Aku menuliskan catatan
ini untuk adikku Af Isnain, yang beberapa jam yang lalu bercerita tentang
keresahan-keresahan akan tujuan hidup, dan bagaimana menjalani hidup tatkala
hati tengah kering oleh motivasi dalam diri.
Dalam ceritanya dia
menggambarkan dirinya seolah tengah berada dalam kondisi dimana tubuh telah
terpisah dari jiwanya. Tak ada lagi gairah untuk menjalani hidup. Hari-hari
terasa kosong. Ya. Membayangkan apa yang tengah dirasakannya, mengingatkanku
bahwa aku pun pernah mengalaminya. Aku merasa tidak memiliki apapun untuk
dibanggakan. Tidak mempunyai pencapaian, juga tidak ada gairah besar dalam diri
yang benar-benar bisa membuat aku merasa hidup. Aku menjadi
sering gelisah, mencela setiap usaha yang kulakukan, dan menjadikannya sebagai
kebiasaan. Kebiasaan yang buruk. Saat
itu adalah saat dimana aku seolah bertentangan dengan seseorang yang lain yang
ada dalam diriku. Aku berniat untuk mengalahkannya, tapi tak ada usaha dan
kekuatan untuk itu. Aku menginginkan perubahan dalam diri, tapi diri ini enggan
beranjak dari kenyamanannya. Alhasil, seringkali aku terjatuh untuk mengalah
pada kenyamanan yang semu. Aku tahu betul bahwa itu bukan suatu hal yang benar
untuk dilakukan, tapi aku tetap menikmatinya. Lalu, untuk apa aku hidup? Hanya
sekedar untuk menjalani hari tanpa makna?
Kau
tahu, pada dasarnya kita pasti memiliki ironi dalam diri masing-masing; mungkin
juga paradoks, kemunafikan, atau ambiguitas. Sesuatu yang kita benci untuk kita
sukai. Sesuatu yang sebenarnya baik untuk tidak kita pilih. Atau sesuatu yang berusaha kita sembunyikan dari
siapapun, tetapi kita katakan sebaliknya di hadapan orang lain. Ya, entah
bagaimana kita memiliki wilayah-wilayah yang memaksa kita untuk mendua.
Perasaan dan pikiran yang sering membuat kita letih dan sedih. Tetapi sekaligus
penting untuk kita miliki agar kita bisa seutuhnya menjadi manusia, yang
terbatas dan tidak sempurna.
Jadi, kukatakan padamu
bahwa yang kau alami adalah suatu hal yang wajar dialami oleh anak muda seusia
kita. Bukankah dilema anak muda adalah menentukan arah hidupnya?
Bahkan, saat kau
meminta nasihat dariku, aku masih merasa bahwa kau jauh lebih dewasa
dibandingkan aku. Lalu kau bilang, sebagai seorang adik bolehkan menuntut hak
mendapat nasehat dari kakaknya? Ah, kau selalu bisa mengeluarkan kata-kata yang
bisa membuatku termenung beberapa detik untuk memikirkan jawabannya. Sama
halnya seperti waktu itu, di hari pertamamu menginjakkan kaki di usia 20-an,
kau bertanya padaku, “sekarang usiaku berapa mbak?” aku menjawabnya dengan
sedikit gurauan bagaimana kau bisa lupa dengan usiamu sendiri, “udah segitu
yaa... tapi aku belum bisa apa-apa, belum berbuat apa-apa”. Hatiku tersentil
mendengarnya. Bahkan pemikiran seperti itu belum terbesit dalam benakku saat di
usia yang sama. Padahal aku tahu, bagaimana kualitas dirimu, kualitas
pengetahuan agamamu, dan seberapa luas pengalaman dan jaringan pertemananmu.
Sedari kecil, kau
selalu merasa bahwa kau harus belajar banyak dariku, dan aku pun merasa bahwa
aku harus banyak belajar darimu. Nyatanya, kita memang berbeda. Setiap orang
mempunyai caranya sendiri untuk memahami sesuatu dan mempelajari sesuatu. Hingga
akhirnya, kita harus memilih jalan masing-masing dan bertanggung jawab penuh
atasnya.
