Saat semua tak sama,
kadang aku terjatuh di dasar rasa. Hati lemahku begitu memancar. Namun dalam
hati aku juga bertanya apa iya ketika semuanya sama, akankah menjadi indah dan
seperti yang ku bayangkan? Belum tentu, bahkan mungkin, Tidak!
Bukankah semua orang
memiliki jalannya masing-masing? dan ini jalanku. Jalan yang dipilihkan tuhan untukku.
Barangkali aku
terlalu terjebak dalam ketakutanku sendiri. Ketakutan akan masa depan. Ah,
bukannya semua yang tidak terlihat selalu bisa menimbulkan rasa takut? Apalagi
misteri masa depan. Yang tidak satu pun orang tahu atau setidaknya sedikit
memberikan rasa ketenangan untuk menghadapinya.
Masa muda memang masa dalam kecemasan yang memprihatinkan.
Dan itu benar.
Masa ini merupakan masa pergulatan antara mimpi, hati nurani, dan tuntutan
orang lain. Memilih menuruti hati nurani, kata egoisme bisa jadi akan menempel
dalam diri. Sedangkan jika pilihan itu kita jatuhkan pada tuntutan di luar
diri, kita tak lebih dari seorang yang tidak memiliki arah yang jelas.
Melangkah setengah hati.
Aku pun pernah
mengalaminya. Terkadang, aku juga bingung dengan diriku sendiri. Apa sebenarnya
yang aku mau dan aku inginkan?
Cita-cita? Kau bertanya apa cita-citaku? Aih, menanggapi pertanyaan
seperti ini, seolah jawabannya sudah bisa ditebak. Bagaimana tidak, hampir
semua anak saat ditanya apa cita-cita mereka, jawaban paling populer adalah
dokter dan guru, setidaknya bagi anak perempuan di zamanku
dulu.
Dokter. Ya dokter. Bagi orien kecil
ibarat bintang yang harus ia gapai. Yang nantinya bisa menerangi banyak orang
dengan cahayanya. Harapan itu terus ia pegang hingga masa remaja mulai menapak.
Beruntung, Tuhan juga menganugrahinya dengan otak yang memang sudah terbiasa
bermain dengan angka-angka. Dunia eksak seolah memang benar-benar dunianya.
Bisa menempuh
masa putih abu-abu di kelas unggulan seolah membuka jalan itu semakin lebar.
Tapi, apa yang terjadi kemudian tidak selamanya sama seperti yang manusia
rencanakan. Ada kuasa Sang perencana kehidupan disana.
Hatiku mulai goyah. Aku seolah tersadar bahwa
ada dunia lain yang lebih kuminati. Di dunia itu, aku bisa menuai
selaksa makna dalam nyata coretan pena. Aku mencintai dunia sastra, dan dunia
tulis menulis pada umumnya.
Aku yakin jalan
ini adalah jalan yang akan membawaku ke tempat yang ku inginkan. Menjadi
bintang yang mampu menerangi dan memberikan cahayanya bagi semesta. Aku pun
sudah tak peduli lagi akan apa yang mungkin ada di hadapanku nantinya. Yang
terpenting aku jalani dan aku telusuri jalan lurus yang ada di hadapanku.
Aku pun mulai
berjalan melangkahkan kakiku perlahan demi perlahan. Tapi aku merasa langkah
kakiku ini begitu berat. Tapi aku terus berusaha untuk terus menelusuri jalan
ini. Aku mulai menulis, mengirimkannya
di majalah sekolah, hingga menjadi redaksi majalah sekolah. Aku lebih menikmati
waktuku bersama deretan kata-kata dibandingkan dengan harus bermain dengan
angka-angka. aku mulai dihinggapi rasa malas, padahal ini adalah dunia yang
telah membesarkanku hingga kini.
Ah, entahlah.
Yang jelas, satu
hal yang sangat kusadari waktu itu. Minat sangat berpengaruh terhadap prestasi.
Sekeras apapun aku bertahan di dunia eksak, tapi minatku sudah tidak lagi
bersemayam di sana. Semuanya menjadi percuma, sia-sia. Prestasiku stagnan, bahkan cenderung menurun.
Bingung, pasti!
Seperti berada di persimpangan jalan, dan aku harus memilih jalan mana yang
akan kulewati. Haruskah aku memilih jalan yang dipilih hatiku? Tapi, aku juga
tak kuasa mengecewakan harapan keluargaku yang selama ini berharap aku bisa
menjadi dokter.
Dan kau tahu apa
yang kemudian terjadi?
Aku
memang menuruti keinginan orang tua untuk mengikuti tes masuk fakultas
kedokteran. Aku tak kuasa untuk menolak, ya.. aku tidak ingin mengecewakan
harapan mereka. Dengan bekal doa orang tua yang senantiasa mengalir,
berangkatlah aku bersama keenam temanku ke kota Yogyakarta. Kita mengikuti
UM-UGM. Banyak harapan kita gantungkan di kota itu. Namun sayang, tidak ada
satupun diantara kita yang berhasil menjemput mimpinya di kota pendidikan itu.
