya yang satu ini memang memiliki kemampuan menulis dan juga karya yang
mumpuni. Beliau juga turut andil dalam membentuk kemampuan menulis dan daya
analitis saya, tidak hanya ketika saya masih menjadi mahasiswa beliau, ketika
saya sudah lulus pun saya bersyukur masih bisa menikmati proses belajar dan
ilmu dari Beliau.
“Proses belajar dan
proses kreatif tiap orang bisa saja berbeda. Kalau saat ini saya menempa kamu,
bukan berarti kamu harus menjadi atau mengikuti jejak saya. Saya hanya mengajarkan
apa-apa yang saya pahami dari pengalaman saya. Dan saya yakin, kamu akan
menemukan pengalaman-pengalaman itu dan bisa berproses dari sana.”
Saya pun akhirnya sadar
bahwa bagaimanapun saya tidak akan pernah bisa meniru gaya tulisan orang lain.
Saya adalah saya. Begitupun, tulisan saya adalah saya dalam wujud yang lain.
Saya bersyukur di
sepanjang perjalanan ini Allah selalu mempertemukan saya dengan orang-orang
yang darinya saya bisa belajar. Termasuk juga kaitannya dengan mimpi saya yang
satu ini.
Saya mulai menggenggam
mimpi ini ketika saya menginjak masa putih abu-abu. Kala itu saya baru
menyadari bahwa dunia itu adalah dunia saya, setelah sebelumnya saya selalu
berkata bahwa cita-cita saya adalah menjadi seorang dokter. Aih… itu kan
cita-cita anak sejuta umat.
Di SMA, saya hanya bisa
mengasah kemampuan sekaligus berproses dalam sebuah keredaksian majalah sekolah
“PIJAR”. Itu sudah lebih dari cukup bagi seorang remaja seperti saya yang kala
itu sedang mencari jati diri, mencari apa itu yang disebut “passion”. Saya pun
belum berani melangkah lebih jauh, kodrat saya sebagai anak ilmu alam menuntut
saya untuk terus bergelut di bidang itu, hingga akhirnya Allah memilihkan
tempat lain untuk saya belajar. Dunia yang sangat jauh berbeda dengan
sebelumnya. Ya, Dunia social.
Proses peralihan yang
tidak mudah memang, tapi ketika kita telah memutuskan untuk terjun, apapun yang
terjadi, itu adalah proses belajar, kan? saya hayati betul kata-kata Ayah waktu
itu, “Allah memilihkan tempat untukmu, bukan karena kebetulan, pasti ada
sesuatu di depan sana” begitu pesan ayah
saya di malam pengumuman SNMPTN. “jalanilah.. mungkin memang jalannya”
lanjutnya.
Dan memang benar, di
tempat itulah saya benar-benar yakin akan passion saya. Menulis.
Sejak semester awal,
saya sudah leluasa mengembangkan minat di dunia tulis menulis. Mulai dari SSC,
PKM dan LKTM, FLP Surabaya, redaksi tabloid kampus, hingga redaksi jurnal
Paradigma. Tuntutan tugas-tugas mata kuliah yang mayoritas berbasis riset juga
berpengaruh terhadap minat dan kemampuan menulis. Ditambah lagi dengan
kesempatan mengikuti beberapa proyek penelitian dosen semakin membuat saya
yakin bahwa dunia ini sangat mengasyikkan. Dunia dimana kita tidak hanya
menggali ilmu, tapi juga menebar ilmu dan pengetahuan melalui pena.
Saya begitu menikmati
hari-hari itu, hingga akhirnya saya lulus dan mendapatkan pekerjaan. Sayangnya,
pekerjaan pertama saya sangat jauh dari dunia yang selama ini saya geluti.
Mungkin benar kata orang, bagi seorang sarjana tahun-tahun pertama adalah tahun
pembuktian diri. Baru setelah itu, kita akan kembali tersadar, “apa benar ini
dunia saya?” Begitu pun yang saya rasa kala itu.
Beruntunglah Allah
tidak pernah rela membiarkan saya terlalu lama larut dalam kebingungan. Saya
kembali diarahkan ke dunia yang amat saya cintai. Dunia literasi. Saya pun
diberi kesempatan untuk memiliki keluarga baru, tempat belajar dan berproses,
sekaligus kembali memantapkan hati bahwa ini memang dunia dan mimpi saya. Saya
lolos dalam seleksi Kampus Fiksi edisi Nonfiksi angkatan 1 dari sebuah penerbit
di kota Yogyakarta. Di sana saya bertemu dengan saudara-saudara dengan passion
yang sama. Beberapa dari mereka adalah penulis yang telah berhasil melahirkan
beberapa buku. Tulisan-tulisan mereka telah beberapa kali muncul di berbagai
media. Tiga hari bersama mereka sukses menyulut semangat saya untuk juga bisa
berkarya seperti mereka. Terlebih selama tiga hari itu kita juga digembleng
dengan materi dan pemaparan dari penulis dan praktisi dunia kepenulisan. Ahh…
rasanya itu, tak pernah bisa terlukis oleh kata-kata meski pena telah berusaha
menguraikannya panjang lebar.