Baiklah, sebagai
seorang kakak aku akan memberikan beberapa nasehat untukmu. lebih tepatnya,
motivasi untuk kita. Tak ada maksud untuk menggurui karena sama halnya seperti
dirimu, aku pun masih sering gamang akan masa depan. Aku hanya menuliskannya
secara sederhana, sebatas pemahaman dan pengalamanku. Semoga ini bisa menjadi
oase di tengah keringnya hatimu.
Adikku, di usiamu saat ini, kau pasti merasa
bahwa kau harus meraih banyak hal, mengukir prestasi, dan mencapai segalanya.
Begitu juga dengan semua orang seumuranmu, mereka melakukan hal yang sama. Tak jarang, di titik
ini kau akan bertanya-tanya, Apa benar jalan yang telah kupilih ini? Dan ketika
kau melihat sekitarmu, melihat teman sebayamu, kau akan kembali bertanya sebenarnya aku mau berlari kemana? Sampai ke mana tujuan yang aku ingin capai? lalu,
semuanya terasa kabur. Kau tidak bisa melihat apa-apa. Semuanya gelap.
Kau harus tahu, memang
bukan hal yang mudah untuk memantapkan diri. Bukankah kau sudah pernah
merasakannya sebelum memilih jalan ini? Aku mengerti, keraguan dan kekhawatiran
acapkali hadir dalam perjalanan ini. Awalnya, kita memang sangat yakin bahwa
inilah jalan yang terbaik bagi kita. Meski aku pun tak memungkiri, bahwa ada
rasa takut untuk melalui jalan panjang itu. Kita tak tau adakah batu yang besar
yang menghalangi jalan, ataukah adakah jurang yang memutuskan jalan ini.
Sehingga kita hanya duduk termenung menatap jalan itu, untuk beberapa
waktu.
Ketika kita sudah benar
- benar yakin pada jalan ini. Jalan yang akan membawa ke tempat yang kita
inginkan. Kita pun mulai berjalan melangkahkan kaki perlahan demi perlahan.
Tapi, seringkali kita merasa langkah kaki
ini begitu berat. Disaat seperti inilah kita akan dihadapkan pada dua pilihan.
Kita bisa memilih berhenti dan membalikkan badan untuk kembali atau terus
memaksakan diri agar tetap melangkahkan kaki. Akan ada ujian di setiap langkah
kita, hingga dorongan untuk keluar atau berbalik arah dari jalan ini terasa
sangat besar. Karena itulah, untuk sampai di ujung jalan atau untuk berada di
puncak tak pernah ada yang mudah.
Seringkali kita akan
bertanya, mengapa proses ini sangat panjang dan sangat sulit? Itu tidak lain
agar orang-orang memiliki tanggung jawab untuk mengerti, bisa mengerti makna
dari sebuah proses. Bayangkan seandainya semua orang dengan seenaknya mengubah
logam menjadi emas, emas akan kehilangan nilainya bukan? Hanya orang-orang yang
teguh hati, dan bersedia belajar secara mendalamlah yang bisa mencapainya.
Kau juga harus
mengerti, rasanya hari-hari terlalu berharga jika hanya diisi dengan keluhan
atau merutuki nasib akan jalan yang telah kau pilih. Setiap orang mengukir
perjuangannnya sendiri. Dan, selalu ada kisah-kisah yang terserak tentang
perjuangan dalam meraih banyak hal. Semakin dekat kita dengan perwujudan
impian, maka semakin sulit situasi-situasi yang dihadapi. Dalam usaha mengejar
impian itu, ada-ada saja cobaan yang menghadang, untuk menguji keteguhan hati
serta keberanian. Maka kita tak bisa terburu-buru ataupun tak sabar. Kalau kita
merengsek maju secara membabi buta, kita akan luput melihat isyarat-isyarat dan
tanda-tanda yang diberikan Tuhan di sepanjang jalannya.
Ada yang bilang
bahwa hidup adalah serangkaian pembuktian, akan perjuangan yang tak pernah
selesai. Barangkali itu benar. Bukankah di awal jalan, kita tidak punya apapun selain keyakinan bahwa hal yang kita
lakukan akan berhasil suatu hari nanti. Justru, inilah yang yang menjadikan
hidup ini lebih menarik, kemungkinan mewujudkan impian menjadi kenyataan. Meski
seringkali kita akan dihadapkan pada mereka yang merasa bahwa keyakinan itu
salah. Disinilah kita harus belajar merelakan hati untuk diproses menjadi
dewasa. Akan ada beberapa orang yang mencibir keputusan kita. Terlebih jika
kita mengambil jalur yang tidak sesuai dengan status “bagus” di mata orang lain. Seperti
yang kita lakukan. Aku dengan jurusan sosiologiku, dan kau dengan jurusan
tafsir al-quran dan hadist mu. Untuk ini, rasanya kita harus belajar dari ayah
dan ibu. Merekalah yang paling kuat merelakan hati, bahkan merelakan harga
diri karena seringkali kita dianggap tidak akan berhasil dengan jalan yang kita
pilih. Mereka jugalah yang paling percaya bahwa kekuatan mimpi itu ada dan akan
menjadi nyata.
