Bagi
masyarakat Riau, kehidupan masyarakat yang ideal adalah barangkali mereka bisa
kembali bebas beraktivitas tanpa diselimuti asap. Bagi masyarakat Selok
awar-awar (juga masyarakat local di daerah-daerah), kehidupan yang ideal adalah
kehidupan yang mampu memberi mereka kebebasan akan hak, hak untuk hidup tenang
dalam kesederhanaannya bersama alam.
Ya, Sesederhana itu.
Namun
sayangnya, sesuatu yang sederhana tidak pernah benar-benar menjadi sesuatu yang
mudah, justru terkadang menjadi sesuatu yang terlampau mahal. Seringkali kita
pun terlupa bahwa sampai detik ini ketenangan hidup di negeri ini masih berupa
mimpi, masih berupa mitos karena ia belum dapat diempiriskan sebagai kenyataan
hidup. Seperti orang desa yang membayangkan “kota”, seperti itulah masyarakat
kita. Masalahnya
jauh lebih rumit dan naif dari sekedar soal “maju”, karena sebagai gejala makro
yang merata harus diakui bahwa keberadaannya mampu membawa pergeseran warna
hidup secara sosial. Memang tidak ada yang salah dengan terjadinya sebuah
pergeseran sosial, karena itu memang sebuah konsekuensi dari sebuah dinamika.
Dan setiap dinamika meminta ongkos terjadinya kehilangan-kehilangan. Sementara
kemajuan akan teruji kebenarannya apabila atas kehilangan-kehilangan ini bisa
ditemukan gantinya.
Sepertinya,
di titik ini, kita patut bertanya perihal tatanan-tatanan baru yang mampu
mencapai tingkat lebih tinggi secara peradaban manusia, sesuai dengan tingkat
kemajuan yang notabenenya menjadi hak masyarakat –yang katanya kini telah
menjadi- modern.
Barangkali,
sebagai kenyataan, masyarakat ideal dengan segala ketenangan hidup tak pernah
ada dan tak akan terwujud di Indonesia, ia akan tetap menjadi mitos tentang
masyarakat ideal, seperti mitos tentang ratu adil. Tetapi tentu saja, kenyataan
selalu lebih pahit dari mimpi, karena kenyataan adalah suatu rasionalisasi, dan
rasionalisasi selalu dibatasi oleh kekurangan-kekurangan yang tidak lagi kasat
mata.
Sebuah
kenyataan, bahwa bangsa dan Negara kita tengah dihadapkan pada masalah-masalah
yang mengganggu, menggelisahkan, dan bahkan mengancam. Sebut saja, terjadinya
pukulan balik lingkungan yang dieksploitasi dan dicemari berlebihan, krisis
ekonomi, supremasi kepentingan pribadi, nepotisme kelompok atas kepentingan
bangsa, runtuhnya system hukum, etik, dan moral, erosi nasionalisme dan
patriotisme yang mengancam disintegrasi bangsa dan Negara, serta masalah
masalah lainnya yang teramat banyak untuk disebutkan.
Dalam
bahasa metaforik Giddens, kita, bangsa ini, saat ini sedang terbirit-birit,
terputar-putar, dan terbolak-balik di “lingkar tak bermoral di antara perasaan
geram dan tersengat”. Melalui ungkapan Giddens yang lain, sepertinya negeri ini
juga cocok untuk dimisalkan sebagai “truk raksasa” yang membawa banyak muatan,
berlari kencang, terbirit dan terputar di situ-situ saja, tanpa tujuan.
Begitulah. Giddens menyebutnya dengan dunia yang tunggang langgang. Dalam
konteks Indonesia, mungkin bisa menjadi Negara yang tunggang langgang. Bisa
jadi, bukan?
Bukankah
Negara yang dikarunia dengan keindahan alam, kesuburan tanah, laut yang luas,
dan kebhinnekaan yang beragam ini, justru menjadi bangsa yang miskin sekali?
Mengapa bangsa ini menjadi hina sekali sebagai pengekspor TKI dan TKW kelas unskill labour? Mengapa bangsa ini menjadi
pengemis kelas dunia (pengutang)? Mengapa bangsa ini tak pernah dapat
melepaskan diri dari berbagai krisis? Mengapa dan mengapa?
Mungkin
benar, masyarakat kita memang sudah lama sakit, yang disebabkan oleh berbagai
ketidakseimbangan, baik dalam dirinya maupun dengan lingkungannya. Patologi
social yang dialami Negara kita ini bermacam-macam, meliputi semua golongan
penyakit. Banyak kita alami penyakit bawaan dari orde baru. Kita terima warisan
yang salah, berupa pejabat-pejabat korup dari orde sebelumnya yang makin lebih
berpengalaman. Jika diibaratkan, korupsi itu ibarat kanker, sel-sel birokrasi
hidup dengan menyedot makanan untuk sel-sel normal, sehingga bangsa dan rakyat
menjadi kurus kering, sedangkan kanker bertambah besar, dan menyebar.
Bagi
Nietzsche, korupsi adalah musim rontok suatu bangsa. Dan bisa jadi, sebentar
lagi, maut akan menghampirinya dalam wujud Negara lain atau badan-badan
internasional, para spekulan dan petualang asing, serta system-sistem dalam
badan yang tidak terkoordinasi atau berfungsi lagi.
Ah,
tidak-tidak, itu tidak akan terjadi.
Dalam
kenyataan hidup yang pahit, menghadirkan kembali cita-cita masyarakat ideal di
tengah masyarakat yang sakit memang terkesan dilematis. Ibarat mimpi di siang
bolong. Tapi, sebagai sebuah jalan, tidakkah ia layak dituju bersama penguasa
yang baru?
Lalu,
tugas kita sebagai generasi muda? Ya, bela Negara. Katanya, sebagai warga
Negara yang baik, kita harus membela Negara. Jika tidak berkenan, silahkan
angkat kaki dari sini. Simple sekali, bukan? Semudah itukah menetapkan ukuran
rasa cinta air warga Negara terhadap bangsanya? Hanya ber-standart-kan rasa
patuh, didisiplinkan, dan dikontrol?
Pertanyaan
selanjutnya, jika Negara harus dibela, dibela dari siapa? Bukankah kebodohan,
kemiskinan, kemelaratan, ketidakberdayaan, kerakusan pemodal, kekerasan atas
nama agama, dll, adalah musuh nyata kita? Masak iya kita harus berperang
melawan Negara sendiri?
Ah, sepertinya benar, kita harus banyak belajar pada orang Madura yang sudah lebih dulu paham arti harga diri sebagai warga Negara yang anti kolonialisme dan kesewenangan kekuasaan. Dimana pepatah “ango’an apotèya tolang ètèmbang potèya mata” (lebih baik mati berkalang tanah daripada harus hidup menanggung malu) tidak hanya sebatas slogan yang digembar-gemborkan, pun tidak sebatas program yang hanya dicanangkan. Tapi, sesuatu yang telah diresapi dalam jiwa dan raga.