“Jika dulu
suatu bangsa bisa hidup aman di tengah-tengah padang pasir atau hutan. Sekarang
tidak. Ilmu pengetahuan modern mengusik siapa saja dari keamanan dan
kediamannya. Juga manusia sebagai makhluk sosial dan sebagai individu tidak
lagi bisa merasa aman. Dia dikejar-kejar selalu, karena ilmu-pengetahuan modern
memberikan inspirasi dan nafsu untuk menguasai: alam dan manusia sekaligus. Tak
ada kekuatan lain yang bisa menghentikan nafsu berkuasa ini kecuali ilmu-pengetahuan
itu sendiri yang lebih unggul, di tangan manusia yang lebih berbudi.” (Pramoedya Ananta Toer)
Hari ini, ketika aku
kembali mengulang pelajaran tentang modernitas dan postmodernitas, aku menjadi
lebih paham bagaimana proses pergeseran masa mulai dari tradisional yang magis
berpindah ke modernitas yang rasionalitas, hingga ke masa postmodernitas, masa
dimana irrasionalitas tumbuh dan berkembang dalam rasionalitas. Kita tahu bahwa
masa tradisional berakhir sejak abad pencerahan, sejak ilmu pengetahuan bisa
bebas dan berkembang. Abad modern memang berkembang dengan mengedepankan
rasionalitas. Dan terapan maksimal dari rasionalitas manusia ini adalah
perkembangan teknologi.
Perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi sebagai turunannya memang
tidak saja membantu manusia dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya sehari-hari. Lebih jauh, ilmu pengetahuan dan teknologi telah berhasil
mendatangkan kemudahan hidup bagi manusia. Namun sayangnya, perlahan tapi pasti, tujuan mulia ilmu
pengetahuan dan teknologi dalam membantu manusia memenuhi kebutuhan hidupnya
telah mengalami pergeseran. Ilmu pengetahuan dan teknologi seolah menjadi
bumerang bagi manusia sebagai penggunanya. Penggunaan IPTEK yang salah kaprah
dan tidak terkendali, kini hanya menciptakan alienasi, dehumanisasi, dan
konsumerisme dalam kehidupan manusia. Padahal, ilmu pengetahuan lahir dan hadir
di tengah-tengah manusia untuk melakukan enlightening, pencerahan.
Tetapi mengapa ilmu pengetahuan dan teknologi, kemudian justru menimbulkan
tanda-tanda kehancuran bagi umat manusia?
Bahkan seorang Einstein pun
pernah mengungkapkan kekhawatirannya akan perkembangan ilmu yang sifatnya
rasional, mulai menjadi dewa baru yang tidak saja menundukkan tapi juga
memperbudak masyarakat modern. Beliau berpesan “Dalam
peperangan, ilmu menyebabkan kita saling meracun dan saling menjegal. Dalam
perdamaian, dia membikin hidup kita dikejar waktu dan penuh tak tentu. Mengapa
ilmu yang amat indah ini, yang menghemat kerja dan membikin hidup lebih mudah,
hanya membawa kebahagiaan yang sedikit sekali kepada kita?” (Pesan
Albert Einstein kepada mahasiswa California Institute of Technology)
Untuk zaman seperti ini, perkembangan teknologi memang
bukan
hal yang bisa dielakkan, pun tidak
perlu sekedar dikutuk, bahkan secara keseluruhan masyarakat memang
menyenanginya, seolah tak bisa hidup tanpanya. Ya, dalam kerangka dan irama kultur
secara makro, masyarakat memang membutuhkan teknologi.
Namun,
kita juga harus berhati-hati dalam menerjemahkan makna kemajuan. Dari sudut
lain terlihat bahwa ini adalah contoh mencolok betapa tangan-tangan raksasa
teknologi kapitalis telah mencengkeram hingga rongga terdalam dari tubuh
kebudayaan masyarakat. Satu sisi realitas yang naif; masyarakat telah didorong
sedemikian rupa, dipaksa secara kultur dengan dahsyat untuk memiliki apa-apa
yang sesungguhnya tidak atau setidaknya belum merupakan kebutuhan dasar yang
berasal dari dirinya sendiri. Contoh paling sederhana, handphone –yang saat ini
disebut smartphone- misalnya. Anak-anak kecil di era ini bahkan masih dalam
usia balita telah menjadikan Smartphone sebagai
mainan sehari-hari. Usia diatasnya, Smartphone seolah
telah menjadi kebutuhan pokok, yang bisa atau tidak bisa harus ada dalam
keseharian mereka. Sementara bagi mereka yang berada dalam rentang
remaja-dewasa, memakai Smartphone telah
melebihi alasan kebutuhan akan esensi dari barang itu sendiri. Kepuasaan akan
fitur-fitur yang selalu berkembang untuk dianggap sebagai yang tercanggih,
serta kebesaran nama dari sebuah produk lebih penting untuk mereka miliki.
Sehingga tidak heran jika Indonesia menjadi pasar sekaligus konsumen terbesar
untuk industry Smartphone. Sangat
wajar jika hasil survei Mobility Report Ericsson, menyebutkan bahwa pengguna perangkat mobile akan mencapai
9,3 miliar pada tahun 2019. Dan sekitar
5,6 miliar atau lebih dari 60 persennya merupakan pengguna Smartphone.
