Minggu, 24 Mei 2015

Ketika Seorang Gadis, Berbicara tentang Cinta Pertama



“Ayah adalah cinta pertama bagi anak gadisnya”

Mungkin, Ayah saya bukanlah orang yang begitu banyak bicara. Saya pun tak pernah mendengar beliau mengungkapkan kalimat hangat dan penuh cinta secara langsung. Namun, disanalah saya bisa melihat lebih jeli, bahwa beliau juga memiliki rasa cinta pada buah hatinya, sama besarnya dengan cinta kasih seorang ibu. Ya, cinta ayah justru ada dalam perbuatan dan sikap tenangnya.

Jujur, selama ini saya memang merasa terbatasi untuk bisa menyampaikan perasaan yang paling jujur di hadapan ayah. Tidak seperti pada ibu, dimana saya bebas bercerita dan bersikap se-terbuka mungkin, di hadapan ayah, justru semacam ada rasa sungkan untuk bercakap-cakap karena merasa tak bisa leluasa membicarakan ini-itu. Bukan, bukan karena ayah yang terlalu kaku, mungkin karena saya juga orang yang sangat lemah dalam hal mengungkapkan perasaan. Jadi, Ya, begitulah.

Terlepas dari semua kata yang ingin saya sampaikan pada ayah, saya ingin sekali mengatakan “Saya bangga menjadi anak ayah”.

Seorang ayah, pasti akan tersenyum bangga jika orang lain memuji anaknya bukan? Apalagi jika anaknya bisa memberikan prestasi yang membuatnya senang dan bahagia. Tapi, pernahkah kita merasa bahwa kita bisa mencapai sesuatu yang “dibanggakan” itu berkat siapa? Tentu berkat Ayah dan Ibu. Merekalah sosok terpenting yang membimbing kita sedari kecil hingga beranjak dewasa seperti saat ini.

“Saya bangga menjadi anak ayah”
Ayah yang sederhana. Ayah yang agamis dan idealis. Ayah yang selalu siap pasang badan untuk melindungi dan berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja. Ayah yang mampu menjadi kakak terbaik bagi adik-adiknya. Ayah yang mampu bermanfaat bagi sekitarnya. Ayah, adalah ayah terbaik.
“Terima kasih sudah mengantarkanku melewati sekian banyak jenjang hidup, Yah”.

Jika ditanya siapa orang terhebat dalam hidup saya? Tanpa ragu, saya akan menjawab bahwa salah satu yang terpenting adalah Ayah. Ya, Ayah. Beliau adalah sosok hebat yang selalu berusaha kuat menyokong semua usaha yang saya lakukan. Pun, menjadi sosok yang selalu hadir menguatkan, karena nyatanya hidup memang tidak pernah diprediksi.

Ketika saya mengatakan bahwa saya ingin menggeluti ini-itu, Ayah selalu memberi kepercayaan untuk memilih yang terbaik dalam hidup dan masa depan saya, di tangan saya sendiri. Sesekali, beliau memang mengarahkan, namun tak sedikitpun ada paksaan yang saya rasakan. Ketika saya gagal pun, tak pernah ada rasa marah ataupun mengutuk kesalahan saya. Yang ada hanyalah rengkuhan hangat, pendampingan mengais bulir-bulir hikmah, dan motivasi untuk kembali tegak berdiri.

Saya masih ingat betul di malam pengumuman SNMPTN 2009 lalu, dimana saya gagal memasuki universitas pilihan pertama dan kedua saya, dan justru terdampar di pilihan ketiga. Ayah berkata “Allah memilihkan tempat untukmu, bukan karena kebetulan, pasti ada sesuatu di depan sana.. jalanilah.. mungkin memang jalannya”. Dan nyatanya, di jalan inilah saya menemukan apa itu passion.

Saat saya gagal di penerimaan pegawai negeri pusat di tahun 2013, hati lemah ini juga jatuh di dasar rasa. Tidak saja karena langkah itu kurang sedikit lagi, tapi juga karena saya yang berusaha memperjuangkan mimpi, menyebabkan Ayah mendapat masalah dan bahkan mendapat penghinaan.

Waktu itu, tanpa harus saya katakan, Ayah seperti mengerti bagaimana perasaan saya. Lalu, beliau berkata “Tak ada yang salah dengan orang yang berusaha memperjuangkan mimpinya. Hanya saja, inilah salah satu misteri kehidupan. Gak semua orang tulus dan nyata mendukungmu, meski mereka selalu berkata demikian. Yang terpenting, tenangkanlah hatimu, jangan biarkan ada dendam disana.” Begitulah ayah. Ayah yang selalu ingin menunjukkan bahwa saya tak pernah sendirian.

Banyak orang bilang bahwa seorang ayah akan menjadi orang yang paling sedih sekaligus bahagia ketika melihat anak gadisnya telah dipersunting oleh seorang pria. Saya memang belum tahu pasti kebenarannya, tapi saya bisa mengerti sekaligus mungkin bisa memprediksi apakah hal itu juga akan berlaku bagi ayah saya.
Ayah saya memang protektif, dan itu tak salah. Karena seorang yang protektif, berarti juga selektif. Ayah saya memang tidak se-cerewet dan se-kepo ibu yang selalu ingin tahu saya dekat dengan siapa, atau siapa teman-teman saya. Tapi, bukan berarti ayah tak ingin tahu atau tidak perhatian dengan hal itu bukan? Dalam hatinya, justru dia yang paling khawatir, utamanya jika berkenaan dengan teman laki-laki. Terlebih jika anak gadisnya sudah memasuki masa-masa usia “akan menikah”, seperti saya saat ini.

“Kamu adalah putri ayah satu-satunya, jadi ayah ingin nantinya ayah melepasmu pada laki-laki yang bisa menjaga dan membimbingmu lebih dari ayah, atau setidaknya sama seperti ayah menyayangi dan menjagamu”. ucap Ayah di suatu sore, selepas berbincang tentang beberapa pinangan yang mulai datang.

Ah, Ayah. Saya terharu mendengarnya. Sungguh, saya ingin mengucapkan beribu-ribu terima kasih untuk segala upaya dan pengorbanan yang ayah lakukan dalam diam selama ini.  Dalam diammu, dalam doamu, dalam kerja keras yang terus kau lakukan sepanjang waktu, terima kasih Ayah.

“Maafkan Anakmu ini, yah”. Maafkan saya yang masih seringkali menggores kecewa. Ayah tentu mengerti bahwa putrimu ini masih merangkak belajar dewasa kan? Yang jelas, meski jarang terucap, Ayah perlu tahu bahwa saya akan selalu mencintai dan menyayangi Ayah, Sampai kapanpun.

Selamat Ulang tahun Ayah. Semoga senantiasa diberi kesehatan, umur yang panjang dan barokah. Terima kasih telah menjadi Ayah terbaik, dan doakan putrimu ini agar bisa menjadi putri yang terbaik bagimu. Amien. 

Surabaya, 24 Mei 2014

0 komentar:

Posting Komentar