Tuhan
pasti telah mengatur rencana lain. Dan aku yakin dengan hal itu.
Mungkin
beberapa orang akan bertanya, kenapa kok gak masuk ITS aja? Anak SMAN 3 apalagi
yang unggulan kan banyak yang disana?
Alasan
yang pertama, karena aku sudah merasa aku tidak bisa lagi bertahan di dunia
eksak. Memang, dulu aku sangat menyukai matematika, kimia, dan fisika. Tapi,
seiring berjalannya waktu, berkurangnya minat, berkuranglah pula kemampuanku di
bidang itu. Jadi, tidak..tidak, terima kasih.
Alasan
yang kedua, yang mungkin jika tidak ada alasan ini, bisa jadi alasan pertama
tidak pernah diperhitungkan. Ayahku tidak ingin putri satu-satunya berkecimpung
di dunia teknik. Kesannya patriarki banget yaa.. tapi menurutku sah-sah aja.
Bagi beliau, pekerjaan yang paling ideal bagi seorang wanita adalah guru atau
tenaga kesehatan. dan otomatis, gugurlah pilihan untuk masuk di teknik.
Kodratku
sebagai anak IPA seolah menuntutku untuk tetap menjadikan
jurusan-jurusan eksak sebagai prioritas. Waktu itu aku masih merasa kalaupun
aku harus keluar dari dunia eksak, aku harus kemana? Haruskah aku terjun di
dunia IPS? Atau bahasa? Sastra?
Entahlah..
yang jelas waktu itu aku bertekad dimanapun aku nantinya, minat itu kan tetap
ku pelihara.yaa.. kau benar, waktu itu aku masih terlalu takut untuk mengambil keputusan.
SNMPTN
pun tiba. LBB tempatku mempersiapkan ujian masuk universitas ini mewajibkan
anak didiknya untuk mengambil IPC. Padahal, hampir semua pesertanya berasal
dari sekolah-sekolah unggulan di Madura, dan mayoritas adalah anak IPA. Dan
lagi-lagi, saya bingung menentukan pilihan jurusan selain jurusan ipa. Lalu,
berbekal pedoman buku SNMPTN 2009, ibuku menyarankan untuk memilih
“Sosiologi”.
Kenapa
harus sosiologi? Kenapa tidak ekonomi yang setidaknya masih berhubungan dengan
angka? Ketika ku tanya, ibu pun tidak tahu pasti alasannya. Beliau hanya
menjawab “kok kayaknya gampang gitu pelajarannya”
Kau
tentu bisa menebak jalan cerita selanjutnya. Ya.. aku masuk di jurusan
Sosiologi. Jangan kau Tanya gimana rasanya terdampar, tersesat, atau salah
alamat, karena aku tahu dengan jelas susahnya beradaptasi di dunia yang
sebelumnya tidak pernah aku bayangkan.
Jika
kau mau, kau bisa bayangkan gimana rasanya menjadi diriku. Dengan segala basic
keunggulan di dunia eksak sedari kecil, dengan rutinitas penggemblengan di
kelas unggulan IPA1, dan pergaulan yang selama ini hanya berkutat dengan
anak-anak dari golongan tertinggi di dunia eksak, sekarang harus berada di
ranah anak social. Serasa berubah 180 derajat. Aku tidak hanya masuk ke dunia
social, tapi terjerembab sedalam-dalamnya ke jurusan yang paling social.
Sungguh, dunia yang benar-benar baru.
“Allah
memilihkan tempat untukmu, bukan karena kebetulan, pasti ada sesuatu di depan
sana..” begitu pesan ayahku di malam pengumuman SNMPTN. “jalanilah.. mungkin
memang jalannya” lanjutnya.
Penerimaan
yang ikhlas dari kedua orang tuaku, bukan berarti jalan menjadi benar-benar
lapang. Ada banyak cibiran dan ejekan yang tertuju padaku. Bahkan tidak jarang
suara itu juga datang dari orang di lingkaran terdekat. “unggulan kok masuk
sosiologi? Unesa lagi.” Atau “mau jadi apa itu?” “ya iya keterima di snmptn,
jurusan yang ecek-ecek kan gampang masuknya. Tapi belum jelas juga nantinya jadi
apa?” atau yang lebih halus “owh.. sosiologi yaa, tak pikir psikologi”
Belum
lagi di kalangan teman-teman unggulan lain dengan jurusan dan universitas
terkenal masing-masing. Minder, pasti. Bukan.. bukan karena masuk di jurusan
IPS. Karena nyatanya tidak sedikit temanku yang beralih jalur ke dunia itu. Hanya
saja, jurusan ini memang dianggap sebelah mata, cenderung membosankan, gak
jelas, hanya teori, dan seolah gak banget dech buat anak unggulan IPA di SMA
ku. Gak seperti ekonomi, manajemen, atau akutansi. Belum lagi, universitas
tempat ku bernaung, meskipun negeri tapi universitas ini tidak se-populer Unair,
ITS, ataupun UGM. Alhasil, minder sangat sangat… terutama ketika reuni tahunan,
atau reuni unggulan antar angkatan.
