“Perbedaan
antara keteguhan hati dengan keras kepala hanyalah terletak pada kemauan dan
ketidakmauan.”
Cerita pendek dalam
kumpulan cerpen (kumcer) “Hujan Pertama Untuk Aysila” ini, sebagai salah satu
genre sastra, hakikatnya dikelompokkan dalam kategori sastra interpretif (Interpretive
Literature). Yakni genre sastra yang sering dikonotasikan dengan sastra
serius, sastra yang untuk ditafsirkan dan direnungkan.
Dalam perspektif
sosiologi sastra, cerpen tidak dipandang dari estetikanya, melainkan lebih pada
sastra sebagai produk budaya. Karena itu, kumcer ini dapat diposisikan dalam
dua dimensi tulisan atau karya budaya (cultural
writings) entah itu produk budaya atau pembentuk budaya. Karya ini sebagai
produk budaya yang telah dihasilkan oleh penulisnya, namun juga merupakan entitas
pembentuk (pengonstruksi) budaya bagi pembacanya, mengingat proses pembacaan
adalah juga proses kreatif untuk merespon dan mereproduksi budaya yang baru
–entah dalam tingkat idea, aksi, maupun produk budaya berikutnya.
Setelah membaca 12
cerpen yang ada dalam kumcer berjudul “Hujan pertama untuk Aysila” ini, dapat
ditarik benang merah bahwa tema besar karya ini adalah tentang keteguhan hati. Ada
beberapa kluster “keteguhan hati” disini, yakni tentang keteguhan akan pilihan
hati dalam cinta, keyakinan, pola pikir, dan keputusan serta dalam pengabdian
yang tentu diyakini sebagai suatu kebenaran. Meski nyatanya, kebenaran pun
memiliki banyak sisi, sebanyak orang yang memaknainya.
Ada sembilan buah
cerpen yang menggelitik pembaca dengan isu cinta, kesetiaan, dan masalah hati
yang pantas untuk dijadikan cermin.
Dalam cerpen “Hujan Pertama Untuk Aysila”, “Kue Tart Yang Setia
Dijaganya”, dan “Cerita Kesetiaan Gadis Berponi Curly”, terlihat bahwa
cerpen-cerpen ini berusaha mengajak pembaca untuk mengerti bahwa mencintai
selalu sepaket dengan keikhlasan melepaskan selama yang dicintainya mendapatkan
kebahagiaan. Tapi, layaknya manusia yang mencinta, tak berdosa rasanya jika
harapan tuk mendapatkan cinta dengan porsi yang sama masih tetap tumbuh di
tengah kenyataan yang memang terasa menyesakkan. Karena itulah, dalam cinta
selalu ada pilihan untuk “menunggu”. Menunggu atau menanti dalam kesetiaan
adalah juga perkara melebarkan kesabaran. Namun, juga tak ada alasan untuk
percaya bah'wa penantian itu akan sia-sia.
Seperti Aysila, “Ia
hidup hanya untuk setia”. Ya, kesetiaan. Gadis-gadis yang selalu bersedia
menunggu dengan setia, para lelaki mereka. Meski terkadang, ada risau akan
kesetiaan yang sama dari para lelaki, gadis-gadis itu tetap menjadi bagian dari
betapa berharganya arti kesetiaan. “Adakah yang lebih berharga dalam hidup
seorang gadis kecuali kesetiaan?”.
“Hagia Sophia, senja,
dan cinta yang setia” seolah ingin menunjukkan bahwa kesetiaan masih menjadi
bagian dari hidup Aysila, bahkan di usianya yang telah senja. Cerpen yang
berjudul “Ku Tunggu Kamu Di Hagia Sophia”, mengajak pembaca untuk mengerti
bahwa Cinta tak pernah datang dengan kepastian. Setiap hubungan pun pasti
punya dua kemungkinan, antara berhasil atau justru nihil. Menunggu pun
demikian. Selalu berada diantara dia yang datang untuk pergi, dan dia yang
pergi untuk kembali.
