Suara ombak terus memukul telinga. Tampak menghantam karang lalu pecah menjadi bulir-bulir udara, sebagian menerpa wajahnya, membuat basah. Mungkin sebasah hatinya yang sedang digelayuti rasa tak tentu. Angin terus menghempas, kaki-kakinya yang diselonjorkan ke karang-karang kecil juga terlihat mulai dingin dan pucat karena basah.
“Aku akan menikah,” ucapnya.
Ia tersenyum. Semakin lama senyumnya semakin lebar, hingga menampakkan seluruh gigi-giginya. Biasanya selepas itu ia akan berteriak. Tapi entah kenapa saat ini ia pendam saja rasa senangnya itu dalam dada. Apa karena begitu banyak orang di sekitar sini? Ah, rasanya tidak. Dia bukan tipe gadis pemalu, juga bukan pula seseorang yang selalu menjaga citra. Dia yang kukenal adalah gadis yang penuh percaya diri, ekspresif dan selalu apa adanya. Setidaknya dalam enam tahun usia persahabatan kami.
“Aku turut senang mendengarnya. Akhirnya, kau berlabuh juga.” Sambutku turut tersenyum
“Hmm… ya, berlabuh tuk pada akhirnya berlayar mengarungi samudra, dengan segala rintangan dan tantangannya.”
Aku menangkap sedikit nada satir di balik ucapannya. “Tak masalah, karena memang seperti itulah hidup, bukan? Kau telah memilih nahkodanya, jadi bekerja samalah tuk mencapai tujuan. Percayalah padanya.”
“Kau benar. Tidak seharusnya aku kembali meragu.” Dia kembali tersenyum. Kali ini semacam senyum menertawakan diri sendiri, sekaligus menguatkan diri.
“Alia, apa kau ada masalah? Tidak seperti biasanya kau seperti ini? Apa ini syndrome perempuan yang akan menikah?” godaku.
Dia terdiam.
“Entahlah, syndrome apa yang sedang menjangkitiku, aku pun tak tahu. Yang kutahu saat ini pada dasarnya kita pasti memiliki ironi dalam diri masing-masing; mungkin juga paradoks, kemunafikan, atau ambiguitas. Sesuatu yang kita benci untuk kita sukai. Sesuatu yang sebenarnya baik untuk tidak kita pilih. Atau sesuatu yang berusaha kita sembunyikan dari siapapun, tetapi kita katakan sebaliknya di hadapan orang lain.” Dia menunduk sejenak, sebelum akhirnya kembali menatap ke depan. Laut biru, kesukaannya.
“Ya, entah bagaimana kita memiliki wilayah-wilayah yang memaksa kita untuk mendua. Perasaan dan pikiran yang sering membuat kita letih dan sedih. Tetapi sekaligus penting untuk kita miliki agar kita bisa seutuhnya menjadi manusia, yang terbatas dan tidak sempurna.”
Aku mengalihkan pandanganku padanya, “Aku melihat ada ketakutan dalam
hatimu, mengintip melalui celah-celah masa lalu. Benar begitu?” dia bergeming.
“Alia, meragukan cinta memang manusiawi. Tapi, aku rasa ini bukan lagi saatnya. Kalian sudah melangkah sejauh ini. Mantapkanlah hatimu, ada banyak doa yang tengah dipersiapkan untukmu.”
“Aku belum pernah mencintai sebesar ini, belum pernah kecuali dengannya. Hingga akhirnya kuputuskan akan kuakhiri di hatinya. Seperti saat ini. Tapi..” dia mulai menoleh ke arahku, “Sudahlah, Di, mungkin kau benar, aku hanya perlu memantapkan hati. Aku hanya perlu meyakinkan hati ini bahwa dia akan tetap di sini, menetap di hati. Sampai segalanya Tuhan sendiri yang menghabisi.”
Matahari mulai runtuh di ufuk barat. Gadis itu kembali menatap bola merah jingga yang menyala itu dengan khidmat. Matanya memicing, melonggar. Menarik napas dalam lalu menghembuskannya pelan. Ia tersenyum. Senyum yang berusaha percaya bahwa semuanya akan baik-baik saja.
