"Don't
judge a book by its cover".
Sebuah pepatah yang menggambarkan bahwa dalam hidup sehari-hari, banyak dari
kita yang secara apriori menilai orang lain hanya sebatas dari penampilan luar.
Entah itu pakaian, cara bicara, harta/kekayaan, atau hal-hal berwujud lainnya.
Nyatanya, menjadikan penampilan luar sebagai tolak ukur menilai
seseorang memang adalah yang termudah. Bagaimana tidak, ketika bertemu
seseorang untuk pertama kali, penampilan memiliki porsi skor terbesar. Kita
akan cenderung melihat seperti apa pakaiannya, medok tidaknya dia berbicara, sikapnya,
dan hal lainnya, yang pada akhirnya itu bisa membawa pada spekulasi, 'o.. dia
orangnya begini dan begitu'. Atau malah yang lebih parah, dengan hanya berbekal
omongan orang tentang si A, kita sudah sok-sokan menganggap tahu seperti apa si
A itu. Padahal, belum tentu juga yang dikatakan itu benar. Selain dzu'udzon (negative thinking), kalau nggak Tabayyun, jatuhnya bisa jadi
fitnah juga loh... Lol :D
Meski kita sudah tahu maksud dari ungkapan tersebut, nyatanya
dalam praktiknya tetap aja susah.
Bahkan, bagi kita yang katanya sudah berpikiran terbuka ini, pasti tanpa sadar
kerap menilai seseorang hanya dari sekilas pandang. Iya nggak? Hayoo ngaku! Kalau saya sih, pernah.
Dulu, zaman S1 awal, saya masih ingat betul bahwa pernah memiliki kesan
negatif ke orang dari penampilan luarnya. Waktu itu, kebetulan kami sedang
kuliah kelas besar yang di dalamnya terdapat anak kelas A dan B. Seperti biasa, duduknya tetap
mengelompok dong! Hahaha..
Nah, sampai di pertengahan sesi, karena sepertinya yang duduk di
bagian belakang gak terlalu mendengar
atau gak paham materinya, ada seorang
mahasiswi yang berani maju dan marah ke sang dosen. Dia bilang, sebagai anak
kelas B yang notabenenya membayar lebih mahal (karena bukan kelas reguler), dia
jauh lebih berhak untuk diistimewakan. Gak berhenti di situ, dia juga dengan
beraninya ninggalin kelas!
Ajegile.... Apa yang ada dalam pikiranmu ketika melihat seseorang
berperilaku demikian?
Pasti menganggap kalau si anak itu tidak sopan, dll, kan? Saya pun
sama, beranggapan demikian juga. Apalagi, posisinya waktu itu saya sebagai anak
kelas A yang jelas belum kenal siapa dia. Tapi lucunya, di semester dua dan
selanjutnya, semesta seolah berkomplot mendekatkan saya dengan dia. Entah itu
di kelompok penelitian, kegiatan kampus, hingga akhirnya, yah... Saya
berteman dekat dengannya.
Dan yang ada di pikiran saya tentang dia sudah berubah bahkan hingga
180 derajat. Justru, sejak dekat dengan dia, saya mendapat banyak pelajaran. Sebenarnya,
dia orang yang kritis, humble, ekspresif,
dan tentunya seorang ekstrovert. Selalu ada pengalaman baru yang saya dapat
ketika bersamanya. Yah,
meski memang awalnya dia cenderung bebas khas anak suroboyoan, sih, yang sering menghabiskan malam dengan keluyuran atau nongkrong, wkwk.
Untungnya, perlahan kita sama-sama belajar untuk menjadi pribadi yang lebih
baik, ya Bee.
Cerita lain datang dari teman semasa S2 saya. Di kelas yang hanya
berjumlah 20 orang itu, ada seorang wanita yang berpenampilan serba hitam dengan
sepatu boots serta tindik di hidung dan lidahnya. Ya, dulunya dia adalah anak
punk, sebelum memutuskan untuk berhijab.
Saya yang notabenenya besar di lingkungan keluarga yang jauh dari
nilai-nilai kebebasan seperti itu, ya kaget dong pasti! Tapi berkaca pada
pengalaman zaman S1, selain dari teman seangkatan yang kemudian dekat, juga
dari pengalaman waktu kuliah lapangan. Waktu kami harus berinteraksi dengan
berbagai lingkungan sosial, mulai dari orang-orang yang hidup di kolong
jembatan, anak jalanan, anak di kampung sampah, hingga para PSK, saya belajar
kalau ada banyak hal yang tidak hanya bisa dilihat dengan indera penglihatan.