Perpisahan, apapun
bentuknya memang selalu menyisakan duka. Dan seringnya, menjadikan seseorang
limbung, seperti tercerabut dari akarnya. Selalu butuh waktu untuk kembali
tegak berdiri. “Menangkap Nawang Wulan” dan “Lelaki Yang Penuh Kenangan” kurang
lebih ingin berbicara tentang hal itu. Urusan cinta juga bukan tentang menang
dan kalah. Tak pernah ada giliran untuk saling menyakiti. Karena sejatinya,
Cinta adalah perjuangan mempertahankan kenyamanan. Sedangkan kenyamanan, sama
halnya seperti siklus kehidupan yang perlahan bisa tergantikan. Sesuatu yang
dulu kita anggap sebagai rumah, tempat untuk melunasi rindu dan menyemai
bahagia, kini semuanya tidak lagi seperti dulu. Sesuatu yang dulu kita akrabi,
sekarang tidak lagi kita kenali. Semuanya telah berubah, semuanya telah
berbeda.
Lebih jauh, pembaca
juga diajak untuk menyelami aspirasi dan kritik social. Cerpen “Madame Tussaud”
ingin berbicara bahwa aspirasi memang perlu dikumandangkan, kendati kemungkinan
untuk membuahkan hasil sangat kecil. Cerpen ini juga berbicara tentang
keteguhan hati akan pengabdian seorang bawahan terhadap majikannya. Pengabdian
yang tetap dia persembahkan meski nyawa sekalipun yang akan menjadi taruhannya.
Memang ada jarak social-psikologis antara bawahan yang tersubordinasi dan
atasan yang mensubordinasi. Hal ini juga terlihat dalam cerpen “Orang-Orang
yang mengganti Hatinya dengan Batu”, keduanya sama-sama berbicara tentang
keteguhan hati untuk mengabdi pada atasan, meski konteks keduanya sangat jauh
berbeda. Cerpen “Orang-Orang yang mengganti Hatinya dengan Batu” lebih terasa
kritik social dan dunia liar yang seolah memang menyelimuti ranah tersebut.
Dalam beberapa cerpen,
utamanya dalam cerpen “Cara Mudah Untuk Bahagia” yang sangat kental dengan
pergulatan pemikiran dan keyakinan para tokohnya, penulis seringkali membahas
ide-ide dan filosofi-filosofi Derrida, Barthes, Habermas, Baudrilard, Foucault,
bahkan Sartre. Tidak saja dari segi substansi gagasan tapi juga dalam
kecerdasan cara menyajikannya. Ia mendiskusikan nama-nama penting dalam jagad
pemikiran tokoh social barat tersebut bukan dengan kualitas “ngalor ngidul”
atau dienteng-entengkan, tapi justru sebaliknya, menukik tajam. Sehingga tidak
heran, jika dalam beberapa cerpen seperti “Orang-Orang Yang Mengganti Hatinya
Dengan Batu”, “Lelaki Yang Penuh Kenangan”, dan “Tukang Cerita Yang Tak Lagi
Jatuh Cinta Pada Telepon Genggamnya”, penulis tidak hanya menyajikan tafsiran
yang padat, kaya nuansa, tapi juga “Liar”.
Penulis memang tak
memberi peluang pada pembacanya untuk ikut menimbang atau menguji ide
orang-orang yang dikutipnya, dengan cara memaparkan gagasan itu secara cukup
lengkap, sistematis, dan tertib. Sehingga bukan tidak mungkin, jika pembaca
yang kurang akrab dengan pemikiran tokoh-tokoh tersebut, mereka akan sedikit
mengalami kesulitan untuk mengikuti dinamika obrolannya. Sampai disini, sepertinya
penulis memang memperlakukan mereka sepenuhnya sebagai rekan ngobrol. Bagai berbincang akrab dengan
teman dekat yang setingkat dalam pengetahuan tentang data elementer di seputar
pokok bahasan. Cara ini memang ampuh untuk menangkal tendensi yang amat
dihindari oleh para penulis pada umumnya, yakni sikap menggurui.
Secara keseluruhan,
cerpen-cerpen dalam buku ini memang dibentuk oleh pondasi berpikir,
kompleksitas sudut pandang, dan analisis logis-argumentatif. Dan gaya surealis
yang digunakan oleh penulis telah berhasil mengajak pembaca untuk berpikir
reflektif, kontemplatif, dan analitis.