----------------------
Meski telah membungkus tubuhnya dengan jaket yang cukup tebal, dingin angin malam masih menembus ke dadanya juga. Laki-laki itu merapatkan jaketnya. Di depannya, ada perempuan itu. Ia tampak begitu khusyuk menyeruput secangkir kopi hitam, lalu membetulkan helai rambutnya yang terjatuh ke permukaan meja. Dengan gerakan lembut dan menawan, perempuan itu mengikat rambut panjangnya dan membentuknya menjadi sanggul kecil.
Perempuan itu menyeruput kopinya lagi. Kali ini ia memegang cangkir dengan kedua tangannya. Seolah hendak menyerap panas cangkir ke telapak tangannya yang putih dan tampak halus. Laki-laki itu kembali memperhatikan perempuan itu.
“Kau masih sama seperti dulu, De. Selalu seperti ini jika sedang galau.” Ucap laki-laki itu sambil tersenyum melihat perempuan di hadapannya.
Perempuan itu menyunggingkan senyum tipis, “Ada yang pernah bilang padaku, sakit dan sembuh mempunyai waktunya sendiri, dan kita hanya perlu tahu cara merawat luka. Seperti halnya aku saat ini, barangkali itu ada benarnya,..
Kali ini giliran laki-laki itu yang menyeruput kopi hitam di hadapannya yang masih mengepulkan asap.
“Bisa jadi memang benar..” ucapnya kemudian setelah meletakkan cangkir itu kembali pada tempatnya,
“Tapi ada juga yang pernah bilang, bahwa terkadang peringatan Tuhan memang melalui sesuatu yang membuat kita begitu kesakitan, namun hasil akhirnya adalah sebuah penyatuan yang lebih baik. Dan sama halnya seperti aku, aku ingin kau percaya itu, De.”
“Kau pun masih sama seperti dulu, Ran. Selalu menenangkan dan berpikir positif.” Perempuan itu sejenak terdiam, “Seandainya saja dia seperti kamu. Tentu tak akan ada yang namanya sakit.” Ucapnya.
Suasana kafe pinggir pantai itu semakin dingin. Lalu lalang pengunjung yang tadi terdengar berisik kini melengang. Siklus alam. Ya, selalu saja orang akan kembali pulang saat malam kian kencang menorehkan lelah. Barangkali, siklus seperti ini juga berlaku dalam sebuah hubungan percintaan?
Laki-laki itu memperhatikan garis-garis wajah perempuan itu lagi. Ada segurat rasa sakit di sana.
“Di atas segala yang telah digariskan Tuhan, di atas segala kebahagian yang terus aku perjuangkan untuknya, aku masih terus mencoba untuk bertahan. Tapi, jika itu semua tidak dihargai, aku bisa apa?” nada bicaranya mulai sedikit terisak. Bagaimanapun, perempuan selalu tak pandai menyembunyikan suasana hati. Begitupun juga dengan Dea. Perempuan yang masih menunduk sedih di hadapannya.
“Aku kira kamu telah bahagia dengannya, De. Maafkan aku yang sangat jarang menanyakan keadaanmu. Jarang menyediakan waktu untuk sekedar mendengar keluh kesahmu. Melihat kau yang selalu tampak tersenyum dari jauh, membuatku yakin bahwa kau selalu diselimuti kebahagiaan. Dan sebagai sahabatmu, jujur, aku selalu tenang jika melihat kau tersenyum.”
Perempuan itu tersenyum sambil menggigit bibirnya, “Senyuman itu seperti perban, Ran. Menutupi luka, meski sakitnya masih terasa.”
Dan setelah itu, hening, sepi, tak ada suara. Dan entah kenapa langit begitu menentramkan, malam itu.