Jangan sampai, dengan hanya menggantungkan kemampuan indera, kita
bisa dengan gampangnya memberi penilaian. Mata tetaplah mata yang hanya bisa
melihat di permukaan, sedangkan kepribadian dan karakter seseorang bisa kita
mengerti ketika melibatkan hati.
Lambat laun, sisi lain dari teman saya itu pun mulai terungkap. Meski
mantan anak punk, dia seorang feminis sejati, yang waktu itu sangat terkenal
dengan jargonnya 'Hancurkan Patriarki!'. Punya semangat belajar yang gigih,
bahkan hingga ke jenjang doktoral. Tak hanya itu, yang paling mencolok adalah
meski penampilannya cenderung 'sangar nan nyetrik', ternyata
dia sangat memiliki kapasitas untuk jadi 'wanita idaman'. Orangnya sangat
kreatif, entah itu dalam urusan jahit-menjahit atau bahkan masak-memasak. Hasil
karyanya juga unik dan khas banget. Saya
bahkan berani jamin kalau hasil kue buatannya itu gak kalah dengan kue artis kekinian; baik dari segi tampilan ataupun soal rasa.
Berpendidikan, pintar masak, pintar jahit, pintar ngurus rumah,
sayang orang tua, adalah sisi lain yang mungkin gak akan terlihat ketika kita
hanya mengandalkan melihat 'penampilan' saja. Oh ya, dia juga memiliki rasa
sosial yang tinggi. Sampai sekarang dia masih menjalankan program sebar nasi
bungkus tiap minggunya. Semacam donasi amal dalam bentuk olahan nasi, yang
dimasak dengan tangan sendiri. Salut banget pokoknya ke mbak Hayu ini.
Dari sana, saya belajar bahwa setiap orang pasti punya sisi lain yang
barangkali tidak terlihat karena tertutup oleh spekulasi sebagai efek dari penilaian
penampilan luar. Dan benar kata orang bijak, ketika kita melihat seseorang dari
penampilan, sebenarnya kita akan kehilangan banyak kesempatan bertemu orang-orang
hebat.
Berkaca pada pengalaman tersebut pula, saya menyadari, bahwa
selalu ada masa di mana kita menumpukan pendapat dari sesuatu yang terlihat.
Itu memang tidak sepenuhnya salah. Karena sedikit banyak, penampilan luar
memang akan mencirikan sesuatu yang ada pada diri seseorang. Kalau kata pepatah Jawa, “Ajining
Diri Soko Lathi, Ajining Rogo Soko Busono”, yang artinya kualitas diri bisa
dilihat dari omongan, sedangkan kualitas raga bisa dilihat dari pakaian.
Hanya saja, ada baiknya sebelum menilai kita bersedia meluangkan
waktu untuk mengenali orang dari bagian lainnya juga. Mulailah melatih
diri untuk menyelami sisi terdalam orang lain. Karena sebenarnya, ketika kita
tidak hanya terpaku pada penampilan luarnya saja, akan selalu ada kejutan yang
kita dapat. Seseorang yang awalnya kita kira biasa-biasa saja, atau bahkan kita remehkan, bisa jadi memiliki sisi lain yang istimewa
nan luar biasa.
Mungkin sekarang kita harus lebih banyak menggunakan hati, karena hal-hal
terbaik di dunia justru tak bisa dilihat dengan hanya mengandalkan mata. Ingat,
selalu ada sisi baik dari setiap insan, meski penampilan luarnya cenderung tidak
menyenangkan. Tuhan menciptakan manusia dengan luar biasa, dan tak ada yang
diciptakan dengan sederhana. Saya, Anda, mereka, memiliki porsi yang sama untuk
dinilai dengan lebih baik lagi.
Jadi, yuk, mulai sekarang ubah cara pandang. Dari yang awalnya hanya
menilai dari kemasan luar menjadi lebih detail dengan sisi yang lain. Ketika
kita mulai dilanda pikiran atau prasangka negatif dengan hanya mengandalkan
penampilan luar, ucapkan pada diri sendiri, 'benarkah kesimpulan yang baru aku
buat ini? Atau ini hanya prasangka yang berpotensi merugikan orang lain yang
secara tidak langsung juga menghilangkan kesempatan kita untuk memetik banyak
pelajaran darinya.
Bukankah tokoh sekelas Ki Hajar Dewantara pun pernah menyarankan, “Jadikan
setiap orang sebagai guru dan jadikan rumah sebagai sekolah”? Tentu, maksud
dari pernyataan tersebut lebih menekankan pada aspek memperkaya wawasan serta
mengasah kepekaan akal dan hati, yang bisa didapat dari siapa saja dan di mana
saja. Bahwa setiap orang sejatinya pasti memiliki “sesuatu” yang bisa diambil
sisi baiknya.
0 komentar:
Posting Komentar