Jumat, 05 Februari 2016

Perbedaan, Why Not?




Keragaman agama, ideology, dan etnis menjadi kekayaan budaya manusia, maka bersikaplah lapang dan arif agar ketiganya bersinergi menjadi mozaik yang indah.

Dalam pergaulan, seringkali kita mempunyai banyak teman yang beragam. Baik itu dalam hal karakter, latar belakang, minat, hingga SARA. Karena penuh dengan ragam itu pulalah, seringkali sebuah jalinan pertemanan dibumbui dengan keangkuhan dan rasa egoisme. Jika itu sudah menyergap dalam pergaulan, apa yang akan terjadi?

Tentu, masing-masing akan merasa lebih dan ingin menang sendiri. Ketika satu diantara yang lain telah merasa lebih baik, lebih tinggi, atau lebih lebih lainnya, maka tidak bisa tidak, perselisihan akan segera menyeruak. Seperti yang saat ini tengah lindap. Terjebak dalam hawa perselisihan yang membeku.

Terhitung baru 1.5 tahun kita disatukan dalam sebuah ikatan, satu angkatan kelas Magister Sosiologi di salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Jawa Timur. Bagi saya pribadi, kelas ini memang menjadi berbeda dari kelas-kelas sebelumnya yang pernah saya ikuti semasa menempuh strata 1, karena beberapa hal. Diantaranya, jumlah mahasiswa yang hanya berjumlah 20-an, memungkinkan untuk kita saling mengenal lebih dalam juga lebih besar, bukan? juga, karena kelas ini menawarkan perbedaan-perbedaan, seperti perbedaan agama, perbedaan etnis yang tidak lagi hanya berkutat jawa-madura, serta perbedaan usia, pengalaman, serta keahlian yang juga beragam. 

Bagi saya, teman memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan. Setidaknya, jalinan tersebut mencerminkan nilai-nilai saling menjaga dan memiliki. Saya tidak pernah berharap penuh akan dikelilingi oleh teman-teman yang setia. Karena bagi saya, sayalah yang harus terlebih dulu memulai dan menjadikan diri kita sendiri sebagai teman yang baik bagi orang lain.

Dalam kasus ini, saya juga tidak bisa memungkiri bahwa sejak lama telah terdapat keangkuhan di dalamnya. Dan yang membuatnya masih bisa bertahan dan masih berlangsung hingga beberapa waktu yang lalu, mungkin karena diantara kami, termasuk saya, masih mau mengalah, bersikap masa bodoh, dan tidak berani mengambil tindakan dengan resiko perpecahan. 

Jika diibaratkan, mungkin jalinan pertemanan ini telah mirip seperti gelombang radio. Ketika frekuensi tidak lagi tersambung dengan baik, maka tidak akan pernah muncul suara dengan jelas, hanya nggeremmeng, dan itulah yang akhirnya menjadi awal kesalahpahaman, pemicu perselisihan. Ah, kau benar. Ini juga seperti bom waktu, yang siap meledak kapan saja.

Ketika saya tengah berada di tengah situasi seperti ini, saya kemudian merenung, saya, dan dua pihak yang berkonflik sama-sama telah belajar beraneka teori konflik. Mulai dari pemicu, hingga proses rekonsiliasi. Tapi, ketika di dunia nyata, di dunia dimana kita terlibat di dalamnya, kenapa semua pemahaman seolah telah hilang tak berbekas? Kita sama-sama tahu, bahwa sekecil atau sekasat apapun konflik tetap harus segera diselesaikan. Karena jika tidak, hanya tertimbun dan tertimbun. Seolah baik-baik saja memang, tapi, tinggal menunggu waktu, sekaligus pematik, yang sekecil apapun itu tetap akan terjadi ledakan konflik yang lebih besar. 

Mungkin, seperti saat ini.

Satu hal lain yang tidak kalah membuat hati saya miris, untuk tidak mengatakan ini sebuah ironi, adalah karena perselisihan ini telah menyeret-nyeret perbedaan yang seharusnya menjadi harmoni. Ya, perbedaan etnis, agama, hingga status social, turut disertakan sebagai bumbu pertengkaran. Oh dear, ayolah. Kita bukan lagi anak kecil yang masih mengeja arti perbedaan, pun bukan lagi remaja yang masih alay dan ababil di media social. Ingatlah, usia kita tak lagi muda, terlebih kita adalah mahasiswa sosiologi yang notabenenya adalah orang yang mengerti dan telah terbiasa dengan segala perbedaan.

Ah, iya. Diatas segalanya, kita hanyalah manusia. Dan mungkin sudah menjadi sifat dasar manusia untuk selalu bisa menjadi pengacara bagi dirinya, dan menjadi hakim bagi orang lain. Kalau tidak demikian, bukankah tidak akan pernah ada peribahasa, “Gajah di pelupuk mata tidak nampak, sedangkan kuman di seberang lautan selalu nampak”. Iya, kan?  

Ya Tuhan, mengapa hati kita menjadi begitu sempit untuk menerima kebenaran dari orang lain. Seringnya, kita memaksakan diri agar orang lain mengikuti apa yang kita yakini. Seakan kita yakin bahwa apa yang kita pahami adalah satu-satunya kebenaran. Padahal, bisa jadi kita sama-sama salah. Jika tidak begitu, bukankah tidak akan terjadi pertengkaran? 

pada akhirnya, kita tidak bisa lagi menutup mata akan kenyataan keragaman yang natural dari Tuhan. bukankah  berteman itu artinya kita menghargai identitas dan perbedaan orang lain.identitas bahwa kita berbeda, tetapi tentu saja bukan ke"aku"an yang diunggulkan. disinilah, kemudian dibutuhkan kesadaran dan kejujuran untuk sama-sama introspeksi diri.

0 komentar:

Posting Komentar