Sepulang dari Jogja, hasrat
itu masih mengakar kuat untuk menjadi nyata apalagi kita memproleh fasilitas
untuk bimbingan online terkait naskah
yang akan kita terbitkan. Pertama, kita harus mengajukan tema yang menarik
secara kualitas dan juga secara “pasar”. Jika lolos, baru kita akan dibimbing hingga
naskah itu terbit. Sayangnya, judul naskah saya waktu itu ditolak. Mungkin
karena tema yang saya ajukan kurang menarik pasar, telah banyak judul buku yang
sejenis, atau alasan lainnya. Sempat down? Iya. Lalu saya mencoba peruntungan
dengan mencoba nulis untuk media. Baik itu resensi, opini, ataupun cerpen.
Hasilnya? Tetap saja nihil.
Oh Tuhan. Kenapa
rasanya semuanya begitu sulit? Sedangkan teman-teman saya di KF kok kayaknya
gampang banget tembus media. Beberapa lainnya juga telah bertambah buku karya
mereka. Sedangkan saya? seolah tetap stagnan. Tanpa progress yang berarti. Ok
lah, saya masih tetap menulis hasil-hasil riset, baik untuk tugas kuliah
ataupun proyek penelitian. Tapi saya ingin lebih dari itu.
Saya ingin jadi
penulis. Saya ingin tulisan saya dibaca banyak orang, syukur-syukur jika
bermanfaat dan bahkan menginspirasi. Saya juga tidak memungkiri bahwa saya
ingin menjadikan menulis sebagai profesi. Benar memang, dengan gelar akademik
yang saat ini telah saya peroleh sangat memungkinkan bagi saya untuk bergelut
di dunia akademisi dan peneliti (keduanya telah dan tengah saya jalani).
Keduanya memang tidak terlampau jauh dari dunia literasi, pun keduanya juga
menuntut kemampuan menulis yang mumpuni. Dengan kata lain, saya tetap bisa
menulis di tengah profesi tersebut. Hanya saja, hati kecil saya berbisik
tentang mimpi terbesar saya sebagai seorang wanita. Ya, menjadi seorang istri
dan ibu.
Sekarang mungkin saya
masih bebas untuk pergi kemana-mana melakukan riset, atau seharian penuh berada
di sekolah/kampus untuk mengajar. Tapi bagaimana ketika nanti saya telah
menikah dan telah dikaruniai seorang anak? Ah… maklum lhah, usia saya sudah
memasuki masa-masa menikah, jadi mikirnya sudah menata masa depan. Eaaa…
hahahaha
Sebenarnya, tidak
masalah bagi saya jika seandainya saya harus menjadi full time mother dan
berhenti berkarir di ranah public. Justru itu adalah keinginan terbesar dari
lubuk hati yang terdalam. Mungkin karena saya dibesarkan oleh keluarga yang
hangat dan ibu yang selalu ada dan dekat dengan anak-anaknya. Saya pun berharap
bisa demikian. Meski di sisi lain, saya juga bisa menebak bahwa akan banyak
orang nyinyir yang akan berkomentar, “apa gak sayang tuh gelar S2-nya?” atau
“sekolah tinggi-tinggi sampe S2 cuma jadi ibu rumah tangga?”
Ya, mungkin akan ada
rasa bersalah dalam diri saya jika akhirnya saya hanya ongkang-ongkang kaki di
rumah. Akan kamu kemanakan ilmu yang telah kamu pelajari selama ini? benar
memang, akan sangat bermanfaat bagi suami dan anak-anak. Tapi, masak iya hanya
sekedar itu? ya, saya ingin berkarya dari rumah. Bekerja tanpa harus jauh dari
anak-anak. Raga saya tetap berada di dekat mereka, tapi saya tetap ingin karya
dan pemikiran saya tersebar dan bermanfaat bagi semua orang.
Keinginan itu semakin
membuncah tatkala saya berkenalan dengan teman-teman KF yang telah menjadi ibu
dari beberapa anak, menjadi ibu rumah tangga, tapi tetap produktif untuk
berkarya. Ya, saya ingin menjadi seperti itu.
Karenanya, setelah
semua kereweuhan tesis dan urusan tetek bengeknya selesai, saya kembali
memantapkan hati untuk menempuh jalan sunyi kepenulisan. Setelah sebelumnya
saya sempat vakum dari dunia menulis, sejenak mimpi itu mati suri, dan mungkin
ini adalah waktu yang tepat untuknya kembali.
Disaat itu pulalah
Allah kembali membuka jalan-Nya. Saya diberi kesempatan untuk bergabung dalam
sebuah keluarga baru bernama “Kontenesia”. Allah kembali memilihkan tempat
untuk saya belajar dan beproses untuk mimpi-mimpi saya. Di sini saya tidak
hanya akan belajar tentang kepenulisan, namun juga tentang profesionalitas dan
attitude seorang penulis.
Ya, awal yang bagus
untuk kembali mengasah kemampuan menulis saya. Dan yang terpenting, untuk
mengembalikan habitus menulis saya yang sempat mati suri oleh
kesibukan-kesibukan lainnya. Saya bertekad, saya tetap harus menulis untuk
naskah buku-buku saya, saya tetap harus menulis untuk media (meski saya telah
menjadi penulis tetap rubric social-budaya di emadura.com).
“Semua harus ditulis. Apa
pun. Jangan takut tidak dibaca atau tidak diterima penerbit. Yang penting
tulis, tulis, dan tulis. Suatu saat pasti berguna.” Pramoedya Ananta Toer
Saya harus tetap
menulis, saya harus tetap berkarya. Semoga Allah berkenan untuk mengabulkan
mimpi-mimpi saya. Amiin…