Smartphone, di samping kedudukannya sebagai
pemenuh mimpi kultur yang kewajarannya dipertanyakan, juga memberi degup yang
berbeda dalam kehidupan masyarakat indonesia. Smartphone dan teknologi semacamnya,
notabenenya adalah suatu kemajuan konkret. Namun, masalahnya lebih rumit dan
naif dari sekedar soal “maju” karena Smartphone tidaklah hadir serempak dengan
kesiapan masyarakat untuk menjadikannya sebagai alat komunikasi yang
benar-benar efektif. Benda-benda
gemerlap itu merupakan produk kultur teknologi yang mencampakkan orang-orang
sedemikian rupa kedalam impian kemewahan yang meminta hampir seluruh hidup
mereka. Mereka hanya mengerti bahwa produk teknologi tersebut bisa menjadi
simbol kemajuan taraf hidup mereka. Bahwa ia tidak bisa dan tidak boleh
dielakkan untuk hadir.
Sehingga, Handphone secara
langsung atau sedikit demi sedikit, akan mampu mengendalikan atau bahkan bisa
disebut memperbudak sikap dan mekanisme hidup mereka sehari-hari. Barangkali,
hal demikian boleh sesekali diabaikan. Namun, sebuah benda teknologi tidak
pernah berdiri sendiri, dan sebagai gejala makro yang merata harus diakui bahwa
keberadaannya mampu membawa pergeseran warna hidup secara sosial. Memang tidak
ada yang salah dengan terjadinya sebuah pergeseran sosial, karena itu memang
sebuah konsekuensi dari sebuah dinamika. Dan setiap dinamika meminta ongkos terjadinya
kehilangan-kehilangan. Sementara
kemajuan
akan teruji kebenarannya apabila atas kehilangan-kehilangan ini bisa ditemukan
gantinya. Sebut saja terhapusnya beberapa tatanan dan pertalian kehidupan
masyarakat sebagai salah satu contohnya.
Dalam Runaway World,
Giddens menjelaskan bahwa Globalisasi yang tidak lain adalah
anak dari kemajuan ilmu dan teknologi juga bisa menciptakan
perubahan super dahsyat yang merombak dan memporak-porandakan tradisi, dimana
nilai-nilai penyangga kehidupan manusia terbentuk. Tidak
berhenti di situ saja, proses penghancuran ini pun merambah ke keluarga, komunitas terkecil tempat manusia
hidup. Akibatnya, manusia semakin kehilangan tempat berpijak bagi kehidupannya.
Bukan hal yang aneh jika saat ini dalam sebuah keluarga, mereka lebih asyik
dengan Smartphone masing-masing dibandingkan dengan harus menciptakan quality
time dengan anggota keluarga yang lain. Bahkan tak jarang,
untuk sekedar komunikasi pun mereka lakukan hanya melalui alat teknologi serba
canggih ini. Disadari atau tidak, Smartphone telah mengubah perilaku
masyarakat. Orang-orang di zaman ini sudah
tidak bisa lagi lepas dari Smartphone. Mereka seolah tidak bisa
melepaskannya dari genggaman bahkan hanya untuk beberapa menit. Hal ini
tentu cukup mengejutkan bagi kehidupan sosial setiap orang yang ada sekarang. Tujuan utama ponsel sebagai alat komunikasi
jarak jauh pun sudah terlupakan. Smartphone membuat orang yang jauh menjadi dekat, namun
justru membuat orang yang dekat menjadi jauh. Orang-orang modern
saat ini justru lebih asyik dengan dunia yang mereka ciptakan sendiri,
dibandingkan dengan dunia nyata dimana mereka berpijak.
Perlahan, kita telah
melepaskan diri dari tatanan dan pertalian yang lazim terdapat dalam kehidupan
social khususnya di Indonesia yang sebelumnya amat erat dengan kebersamaan dan
kekeluargaannya. Di titik ini, kita patut bertanya perihal tatanan-tatanan baru
yang mampu mencapai tingkat lebih tinggi secara peradaban manusia, sesuai
dengan tingkat kemajuan yang notabenenya menjadi hak masyarakat modern.
Ah, aku tiba-tiba jadi ingat ibu yang pernah berkata “semoga saya
dilindungi dari kuasa handphone”. Ya, ibuku. Sosok sederhana tapi telah mampu
melakukan counter culture akan kuasa Smartphone. Bagi beliau,
dianggap kuno atau ketinggalan zaman masih lebih baik dibandingkan jika kita
harus menjadi budak dari sebuah benda kecil seperti itu. Dan tak patut rasanya
jika waktu yang amat berharga, yang dikaruniakan oleh tuhan pada umatnya, hanya
dihabiskan untuk mengurusi hal-hal yang berada dalam Smartphone.
Awalnya, aku pun sempat merasa risih ketika di rumah selalu ditegur dan dinasehati
acapkali aku memegang HP. Bagi mereka, ayah dan ibuku, handphone hanya patut
digunakan ketika dibutuhkan, dan itu tidak setiap saat. Benar memang, handphone
bagi mereka hanya cukup sekedar SMS dan telepon, tidak seperti aku dan
saudara-saudaraku yang memang hidup dan besar di era dahsyatnya teknologi
komunikasi. Tapi, perlahan seiring bertambahnya usia dan pengetahuan, aku
menjadi mengerti, bahwa waktu itu sangat penting untuk hanya sekedar dihabiskan
di depan layar smartphone. Ada waktu atas segala sesuatu.
Karena masalah
kita bukanlah bagaimana mengelakkan teknologi, melainkan bagaimana
menjinakkannya, bagaimana
belajar hidup berteknologi secara kreatif, produktif, dan
prospektif. Semoga, kita bisa.
Surabaya, 24 Februari 2015