“Ayah adalah cinta pertama bagi anak gadisnya”
Mungkin, Ayah saya
bukanlah orang yang begitu banyak bicara. Saya pun tak pernah mendengar beliau
mengungkapkan kalimat hangat dan penuh cinta secara langsung. Namun, disanalah
saya bisa melihat lebih jeli, bahwa beliau juga memiliki rasa cinta pada buah
hatinya, sama besarnya dengan cinta kasih seorang ibu. Ya, cinta ayah justru
ada dalam perbuatan dan sikap tenangnya.
Jujur, selama ini saya
memang merasa terbatasi untuk bisa menyampaikan perasaan yang paling jujur di
hadapan ayah. Tidak seperti pada ibu, dimana saya bebas bercerita dan bersikap
se-terbuka mungkin, di hadapan ayah, justru semacam ada rasa sungkan untuk bercakap-cakap
karena merasa tak bisa leluasa membicarakan ini-itu. Bukan, bukan karena ayah
yang terlalu kaku, mungkin karena saya juga orang yang sangat lemah dalam hal
mengungkapkan perasaan. Jadi, Ya, begitulah.
Terlepas dari semua
kata yang ingin saya sampaikan pada ayah, saya ingin sekali mengatakan “Saya
bangga menjadi anak ayah”.
Seorang ayah, pasti
akan tersenyum bangga jika orang lain memuji anaknya bukan? Apalagi jika
anaknya bisa memberikan prestasi yang membuatnya senang dan bahagia. Tapi,
pernahkah kita merasa bahwa kita bisa mencapai sesuatu yang “dibanggakan” itu
berkat siapa? Tentu berkat Ayah dan Ibu. Merekalah sosok terpenting yang
membimbing kita sedari kecil hingga beranjak dewasa seperti saat ini.
“Saya bangga menjadi
anak ayah”
Ayah yang sederhana.
Ayah yang agamis dan idealis. Ayah yang selalu siap pasang badan untuk
melindungi dan berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja. Ayah yang mampu
menjadi kakak terbaik bagi adik-adiknya. Ayah yang mampu bermanfaat bagi
sekitarnya. Ayah, adalah ayah terbaik.
“Terima kasih sudah
mengantarkanku melewati sekian banyak jenjang hidup, Yah”.
Jika ditanya siapa
orang terhebat dalam hidup saya? Tanpa ragu, saya akan menjawab bahwa salah
satu yang terpenting adalah Ayah. Ya, Ayah. Beliau adalah sosok hebat yang
selalu berusaha kuat menyokong semua usaha yang saya lakukan. Pun, menjadi
sosok yang selalu hadir menguatkan, karena nyatanya hidup memang tidak pernah
diprediksi.
Ketika saya mengatakan
bahwa saya ingin menggeluti ini-itu, Ayah selalu memberi kepercayaan untuk
memilih yang terbaik dalam hidup dan masa depan saya, di tangan saya sendiri. Sesekali,
beliau memang mengarahkan, namun tak sedikitpun ada paksaan yang saya rasakan.
Ketika saya gagal pun, tak pernah ada rasa marah ataupun mengutuk kesalahan
saya. Yang ada hanyalah rengkuhan hangat, pendampingan mengais bulir-bulir
hikmah, dan motivasi untuk kembali tegak berdiri.
Saya masih ingat betul
di malam pengumuman SNMPTN 2009 lalu, dimana saya gagal memasuki universitas
pilihan pertama dan kedua saya, dan justru terdampar di pilihan ketiga. Ayah
berkata “Allah memilihkan tempat untukmu, bukan karena kebetulan, pasti ada
sesuatu di depan sana.. jalanilah.. mungkin memang jalannya”. Dan nyatanya, di
jalan inilah saya menemukan apa itu passion.
Saat saya gagal di
penerimaan pegawai negeri pusat di tahun 2013, hati lemah ini juga jatuh di
dasar rasa. Tidak saja karena langkah itu kurang sedikit lagi, tapi juga karena
saya yang berusaha memperjuangkan mimpi, menyebabkan Ayah mendapat masalah dan
bahkan mendapat penghinaan.
Waktu itu, tanpa harus
saya katakan, Ayah seperti mengerti bagaimana perasaan saya. Lalu, beliau
berkata “Tak ada yang salah dengan orang
yang berusaha memperjuangkan mimpinya. Hanya saja, inilah salah satu misteri
kehidupan. Gak semua orang tulus dan nyata mendukungmu, meski mereka selalu
berkata demikian. Yang terpenting, tenangkanlah hatimu, jangan biarkan ada
dendam disana.” Begitulah ayah. Ayah yang selalu ingin
menunjukkan bahwa saya tak pernah sendirian.
Banyak orang bilang
bahwa seorang ayah akan menjadi orang yang paling sedih sekaligus bahagia
ketika melihat anak gadisnya telah dipersunting oleh seorang pria. Saya memang
belum tahu pasti kebenarannya, tapi saya bisa mengerti sekaligus mungkin bisa
memprediksi apakah hal itu juga akan berlaku bagi ayah saya.
Ayah saya memang
protektif, dan itu tak salah. Karena seorang yang protektif, berarti juga
selektif. Ayah saya memang tidak se-cerewet dan se-kepo ibu yang selalu ingin
tahu saya dekat dengan siapa, atau siapa teman-teman saya. Tapi, bukan berarti
ayah tak ingin tahu atau tidak perhatian dengan hal itu bukan? Dalam hatinya,
justru dia yang paling khawatir, utamanya jika berkenaan dengan teman
laki-laki. Terlebih jika anak gadisnya sudah memasuki masa-masa usia “akan
menikah”, seperti saya saat ini.
“Kamu adalah putri ayah
satu-satunya, jadi ayah ingin nantinya ayah melepasmu pada laki-laki yang bisa
menjaga dan membimbingmu lebih dari ayah, atau setidaknya sama seperti ayah
menyayangi dan menjagamu”. ucap Ayah di suatu sore, selepas berbincang tentang
beberapa pinangan yang mulai datang.
Ah, Ayah. Saya terharu
mendengarnya. Sungguh, saya ingin mengucapkan beribu-ribu terima kasih untuk
segala upaya dan pengorbanan yang ayah lakukan dalam diam selama ini. Dalam diammu, dalam doamu, dalam kerja keras yang
terus kau lakukan sepanjang waktu, terima kasih Ayah.
“Maafkan Anakmu ini,
yah”. Maafkan saya yang masih seringkali menggores kecewa. Ayah tentu mengerti
bahwa putrimu ini masih merangkak belajar dewasa kan? Yang jelas, meski jarang
terucap, Ayah perlu tahu bahwa saya akan selalu mencintai dan menyayangi Ayah,
Sampai kapanpun.
Selamat Ulang tahun
Ayah. Semoga senantiasa diberi kesehatan, umur yang panjang dan barokah. Terima
kasih telah menjadi Ayah terbaik, dan doakan putrimu ini agar bisa menjadi putri
yang terbaik bagimu. Amien.
0 komentar:
Posting Komentar