Keragaman agama,
ideology, dan etnis menjadi kekayaan budaya manusia, maka bersikaplah lapang
dan arif agar ketiganya bersinergi menjadi mozaik yang indah.
Dalam pergaulan, seringkali kita
mempunyai banyak teman yang beragam. Baik itu dalam hal karakter, latar
belakang, minat, hingga SARA. Karena penuh dengan ragam itu pulalah, seringkali
sebuah jalinan pertemanan dibumbui dengan keangkuhan dan rasa egoisme. Jika itu
sudah menyergap dalam pergaulan, apa yang akan terjadi?
Tentu, masing-masing akan merasa
lebih dan ingin menang sendiri. Ketika satu diantara yang lain telah merasa
lebih baik, lebih tinggi, atau lebih lebih lainnya, maka tidak bisa tidak,
perselisihan akan segera menyeruak. Seperti yang saat ini tengah lindap.
Terjebak dalam hawa perselisihan yang membeku.
Terhitung baru 1.5 tahun kita
disatukan dalam sebuah ikatan, satu angkatan kelas Magister Sosiologi di salah
satu Perguruan Tinggi Negeri di Jawa Timur. Bagi saya pribadi, kelas ini memang
menjadi berbeda dari kelas-kelas sebelumnya yang pernah saya ikuti semasa
menempuh strata 1, karena beberapa hal. Diantaranya, jumlah mahasiswa yang
hanya berjumlah 20-an, memungkinkan untuk kita saling mengenal lebih dalam juga
lebih besar, bukan? juga, karena kelas ini menawarkan perbedaan-perbedaan,
seperti perbedaan agama, perbedaan etnis yang tidak lagi hanya berkutat
jawa-madura, serta perbedaan usia, pengalaman, serta keahlian yang juga
beragam.
Bagi saya, teman memiliki peran
yang sangat penting dalam kehidupan. Setidaknya, jalinan tersebut mencerminkan
nilai-nilai saling menjaga dan memiliki. Saya tidak pernah berharap penuh akan
dikelilingi oleh teman-teman yang setia. Karena bagi saya, sayalah yang harus
terlebih dulu memulai dan menjadikan diri kita sendiri sebagai teman yang baik
bagi orang lain.
Dalam kasus ini, saya juga tidak
bisa memungkiri bahwa sejak lama telah terdapat keangkuhan di dalamnya. Dan
yang membuatnya masih bisa bertahan dan masih berlangsung hingga beberapa waktu
yang lalu, mungkin karena diantara kami, termasuk saya, masih mau mengalah,
bersikap masa bodoh, dan tidak berani mengambil tindakan dengan resiko
perpecahan.
Jika diibaratkan, mungkin jalinan
pertemanan ini telah mirip seperti gelombang radio. Ketika frekuensi tidak lagi
tersambung dengan baik, maka tidak akan pernah muncul suara dengan jelas, hanya
nggeremmeng, dan itulah yang akhirnya
menjadi awal kesalahpahaman, pemicu perselisihan. Ah, kau benar. Ini juga
seperti bom waktu, yang siap meledak kapan saja.
Ketika saya tengah berada di
tengah situasi seperti ini, saya kemudian merenung, saya, dan dua pihak yang
berkonflik sama-sama telah belajar beraneka teori konflik. Mulai dari pemicu,
hingga proses rekonsiliasi. Tapi, ketika di dunia nyata, di dunia dimana kita
terlibat di dalamnya, kenapa semua pemahaman seolah telah hilang tak berbekas?
Kita sama-sama tahu, bahwa sekecil atau sekasat apapun konflik tetap harus
segera diselesaikan. Karena jika tidak, hanya tertimbun dan tertimbun. Seolah
baik-baik saja memang, tapi, tinggal menunggu waktu, sekaligus pematik, yang
sekecil apapun itu tetap akan terjadi ledakan konflik yang lebih besar.
Mungkin, seperti saat ini.
Satu hal lain yang tidak kalah
membuat hati saya miris, untuk tidak mengatakan ini sebuah ironi, adalah karena
perselisihan ini telah menyeret-nyeret perbedaan yang seharusnya menjadi
harmoni. Ya, perbedaan etnis, agama, hingga status social, turut disertakan
sebagai bumbu pertengkaran. Oh dear, ayolah. Kita bukan lagi anak kecil yang
masih mengeja arti perbedaan, pun bukan lagi remaja yang masih alay dan ababil
di media social. Ingatlah, usia kita tak lagi muda, terlebih kita adalah
mahasiswa sosiologi yang notabenenya adalah orang yang mengerti dan telah
terbiasa dengan segala perbedaan.
Ah, iya. Diatas segalanya, kita
hanyalah manusia. Dan mungkin sudah menjadi sifat dasar manusia untuk selalu
bisa menjadi pengacara bagi dirinya, dan menjadi hakim bagi orang lain. Kalau
tidak demikian, bukankah tidak akan pernah ada peribahasa, “Gajah di pelupuk
mata tidak nampak, sedangkan kuman di seberang lautan selalu nampak”. Iya, kan?
Ya Tuhan, mengapa hati kita
menjadi begitu sempit untuk menerima kebenaran dari orang lain. Seringnya, kita
memaksakan diri agar orang lain mengikuti apa yang kita yakini. Seakan kita
yakin bahwa apa yang kita pahami adalah satu-satunya kebenaran. Padahal, bisa
jadi kita sama-sama salah. Jika tidak begitu, bukankah tidak akan terjadi
pertengkaran?
pada akhirnya, kita tidak bisa lagi menutup mata akan kenyataan keragaman yang natural dari Tuhan. bukankah berteman itu artinya kita menghargai identitas dan perbedaan orang lain.identitas bahwa kita berbeda, tetapi tentu saja bukan ke"aku"an yang diunggulkan. disinilah, kemudian dibutuhkan kesadaran dan kejujuran untuk sama-sama introspeksi diri.
0 komentar:
Posting Komentar