Yah, begitulah orang. Selalu merasa
paling tahu
bagaimana orang lain seharusnya menjalani hidup, walau sebenarnya mereka
sendiri belum tentu tahu bagaimana seharusnya menjalani hidup mereka. Akan ada masa dimana kita harus memasang muka tebal dan
merelakan harga diri sebelum bisa membuktikan keberhasilan itu. Melihat
semuanya, aku belajar satu hal. Selalu ada orang
yang akan mencintaimu, mendukungmu. Tapi juga akan selalu ada orang yang
membenci dan bahkan mungkin ingin membunuhmu. Tetapi apapun itu, adalah segala
hal yang akan membuat kita lebih kuat.
Aku percaya bahwa kau memiliki hati yang
kuat. 7 tahun terakhir telah kau gunakan untuk belajar dari satu kota ke kota
yang lain. Dengan hanya bisa pulang 2-3 kali dalam satu tahun. Ya, ayah selalu
menanamkan dalam diri anak-anaknya bahwa memperjuangkan diri untuk dapat
melihat bintang di langit yang lain adalah hal yang perlu dicoba. Meski aku
juga tahu, tak mudah bagi ayah dan ibu untuk rela melepas anaknya belajar di
kota lain di saat usianya masih 15 tahun. Perantauan memang bisa membuat kita
lebih kuat. Tapi layaknya manusia, hati seringkali menjadi lemah. Saat situasi
ini terjadi padamu, ingatlah selalu ayah dan ibu. Dengan kesabaran yang
panjang, tekad yang kuat, dan keyakinan pada kemampuan diri kita, mereka tak
pernah berhenti berjuang dan mendoakan kita. Mereka yang selalu berusaha
memberikan yang terbaik bagi kita. Mereka yang selalu mengajarkan pada kita
akan arti sebuah kehidupan. Makna hidup dalam kebermanfaatan.
Sama halnya seperti dirimu, aku juga
seringkali terjebak dalam ketakutanku sendiri. Ketakutan akan masa depan. Ah,
bukannya semua yang tidak terlihat selalu bisa menimbulkan rasa takut? Apalagi
misteri masa depan. Yang tidak satu pun orang tahu atau setidaknya sedikit
memberikan rasa ketenangan untuk menghadapinya.
Masa muda memang masa dalam kecemasan yang memprihatinkan bukan?
Dan untuk kesekian kalinya. Kita harus
mengingat apa yang pernah ditanamkan oleh Ayah dan ibu. Bahwa masa depan adalah
milik Tuhan, dan hanya Dialah yang mengungkapnya dalam keadaan tertentu. Tapi,
rahasia masa depan ada pada saat sekarang. Jika kita menaruh perhatian pada
saat sekarang, maka kita bisa memperbaikinya. Dan jika kita memperbaiki saat
sekarang ini, apa yang akan datang juga lebih baik. Intinya, tak perlu khawatir
soal masa depan, jalani setiap hari sesuai dengan kapasitas kita dan ajaran
ajaran yang telah kita terima. Yakinlah bahwa janji Allah itu pasti. Dan kerja
keras juga tidak akan pernah mengkhianati.
Maka dari itu, kita
tidak boleh berhenti, meski kita sudah sampai sejauh ini. Jangan sampai nanti
sepanjang sisa hidup kita akan menyesal, kenapa dulu kita tidak mengejar
takdir. Mengejar mimpi. Jadi, tak ada cara lain bukan? selain bertahan dalam
prosesnya. Apapun itu.
Terakhir, mari bersama
kita jalani sebaik mungkin, lewati selapang mungkin, luruhkan semua kecewa.
Sisanya, serahkan pada yang Maha memiliki skenario. Tenang saja, semuanya akan
baik-baik saja.
0 komentar:
Posting Komentar