Oh
tuhan… aku benar-benar butuh kekuatan untuk berdiri tegak.
Kau
bertanya kenapa aku tidak mencoba tes-tes penerimaan lain, dengan jurusan dan
universitas yang lebih bonafit? Memang masih banyak kesempatan terbuka untukku
setelah SNMPTN. Tapi, entahlah.. aku sudah tidak minat lagi mengikuti
serangkaian tes. Seolah pasrah dan menerima jalan yang diberikan tuhan.
“sekolah
itu bukan untuk pamer-pameran, jurusan mana yang bonafit, atau universitas yang
terkenal, yang terpenting itu niat mencari ilmunya. Tugasmu mencari ilmu setinggi-tingginya,
ibadah sedekat-dekatnya dengan allah. Jadi apa nantinya? Allah yang bertugas
menata masa depanmu..” nasehat ibu seolah menjadi oase di tengah keringnya
kepercayaan diriku menjalani hari.
Sejak
saat itu aku mulai bangkit. aku benar-benar merasakan arti kasih sayang orang
tua. Bukan.. bukan berarti selama ini orang tua ku tidak menyayangiku. Hanya saja,
saat itu aku benar-benar merasa mengecewakan mereka. Selama ini aku selalu bisa
mempersembahkan yang terbaik. Mulai dari SD, Madrasah, SMP, Prestasiku selalu
gemilang. Hingga SMA pun aku berhasil masuk di Kelas unggulan dengan segala
fasilitas dan beasiswanya. Dan saat itu, aku menggugurkan harapan terbesar
mereka. Menjadi dokter. Tapi, apa yang mereka lakukan? Tetap mendukungku. Meyakinkanku
bahwa ini semua yang terbaik, dan aku masih bisa untuk menjadi yang terbaik.
Hari
demi hari aku lalui. Jujur, aspek yang paling sulit bagiku untuk beradaptasi
adalah pergaulan. Semua orang pun sudah mengakui bahwa anak IPA dan IPS itu
memang benar-benar berbeda. Kesan negative, membatasi pergaulan, sudah pasti
pernah dilakukan oleh orang awam sepertiku. Maafkan aku teman-teman… ada
beberapa kesan negative yang sempat bersarang di kepalaku, dulu.. tapi,
sekarang semua itu sudah terhapus dengan rasa solidaritas, kecintaan akan
keilmuan dan kemanusiaan yang kalian ajarkan.
Dan,
rasa pasrah itu perlahan berubah jadi rasa syukur. Terima kasih tuhan, telah
memilihkan tempat untukku belajar.
Dunia
tempat dimana aku belajar membuka mata, hati, dan hari bersama semua golongan.
Mulai dari golongan yang selama ini dianggap golongan menengah atas dan
berpendidikan, hingga golongan yang seringkali termarginalkan oleh struktur
yang berkuasa, serta golongan yang acapkali dianggap sampah dan dijauhi oleh
masyarakat pada umumnya. Mereka semua mengajarkanku bagaimana melihat dunia,
melihat Indonesia, yang tidak hanya bisa dilihat dari hasil pendataan
angka-angka.
Disana,
aku juga menemukan sesuatu. Passion.
Sejak
semester awal, aku sudah leluasa mengembangkan minatku di dunia tulis menulis.
Mulai dari SSC, PKM dan LKTM, FLP Surabaya, redaksi tabloid kampus, hingga
redaksi jurnal Paradigma. Tuntutan tugas-tugas mata kuliah yang mayoritas
berbasis riset juga berpengaruh terhadap minat menulisku. Ditambah lagi dengan
kesempatan mengikuti beberapa proyek penelitian dosen semakin membuatku yakin
bahwa dunia ini sangat mengasyikkan. Dunia dimana kita tidak hanya menggali
ilmu, tapi juga menebar ilmu dan pengetahuan melalui pena.
Kini,
aku menemukan jawabannya. Benang merah dari episode kehidupan ini.
Terkadang,
ada pertanyaan dalam hidup yang jawabannya tidak bisa ditemukan saat itu juga. Jawaban
yang baru bisa ditemukan saat jiwa terus melangkah. Sebuah penemuan, oleh
waktu..
Jika
dulu aku sempat iri dengan teman-teman yang bisa kuliah di Unair, UGM, UB, dan
UI. Sekarang… aku masih iri dengan temanku yang mendapat beasiswa S2 di luar
negeri. Pengeennn…
Aku tahu, jalan hidupku masih panjang…. Dan aku
yakin aku juga bisa... sepanjang aku tidak pernah berhenti percaya akan masa
depanku yang penuh dengan kesempatan…:)