-------------------------------
Laki-laki bernama Randi itu sedang membaca buku di beranda rumahnya sambil menyeruput segelas kopi hitam tanpa gula, ketika matahari tengah lindap ke telapak kaki langit di ufuk barat, dan senja mulai memamerkan kecantikannya seperti biasa. Pada halaman dua puluh lima dari buku yang sedang ia baca, ia memicingkan mata. Entah kenapa ada sesuatu yang mendesir dalam hatinya tatkala ia menghujamkan pandangan pada halaman pembukaan bab yang secara kebetulan berjudul, “Setia”.
Lalu, dalam waktu sepersekian detik telah ada kekuatan yang menariknya, menjadikannya seonggok manusia yang terdampar dalam memoar masa lalu.
“Jadilah laki-laki yang bisa memberi kepastian, pun kesetiaan. Karena dua hal itulah yang paling berarti bagi seorang wanita.” Nasehat mendiang ayahnya yang selalu ia pegang hingga saat ini. Meski nyatanya saat ini, ia pun tengah menjadi pesakitan karena sebuah kata itu. “Setia”.
Terkadang, memilih setia memang menyakitkan, bukan?
Setia yang tak berbalas, lama-lama hanya akan jadi siksa. Dan manusia yang mencinta seperti dirinya, hanya bisa menahannya mati-matian. Sembari menunggu keajaiban, barangkali. Ya, dia hanya bisa melihat keindahan dalam bayang-bayang yang diciptakannya sendiri.
Banyak orang bilang, menunggu itu membosankan. Ah, siapa bilang? Bagi orang yang setia, justru menunggu akan selalu menjadi hal yang menyenangkan.
Seperti barisan kata yang sederhana untuk dibaca, memang hanya sebab itulah dia merindukan apa yang sudah lama ia tahan sendirian. Tak peduli salah atau benar, dia tetap saja merasa rindu itu tetap hadir di hatinya. Setahun sudah. Seperti sebuah ngilu waktu, di mana dia hanya bisa berucap tanpa ada yang mendengar.
Suara-suara sahabatnya terngiang-ngiang memenuhi isi kepala.
“Aku hanya perlu meyakinkan hati ini bahwa dia akan tetap di sini, menetap di hati. Sampai segalanya Tuhan sendiri yang menghabisi.”
Alia, masa itu memang pernah ada, tapi bukan untuk hidup di hari ini, apalagi hari esok. Ia hanya datang sebagai bayang-bayang, penguji keteguhan hati atas cintamu. Dan ketika kau yakin atas cintanya, berdamailah dengan masa lalunya, bagaimanapun, itu juga bagian dari hidupnya, bukan? lalu, percayalah, masa depan itu hanya milik kalian berdua. Barangkali, dengan begitu, selain kau bisa meredam suara-suara sumbang di sekelilingmu, kau bisa sepenuhnya percaya padanya. Kau dan dia juga bisa melangkah dengan senyum bahagia. Semoga.
“Diatas segala yang telah digariskan Tuhan, diatas segala kebahagian yang terus aku perjuangkan untuknya, aku masih terus mencoba untuk bertahan. Tapi, jika itu semua tidak dihargai, aku bisa apa?”
Dea, aku mengerti bagaimana perasaaanmu. Bagaimanapun, kesempurnaan seorang perempuan akan terasa lengkap tatkala ia bisa menjadi seorang istri dan ibu, bukan? dan ketika saat ini Tuhan belum memberimu kesempatan untuk menjadi salah satunya, kau tahu, bukan karena kau tidak pantas. Hanya saja, barangkali ini semacam ujian kedewasaan, sebelum akhirnya kalian akan naik tingkat menjadi orang tua.
Dan hari ini, Alia, Dea, rasa sakit dan kekecewaan masa lalu telah membuat hidup kalian lebih istimewa, bukan? Tetaplah menjadi seseorang yang selalu berharap doanya makbul. Sebab hakikat tertinggi dari cinta adalah doa.
Meski nyatanya tak ada yang sanggup mendengar lirihnya doaku, yang berharap
dia memang tercipta untuk melengkapi tulang rusukku, pun aku yang memang
terlahir untuknya.